Kematian Bapak membuat rumah yang kami huni ini terasa begitu sepi. Apalagi hanya aku dan Syarifah serta anakku Gilang yang menempati. Meski begitu, aku tak berniat untuk menjualnya. Teringat dengan kata kata dari Bapak di mana beliau ingin sekali aku mengelola sawah dan juga lahan sebagai pusat kehidupanku dan juga pelestarian pertanian di desa ini.Siang itu aku dan Hamzah datang ke pesantren. Seperti biasanya, aku akan mengajak beberapa santri mencari rumput untuk ternak ternak kami. Setelah beberapa tahun menikah, banyak sekali perkembangan di desaku. Dari masyarakatnya yang sudah tak bergantung pada pekerjaan di rantau dan juga masyarakatnya sudah tak malas lagi bertani. Itu karena aku mengajarkan mereka cara bertani yang baik dan benar sehingga hasil olahan bisa dijual dengan harga yang pantas.“Pak, aku mau ke sana sebentar,” ucap Gilang menunjuk pohon beringin besar yang tumbuh di depan pesantren.“Mau ngapain? Jangan ke tempat tempat aneh ah!” ucap Syarifah mencegah anak lana
“Pak, Gilang main sama Jihan ya?”“Pa, anak itu nangis, kasihan.”“Pah, pinjem uang buat beli jajan sama dia.”Semua hal yang Gilang ucapkan itu bukan ajakan bersama dengan teman manusianya, tapi sama mahluk yang suka sekali mengajak Gilang bermain. Kadang mereka main di sawah sama sama, kadang juga dia diam diam mengatakan kalau temannya itu mendadak hilang dan mengajaknya pergi.Aku tahu, semakin besar, kemampuan mistisnya yang bisa melihat makhluk lain itu semakin terasah. Bahkan, dulu dia sering sakit dan rewel saat diganggu oleh mereka. Lama kelamaan terbiasa setelah aku berusaha memberikan pengertian dan pemakluman kalau ini tak akan mengganggu hidupnya jika dia bisa abai dan tak ikuti permintaan mereka yang aneh aneh. Jika mengobrol itu akan menjadi hal biasa dan anakku sejak dini aku ajarkan mengaji dan hafalan. Hingga teman temannya paling hanua akan mendekat jika dia di luar rumah saja. “Dek, apa kita nggak bawa dia pada Abah suruh dibantu biar nggak kebablasan gini ya? Ka
"Sarapan dulu, Nak.""Udah siang, Mak. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab mamak dengan lantang dan menerima uluran Salim dariku."Buku sudah dibawa?" Tanya Bapak."Sudah.""Pensil?""Sudah.""Pulpen?""Sudah, Pak. Lagian, masih aja absen alat sekolah. Sekali kali kek, absen dosa Bapak," jawabku membuat Bapak menepuk pipiku pelan.Namaku Gilang. Umurku 17 tahun sekarang ini. Bapak dan Mamak bilang, aku ini anak istimewa. Sejak lahir aku sudah sangat istimewa karena keberadaanku di muka bumi ini akhirnya diakui semua makhluk bumi. Dari yang napak kakinya, sampai yang tak napak kakinya. Dari yang lubang hidungnya dua sampai yang tak ada hidungnya. Ya, aku istimewa karena memiliki indra ke-6 yang kadang membuatku bisa melihat sesuatu di luar penglihatan manusia biasa."Nyawa jangan lupa dibawa, Lang," ucap Mamak saat aku mengambil helm."Dih, Mak, kagak ada nyawa mana bisa senyum dengan mamak yang cantik ini.""Abang, Salim!"Aku tersenyum pada adikku yang imut ini, namanya Namir
Aku menepikan motor. Memilih turun dan melihat apa yang ada di depan sana. AKu benar benar kaget, ternyata memang Gilang yang tergeletak dengan darah yang tercecer di jalan.Dua temanku yang lain pun terlihat sedang ditanyai polisi, aku mendekat tapi Asma buru buru menarikku.“Ada apa sih?” tanyanya.“Bima kecelakaan.”“Innalilahi.”Tadinya aku hendak menghampiir, tapi ambulan lebih dulu membawa Bima ke dalam ambulan, pun dengan kedua temanku yang digiring ke kantor polisi. “Lo pulang dulu lah sama Marimar, gue mau ikut ke polsek.”“Tapi, Lang, kalau mamak kau cariin?”“Bilang aja lagi main.”Aku tak bisa menunggu. Rasa penasaran ini mengundangku untuk datang pada mereka dan menanyakan kenapa Bima bisa seperti itu. Pantas sejak tadi di sekolah, aku mencium bau anyir yang luar biasa. Ternyata, Bima memang akan mengalami ini. Aku pun sangat menyayangkan kenapa mereka tak mau mendengarku, Padahal sudah jelas selama ini apa yang aku ucapkan sering terjadi.Begitu sampai di kantor polisi
