"Apa, pak?" tanya Vina ragu-ragu.
"Besok, kamu harus temani aku untuk pergi ke acara client kita. Pakailah pakaian yang rapi."
"Jam?" Vina memicingkan matanya. Menunggu jawaban dari Dion. Dia tidak bisa membagi waktunya secara tiba-tiba apalagi dirinya bekerja di dua tempat sekaligus.
"Jam 8 malam,"
"Maaf, pak! Saya tidak bisa. Saya kasih ada pekerjaan lain."
"Apa sebegitu pentingnya pekerjaan kamu dari pada perintah bos?" tanya Vina.
"Semuanya penting, pak! Saya juga harus bekerja sesuai jam. Jika saya telat saya juga harus membayar denda."
"Kamu bekerja dimana?" tanya Dion.
"Bapak, tidak perlu tahu, maaf!" Vina menundukkan pandangan matanya.
"Oke, baiklah! Kamu boleh pergi sekarang." Dion tidak mau memaksa Vina. Dia kembali fokus pada pekerjaannya.
Sementara Vina dia merasa sangat bersalah. Vina berjalan keluar dengan sangat hati-hati. Dalam hati dirinya tidak tenang jika menolak ajakan sang bos. Tapi, dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya lagi.
Vina menghela napasnya. Dengan segera keluar dari ruangan itu. Kedua tangan menggenggam erat obat yang diberikan sang bos. Vina kembali ke tempat dia bekerja.
"Vina, gimana?" Sisil yang baru menyelesaikan pekerjaannya. Dia mendorong kursi duduk di samping Vina. Dia siap mendengarkan cerita apa saja dari Vina.
"Nih..." Vina memberikan kotak obat di atas meja Sisil. Seketika wanita itu memicingkan matanya bingung.
"Apa ini?" tanya Sisil.
"Bukanya kamu yang bilang pada bos jika aku sakit perut?" Vina beranjak duduk. Lalu menghela napasnya kasar.
Sisil tersenyum tipis. Dia sengaja melibatkan lirikan menggoda pada Vina.
"Cie... ada yang di perhatiin bos, nih?" Sisil mencolek lengan tangan Vina.
"Apaan, sih!" wajah Vina seketika memerah malu.
"Sudah, lupakan semuanya." kesal Vina. "Kenapa tadi kamu bilang aku sakit perut, jika aku tiba-tiba jawab tidak. Dia pasti marah padaku."
"Lagian, kamu dari tadi kemana saja? Bos mencarimu. Tapi, kamu tidak ada." Sisil menakutkan kedua alisnya.
"Bentar, jangan-jangan kamu pergi sama laki-laki tampan tadi? Kalian kemana? Apa itu pacar kamu? Cie... yang punya pacar baru, jangan lupa bayar pajak." goda Sisil.
"Bayar pajak?" Vina mengerutkan keningnya bingung.
"Pajak apa? Aku tidak punya kendaraan apapun." Vina mengerjapkan kedua matanya. Dia terlihat begitu polosnya.
"Sudah aku bilang. Jika dia pasti suka denganmu."
"Aaarrggg... Gak tahu, apa yang kamu bicarakan." kata Vina kesal.
"Astaga, naga... Vina, jangan terlalu polos. Kamu sudah dewasa, pasti tahu lah, mana laki-laki yang diam-diam perhatian. Meskipun dia suka marah-marah. Tapi, dia perhatian padamu." Sisil menjelaskan dengan penuh semangat. Dia ikut bangga jika sampai sahabatnya itu bisa dekat dengan bos.
Vina terdiam, dia memutar otaknya untuk berpikir sejenak. Sembari mengerutkan bibirnya beberapa detik. Seketika dia mulai teringat tentang Dion.
"Bentar!" Vina mengangkat tangannya sebahu.
"Kamu bilang pajak? Apa kamu pikir aku jadian dengan, bos?" teriak Vina. Sontak membuat karyawan lain menoleh ke arahnya dengan tatapan anehnya.
"Sssttt... pelankan suaramu." Sisil menepuk lengan Vina. Seketika kedua mata Vina berkeliling. Dia melayangkan senyuman terpaksa pada karyawan yang menatap ke arahnya.
"Maaf," kata Vina. Beberapa karyawan tidak menghiraukannya. Mereka kembali bekerja lagi.
