Aku menepikan motor. Memilih turun dan melihat apa yang ada di depan sana. AKu benar benar kaget, ternyata memang Gilang yang tergeletak dengan darah yang tercecer di jalan.Dua temanku yang lain pun terlihat sedang ditanyai polisi, aku mendekat tapi Asma buru buru menarikku.“Ada apa sih?” tanyanya.“Bima kecelakaan.”“Innalilahi.”Tadinya aku hendak menghampiir, tapi ambulan lebih dulu membawa Bima ke dalam ambulan, pun dengan kedua temanku yang digiring ke kantor polisi. “Lo pulang dulu lah sama Marimar, gue mau ikut ke polsek.”“Tapi, Lang, kalau mamak kau cariin?”“Bilang aja lagi main.”Aku tak bisa menunggu. Rasa penasaran ini mengundangku untuk datang pada mereka dan menanyakan kenapa Bima bisa seperti itu. Pantas sejak tadi di sekolah, aku mencium bau anyir yang luar biasa. Ternyata, Bima memang akan mengalami ini. Aku pun sangat menyayangkan kenapa mereka tak mau mendengarku, Padahal sudah jelas selama ini apa yang aku ucapkan sering terjadi.Begitu sampai di kantor polisi
..“Sekar Widodari, panggil saja begitu.”Aku mengangguk dan seolah paham dan kenal siapa dia, gegas aku bangkit dan hendak masuk tetapi dia mencegahku.“Bolehkan aku mengajaknya ke alamku? Dia harus dihukum,” ucapnya. Ada hantu sopan kek gini, jadi gemas sendiri.“Mana bisa? Dia udah ditunggu keluarga buat sembuh, masa mau kamu ajak ke alam kamu yang udah penuh sama bangsa kamu sendiri? Kalau kamu mengganggu dia, apa bedanya dia dengan kamu? Jadi anak baik, ya?” Aku menepuk kepalanya, meski tak terasa aku harap dia mengerti.“Kalau begitu, kamu saja yang ikut aku.”“Ndak bisa, aku sekolah. Nanti kalau aku nggak pinter, aku dimarahi Mamak. Kalau mau ajak, ajaklah ayam tetangga yang kena flu burung itu.”Dia manyun, seolah tahu akan bercandaanku. Sudah persis seperti manusia, aku dan dia berbincang seolah nyambung saja.“Ngomong sapa siapa lo?” tanya Noval yang ternyata menyusulku.“Tadi lagi berargumen, kok mendadak jadi pengin pup di rumah sakit.”“Betah kali lo di sini,” kekeh Novel
Setelah Bima kecelakaan, geng kami jadi jarang melakukan konvoi seperti biasa. Mereka memilih melupakan kejadian mistis itu dan sibuk dengan planing masa depan masing masing. Nasihatku tentang apa yang terjadi pada Bima ternyata berguna juga. Aku menelpon Asma dan mengatakan akan datang ke sana untuk sama sama ke sekolah. Tentu mengambil surat guna mendaftar kuliah yang sudah kami lakukan secara online saat itu dan tinggal melengkapi dengan surat yang baru datang ke sekolah.“Lama banget sih?” sungutnya.“Maklum, bujang,” kekehku.“Apa hubungannya coba?”“Hubungan kita? Mungkin teman tapi halal civokan,” jawabku yang spontan membuat Asma menggeplak kepalaku. Dasar cewek. Kesal dikit, tabok sana tabok sini. DIkira kepala ini darbuka hadroh apa.Sepanjang perjalanan Asma mengoceh. Entah ngomong apa, suaranya dengan suara angin sama saja. Nggak jelas dan nggak penting. Sekilas hanya membahas tentang keanehan ibunya yang katanya jadi pendiam akhir akhir ini.“Emak elo salah cari tempat ke
Bab 6Sepulang dari sekolah, kita mampir ke rumah sakit. Bima sudah dinyatakan siuman dan sudah bisa diajak bicara setelah berhari hari jadi mumi. Ternyata ucapanku dengan Sekar–si hantu centil itu berhasil. Dia tak jadi membawa Bima dan kembali ke dunianya yang dibilang asri itu.“Semalam sebelum aku siuman, aku mimpi aneh sekali, Gil,” ucap Bima.“Nggak mimpi basah kan? Kalau mimpi basah mah enak, bukan aneh,” jawabku asal. Kedua orangtua Bima tersenyum dan menjauh dari kami/“Bicara sama nih manusia satu, nggak akan mungkin bisa bikin waras. yang ada tambah stres,” omel Asma padaku dan Bima hanya tersenyum saja.“Tapi serius, ini tuh kayak … kematian yang tertunda.”“Mungkin belum jodoh sama malaikatnya,” jawabku.“Serius, Gil. Gue kek di tempat yang rame gitu, gue cari cari keluarga gue. Gue nggak kenal tempatnya karena memang asing. Tapi yang gue liat, semua manusia dan gue kenal mereka. Pas gue panggilan nyokap bokap gue, nggak ada yang denger padahal itu mereka. Terus, pas kete
