“Kodam? Kodam apaan?”“Gue nggak tahu, tapi prnah gue baca di lama situs itu … khodam semacam jin pendamping tubuh kita. ADa yang berupa binatang dan lain lain, gak paham. Percaya nggak percaya sih,” ucap Asma.“Iya, Bapak nggak pernah bahas bahas kayak gitu.”“Gil!” Bapak memanggilku dan aku pun langsung mendekat. Aku tersenyum dengan Paman Hamzah dan Bapak mengajakku masuk langsung ke pesantren.“Ada Kyai Husni di dalam ruangan, kalian masuk saja. Saya mau langsung pergi,” ucap Paman Hamzah.“Hati hati, kami akan menjenguknya nanti," ucap Bapak.Paman Hamzah mengangguk, lalu pergi menaiki mobilnya. Aku pun diajak masuk ke tempat ruqyah, lalu melirik pada Bapak yang begitu erat menggenggam jemariku.“ADa apa sih, Pak? ANaknya gak bakalan ilang juga,” ucapku.“Kamu itu anak bapak yang istimewa, kalau nggak dijagain baik baik nanti ilang,” ucap Bapak.“Ilang? Kayak bayi aja,” kekehku.Kami sampai di ruangan bertuliskan lafadz Allah. Mendadak ada yang menggelitik bagian bawah telinga
Aku mencoba meraba gelapnya ruangan ini. Tapi aku tak menemukan apapun. Yang aku rasakan hanya semilir angin seperti ada di luar ruangan.“Gilang …”Panggilan itu?Aku mencoba mencerna kembali ucapan Bapak. Jika ada yang memanggilku, jangan dijawab dan jangan pula menengok. Aku pun melakukannya dan sembari terus membaca doa.“Gilang anakku…”Sebuah cahaya menyilaukan terlihat dan terasa ngilu di mata. Aku yang tadinya memejamkan mata saja sampai membukanya karena cahaya itu menembus sampai ke dalam mataku.“Cah bagus,” ucap seseorang yang tak jelas wajahnya di depanku. Semuanya bercahaya dan sangat menyilaukan hingga aku pun menutup mataku dengan kelima jariku.“Cah bagus, anakku … kemarilah.”Suara itu terus saja mengganggu gendang telingaku sedangkan suara wanita yang mendayu menginginkan aku mendekat pun tak aku hiraukan. Aku fokus membaca doa, hingga tanganku terasa terhempas dan langsung aku kaget.Aku membuka mata ini dan melihat Bapak dan Kyai Husni ada di depanku.“Pak.”Aku me
Aku pulang dengan Bapak ke rumah. Namun, Bapak kembali pergi karena akan menjenguk istrinya Paman Hamzah. “Kok Mamak nggak ikut?” tanyaku sambil mencomot pisang rebus yang masih panas di hadapanku. “Khawatir a-ku ngilang lagi?”Aku kepanasan saat mencicipi pisang rebus itu. Mamak pun mengambil dengan cepat, lalu mengambilkan garpu untukku.“Lain kali jangan pakai tangan ambilnya, Lang. Pake garpu gini,” ucap Mamak pelan.Eh? Mamak kok jadi baek gini. “Iya, Mak,” jawabku sambil merenges. “Mamak kok tumben suaranya kayak rambu rambu tikungan tajam?”Mamak mengernyitkan keningnya bingung.“Pelan pelan maksudnya, Mak,” kekehku.Mamak malah terkekeh lalu menggelengkan kepala melihat keunikanku. Hari ini aku pun semakin heran lagi, Mamak tak marah dan menyuruhku ini itu. Padahal biasanya ada aja yang dimintai tolong. Bapak pulang saat adzan isya. Wajah bapak sudah tak semenyeramkan tadi. Bapak juga bawa oleh oleh banyak, membuat Namira yang sedang ngaji denganku dan mamak berlari dan m
Rasanya benar benar air di bak dingin sampai tulang ini rasanya ikut menggigil. Setelah mandi aku langsung mencari mamak buat pamitan. Namun, Mamak tak terlihat di manapun. Ke mana mereka ya?“Mak …. “Aku berteriak memanggil Emak, tapi aku melihat Mamak ada di ujung jalan. Tapi kok sendirian? Aku pun berjalan mendekati mamak.“Gilang cari cari kok, tahunya Mamak lagi di sini. Lagi mancing, Mak?” tanyaku sambil menepuk pundak Mamak.“Gil!”Panggilan dari belakang membuatku menengok. Aku melihat Mamak yang berteriak memanggilku. Aku pun kembali menengok ke depan. Eh, mamak yang tadi nggak ada. Eh, kok bisa? Lalu tadi siapa kalau bukan emak?“Kamu itu mau ke mana? Mau pergi tanpa pamit?” Mamak menjewerku, lalu menatapku kesal.“Mamak?” Aku membolak balikkan tubh mamak, lalu percaya yang secerewet ini pasti mamakku yang asli. Rupanya, aku ditipu jin yang mirip mamak lagi.“Eh, ditanya orang tua malah muter muterin badan mamak. Mau pergi tanpa pamit?” tanya Mamak.“Nggak, Mak. Tadi mendad