Vina mendekatkan wajahnya. Menekankan nada suaranya. "Jangan pernah berpikir jika aku bisa suka dengan bos dingin dan kasar seperti dia."
Sisil menarik kedua ujung bibirnya ke bawah. Seolah tidak akan pernah percaya dengan apa yang dikatakan oleh Vina. "Aku yakin, jika kamu pasti akan jatuh cinta pada bos."
"Dia perhatian padamu. Buktinya dia memberikan obat saat aku bilang jika kamu sakit. Coba karyawan lain sakit. Dia pasti menyuruhnya untuk membeli sendiri."
"Terserah!" Vina mengangkat tangannya siku menempel di atas meja.
"Jika benar kamu dekat dengan, Bos. Kamu memang taruhan." gerutu Sisil. Sembari mengerutkan bibirnya.
"Aku tidak peduli dengan taruhan itu."
Setelah lama berbincang. Vina dan Sisil kembali bekerja. Dan, seperti biasanya. Beberapa pegawai ada yang memang sengaja untuk meminta Vina membantu pekerjaannya. Dan, itu tidak terjadi satu dua kali saja. Bahkan hampir dua hari sekali atau bahkan sehari sekali. Vina sudah biasa selama bekerja 2 bulan ini.
"Hey... sudah selesai belum?" tanya seorang wanita sembari berjarak pinggang di depan meja Vina.
Vina mengangkat kepalanya perlahan. Menatap ke arah wanita di depannya. "Belum!" jawabnya datar.
"Buruan, aku ingin kamu bantu aku fotocopy. Kamu bisa pergi ke ruang fotocopy. Kamu fotocopy sendiri atau meminta bantuan orang terserah kamu." gerutu wanita itu dengan nada sinisnya.
"Eh... kenapa kamu tidak jalan sendiri ke ruangan foto copy." saut Sisil tak kalah kesalnya. Saat temannya itu selalu saja di tindas pegawai lainya.
"Memangnya kenapa? Dia masih magang disini? Lagian dia anak baru. Jadi wajar saja dia masih butuh belajar banyak dari para atasannya."
"Kamu punya tangan punya kaki. Jalan sendiri, jangan meminta orang lain mengerjakan pekerjaanku." Sisil bangkit dari duduknya. Menatap tajam ke arah wanita di depannya.
"Kamu pegawai rendahan. Jangan ikut campur!" wanita itu tidak terima. Dia mendorong baju Sisil. Namun di tepi sangat kasar oleh Sisil.
"Aw--" rintih wanita itu.
"Sakit, ya!" goda Sisil.
Saat dua wanita sedang bertengkar. Vina masih saja diam Dia sibuk dengan pekerjaannya. Tanpa memperhatikan pertengkaran mereka berdua.
"Ehem..." suara daheman seorang wanita itu seketika mengejutkan semua wanita yang sedang bertengkar itu. Semua mata tertuju pada sumber suara. Seketika pandangan mata mereka tertunduk.
"Apa yang kalian lakukan? Bukanya bekerja malah bertengkar?" bentak sang bos.
"Lisa, lebih baik kamu pergi. Daripada buat keributan disini." pinta Vina. Dia memberikan beberapa lembaran yang sudah dia kerjakan sebelumnya pada Lisa.
"Itu apa?" tanya Dion.
"Pekerjaan, saya!" jawab datar Vina.
"Ya, sudah! Kalian kembali bekerja. Jangan bertengkar disini." pinta Dion.
"Ba-baik, pak!" Lisa mengambil kasar beberapa lembaran di tangan Vina. Lalu memalingkan wajahnya acuh. Dan, segera pergi dari sana. Sebelum kena oleh sang bos. Dan, Dion juga tanpa sepatah katapun pada Vina. Dia hanya melirik sekilas lalu pergi begitu saja. Membuat Sisil semakin penasaran. Apa benar fillingnya. Jika bos suka dengan Vina.
Sementara Vina, dia juga terlihat datar. Bahkan fokus selaku pada layar laptop miliknya.
Sisil kembali duduk, dia melirik ke arah Vina. "Kamu gak pulang? Bukannya nanti kamu juga masih bekerja."
"Iya, ini sebentar lagi selesai."
"Apa kamu langsung ke tempat kerja satunya?"
Vina terdiam sesaat. Dia mengangkat tangan kanannya. Melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukan pukul 5 sore.
