“Titip Asma, Gilang.”Bibi mengucapkan hal itu lalu aku merasa beliau bangun dan keluar dari ruangan. Aku pun mengikutinya dan kaget saat teriakan Asma terdengar menggema.“Umi …”Aku menengok pada Asma dan melihat Bibi Nurul masih ada di sana dengan kondisi masih terbaring. Jika Bibi masih di sana, lalu tadi siapa? Mungkinkah ...Aku cukup shock saat kembali mendekat dan Bibi Nurul dinyatakan sudah tiada. Penyakit yang terlambat ditangani itu membuat Bibi Nurul meninggal dunia, tepatnya hari jum’at ini jam 11 siang. Aku pun membantu menguatkan Asma dan berharap dia bisa sabar dengan semuanya.Jenazah akan dikebumikan selepas kepengurusan di rumah sakit ini selesai. Aku mengabarkan kedua orangtuaku kabar duka ini dan mereka bilang akan mengurus persiapan pemakaman di sana. Setelah izin membawa jenazah disetujui rumah sakit, jam 4 sore akhirnya kami semua pulang ke desa. Kami pulang menggunakan ambulans. Aku mendampingi Asma, menguatkan Asma dan ingin dia juga tidak meratap. Bagaiman
..Masih dalam suasana duka, para tamu pun masih banyak yang datang dan menginap di pesantren. Mamak dan Bapak membantu menyambut mereka karena keluarga Bibi memang besar, apalagi dari Abah yang katanya dari Jawa Timur. Asma juga kedatangan banyak sanak saudara sehingga belum bisa aku mengajaknya bicara masalah hal lain. Sepertinya masalah Marimar akan aku tanyakan lain waktu.“Gilang sama Namira pulang dulu gak apa apa, Mak? Gilang udah dua hari gak pulang ini. Mau mandi dan salin di rumah,” ucapku.“Mandi gak mandi sama saja kamu, Lang,” kekeh Pak Yai.“Ya kan pengin pulang, besok ke sini lagi selepas kuliah.”“Nggak nungguin Mamak?” “Mamak gak pulang lagi kan?” tanyaku setelah dua hari kami menginap di rumah Asma.“Tamu dari Bojonegoro baru pulang, ini yang dari Ampel baru sampai. Palingga nggak, besok malam baru pulang.”“Ya sudah, Gilang sama Namira saja yang pulang. Mamak nanti selepas tahlilan aja, ya?”“Nggak nunggu tahlilan selesai, Lang?” tanya Paman Hamzah.“Gilang harus
..“Loh, Mamak udah balik? Tadi katanya malam?” tanyaku.“Mamak mau ajak kamu, Gilang,” ucap Mamak berdiri di depan pintu sambil tersenyum padaku.“Ngapain, Mak? Kan Mamak ada pekerjaan di rumah Paman Hamzah. Mamak ke sana aja, aku sama Namira di sini.”“Bang!” Panggilan Namira membuatku menengok, lalu melihat dia yang berlari langsung ke arahku.“Apa sih?”“Mamak balik?” Namira terlihat bingung, aku pun menengok kembali ke pintu dan ada Mamak berdiri di sana.“Mana, Bang?” tanyanya.“Apanya?” tanyaku.“Mamak. Tadi Abang bilang, Mamak balik.”“Lah ini?”Namira nampak mencarinya. “Kenapa?” tanyaku bingung yang dia balik malah memelukku.“Abang pasti liat hantu,” ucap Namira ada ada saja.Adikku memang tahu kalau aku suka aneh. Dia bahkan langsung menutup pintu dan tidak boleh aku melihat ke arah sana.“Di sana ada hantu pasti, Mamak malah nanti kalau Abang ngeyel. Nggak boleh, Bang. Nanti dilukyah lagi, Namila sendilian lagi di lumah.”Aku tersenyum. Mungkin benar, tadi itu hantu mam
"Mana bisa? Gue udah sama Asma. Jalan aja, udah tinggal berapa langkah juga.”“Malas, panas,” keluhnya.“Ya udah, kamu sama Noval aja, Lang. Aku jalan kaki,” ucap Asma yang turun dari jok motor dan tersenyum padaku.“Eh … jangan! Udah naik, Noval biar olah raga jalan kaki. Laki laki kok kepanasan takut,” ucapku yang menarik Asma dan mengajaknya naik lagi. “Semangat, Bro. Di depan sana ada bakul es, kalau haus beli aja. Atau mimi susu perawan. Enak,” kekehku.Asma mencubitku dan Noval tersenyum lalu menendang ban motorku yang sudah melaju. Aku pun langsung terkekeh dan membelokkan mobilku ke kampus.Bab 23“Astaga!” pekikku saat turun dan melepas helm, melihat bayangan hitam di balik pohon beringin di halaman parkir. Sosok itu terlihat marah, lalu matanya penuh dengan darah dan tak bisa aku kenali. Aku mencoba mendekat, melihat dengan jelas dari dekat.“Lang!” Asma mengagetkan aku dan menyusulku ke pohon beringin itu. “Ngapain sih?”“Tadi ada cewek, di sini.”Asma celingukan, lalu m
