“Ahh … “Darah segar keluar dari kakiku. Aku melihat ke atas, suara seperti ranting yang bergoyang membuatku yakin makhluk itu sedang mengawasiku. Aku membuang benda yang menancap di kakiku, lalu aku berjalan dengan sedikit pincang ke gubug lagi. Bersikap agar tak terlihat kesakitan.“Loh, MAs, kenapa?” tanya Syarifah panik.“Kenapa, Le?” Emak terlihat ikut panik.“Nggak apa apa, tadi kena ranting yang tajam di dasar kali. Kayaknya memang kurang hati hati aja, padahal airnya bening. Soalnya pikiranku nggak fokus, keinget Ifah terus,” kekehku mencolek dagu Syarifah.“Ih, serius juga.”“Kok bisa ranting nggak keliatan, Le,” ucap Bapak yang langsung berdiri dan mencari daun petai cina untuk membuat darahnya berhenti. Aku mendengar tawa cekikikan dari sisi sungai. Pelakunya dia itu. Awas aja. Acara makan ini jadi kurang seru karena Syarifah yang terus menanyakan apa lukaku sakit atau enggak. Memang lumayan linu, cuma kan nggak boleh mengeluh di depannya. AKu tahu ini trik pengganggu itu
“Tadi Hamzah nawarin bikin kandang kambing di lahan Emak, memang boleh, Mak?” tanyaku sepulang dari pesantren.“Ya belakang sana, kandang kambing Bapak. Bikin aja yang lebih besar. Itu juga kambing yang di sana udah minta ganti rumah kayaknya,” ucap Emak.“Memang kandangnya ngomong, Mak?” tanya Syarifah dan aku pun terkekeh dengan ucapan Emakku.“Ya kan udah bocor, Nduk. Kayaknya sering masuk angin juga itu kambing, kalau malam gelemberan terus,” jawab Emak."Kira-kira boleh gak sama bapak ya bikin ternak kambing bareng Hamzah?" tanyaku."Boleh," sahut Bapak. Bapak keluar dari kamar menyusul kami yang sedang duduk di lantai depan televisi. Tak ada ruang keluarga, hanya ada teras berbahan semen yang sudah halus karena sering terkena kaki. Kami biasanya menghabiskan waktu di sini untuk berbincang atau melakukan aktivitas bersama sama keluarga. “Kambing yang di kandang Bapak itu juga bagus bibitnya, FIr. Kamu beli yang perempuan aja kambingnya, biar satu bandot bisa ngehamilin 4. Anakn
“Kayaknya infeksi, makanya jadi sakit dan demam. Ini harus ditangani betul betul, seharusnya kemarin dibawa berobat saja.”Aku pun menyimak keterangan dari si mantri tentang luka di kakiku yang katanya infeksi. Padahal aku sedari tadi berpikir, ini adalah kesialan pertama setelah aku kejatuhan cicak kemarin. Nyatanya memang sangat sakit, bahkan harus dilakukan suntik dan pembedahan untuk mengeluarkan nanahnya. Jangan ditanya bagaimana sakitnya, sungguh luar biasa. Aku sampai meminta Emak di sampingku dan menjadi sadaran cengkeramanku.“Lain kali, jangan sampai dibiarkan kalau terluka. Ini kalau besok belum turun demamnya, ke Dokter atau rumah sakit saja. Biasanya kalau membaik akan turun demamnya tapi kalau infeksinya parah, justru akan demam tinggi lagi,” ucap mantri.Aku mengangguk dan si mantri pamit setelah mengobatiku. Aku menatap wajah Syarifah yang mendadak diam dan sayu. Aku mengusap pipinya, lalu tersenyum.“Aku belum pengin mati kok, jadi jangan buru buru menampakkan kesed
Sore hari aku dan Ustad Husni langsung menuju ke kota. Tentu sudah berulang kali Bu Bos menelpon untuk memastikan apa aku sudah berangkat atau belum dari desaku. Saat ini aku sudah keluar dari desa dan dalam perjalanan ke rumah Nona Lisa. Aku pun yang mengendarai sepeda motor memboncengkan Ustad Husni.Sepanjang perjalanan aku merasa dibuntuti. Namun, suara Ustad Husni yang terus melantunkan doa dan zikir membuatku tak bisa melihatnya dan aku pun tak diganggu. Benar juga saran istri dan sahabatku, mengajak Ustad Husni adalah keberuntungan yang besar saat ini.Begitu sampai aku langsung disambut ART Nona Lisa. Aku juga berhadapan pada Bu Bos yang sudah menatapku cemas.“Lama sekali?” tanya Bu Bos.“Ya kan kami naik motor, Bu, bukan naik burok,” jawabku.“Masuk, Ustad, Fir. Anak saya ada di dalam,” ucap Bu Bos.Aku tak melihat ada Pak Bos di sini. Aku pun heran sendiri, bisa bisanya ayahnya Nona Lisa nggak ada di saat anaknya dalam bahaya. Mau bertanya sungkan, tak tanya rasanya penasa