"Aku bekerja jam 8 malam. Aku pulang istirahat dulu."
"Ya, sudah! Buruan, kamu pasti lelah hari ini. Tugasmu begitu banyak," ucap Sisil. Dia terus memaksa Vina untuk selesai bekerja.
**
Karin jam menunjukan pukul 6 sore. Setelah selesai semua pekerjaannya. Vina memutuskan untuk segera pulang. Bahkan tanpa beli makanan atau apapun. Dia langsung menuju ke rumah. Dan, kini tubuhnya begitu santainya berbaring di atas tempat tidurnya.
Beberapa detik kemudian. Kedua mata itu perlahan mulai tertutup. Vina tanpa sadar ada sosok yang memperhatikannya dari atas balkon kamar yang memang tidak tertutup gorden.
Laki-laki itu terus memandangi kamar Vina, seolah tidak mau beranjak dari sana. Sembari menikmati minuman hangat duduk di atas balkon kamarnya. Pandangan menghadap ke kamar Vina. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki itu.
"Astaga, kenapa bisa aku tiduran terlalu lama.""Aaahh... Aku telat sekarang!" gerutu Vina. Dia terlihat begitu paniknya di atas tempat tidurnya. Ingin beranjak namun tampak terlihat bingung mencari sesuatu.Vina meraih jepit rambut di atas meja. Dia beranjak dari tempat tidur berlari menuju ke kamar mandi. Tidak terlalu lama berada di kamar mandi. Hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk membasuh sekujur tubuhnya yang terasa begitu lengket.Selesai mandi. Vina segera bersiap memakai baju saksinya dia sengaja memakai baju itu dari rumah. Lalu menutupinya dengan rok panjang dan jaket Agar tidak terlalu mencolok saat dia naik angkutan umum nantinya.Setelah Selesai memakai baju hitam dan seksi begitu melekat menunjukan lekuk tubuhnya. Bahkan bagian depan terlihat lebih menonjol keluar dari sela-sela bajunya. Vina bergegas menuju ke depan cermin. Jemari tangan itu meraih beberapa alat make up. Vina sedikit memoles wajah cantiknya dengan bedak
"Anda harus temani saya, saya akan bayar berapapun yang kamu inginkan.""Maaf, tapi saya tidak bisa..." Vina berusaha menghindar. tangan kekar laki-laki itu tidak bisa membuatnya berkutik. Dia hanya bisa diam di atas pangkuannya. Kedua tangan memeluk erat pinggang ramping Vina. Jemari tangan kiri menyentuh pinggang ramping milik Vina. Menghisapnya begitu lembut.Seolah memberikan sentuhan gairah pada Vina Namun perlahan sentuhan itu menjadi cengkeraman sangat kuat. Seperi cengkeraman srigala yang ingin memangsa musuhnya."lepaskan aku, jangan kurang ajar padaku." teriak Vina. berusaha mendorong tubuh bugar laki-laki bertopeng itu."Jangan kamu pikir aku wanita yang gampang kamu nikmati, tuan." Vina berbicara teoat di depan pria itu. pasangan mata saling menatap satu sama lain. Wajah mereka semakain dekat, tanpa rasa takut Vina mendekatkan tubuhnya, lalu berbisik pelan padanya."Aku memang pekerja disini. Tapi, bukan be
Vina masih di posisi yang sama dia duduk di pangkuan pria itu. Kedua tangan melingkar di leher pria asing itu. kedua mata mereka masih saling menatap sangat dalam, perlahan Bibir pria itu mendekat padanya. Sekujur tubuh Vina seketika mulai kaku. Dia berusaha menelan ludahnya, entah kenapa terasa lebih susah ludahnya tertelan. Itu karena dia terlalu gugup, atau takut. Dirinya sendiri juga tidak paham akan hal itu. Jemari tangan pria itu menyentuh lembut wajahnya, sengaja dia berusaha menggoda Vina. Jemari tangan kanan Pria itu menyentuh paha Vina perlahan merangkak ke atas, sedikit menyingkap rok span yang di pakai oleh Vina.Vina yang terkejut dengan perlakuan itu. Dia hanya bisa diam dengan kedua jata melebar sempurna. Tangan kiri pria itu menyentuh perlahan wajah kiri Vina, hingga merangkak ke belakang kepala Vina. Wajah mereka perlahan semakin dekat dan lebih dekat lagi. Hingga tidak ada jarak lagi di antara mereka. Hanya satu gerakan saja, kedua bibir itu bisa salin