..bab 24“Nggak apa apa, nggak usah cari ribut.”Asma ini aneh, aku tolongin malah dia kayak marah. Padahal jelas jelas tadi dia mau dilecehkan. Kami kembali ke lapangan, saat ketua BEM kembali lirikannya begitu tajam kepada kami. Aku pun akan membuat pengaduan atas dirinya. Enak aja, ini nggak bisa dibiarkan.Selesai tugas hari ini, aku niatnya mau menemui pengurus kampus. Kenapa orang seperti Arga ini dibiarkan memimpin membimbing para mahasiswa baru. Kelakuan aja begitu, wajar kalau kampusnya sepi dan nggak banyak para calon siswa baru.“Ikut gue,” ajakku pada Asma dan Bima.“Ada apa?”“Ketemu ketua dan pimpinan kampus di sini. Gue mau melapor si Arga itu.”“Udah lah, Lang. Jangan diperpanjang, kita pulang aja yuk!” ajak Asma.“Asma, kita nggak bisa diam aja kalau ada pemimpin yang kelakuannya kek gitu. Bukan bener kita sekolah, tapi makin hancur dunia perkuliahan. Sekolah bukan makin rame, makin sepi yang ada. Yuk!”“Duh, gue ketinggalan cerita nih. Ada apa?” tanya Bima.“Lang,
Bab 25“Dia juga minta tolong gue lewat mimpi, Lang. Kayaknya memang dia nggak beres meninggalnya. Gue sempat jengukin dia ke rumah sakit saat itu, dia cuma nangis dan bilang minta maaf doang. Gue pikir, pas kabar meninggal itu kek firasat nih. Nggak tahu, gimana bisa meninggal kita pun nggak tahu.”“Gimana kalau kita ke sana?” tanyaku.“Ke mana?”“Ke rumah Marimar.”“Jangan sekarang, udah sore dan gue juga kudu bantuin saudara yang ada di rumah buat tahlilan. Lain waktu saja. Lagian, ini juga bukan kabar baru. Dia kan meninggal udah hampir sebulan berutanya.”“Oya? Noval yang kasih tahunya kemarin.”“DIa nggak uptodate mungkin. Tapi, kok dia bisa tahu ya?”“Nah, ini yang bikin penasaran. Gue pengin tahu aja cerita aslinya. Kalau Noval tahu, pasti ini ada hal yang kita semua nggak boleh tahu.”Asma pun mengedikkan bahu dan berdiri. Dia membayar makanan kami dan menyeretku keluar dari tempat makan.“Jangan coba coba ngurusin kasus kayak gitu, Lang, Ingat, lo pernah berteman sama hal ya
..Bab 26Ingat tentang dunia lain, pernah suatu masa di saat masih ingusan bahkan kencing masih belok, bapak bilang aku punya teman dari alam lain. Namanya Jihan. Cuma berhasil dipisahkan sejak aku sunat dan aku pun tak tahu alasan alasan itu. Entah beneran sudah dipisahkan atau memang terpisah dengan suatu sarat tertentu. Sekarang, mungkikah dunia lain itu masih menjadikan alasan Mamak dan Bapak setakut itu aku mengenal mereka lebih jauh?Hari kedua ke kampus, aku mendapati Kak Arga yang songol itu mengerjai mahasiswa lain. Aku yang sudah dinasehati Asma untuk tak berurusan dengannya malah jadi penasaran. Siapa tahu lelaki itu siluman serigala jadi jadian yang hobi mengurung wanita di tempat lain dan dilecehkan dahulu sebelum jadi tumbal.Terasa sekali aura kembang kuburan padahal lorong itu begitu sepi. Aku pamit pada Asma untuk ke toilet, tapi aku tak mau melihat ke mana si ketua BEM gila itu membawa mahasiswa baru lagi. “Coba ambil saja kalau bisa,” ucap Kak Arga yang melakukan
..Bab 27Asma mengedikkan bahu, lalu menengok ke belakang di mana teman barunya yang lain memanggil. Asma memang memiliki pribadi yang baik dan sangat lemah lembut sampai dengan mudah mendapatkan teman baru di kampus ini dalam hitungan jam. Sedangkan aku? Dua teman masa lalu aja jarang banget datang. Apalagi teman baru. Mungkin jika aku mengakrabkan diri dengan mahasiswa lain, mudah saja. Hanya saja, memulai sesuatu dari nol hanya mudah dilakukan oleh petugas pom bensin saja. Lelaki yang punya sifat insecure akan susah cari teman baru di lingkungan baru tentunya.Asma sedang mengobrol dengan temannya itu sedangkan aku duduk sambil bermain ponsel. Aku mengirim pesan pada Bima dan Noval untuk menanyakan ke mana mereka pergi karena tak ada di kampus. Bisa bisanya mereka bisa sebebas itu tanpa berangkat ke kampus padahal sudah mendaftar jadi mahasiswa di universitas yang sama denganku.“Gue chek up ke rumah sakit, jadi belum bisa berangkat,” balas Bima.Masuk akal. Dia kan memang masih
Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat
“Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p
..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga
“Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga
Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad
Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban
Aku membuka mata perlahan, melihat kembali cahaya yang tadinya membawa kami menuju jalan pulang. Aku melihat lampu putih di atas kepalaku, lalu mengerjapkan mata karena terlalu silau setelah tadi merasakan gelap yang sangat menyeramkan.Suara suara orang yang sangat aku kenal akhirnya sangat jelas terdengar. Aku mulai jelas melihat ke wajah mereka, lalu melihat mamak dengan wajah sembabnya.“Anak Mamak sudah bangun, alhamdulillah ya Allah.”Aku mencoba mengingat kembali terakhir aku berada di mana, tempat yang aneh dan berbeda dengan saat aku kini ada di mana. Aku menengok dan ternyata ada Bapak di sisiku.“Pak.”Aku melihat Bapak terpejam juga. Banyak selang infus daripada aku yang hanya di bagian tangan saja. Tapi kepala dan kaki Sepertinya tidak terluka.“Mak, Bapak kenapa?” tanyaku.“Sedang istirahat, Nak. Kamu bikin mamak panik, ditambah bapak mu juga,” ucap Mamak yang langsung memelukku. Aku melihat Asma dan Paman Hamzah juga Ustad Kyai di ruangan ini. Ada alquran di tangan mer
“Asma?”Aku menyentuh pundaknya. Dia sejak tadi hanya menangis dan diam saja. Tapi lelehan air mata itu membuatku cukup khawatir dan takut dengan apa yang akan terjadi dengan Bapakku.“Gilang, Bapakmu mencarimu. Beliau bilang akan mengusahakan. Hanya saja … kemarin Ustad Yai bilang, Bapak kamu mau ke sebuah hutan di belakang desa kita tanpa ditemani. Jadi, Mamak kamu khawatir dan mungkin juga beliau juga sudah kembali. Kita berdoa saja. Soalnya hutan di kawasan desa kita itu terkenal angker, Bapak kamu kan pernah hilang di sana.”Aku mengingatnya. Bapak pernah beberapa kali hilang di tempat tempat angker. Pernah di hutan bambu, pernah di kawasan hutan dan pernah juga hilang saat sedang tidur. Semua diceritakan agar aku waspada dan tentu tak sembarangan masuk kawasan kawasan itu.“Semoga Bapak bisa kembali.”Aku pun menunggu sembari berdoa. Asma juga menemaniku dan menghubungi Paman Hamzah. Beliau datang sendirian dan aku pun penasaran kenapa Paman tak datang dengan mamak dan bapakku.
..“Kita akan pulang nanti.”Bapak memastikan pastinya aku baik baik saja. Hal yang perlu dibahas dan diingat bahwa semua ini tak mungkin akan mudah. Namun, aku juga tak ingin menyia nyiakan kesempatan ini untuk bersama Bapak mencari jalan pulang. Bapak pergi bersama dengan sang raja dan beberapa pengawal, lalu tak lama kemudian kembali padaku. “Kalian makanlah,” ajak raja yang seperti Bapak panggil tadi. Raja. Aku yang dibaringkan di kamar khusus, hanya kamar ini terbuka sehingga aku bisa melihat Bapak duduk di meja khusus ditemani Mak Nyai.“Kalau tak begini, kamu tak mau datang ke sini lagi.” Mak Nyai terlihat menangis.“Untuk apa? Jangan membuat masalah dengan keluarga kami, bahkan setelah ini aku ingin kita hanya berdampingan beda dunia. Tak juga mencampuri urusan di alam masing masing.”“Mana bisa begitu? Gilang adalah anakmu, di mana kamu pernah mengatakan akan bisa menjaganya demi aku. Lupa?”“Menjaganya bukan berarti memilikinya. Ini tidak akan pernah terjadi lagi, jadi ber