Malam semakin larut. Bapak dan Mamak belum juga pulang dari rumah kedua orangtua Asma. Entah apa yang kedua orangtuaku lakukan, perasaanku jadi mendadak tak enak. Aku mengusap rambut Namira, bocah itu sudah terlelap sejak Isya tadi. Dia sempat meminta menyusul Bapak dan Mamak, tapi aku tak berani ke sana jika orang tuaku tak meminta.Suara tali pengusir burung di sawah yang menyeret kaleng bekas minuman terdengar bertabrakan. Angin pasti sangat kencang di luar sehingga tali tali itu menggoyangkan kaleng seng yang sengaja dipasang untuk mengusir burung burung pemakan padi itu.Aku yang masih memakai sarung, melirik pada jendela yang tiba tiba terbuka, menyingkap gorden yang lumayan tebal sebenarnya. Aku beranikan diri mendekat, melihat angin atau makhluk halus usil yang membukanya. Soalnya hal seperti ini sudah biasa. Jika bukan karena gangguan makhluk halus, pasti angin malam yang sedang merindukan bumi ini untuk berputar sama sama.Srek!Saat aku singkap, tak ada apapun di depan san
Bab 9“Kau kenapa, Gil?” Mamak menyintil hidungku, aku pun langsung tersadar dan menyingkir dari hadapan mamak.“Sudah tidur adik kau, Gil?” Bapak pun juga bertanya. Aku masih bengong dan melamun. Tadi itu, siapa?“Eh, ini bocah malah matung gitu. Tutup pintu!” perintah Mamak.“Ada apa?” Bapak merangkulku, lalu mengajakku duduk. Namun, aku segera berlari ke dapur dan tidak melihat siapapun di sana. Aku kembali ke depan, lalu duduk dengan lutut yang bergetar.“Mak, Mamak tadi pulang sendirian kan?” tanyaku.“Lah, ini mamak baru pulang. Mamak nunggu Bapak kau ini, lama sekali ruqyahnya,” jawab Mamak sambil menggelar makanan yang dibawa dari luar ke atas baki.“Jadi Mamak nggak pulang sendiri tadi?” tanyaku lagi.“Nggak. Memangnya tadi ada yang datang ke rumah menyerupai mamak?” tanya Mamak kini menatapku serius.Mendadak tenggorokan tercekat. Rasanya aku jadi merinding sendiri. Kalau bukan mamak, lantas yang tadi diberikan wanita mirip mamak itu …Napasku mendadak sesak. Ada perasaan ta
“Kodam? Kodam apaan?”“Gue nggak tahu, tapi prnah gue baca di lama situs itu … khodam semacam jin pendamping tubuh kita. ADa yang berupa binatang dan lain lain, gak paham. Percaya nggak percaya sih,” ucap Asma.“Iya, Bapak nggak pernah bahas bahas kayak gitu.”“Gil!” Bapak memanggilku dan aku pun langsung mendekat. Aku tersenyum dengan Paman Hamzah dan Bapak mengajakku masuk langsung ke pesantren.“Ada Kyai Husni di dalam ruangan, kalian masuk saja. Saya mau langsung pergi,” ucap Paman Hamzah.“Hati hati, kami akan menjenguknya nanti," ucap Bapak.Paman Hamzah mengangguk, lalu pergi menaiki mobilnya. Aku pun diajak masuk ke tempat ruqyah, lalu melirik pada Bapak yang begitu erat menggenggam jemariku.“ADa apa sih, Pak? ANaknya gak bakalan ilang juga,” ucapku.“Kamu itu anak bapak yang istimewa, kalau nggak dijagain baik baik nanti ilang,” ucap Bapak.“Ilang? Kayak bayi aja,” kekehku.Kami sampai di ruangan bertuliskan lafadz Allah. Mendadak ada yang menggelitik bagian bawah telinga
Aku mencoba meraba gelapnya ruangan ini. Tapi aku tak menemukan apapun. Yang aku rasakan hanya semilir angin seperti ada di luar ruangan.“Gilang …”Panggilan itu?Aku mencoba mencerna kembali ucapan Bapak. Jika ada yang memanggilku, jangan dijawab dan jangan pula menengok. Aku pun melakukannya dan sembari terus membaca doa.“Gilang anakku…”Sebuah cahaya menyilaukan terlihat dan terasa ngilu di mata. Aku yang tadinya memejamkan mata saja sampai membukanya karena cahaya itu menembus sampai ke dalam mataku.“Cah bagus,” ucap seseorang yang tak jelas wajahnya di depanku. Semuanya bercahaya dan sangat menyilaukan hingga aku pun menutup mataku dengan kelima jariku.“Cah bagus, anakku … kemarilah.”Suara itu terus saja mengganggu gendang telingaku sedangkan suara wanita yang mendayu menginginkan aku mendekat pun tak aku hiraukan. Aku fokus membaca doa, hingga tanganku terasa terhempas dan langsung aku kaget.Aku membuka mata ini dan melihat Bapak dan Kyai Husni ada di depanku.“Pak.”Aku me