"Siapa, kamu?" Tanya pria itu menunjuk ke arah Deon dan Hans yang sudah berdiri di depannya. tatapan tajam Deon tidak membuat pria itu takut. "Hans, urus dia." pinta Deon. "Kalian ikut campur urusanku," geram pria asing itu. sembari menunjuk dengan wajah penuh amarah. Meskipun tubuhnya terlihat tak mampu berdiri tegap. pengaruh alkohol membuat tubuh kekar itu lunglai tanpa tulang. Pria asing itu berusaha untuk melangkah kedepan. Sembari tersenyum sinis tanpa rasa takut sama sekali. Deon membalas senyuman itu dengan tatapan mata tajamnya. Aura mematikan mulai kekuar dari sekujur tubuh Deon. Wajah yang sangat dingin itu mulai berapi-api. "Jangan pernah mencoba untuk menyentuh wanitaku," geram Deon. Pria itu menarik sudut bibirnya sinis. Dia masih tidak pedulikan apa yang di katakan Dion. pengaruh alkohol yang kuat tidak membuatnya takut pada siapapun. Bahkan termasuk Deon. "Siapa wanitamu, Hah...." Pria itu menertawakan Deon. "Anda tidak tahu tuan Deon?" Tanya Hans."Urus dia." P
Disebuah club malam terbesar di Jakarta. Seorang wanita cantik, yang masih di bawah dua puluh tahun itu. Mulai merias dirinya. wajahnya yang terbalut make up tipis. Tubuh seksi dengan lekukan tubuh yang begitu menggoda. Belahan dadànya terlihat sangat jelas. Dengan baju Tanpa lengan. Bagian belakang terlihat punggung putih dan mulutnya. Rok satu di atas lututnya. Tuhan menganugerahkan kulit yang begitu putih seputih susu. Selembut kulit bayi. Dan tubuh seksi yang menggoda iman seorang yang melihatnya. "Bella." seseorang memanggilnya. Bella menoleh, melayangkan senyuman tipis ke arah orang yang memanggilnya. Seorang laki-laki berjakun dengan suara serak dan sedikit tua, kulit yang terlihat mulai kendur. Tapi wajahnya masih terlihat sedikit muda. Dengan parasnya utu terlihat sekitar umur empat puluh tahunan itu berjalan mendekatinya. "Iya.. Pak." jawabnya, menundukkan sedikit kepalanya sebagai tanda hormat kepada manajer club itu. "Kamu baru datang?" tanya seorang laki-laki paruh bay
"Hah.. Hah.." Bella yang mulai sadar dari pengaruh minuman. Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia merasa baru saja tergelam dalam laut. Entah tadi mimpi atau tidak. Baginya seperti kenyataan yang membuat dia hampir saja kehilangan nyawanya. Wanita berambut sepunggung itu memutar matanya. Dia merasa sangat aneh dan asing dengan ruangan kamar mandi ini. Ahh... Kepalaku. Apa yang terjadi padaku. Dan kenapa? Kenapa aku bisa tenggelam di bathtub ini.. Bella mengernyitkan matanya mencoba melihat seluruh penjuru ruangan. "Aku di mana? Rumah siapa ini? Kenapa terlihat begitu asing? Dan, apa yang sebenarnya terjadi padaku?" gumam Bella, pikirannya melayang cepat memikirkan hal aneh dalam dirinya. Dia sontak menundukkan kepalanya, melihat bajunya yang masih lengkap. Bella menghela napasnya lega. Mencengkeram ujung atas bajunya, dan beranjak berdiri. "Aaww--" rintih Bella, memegang kepalanya yang masih terasa sangat pusing."Kenapa kepalaku semakin pusing sekali." Bella beran
