..“Paman, Bibi bangun.”Aku memanggil Paman dan menunjuk Bibi yang tampak sedih saat menatap padaku. Aku bahagia sekali, tapi Paman Hamzah malah menunjukan raut sebaliknya. Pun Asma yang langsung mendekat padaku. Mereka malah terlihat sangat sedih. “Jangan bercanda, Gilang! Ini gak lucu,” ucap Asma menyingkirkan tubuhku dan mendekat pada Bibi.“Umi,” panggil Asma. “Gilang, kamu melihat sesuatu pada Bibi Nurul?” tanya Paman Hamzah.“Bibi tadi bangun kok, Paman,” ucapku.Aku memang melihat Bibi sedih tadi. Bahkan, dia seperti ingin mengusap Asma. Aku pun mengucek mataku, lalu kembali melihat. “Loh, kok nggak bangun?”“Kamu ini, bikin Paman dan Asma jantungan saja. Kalian berdua di sini, Paman akan ke ruangan Dokter dulu. Semoga tanda tanda kamu tadi bukan tanda buruk untuk Uminya Asma. Kamu itu kayak bapakmu, ucapannya bikin deg degan.”Paman Hamzah pergi, tinggalah aku dan Asma. Aku melihat Bibi yang memang masih terpejam, padahal tadi udah bangun. Tapi, apa iya bibi nggak bangun
“Titip Asma, Gilang.”Bibi mengucapkan hal itu lalu aku merasa beliau bangun dan keluar dari ruangan. Aku pun mengikutinya dan kaget saat teriakan Asma terdengar menggema.“Umi …”Aku menengok pada Asma dan melihat Bibi Nurul masih ada di sana dengan kondisi masih terbaring. Jika Bibi masih di sana, lalu tadi siapa? Mungkinkah ...Aku cukup shock saat kembali mendekat dan Bibi Nurul dinyatakan sudah tiada. Penyakit yang terlambat ditangani itu membuat Bibi Nurul meninggal dunia, tepatnya hari jum’at ini jam 11 siang. Aku pun membantu menguatkan Asma dan berharap dia bisa sabar dengan semuanya.Jenazah akan dikebumikan selepas kepengurusan di rumah sakit ini selesai. Aku mengabarkan kedua orangtuaku kabar duka ini dan mereka bilang akan mengurus persiapan pemakaman di sana. Setelah izin membawa jenazah disetujui rumah sakit, jam 4 sore akhirnya kami semua pulang ke desa. Kami pulang menggunakan ambulans. Aku mendampingi Asma, menguatkan Asma dan ingin dia juga tidak meratap. Bagaiman
..Masih dalam suasana duka, para tamu pun masih banyak yang datang dan menginap di pesantren. Mamak dan Bapak membantu menyambut mereka karena keluarga Bibi memang besar, apalagi dari Abah yang katanya dari Jawa Timur. Asma juga kedatangan banyak sanak saudara sehingga belum bisa aku mengajaknya bicara masalah hal lain. Sepertinya masalah Marimar akan aku tanyakan lain waktu.“Gilang sama Namira pulang dulu gak apa apa, Mak? Gilang udah dua hari gak pulang ini. Mau mandi dan salin di rumah,” ucapku.“Mandi gak mandi sama saja kamu, Lang,” kekeh Pak Yai.“Ya kan pengin pulang, besok ke sini lagi selepas kuliah.”“Nggak nungguin Mamak?” “Mamak gak pulang lagi kan?” tanyaku setelah dua hari kami menginap di rumah Asma.“Tamu dari Bojonegoro baru pulang, ini yang dari Ampel baru sampai. Palingga nggak, besok malam baru pulang.”“Ya sudah, Gilang sama Namira saja yang pulang. Mamak nanti selepas tahlilan aja, ya?”“Nggak nunggu tahlilan selesai, Lang?” tanya Paman Hamzah.“Gilang harus
..“Loh, Mamak udah balik? Tadi katanya malam?” tanyaku.“Mamak mau ajak kamu, Gilang,” ucap Mamak berdiri di depan pintu sambil tersenyum padaku.“Ngapain, Mak? Kan Mamak ada pekerjaan di rumah Paman Hamzah. Mamak ke sana aja, aku sama Namira di sini.”“Bang!” Panggilan Namira membuatku menengok, lalu melihat dia yang berlari langsung ke arahku.“Apa sih?”“Mamak balik?” Namira terlihat bingung, aku pun menengok kembali ke pintu dan ada Mamak berdiri di sana.“Mana, Bang?” tanyanya.“Apanya?” tanyaku.“Mamak. Tadi Abang bilang, Mamak balik.”“Lah ini?”Namira nampak mencarinya. “Kenapa?” tanyaku bingung yang dia balik malah memelukku.“Abang pasti liat hantu,” ucap Namira ada ada saja.Adikku memang tahu kalau aku suka aneh. Dia bahkan langsung menutup pintu dan tidak boleh aku melihat ke arah sana.“Di sana ada hantu pasti, Mamak malah nanti kalau Abang ngeyel. Nggak boleh, Bang. Nanti dilukyah lagi, Namila sendilian lagi di lumah.”Aku tersenyum. Mungkin benar, tadi itu hantu mam