“Minum dulu, Lang,” ucap Noval yang menyadarkan aku bahwa ini bukan mimpi. Setelah minum aku pun diajak noval ke kampus, melanjutkan semua yang sudah direncanakan di awal. Pendaftaran lanjutan Noval sudah selesai. Kami akan sama sama ke kampus ini sebagai mahasiswa satu minggu lagi. Aku dan Noval tersenyum saat keluar ruangan pada beberapa cewek yang juga lalu lalang masuk ruang pendaftaran.“Cuit cuit,” ucap Noval.“Belum juga jadi mahasiswa sini, udah dijual murah aja itu siulan,” decakku pada Noval.“Ceweknya cantik cantik, bray,” ucap Noval.“Kalau cewek ganteng, mata lo rabbun, Val,” jawabku.Dia malah tersenyum saja dan mengajakku mampir ke rumah Bima. Sebenarnya penasaran dengan Marimar, aku ingin mengajak Noval ke sana juga. Tapi, aku pun menunggu selesai ke rumah Bima.Saat ke rumah Bima, kami disambut beberapa ART yang memang bekerja di sana. Bima cukup kaya, jadi dia sakit pun tak dituntut buat kerja atau mikir harga sembako juga biaya kosan. Aku duduk dan menatap rumah ya
..Aku pun menuju ke rumah Paman Hamzah. Tapi, rumah Paman begitu sepi. Aku baru ingat jika Bibi Nurul sedang ada di rumah sakit dan aku juga belum sempat ke sana. Jadinya, aku pun tak tahu mereka gimana kabarnya. Kuputuskan pulang saja, lalu menemui Asma nanti jika dia sudah memberi tahu di mana sekarang.Bapak terlihat sedang duduk di depan rumah dengan Mamak. Keduanya masih seperti orang pacaran saja, padahal umur sudah tak lagi muda. Namira juga terlihat sibuk mencoret coret kertas, pasti mendalami hasil dari belajarnya bersama mamak.“Assalamualaikum,” salamku lesu.“Waalaikumsalam. Anak Mamak sudah pulang, sini,” ucap mamak menepuk bangku kosong di sebelahnya.“Mak, Bibi Nurul sama Paman Hamzah belum pulang ya? Tadi ke sana sepi,” tanyaku.“Belum, kan mereka dirujuk ke Bogor kota ujung saja.” Bapak menyahutiku.“Loh, kok jauh?” tanyaku kaget.“Ya karena sakitnya parah. Asma juga terancam gagal kuliah, ini Bapak sama Mamak mau niatan menikahkan kamu dengan Asma, biar mereka nggak
Kenapa dia ada di sini?Aku pun berjalan keluar, lalu hendak menemui Marimar yang tiba tiba datang ke rumahku dalam keadaan kacau. Mata merah, rambut berantakan dan badannya basah. Dia memakai baju sekolah, bahkan aku heran melihatnya dalam kondisi seperti itu. Apakah itu hantu Marimar atau bagaimana?Aku membuka pintu kamar dan berjalan ke depan. Aku hendak membuka pintu. Suara petir menggelegar dan spontan kembali dikejutkan dengan matinya lampu. Namun, saat aku membuka pintu Marimar yang tadi ada di sisi jendela kini ada di depanku.“Mar, kamu kok ada di sini malam malam? Ada apa dengan kamu? Ini kamu atau hantumu?” tanyaku dengan nada yang lumayan dibuat berani, padahal hati mah udah komat kamit baca ayat ayat suci. Aku berusaha tak takut, dia temanku sendiri. Mungkin dia menemuiku malam malam untuk mengatakan sesuatu.Tangannya mengkode agar aku mengikutinya. Tapi ini sudah malam, aku tak mungkin mengikuti hantu yang jelas jelas sudah beda alam denganku.“Tolong aku, Gilang ….”
Aku menjadi imam di surau ini. Surau dan masjid memang berbeda. Bedanya, surau itu kecil dan masjid itu besar. Surau biasanya ada di lingkup kecil, sedangkan Masjid biasanya digunakan untuk sholat jum’at dan lain lain. Letak srau tak jauh, hanya berjalan beberapa meter saja sudah sampai. “Besok Gilang mau ke surau lagi lah, senang rasanya kalau ke surau pagi pagi. Udaranya masih seger, juga gak harus rebutan mik sama pak haji,” kekehku. “Bukan karena kamu jadi imamnya tadi?” tanya Bapak.“Itu termasuk,” jawabku.Pak Haji tadi terlambat datang, katanya mules dan harus buang hajat dahulu. Daripada kelamaan nunggu, Bapak haji memintaku maju. Padahal, pinter dan sholeh Bapak daripada aku bapak malah mengusulkan aku maju. Begitulah Bapak, suka sekali membuat anaknya ini percaya diri. Sesampainya di rumah, aku melihat ponsel yang tadi hendak aku tengok. Saat aku nyalakan, ternyata tak bisa. Aku pun lupa belum di charge dan aku mencolokan dalam stopkontak dan meninggalkan ponsel itu sampa