Bella berlari masuk ke dalam rumahnya. Wajahnya masih memerah malu. Bella mengacak-acak rambutnya frustasi sembari berjalan dan tidak hentinya menggerutu kesal. "Astaga... Kenapa aku jadi seperti ini." gerutu Bella. "Bisa-bisanya aku salah masuk rumah. Untuk tidak salah masuk kamar orang." kesal Bella. Dia menghela napasnya. Beranjak duduk di sofa ruang tamunya. "Heh... Gadis gila.." teriak seorang dari lantai dua. Bella mengerutkan keningnya. Kedua bola mata bergerak ke atas. "Sialan, laki-laki itu berteriak di kamar atas." kesal Bella. Dia segera berlari menaiki anak tangga menuju ke kamarnya. Membuka balkon kamarnya. Sembari membawa sepatu melemparkan sepatu itu di balkon depan kamarnya. Rumah mereka berdekatan hanya berjarak satu petak. Namun, kamar Mereka juga berhadapan satu sama lain. Riko sering keluar Bella di kamarnya. Bahkan dia tidak pernah sadar sebelumnya. "Sialan, kamu melerai sepatu?" kesal Rico. "Itu pelajaran buat kamu." kesal Bella. Dia melihat kedua tangannya
"Ssstt... Cika, kenapa kamu tidak bilang jika ada bos baru?" Bisik Bella. Mencubit lengan tangan Cika. Wajah Bella memerah seketika terlihat begitu malu saat berhadapan dengan bos barunya. "Aku sudah bilang tadi. Tapi, kamu gak sadar," kesal Cika. Sengaja memelankan suaranya. Sesekali Cika melirik ke arah bos. Sembari melayangkan senyuman tipis padanya. "Apa yang kalian bicarakan? Apa kalian membicarakan tentang aku?" Tanya sang bos. "Tuan, apa anda tidak langsung masuk ke ruangan saja? Ada berkas yang harus segera anda kerjakan." "Baiklah, aku minta wanita itu masuk ke ruangan saya." "Tuan, Dion yakin bawa wanita masuk ke ruangan?" Tanya Jun memastikan."Bawa dia!" Pinta Deon. Tatapan mata itu tertuju pada Bella yang berdiri dengan wajah bingung. Beberapa kali Bella mengerjapkan matanya. Dengan bibir sedikit terbuka membentuk huruf o. "Siapa? Saya?" Tanya Bella memastikan. Menunjuk dirinya sendiri. "Kalau sudah tahu, tidak usah banyak tanya. Masuk dan lakukan tugasmu. Karena k
"Siapa, kamu?" Tanya pria itu menunjuk ke arah Deon dan Hans yang sudah berdiri di depannya. tatapan tajam Deon tidak membuat pria itu takut. "Hans, urus dia." pinta Deon. "Kalian ikut campur urusanku," geram pria asing itu. sembari menunjuk dengan wajah penuh amarah. Meskipun tubuhnya terlihat tak mampu berdiri tegap. pengaruh alkohol membuat tubuh kekar itu lunglai tanpa tulang. Pria asing itu berusaha untuk melangkah kedepan. Sembari tersenyum sinis tanpa rasa takut sama sekali. Deon membalas senyuman itu dengan tatapan mata tajamnya. Aura mematikan mulai kekuar dari sekujur tubuh Deon. Wajah yang sangat dingin itu mulai berapi-api. "Jangan pernah mencoba untuk menyentuh wanitaku," geram Deon. Pria itu menarik sudut bibirnya sinis. Dia masih tidak pedulikan apa yang di katakan Dion. pengaruh alkohol yang kuat tidak membuatnya takut pada siapapun. Bahkan termasuk Deon. "Siapa wanitamu, Hah...." Pria itu menertawakan Deon. "Anda tidak tahu tuan Deon?" Tanya Hans."Urus dia." P
Vina masih di posisi yang sama dia duduk di pangkuan pria itu. Kedua tangan melingkar di leher pria asing itu. kedua mata mereka masih saling menatap sangat dalam, perlahan Bibir pria itu mendekat padanya. Sekujur tubuh Vina seketika mulai kaku. Dia berusaha menelan ludahnya, entah kenapa terasa lebih susah ludahnya tertelan. Itu karena dia terlalu gugup, atau takut. Dirinya sendiri juga tidak paham akan hal itu. Jemari tangan pria itu menyentuh lembut wajahnya, sengaja dia berusaha menggoda Vina. Jemari tangan kanan Pria itu menyentuh paha Vina perlahan merangkak ke atas, sedikit menyingkap rok span yang di pakai oleh Vina.Vina yang terkejut dengan perlakuan itu. Dia hanya bisa diam dengan kedua jata melebar sempurna. Tangan kiri pria itu menyentuh perlahan wajah kiri Vina, hingga merangkak ke belakang kepala Vina. Wajah mereka perlahan semakin dekat dan lebih dekat lagi. Hingga tidak ada jarak lagi di antara mereka. Hanya satu gerakan saja, kedua bibir itu bisa salin