Aku pulang dengan Bapak ke rumah. Namun, Bapak kembali pergi karena akan menjenguk istrinya Paman Hamzah. “Kok Mamak nggak ikut?” tanyaku sambil mencomot pisang rebus yang masih panas di hadapanku. “Khawatir a-ku ngilang lagi?”Aku kepanasan saat mencicipi pisang rebus itu. Mamak pun mengambil dengan cepat, lalu mengambilkan garpu untukku.“Lain kali jangan pakai tangan ambilnya, Lang. Pake garpu gini,” ucap Mamak pelan.Eh? Mamak kok jadi baek gini. “Iya, Mak,” jawabku sambil merenges. “Mamak kok tumben suaranya kayak rambu rambu tikungan tajam?”Mamak mengernyitkan keningnya bingung.“Pelan pelan maksudnya, Mak,” kekehku.Mamak malah terkekeh lalu menggelengkan kepala melihat keunikanku. Hari ini aku pun semakin heran lagi, Mamak tak marah dan menyuruhku ini itu. Padahal biasanya ada aja yang dimintai tolong. Bapak pulang saat adzan isya. Wajah bapak sudah tak semenyeramkan tadi. Bapak juga bawa oleh oleh banyak, membuat Namira yang sedang ngaji denganku dan mamak berlari dan m
Rasanya benar benar air di bak dingin sampai tulang ini rasanya ikut menggigil. Setelah mandi aku langsung mencari mamak buat pamitan. Namun, Mamak tak terlihat di manapun. Ke mana mereka ya?“Mak …. “Aku berteriak memanggil Emak, tapi aku melihat Mamak ada di ujung jalan. Tapi kok sendirian? Aku pun berjalan mendekati mamak.“Gilang cari cari kok, tahunya Mamak lagi di sini. Lagi mancing, Mak?” tanyaku sambil menepuk pundak Mamak.“Gil!”Panggilan dari belakang membuatku menengok. Aku melihat Mamak yang berteriak memanggilku. Aku pun kembali menengok ke depan. Eh, mamak yang tadi nggak ada. Eh, kok bisa? Lalu tadi siapa kalau bukan emak?“Kamu itu mau ke mana? Mau pergi tanpa pamit?” Mamak menjewerku, lalu menatapku kesal.“Mamak?” Aku membolak balikkan tubh mamak, lalu percaya yang secerewet ini pasti mamakku yang asli. Rupanya, aku ditipu jin yang mirip mamak lagi.“Eh, ditanya orang tua malah muter muterin badan mamak. Mau pergi tanpa pamit?” tanya Mamak.“Nggak, Mak. Tadi mendad
“Minum dulu, Lang,” ucap Noval yang menyadarkan aku bahwa ini bukan mimpi. Setelah minum aku pun diajak noval ke kampus, melanjutkan semua yang sudah direncanakan di awal. Pendaftaran lanjutan Noval sudah selesai. Kami akan sama sama ke kampus ini sebagai mahasiswa satu minggu lagi. Aku dan Noval tersenyum saat keluar ruangan pada beberapa cewek yang juga lalu lalang masuk ruang pendaftaran.“Cuit cuit,” ucap Noval.“Belum juga jadi mahasiswa sini, udah dijual murah aja itu siulan,” decakku pada Noval.“Ceweknya cantik cantik, bray,” ucap Noval.“Kalau cewek ganteng, mata lo rabbun, Val,” jawabku.Dia malah tersenyum saja dan mengajakku mampir ke rumah Bima. Sebenarnya penasaran dengan Marimar, aku ingin mengajak Noval ke sana juga. Tapi, aku pun menunggu selesai ke rumah Bima.Saat ke rumah Bima, kami disambut beberapa ART yang memang bekerja di sana. Bima cukup kaya, jadi dia sakit pun tak dituntut buat kerja atau mikir harga sembako juga biaya kosan. Aku duduk dan menatap rumah ya
..Aku pun menuju ke rumah Paman Hamzah. Tapi, rumah Paman begitu sepi. Aku baru ingat jika Bibi Nurul sedang ada di rumah sakit dan aku juga belum sempat ke sana. Jadinya, aku pun tak tahu mereka gimana kabarnya. Kuputuskan pulang saja, lalu menemui Asma nanti jika dia sudah memberi tahu di mana sekarang.Bapak terlihat sedang duduk di depan rumah dengan Mamak. Keduanya masih seperti orang pacaran saja, padahal umur sudah tak lagi muda. Namira juga terlihat sibuk mencoret coret kertas, pasti mendalami hasil dari belajarnya bersama mamak.“Assalamualaikum,” salamku lesu.“Waalaikumsalam. Anak Mamak sudah pulang, sini,” ucap mamak menepuk bangku kosong di sebelahnya.“Mak, Bibi Nurul sama Paman Hamzah belum pulang ya? Tadi ke sana sepi,” tanyaku.“Belum, kan mereka dirujuk ke Bogor kota ujung saja.” Bapak menyahutiku.“Loh, kok jauh?” tanyaku kaget.“Ya karena sakitnya parah. Asma juga terancam gagal kuliah, ini Bapak sama Mamak mau niatan menikahkan kamu dengan Asma, biar mereka nggak
Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat
“Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p
..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga
“Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga
Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad
Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban
Aku membuka mata perlahan, melihat kembali cahaya yang tadinya membawa kami menuju jalan pulang. Aku melihat lampu putih di atas kepalaku, lalu mengerjapkan mata karena terlalu silau setelah tadi merasakan gelap yang sangat menyeramkan.Suara suara orang yang sangat aku kenal akhirnya sangat jelas terdengar. Aku mulai jelas melihat ke wajah mereka, lalu melihat mamak dengan wajah sembabnya.“Anak Mamak sudah bangun, alhamdulillah ya Allah.”Aku mencoba mengingat kembali terakhir aku berada di mana, tempat yang aneh dan berbeda dengan saat aku kini ada di mana. Aku menengok dan ternyata ada Bapak di sisiku.“Pak.”Aku melihat Bapak terpejam juga. Banyak selang infus daripada aku yang hanya di bagian tangan saja. Tapi kepala dan kaki Sepertinya tidak terluka.“Mak, Bapak kenapa?” tanyaku.“Sedang istirahat, Nak. Kamu bikin mamak panik, ditambah bapak mu juga,” ucap Mamak yang langsung memelukku. Aku melihat Asma dan Paman Hamzah juga Ustad Kyai di ruangan ini. Ada alquran di tangan mer
“Asma?”Aku menyentuh pundaknya. Dia sejak tadi hanya menangis dan diam saja. Tapi lelehan air mata itu membuatku cukup khawatir dan takut dengan apa yang akan terjadi dengan Bapakku.“Gilang, Bapakmu mencarimu. Beliau bilang akan mengusahakan. Hanya saja … kemarin Ustad Yai bilang, Bapak kamu mau ke sebuah hutan di belakang desa kita tanpa ditemani. Jadi, Mamak kamu khawatir dan mungkin juga beliau juga sudah kembali. Kita berdoa saja. Soalnya hutan di kawasan desa kita itu terkenal angker, Bapak kamu kan pernah hilang di sana.”Aku mengingatnya. Bapak pernah beberapa kali hilang di tempat tempat angker. Pernah di hutan bambu, pernah di kawasan hutan dan pernah juga hilang saat sedang tidur. Semua diceritakan agar aku waspada dan tentu tak sembarangan masuk kawasan kawasan itu.“Semoga Bapak bisa kembali.”Aku pun menunggu sembari berdoa. Asma juga menemaniku dan menghubungi Paman Hamzah. Beliau datang sendirian dan aku pun penasaran kenapa Paman tak datang dengan mamak dan bapakku.
..“Kita akan pulang nanti.”Bapak memastikan pastinya aku baik baik saja. Hal yang perlu dibahas dan diingat bahwa semua ini tak mungkin akan mudah. Namun, aku juga tak ingin menyia nyiakan kesempatan ini untuk bersama Bapak mencari jalan pulang. Bapak pergi bersama dengan sang raja dan beberapa pengawal, lalu tak lama kemudian kembali padaku. “Kalian makanlah,” ajak raja yang seperti Bapak panggil tadi. Raja. Aku yang dibaringkan di kamar khusus, hanya kamar ini terbuka sehingga aku bisa melihat Bapak duduk di meja khusus ditemani Mak Nyai.“Kalau tak begini, kamu tak mau datang ke sini lagi.” Mak Nyai terlihat menangis.“Untuk apa? Jangan membuat masalah dengan keluarga kami, bahkan setelah ini aku ingin kita hanya berdampingan beda dunia. Tak juga mencampuri urusan di alam masing masing.”“Mana bisa begitu? Gilang adalah anakmu, di mana kamu pernah mengatakan akan bisa menjaganya demi aku. Lupa?”“Menjaganya bukan berarti memilikinya. Ini tidak akan pernah terjadi lagi, jadi ber