“Ahh! Reno…”Desahan bersahut-sahutan bergema di kamar itu, seolah tak pernah puas, Reno terus ‘menghajar’ Luna lagi dan lagi. Tak peduli cakaran atau kuku Luna yang menancap di kulit, pria itu tetap bersemangat mencari kepuasan dan melepas dahaganya. “Kau sangat nikmat, Sayang.” Erangan Reno terdengar setelah dia menumpahkan cairan cintanya dalam tubuh Luna sepenuhnya. Dia terlalu terangsang untuk memikirkan pengaman dan terlalu menikmati untuk mengeluarkan diluar.Reno kembali mendaratkan ciumannya di leher jenjang wanita itu, sementara Luna membiarkan Reno menjelajah dan memberi banyak tanda merah di sana. Namun, tak lama dia merasakan kejantanan Reno kembali mengeras, menekan keras, dan meminta lebih. “Kau…” Luna terengah. Tak menyangka Reno benar-benar memberinya pelajaran. Setelah membuatnya sangat kelelahan, pria itu bahkan masih menginginkannya lagi.“Ada apa, Sayang?” tanya Reno sama terengahnya dengan Luna.“Reno, apa kau belum selesai?” lirih Luna. Sungguh ia sangat kelel
“Kenapa adikmu tidak ikut makan malam dengan kita?” tanya Jessie. “Dia kelelahan,” jawab Reno dengan singkat.Jessie menaikkan sebelah alisnya. Kelelahan? Apa yang membuat Luna sebegitu lelahnya? Mereka tiba saat hari masih pagi, banyak waktu beristirahat sebelum makan malam, tapi wanita itu kelelahan? Sebenarnya Jessie tak peduli Luna kelelahan atau pingsan sekalipun, dia hanya berbasa-basi menanyakan calon adik iparnya itu agar terlihat baik di depan Reno dan di dalam hati dia senang memiliki waktu berdua dengan Reno setelah meeting mereka selesai, tapi entah kenapa setelah melihat tanda merah di leher Reno tadi ia jadi sedikit overthinking. Reno memang telah memakai turtle neck di balik jasnya untuk menutupi tanda merah itu, tapi Jessie telah melihat sebelumnya dan menutupi tanda itu semakin membuatnya curiga. “Oh, sayang sekali. Padahal aku berharap bisa bicara banyak dengannya. Besok kita agak sibuk.”Reno tidak memperdulikan ucapan Jessie, pria itu tengah melihat daftar menu
Luna memutus panggilan teleponnya setelah mendengar suara menjijikan itu. Dia mendengar percakapan di ujung telepon dan sangat sulit untuknya tidak salah paham dengan apa yang ia dengar, meski logikanya tidak mempercayai Reno melakukan hal itu dengan Jessie. Reno tidak mungkin mengkhianatinya, tapi kenapa suara mereka seperti itu? Apa yang mereka lakukan berdua? “Tidak mungkin… Reno hanya mencintaiku,” gumam Luna menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan semua pikiran buruk yang tengah mendera di kepalanya. “Aku akan menunggu, Reno. Dia tidak mungkin melakukan itu. Dia pasti datang padaku, dia sudah janji….”Malam itu Luna menunggu… dia terus menatap ke arah pintu dan ponselnya menanti kedatangan Reno atau sekedar pesan untuk mengabarinya. Wanita itu bahkan tak bisa memejamkan mata atau beristirahat dengan tenang.Matanya kembali menatap ponsel, jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul tiga dini hari dan Reno sama sekali tidak datang atau memberinya kabar. Mata Luna berkaca-kaca,
“Sayang…”Reno merasa hatinya sangat terpukul saat melihat Luna menangis. Dia tak menyangka jika telah begitu menyakiti hati kekasihnya. Dia segera merengkuh pinggang dan mengecup kening Luna. “Astaga… maafkan aku.” Tangannya mengusap pipi Luna, menghapus air mata di sana. “Maafkan aku telah membuatmu menangis. Aku salah karena tidak mengabarimu dan membiarkanmu salah paham padaku.”“Ya, dan kau sangat brengsek! Kau datang ke kamarku, tapi yang kau lakukan adalah memeriksa ponselku dan marah-marah padaku. Aku saja tidak pernah memeriksa ponselmu!” lirih Luna masih terisak. “Ah, kau mau memeriksa ponselku? Periksa saja.” Reno menyodorkan ponselnya pada Luna. “Aku memang selalu menerima pesan dari Jessie. Tapi, tidak ada satupun yang kubalas. Satu-satunya pesan yang aku balas hanya dari Sera, sekretarisku, itupun soal pekerjaan. Bukalah.” Tantang Reno yang sedikit tak menerima jika Luna mempermasalahkan pemeriksaan ponselnya. Bagi Reno sebagai pasangan seharusnya tidak saling menutupi