"Anda harus temani saya, saya akan bayar berapapun yang kamu inginkan.""Maaf, tapi saya tidak bisa..." Vina berusaha menghindar. tangan kekar laki-laki itu tidak bisa membuatnya berkutik. Dia hanya bisa diam di atas pangkuannya. Kedua tangan memeluk erat pinggang ramping Vina. Jemari tangan kiri menyentuh pinggang ramping milik Vina. Menghisapnya begitu lembut.Seolah memberikan sentuhan gairah pada Vina Namun perlahan sentuhan itu menjadi cengkeraman sangat kuat. Seperi cengkeraman srigala yang ingin memangsa musuhnya."lepaskan aku, jangan kurang ajar padaku." teriak Vina. berusaha mendorong tubuh bugar laki-laki bertopeng itu."Jangan kamu pikir aku wanita yang gampang kamu nikmati, tuan." Vina berbicara teoat di depan pria itu. pasangan mata saling menatap satu sama lain. Wajah mereka semakain dekat, tanpa rasa takut Vina mendekatkan tubuhnya, lalu berbisik pelan padanya."Aku memang pekerja disini. Tapi, bukan be
"Astaga, kenapa bisa aku tiduran terlalu lama.""Aaahh... Aku telat sekarang!" gerutu Vina. Dia terlihat begitu paniknya di atas tempat tidurnya. Ingin beranjak namun tampak terlihat bingung mencari sesuatu.Vina meraih jepit rambut di atas meja. Dia beranjak dari tempat tidur berlari menuju ke kamar mandi. Tidak terlalu lama berada di kamar mandi. Hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk membasuh sekujur tubuhnya yang terasa begitu lengket.Selesai mandi. Vina segera bersiap memakai baju saksinya dia sengaja memakai baju itu dari rumah. Lalu menutupinya dengan rok panjang dan jaket Agar tidak terlalu mencolok saat dia naik angkutan umum nantinya.Setelah Selesai memakai baju hitam dan seksi begitu melekat menunjukan lekuk tubuhnya. Bahkan bagian depan terlihat lebih menonjol keluar dari sela-sela bajunya. Vina bergegas menuju ke depan cermin. Jemari tangan itu meraih beberapa alat make up. Vina sedikit memoles wajah cantiknya dengan bedak
"Apa, pak?" tanya Vina ragu-ragu."Besok, kamu harus temani aku untuk pergi ke acara client kita. Pakailah pakaian yang rapi.""Jam?" Vina memicingkan matanya. Menunggu jawaban dari Dion. Dia tidak bisa membagi waktunya secara tiba-tiba apalagi dirinya bekerja di dua tempat sekaligus."Jam 8 malam,""Maaf, pak! Saya tidak bisa. Saya kasih ada pekerjaan lain.""Apa sebegitu pentingnya pekerjaan kamu dari pada perintah bos?" tanya Vina."Semuanya penting, pak! Saya juga harus bekerja sesuai jam. Jika saya telat saya juga harus membayar denda.""Kamu bekerja dimana?" tanya Dion."Bapak, tidak perlu tahu, maaf!" Vina menundukkan pandangan matanya."Oke, baiklah! Kamu boleh pergi sekarang." Dion tidak mau memaksa Vina. Dia kembali fokus pada pekerjaannya.Sementara Vina dia merasa sangat bersalah. Vina berjalan keluar dengan sangat hati-hati. Dalam hati diriny