"Mana bisa? Gue udah sama Asma. Jalan aja, udah tinggal berapa langkah juga.”“Malas, panas,” keluhnya.“Ya udah, kamu sama Noval aja, Lang. Aku jalan kaki,” ucap Asma yang turun dari jok motor dan tersenyum padaku.“Eh … jangan! Udah naik, Noval biar olah raga jalan kaki. Laki laki kok kepanasan takut,” ucapku yang menarik Asma dan mengajaknya naik lagi. “Semangat, Bro. Di depan sana ada bakul es, kalau haus beli aja. Atau mimi susu perawan. Enak,” kekehku.Asma mencubitku dan Noval tersenyum lalu menendang ban motorku yang sudah melaju. Aku pun langsung terkekeh dan membelokkan mobilku ke kampus.Bab 23“Astaga!” pekikku saat turun dan melepas helm, melihat bayangan hitam di balik pohon beringin di halaman parkir. Sosok itu terlihat marah, lalu matanya penuh dengan darah dan tak bisa aku kenali. Aku mencoba mendekat, melihat dengan jelas dari dekat.“Lang!” Asma mengagetkan aku dan menyusulku ke pohon beringin itu. “Ngapain sih?”“Tadi ada cewek, di sini.”Asma celingukan, lalu m
..bab 24“Nggak apa apa, nggak usah cari ribut.”Asma ini aneh, aku tolongin malah dia kayak marah. Padahal jelas jelas tadi dia mau dilecehkan. Kami kembali ke lapangan, saat ketua BEM kembali lirikannya begitu tajam kepada kami. Aku pun akan membuat pengaduan atas dirinya. Enak aja, ini nggak bisa dibiarkan.Selesai tugas hari ini, aku niatnya mau menemui pengurus kampus. Kenapa orang seperti Arga ini dibiarkan memimpin membimbing para mahasiswa baru. Kelakuan aja begitu, wajar kalau kampusnya sepi dan nggak banyak para calon siswa baru.“Ikut gue,” ajakku pada Asma dan Bima.“Ada apa?”“Ketemu ketua dan pimpinan kampus di sini. Gue mau melapor si Arga itu.”“Udah lah, Lang. Jangan diperpanjang, kita pulang aja yuk!” ajak Asma.“Asma, kita nggak bisa diam aja kalau ada pemimpin yang kelakuannya kek gitu. Bukan bener kita sekolah, tapi makin hancur dunia perkuliahan. Sekolah bukan makin rame, makin sepi yang ada. Yuk!”“Duh, gue ketinggalan cerita nih. Ada apa?” tanya Bima.“Lang,
Bab 25“Dia juga minta tolong gue lewat mimpi, Lang. Kayaknya memang dia nggak beres meninggalnya. Gue sempat jengukin dia ke rumah sakit saat itu, dia cuma nangis dan bilang minta maaf doang. Gue pikir, pas kabar meninggal itu kek firasat nih. Nggak tahu, gimana bisa meninggal kita pun nggak tahu.”“Gimana kalau kita ke sana?” tanyaku.“Ke mana?”“Ke rumah Marimar.”“Jangan sekarang, udah sore dan gue juga kudu bantuin saudara yang ada di rumah buat tahlilan. Lain waktu saja. Lagian, ini juga bukan kabar baru. Dia kan meninggal udah hampir sebulan berutanya.”“Oya? Noval yang kasih tahunya kemarin.”“DIa nggak uptodate mungkin. Tapi, kok dia bisa tahu ya?”“Nah, ini yang bikin penasaran. Gue pengin tahu aja cerita aslinya. Kalau Noval tahu, pasti ini ada hal yang kita semua nggak boleh tahu.”Asma pun mengedikkan bahu dan berdiri. Dia membayar makanan kami dan menyeretku keluar dari tempat makan.“Jangan coba coba ngurusin kasus kayak gitu, Lang, Ingat, lo pernah berteman sama hal ya
..Bab 26Ingat tentang dunia lain, pernah suatu masa di saat masih ingusan bahkan kencing masih belok, bapak bilang aku punya teman dari alam lain. Namanya Jihan. Cuma berhasil dipisahkan sejak aku sunat dan aku pun tak tahu alasan alasan itu. Entah beneran sudah dipisahkan atau memang terpisah dengan suatu sarat tertentu. Sekarang, mungkikah dunia lain itu masih menjadikan alasan Mamak dan Bapak setakut itu aku mengenal mereka lebih jauh?Hari kedua ke kampus, aku mendapati Kak Arga yang songol itu mengerjai mahasiswa lain. Aku yang sudah dinasehati Asma untuk tak berurusan dengannya malah jadi penasaran. Siapa tahu lelaki itu siluman serigala jadi jadian yang hobi mengurung wanita di tempat lain dan dilecehkan dahulu sebelum jadi tumbal.Terasa sekali aura kembang kuburan padahal lorong itu begitu sepi. Aku pamit pada Asma untuk ke toilet, tapi aku tak mau melihat ke mana si ketua BEM gila itu membawa mahasiswa baru lagi. “Coba ambil saja kalau bisa,” ucap Kak Arga yang melakukan