Setelah menempuh 15 menit perjalanan, mobil yang membawa Luna berhenti di depan pintu masuk sebuah restoran ternama di Firenze. “Ayo Nona Luna, silahkan turun,” ucap pria asing itu setelah membukakan pintu mobil untuk Luna. “Mari saya antar ke dalam, Nona.”“Terima kasih.” Luna terpaku melihat ornamen restoran berbintang 5 itu. Suasana klasik dan romantis sangat kental dengan lampu kristal yang memukau dan rangkaian bunga cantik yang ditata apik. Tirai tinggi menghiasi dengan nuansa ungu muda, kontras dengan dinding, susunan meja, dan tempat duduk yang semuanya berwarna krem elegan. Luna mengikuti pria itu dan tersenyum saat melihat beberapa pasang muda mudi yang juga sedang menikmati makan malam romantis mereka. Dia terus melangkahkan kaki hingga pria asing itu membawanya lebih masuk ke dalam, suasana disana ternyata lebih intimate dan jauh lebih romantis. “Terima kasih sudah mengantarnya dengan selamat. Ini tip untukmu.”Luna terperanjat ketika dia mengenal suara itu. Dia terpa
Langit mulai gelap ketika mereka sampai di bandara. Pekerjaan dan liburan singkat di Italy telah usai, Luna akan kembali ke rutinitasnya sebagai mahasiswi dan Reno akan kembali disibukkan dengan pekerjaan di kantor. Sejujurnya Luna masih sangat mengantuk dan lelah setelah makan malam romantis yang berujung malam panas yang panjang di kamar hotelnya. Dan pagi harinya mereka sudah harus kembali. “Aku ingin ke toilet sebentar,” ucap Luna tiba-tiba saat mereka tengah berjalan menuju pintu keluar. “Aku juga! Aku ikut denganmu.” Jessie menyahut yang membuat Luna menoleh. Mereka menatap Reno yang tengah memainkan ponselnya untuk menghubungi supir yang menjemput mereka.“Baiklah, jangan lama-lama,” jawab Reno.Luna lebih dulu berjalan ke arah toilet dan memasuki salah satu bilik. Setelahnya Luna keluar dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan. Sementara Jessie yang berada di sampingnya menyeringai menatap Luna dari cermin wastafel.“Luna, apa kau punya kekasih?” Luna tertegun mend
Tidak seperti makan malam biasanya, Luna harus menahan diri saat Diana menarik untuk duduk disampingnya, karena tempat duduk yang berada di samping Reno dan biasa Luna tempati akan diduduki oleh Jessie. Luna menghela napas. Sepertinya malam ini dia harus banyak makan hati.“Ayo makan kalian semua! Setelah itu pergilah istirahat. Aku yakin perjalanan panjang membuat kalian lelah,” ucap Diana. Sementara Lucas menatap Luna dengan heran. “Luna, kenapa kau terus memakai hoodie? Buka saja, kita mau makan. Apa kau tidak panas?” Pertanyaan Lucas membuat semua mata mengarah pada Luna. Merasa menjadi pusat perhatian, Luna berdehem, lalu mempererat hoodie dengan memeluk dirinya sendiri. “Tubuhku terasa dingin, Ayah.”“Apa kau sakit, sweety?” tanya Diana terdengar khawatir.“Hm… sepertinya aku sedikit flu, Bu” jawab Luna dengan nada lemah. Berusaha agar terlihat meyakinkan.Diana dengan sigap meletakkan tangannya di dahi Luna. “Kau tidak demam, apa kepalamu pusing?”Luna menganggukkan kepala.
Suara Jessie membuat Reno melepas pelukannya di tubuh Luna dan berbalik. Jessie muncul bertepatan dengan mereka yang telah selesai berciuman.“Ada apa, Jess?” tanya Reno dengan wajah yang datar. Jessie menatap Luna yang berdiri beberapa jarak dari Reno, wanita itu tampak tidak memperdulikan kehadirannya dan sibuk mencuci tangan, padahal dia sudah mencuci tangan sebelum Jessie dan Reno datang. Dia hanya malas bertatapan dengan Jessie. “Aku mencarimu di kamar dan ruang kerja, ternyata kau di sini.” Jessie berjalan mendekati Reno. “Kenapa kau mencariku? Mata Jessie lagi-lagi melirik ke arah Luna, sebelum menjawab pertanyaan Reno. “Tanganku terluka, aku ingin bertanya apa kau tahu dimana letak kotak P3K?”Reno menatap tangan Jessie yang memang mengeluarkan darah. “Ada apa dengan tanganmu?”“Tidak sengaja terluka… ceroboh.” Jessie terkekeh kecil. “Jadi, apa kau tahu? Semua sudah tidur, beruntung kau masih bangun.” Lalu melirik Luna yang kini berbalik hendak pergi dari sana. “Dan… terny