..“Apa sih?” tanya Asma saat aku berhenti di depan rumahnya tapi aku bengong saja. Dia menepuk pundakku dengan keras.“Ah, gue lupa.”Cup!Aku mengecup pipi Asma dan langsung menyalakan mesin motor dan pergi. Aku lihat dia yang sangat kesal sampai melempar batu kerikil ke arahku. Aku tersenyum dan terus melajukan motorku dengan kecepatan cukup pelan. Tentu karena jarak rumah yang sudah tak begitu jauh dan hanya tinggal beberapa meter lagi.Melewati jembatan bambu, aku menengok ke arah cermin. Seperti biasa, cewek setengah gila yang selalu iseng menumpang itu kini ada di belakangku. Aku pun sengaja langsung menarik gas motor dan sedikit jumping hingga si hantu sok cantik itu menghilang.Hantu pun takut digeber, kekehku dalam hati. Aku menengok ke atas, ada awan gelap yang berputar seperti angin yang mengikuti langkahku. Dengan membaca doa, aku pun melaju dengan santainya.“Gilang ….”Suara bisikan terdengar saat aku sudah di ujung jembatan. Saat aku tengok, tak ada siapapun di belakan
Malam semakin larut. Bapak dan Mamak belum juga pulang dari rumah kedua orangtua Asma. Entah apa yang kedua orangtuaku lakukan, perasaanku jadi mendadak tak enak. Aku mengusap rambut Namira, bocah itu sudah terlelap sejak Isya tadi. Dia sempat meminta menyusul Bapak dan Mamak, tapi aku tak berani ke sana jika orang tuaku tak meminta.Suara tali pengusir burung di sawah yang menyeret kaleng bekas minuman terdengar bertabrakan. Angin pasti sangat kencang di luar sehingga tali tali itu menggoyangkan kaleng seng yang sengaja dipasang untuk mengusir burung burung pemakan padi itu.Aku yang masih memakai sarung, melirik pada jendela yang tiba tiba terbuka, menyingkap gorden yang lumayan tebal sebenarnya. Aku beranikan diri mendekat, melihat angin atau makhluk halus usil yang membukanya. Soalnya hal seperti ini sudah biasa. Jika bukan karena gangguan makhluk halus, pasti angin malam yang sedang merindukan bumi ini untuk berputar sama sama.Srek!Saat aku singkap, tak ada apapun di depan san
Bab 9“Kau kenapa, Gil?” Mamak menyintil hidungku, aku pun langsung tersadar dan menyingkir dari hadapan mamak.“Sudah tidur adik kau, Gil?” Bapak pun juga bertanya. Aku masih bengong dan melamun. Tadi itu, siapa?“Eh, ini bocah malah matung gitu. Tutup pintu!” perintah Mamak.“Ada apa?” Bapak merangkulku, lalu mengajakku duduk. Namun, aku segera berlari ke dapur dan tidak melihat siapapun di sana. Aku kembali ke depan, lalu duduk dengan lutut yang bergetar.“Mak, Mamak tadi pulang sendirian kan?” tanyaku.“Lah, ini mamak baru pulang. Mamak nunggu Bapak kau ini, lama sekali ruqyahnya,” jawab Mamak sambil menggelar makanan yang dibawa dari luar ke atas baki.“Jadi Mamak nggak pulang sendiri tadi?” tanyaku lagi.“Nggak. Memangnya tadi ada yang datang ke rumah menyerupai mamak?” tanya Mamak kini menatapku serius.Mendadak tenggorokan tercekat. Rasanya aku jadi merinding sendiri. Kalau bukan mamak, lantas yang tadi diberikan wanita mirip mamak itu …Napasku mendadak sesak. Ada perasaan ta
“Kodam? Kodam apaan?”“Gue nggak tahu, tapi prnah gue baca di lama situs itu … khodam semacam jin pendamping tubuh kita. ADa yang berupa binatang dan lain lain, gak paham. Percaya nggak percaya sih,” ucap Asma.“Iya, Bapak nggak pernah bahas bahas kayak gitu.”“Gil!” Bapak memanggilku dan aku pun langsung mendekat. Aku tersenyum dengan Paman Hamzah dan Bapak mengajakku masuk langsung ke pesantren.“Ada Kyai Husni di dalam ruangan, kalian masuk saja. Saya mau langsung pergi,” ucap Paman Hamzah.“Hati hati, kami akan menjenguknya nanti," ucap Bapak.Paman Hamzah mengangguk, lalu pergi menaiki mobilnya. Aku pun diajak masuk ke tempat ruqyah, lalu melirik pada Bapak yang begitu erat menggenggam jemariku.“ADa apa sih, Pak? ANaknya gak bakalan ilang juga,” ucapku.“Kamu itu anak bapak yang istimewa, kalau nggak dijagain baik baik nanti ilang,” ucap Bapak.“Ilang? Kayak bayi aja,” kekehku.Kami sampai di ruangan bertuliskan lafadz Allah. Mendadak ada yang menggelitik bagian bawah telinga