"Foto kakak ku, itu waktu masih kecil!" kata Rico."Sudah, jangan banyak tanya Sekarang, bersihkan rumahku. Bekas sepatumu masih menempel di lantai rumahku!" Rico beranjak duduk di sofa putih. Tangan kanan berada di atas kepala sofa. Dia duduk menyilangkan kakinya, punggung menyandar di sofa."Dimana dia sekarang?" tanya Bella penasaran."Tidak perlu banyak tanya lagi. Sekarang, lebih baik kamu segera bersihkan lantai." tegas Rico.Disisi lain. Kantor tempat Bella bekerja terlihat begitu riuh. Bos mengumpulkan semua karyawan. Dia ingin mengubah peraturan perusahaan. Dan, jika sampai ada yang telat beberapa menit saja. Maka akan dapat sanksi. Dengan suara lantang bos mengatakan semua peraturan baru yang harus ditepati."Untuk semua karyawan disini. Jangan pulang sebelum waktunya. Pulang lah tepat waktu.""Tidak boleh telat, harus datang tepat waktu. Telat 1 menit saja sudah dapat sanksi. Dan, jika sampai 3 kali k
"Aku juga tidak tahu, tapi bagaimana bisa kamu mengenal laki-laki tampan itu?" tanya Cika.Bella menghentikan langkahnya. Menoleh cepat ke arah Cika. Mata menyipit menatap kedua jata Cika."Laki-laki?" tanya Bella memastikan.Cika menganggukan kepalanya. "Siapa?" tanya Bella."Mana aku tahu!" Cika menarik kedua bahu bersamaan ke atas."Aku tidak tahu, lagian aku juga bingung kenapa kamu bisa mengenal seorang laki-laki tampak kaya. Bahkan, dia datang membawa mobil. Lalu memarkir mobilnya tepat di depan kantor!" ucap Cika. Bella mengerutkan bibirnya bingung. memutar otaknya, berpikir siapa yang ada janji dengannya hari ini. Tapi, sepertinya memang tidak ada janji dengan siapapun. Aku juga tidak punya teman laki-laki. Apalagi punya mobil. Bagaimana jika Cika berbohong padaku."Sekarang, dia dimana?" tanya Bella."Ikut, aku!" Cika menarik tangan Bella membawanya pergi ke lobi. Hingga ke luar dari
"Maaf, pak. Saya tahu anda adalah bos saya. Tapi, anda bisa jaga ucapan anda. Saya memang bawahan anda. Tetapi saya bukan orang rendahan," ucap Bella menekankan suaranya. Di balas dengan senyum kecut oleh Dion. "Orang yang bekerja di tempat malam. Tidak mungkin jika dia tidak murahan. Tidak akan mau menuangkan minuman laki-laki." Bella mengerutkan keningnya. Dia sedikit teringat tentang laki-laki kemarin malam. Kedua mata Bella menyipit mengamati setiap ukiran wajah tampan Dion di depannya. "Sepertinya aku mengenal dia? Tapi, apa benar laki-laki itu adalah orang yang bersamaku kemarin malam?" "Apa aku yang saja padanya? Astaga... Tidak! Kenapa juga aku tanya. Memalukan. Bagaimana jika bukan? Tapi... Dia bilang jika aku bersama dengannya, kemarin." "Ya, sudah! Pergilah, sekarang bawakan aku kopi." "A-apa?" tanya Bella. Memincingkan matanya terkejut. "Maaf, tuan. Anda minta saya bawakan kopi? Saya bukan pelayan anda. Anda bisa meminta office girl disini. Kenapa harus saya?" tanya
"Ssstt... Cika, kenapa kamu tidak bilang jika ada bos baru?" Bisik Bella. Mencubit lengan tangan Cika. Wajah Bella memerah seketika terlihat begitu malu saat berhadapan dengan bos barunya. "Aku sudah bilang tadi. Tapi, kamu gak sadar," kesal Cika. Sengaja memelankan suaranya. Sesekali Cika melirik ke arah bos. Sembari melayangkan senyuman tipis padanya. "Apa yang kalian bicarakan? Apa kalian membicarakan tentang aku?" Tanya sang bos. "Tuan, apa anda tidak langsung masuk ke ruangan saja? Ada berkas yang harus segera anda kerjakan." "Baiklah, aku minta wanita itu masuk ke ruangan saya." "Tuan, Dion yakin bawa wanita masuk ke ruangan?" Tanya Jun memastikan."Bawa dia!" Pinta Deon. Tatapan mata itu tertuju pada Bella yang berdiri dengan wajah bingung. Beberapa kali Bella mengerjapkan matanya. Dengan bibir sedikit terbuka membentuk huruf o. "Siapa? Saya?" Tanya Bella memastikan. Menunjuk dirinya sendiri. "Kalau sudah tahu, tidak usah banyak tanya. Masuk dan lakukan tugasmu. Karena k