“Nggak ada, Nak. Kamu sudah baik baik saja sekarang. Makasih sama Fir yang udah mau menyempatkan waktu untuk datang.”Aku pun tersenyum saat namaku disebut sebagai lelaki yang mampu memberikan senyum kembali Nona Lisa. Aku diajak untuk berdiskusi di ruang tamu dan tentu saja Nona Lisa sudah bisa berjalan seperti biasa setelah ini. Meski begitu, Nona Lisa diminta beristirahat setelah dijelaskan tak ada apa apa dalam keadaan yang sekarang. Ada yang aneh sih, entah apa yang sebenarnya terjadi. Aku saja tak mengerti.Kami disuguhi makan dan minum, tapi aku melihat Ustad Husni yang lebih banyak diam saat ini. “Maaf kalau harus menghubungi kamu dengan tergesa gesa, ini tentu karena saran dari Ustadz Husni agar kamu sendiri yang meminta untuk datang ke sini. Saya juga tak tahu, tapi kamu bisa tanyakan pada Ustad Husni tentang apa yang terjadi. Ini uang untuk kamu dan pesangon karena kamu sudah membantu usaha di kantor. Sekarang saya lega, setidaknya ada yang bisa membantu anak saya lepa
“Mas, ada undangan nih,” ucap Syarifah yang tiba tiba menghampiriku di kandang ayam.“Dari siapa?”“Ustad Husni.”Jeduk!Karena kaget aku pun terpentok kandang kepalanya. Aku hendak keluar dan melihat undangan itu, benar atau tidak dari Ustad Husni.“Pelan pelan sih,” ucap Syarifah.“Udah kena, Dek. Telat bilangnya,” gerutuku sambil mengusap kepala.Aku melihat undangan berwarna gold mengkilap dengan pita merah yang mengikatnya. Dari undangannya saja sudah terlihat sangat mewah, aku sungguh tak yakin Ustad Husni menikah dan undangannya sebagus ini.“Yakin si Ustad nikah?”Aku membuka ikatan undangan itu setelah mencuci tangan dan duduk di kursi bambu belakang rumah. Tertera nama huruf M & H di depan undangan. Saat aku buka, ternyata memang ada nama Husni dan Monalisa. Eih, betulkah?“Ini serius mereka nikah? Wah, bener bener si Ustad menang banyak,” kekehku.“Menang banyak?”AKu menengok pada Syarifah dan merangkulnya. “Ya iya, dia ngejar ngejar kamu, dapatnya Nona Lisa yang anak kong
“Papa mau ke mana?”“Ke sawah, Gilang mau ikut?”“Jangan ke sawah ya, nanti siapa yang mau nyalamin para tamu?”“Tamu?”“Iya, kan nanti banyak tamu datang. Masa Gilang sendirian?”Namanya Gilang Bima Sakti. Anak lelaki yang dilahirkan Syarifah 5 tahun yang lalu. Anaknya cerdas, pintar dan tentu saja kelebihanku ternyata menurun padanya. Padahal saat kehamilan Syarifah, aku berdoa agar kelebihan ini hanya diberikan padaku saja, bukan anak turunanku. Sayangnya, doa itu sepertinya nyangkut di pohon toge sehingga anakku pun memiliki indra ke-6 yang juga bisa melihat sesuatu yang tak dilihat orang lain.“Kakung di sana, masa Papa nggak bantuin?”“Please,” ucap bocah bermata bulat itu.Aku menengok pada Syarifah yang sibuk memasukan bekal makanan ke wadah dan akan aku bawa ke sawah. Niatnya kami memang akan menyusul tapi anak kami tak mengizinkan. Kami belum berani bertindak kalau Gilang sudah melarang.“Biar Mama saja, ya? Papa nggak usah ikut.”“Nggak, Mam, di rumah aja. Sebentar lagi ju
Kematian Bapak membuat rumah yang kami huni ini terasa begitu sepi. Apalagi hanya aku dan Syarifah serta anakku Gilang yang menempati. Meski begitu, aku tak berniat untuk menjualnya. Teringat dengan kata kata dari Bapak di mana beliau ingin sekali aku mengelola sawah dan juga lahan sebagai pusat kehidupanku dan juga pelestarian pertanian di desa ini.Siang itu aku dan Hamzah datang ke pesantren. Seperti biasanya, aku akan mengajak beberapa santri mencari rumput untuk ternak ternak kami. Setelah beberapa tahun menikah, banyak sekali perkembangan di desaku. Dari masyarakatnya yang sudah tak bergantung pada pekerjaan di rantau dan juga masyarakatnya sudah tak malas lagi bertani. Itu karena aku mengajarkan mereka cara bertani yang baik dan benar sehingga hasil olahan bisa dijual dengan harga yang pantas.“Pak, aku mau ke sana sebentar,” ucap Gilang menunjuk pohon beringin besar yang tumbuh di depan pesantren.“Mau ngapain? Jangan ke tempat tempat aneh ah!” ucap Syarifah mencegah anak lana