..“Sekar Widodari, panggil saja begitu.”Aku mengangguk dan seolah paham dan kenal siapa dia, gegas aku bangkit dan hendak masuk tetapi dia mencegahku.“Bolehkan aku mengajaknya ke alamku? Dia harus dihukum,” ucapnya. Ada hantu sopan kek gini, jadi gemas sendiri.“Mana bisa? Dia udah ditunggu keluarga buat sembuh, masa mau kamu ajak ke alam kamu yang udah penuh sama bangsa kamu sendiri? Kalau kamu mengganggu dia, apa bedanya dia dengan kamu? Jadi anak baik, ya?” Aku menepuk kepalanya, meski tak terasa aku harap dia mengerti.“Kalau begitu, kamu saja yang ikut aku.”“Ndak bisa, aku sekolah. Nanti kalau aku nggak pinter, aku dimarahi Mamak. Kalau mau ajak, ajaklah ayam tetangga yang kena flu burung itu.”Dia manyun, seolah tahu akan bercandaanku. Sudah persis seperti manusia, aku dan dia berbincang seolah nyambung saja.“Ngomong sapa siapa lo?” tanya Noval yang ternyata menyusulku.“Tadi lagi berargumen, kok mendadak jadi pengin pup di rumah sakit.”“Betah kali lo di sini,” kekeh Novel
Setelah Bima kecelakaan, geng kami jadi jarang melakukan konvoi seperti biasa. Mereka memilih melupakan kejadian mistis itu dan sibuk dengan planing masa depan masing masing. Nasihatku tentang apa yang terjadi pada Bima ternyata berguna juga. Aku menelpon Asma dan mengatakan akan datang ke sana untuk sama sama ke sekolah. Tentu mengambil surat guna mendaftar kuliah yang sudah kami lakukan secara online saat itu dan tinggal melengkapi dengan surat yang baru datang ke sekolah.“Lama banget sih?” sungutnya.“Maklum, bujang,” kekehku.“Apa hubungannya coba?”“Hubungan kita? Mungkin teman tapi halal civokan,” jawabku yang spontan membuat Asma menggeplak kepalaku. Dasar cewek. Kesal dikit, tabok sana tabok sini. DIkira kepala ini darbuka hadroh apa.Sepanjang perjalanan Asma mengoceh. Entah ngomong apa, suaranya dengan suara angin sama saja. Nggak jelas dan nggak penting. Sekilas hanya membahas tentang keanehan ibunya yang katanya jadi pendiam akhir akhir ini.“Emak elo salah cari tempat ke
Bab 6Sepulang dari sekolah, kita mampir ke rumah sakit. Bima sudah dinyatakan siuman dan sudah bisa diajak bicara setelah berhari hari jadi mumi. Ternyata ucapanku dengan Sekar–si hantu centil itu berhasil. Dia tak jadi membawa Bima dan kembali ke dunianya yang dibilang asri itu.“Semalam sebelum aku siuman, aku mimpi aneh sekali, Gil,” ucap Bima.“Nggak mimpi basah kan? Kalau mimpi basah mah enak, bukan aneh,” jawabku asal. Kedua orangtua Bima tersenyum dan menjauh dari kami/“Bicara sama nih manusia satu, nggak akan mungkin bisa bikin waras. yang ada tambah stres,” omel Asma padaku dan Bima hanya tersenyum saja.“Tapi serius, ini tuh kayak … kematian yang tertunda.”“Mungkin belum jodoh sama malaikatnya,” jawabku.“Serius, Gil. Gue kek di tempat yang rame gitu, gue cari cari keluarga gue. Gue nggak kenal tempatnya karena memang asing. Tapi yang gue liat, semua manusia dan gue kenal mereka. Pas gue panggilan nyokap bokap gue, nggak ada yang denger padahal itu mereka. Terus, pas kete
..“Apa sih?” tanya Asma saat aku berhenti di depan rumahnya tapi aku bengong saja. Dia menepuk pundakku dengan keras.“Ah, gue lupa.”Cup!Aku mengecup pipi Asma dan langsung menyalakan mesin motor dan pergi. Aku lihat dia yang sangat kesal sampai melempar batu kerikil ke arahku. Aku tersenyum dan terus melajukan motorku dengan kecepatan cukup pelan. Tentu karena jarak rumah yang sudah tak begitu jauh dan hanya tinggal beberapa meter lagi.Melewati jembatan bambu, aku menengok ke arah cermin. Seperti biasa, cewek setengah gila yang selalu iseng menumpang itu kini ada di belakangku. Aku pun sengaja langsung menarik gas motor dan sedikit jumping hingga si hantu sok cantik itu menghilang.Hantu pun takut digeber, kekehku dalam hati. Aku menengok ke atas, ada awan gelap yang berputar seperti angin yang mengikuti langkahku. Dengan membaca doa, aku pun melaju dengan santainya.“Gilang ….”Suara bisikan terdengar saat aku sudah di ujung jembatan. Saat aku tengok, tak ada siapapun di belakan