“Nggak ada, Nak. Kamu sudah baik baik saja sekarang. Makasih sama Fir yang udah mau menyempatkan waktu untuk datang.”Aku pun tersenyum saat namaku disebut sebagai lelaki yang mampu memberikan senyum kembali Nona Lisa. Aku diajak untuk berdiskusi di ruang tamu dan tentu saja Nona Lisa sudah bisa berjalan seperti biasa setelah ini. Meski begitu, Nona Lisa diminta beristirahat setelah dijelaskan tak ada apa apa dalam keadaan yang sekarang. Ada yang aneh sih, entah apa yang sebenarnya terjadi. Aku saja tak mengerti.Kami disuguhi makan dan minum, tapi aku melihat Ustad Husni yang lebih banyak diam saat ini. “Maaf kalau harus menghubungi kamu dengan tergesa gesa, ini tentu karena saran dari Ustadz Husni agar kamu sendiri yang meminta untuk datang ke sini. Saya juga tak tahu, tapi kamu bisa tanyakan pada Ustad Husni tentang apa yang terjadi. Ini uang untuk kamu dan pesangon karena kamu sudah membantu usaha di kantor. Sekarang saya lega, setidaknya ada yang bisa membantu anak saya lepa
“Mas, ada undangan nih,” ucap Syarifah yang tiba tiba menghampiriku di kandang ayam.“Dari siapa?”“Ustad Husni.”Jeduk!Karena kaget aku pun terpentok kandang kepalanya. Aku hendak keluar dan melihat undangan itu, benar atau tidak dari Ustad Husni.“Pelan pelan sih,” ucap Syarifah.“Udah kena, Dek. Telat bilangnya,” gerutuku sambil mengusap kepala.Aku melihat undangan berwarna gold mengkilap dengan pita merah yang mengikatnya. Dari undangannya saja sudah terlihat sangat mewah, aku sungguh tak yakin Ustad Husni menikah dan undangannya sebagus ini.“Yakin si Ustad nikah?”Aku membuka ikatan undangan itu setelah mencuci tangan dan duduk di kursi bambu belakang rumah. Tertera nama huruf M & H di depan undangan. Saat aku buka, ternyata memang ada nama Husni dan Monalisa. Eih, betulkah?“Ini serius mereka nikah? Wah, bener bener si Ustad menang banyak,” kekehku.“Menang banyak?”AKu menengok pada Syarifah dan merangkulnya. “Ya iya, dia ngejar ngejar kamu, dapatnya Nona Lisa yang anak kong
“Papa mau ke mana?”“Ke sawah, Gilang mau ikut?”“Jangan ke sawah ya, nanti siapa yang mau nyalamin para tamu?”“Tamu?”“Iya, kan nanti banyak tamu datang. Masa Gilang sendirian?”Namanya Gilang Bima Sakti. Anak lelaki yang dilahirkan Syarifah 5 tahun yang lalu. Anaknya cerdas, pintar dan tentu saja kelebihanku ternyata menurun padanya. Padahal saat kehamilan Syarifah, aku berdoa agar kelebihan ini hanya diberikan padaku saja, bukan anak turunanku. Sayangnya, doa itu sepertinya nyangkut di pohon toge sehingga anakku pun memiliki indra ke-6 yang juga bisa melihat sesuatu yang tak dilihat orang lain.“Kakung di sana, masa Papa nggak bantuin?”“Please,” ucap bocah bermata bulat itu.Aku menengok pada Syarifah yang sibuk memasukan bekal makanan ke wadah dan akan aku bawa ke sawah. Niatnya kami memang akan menyusul tapi anak kami tak mengizinkan. Kami belum berani bertindak kalau Gilang sudah melarang.“Biar Mama saja, ya? Papa nggak usah ikut.”“Nggak, Mam, di rumah aja. Sebentar lagi ju
Kematian Bapak membuat rumah yang kami huni ini terasa begitu sepi. Apalagi hanya aku dan Syarifah serta anakku Gilang yang menempati. Meski begitu, aku tak berniat untuk menjualnya. Teringat dengan kata kata dari Bapak di mana beliau ingin sekali aku mengelola sawah dan juga lahan sebagai pusat kehidupanku dan juga pelestarian pertanian di desa ini.Siang itu aku dan Hamzah datang ke pesantren. Seperti biasanya, aku akan mengajak beberapa santri mencari rumput untuk ternak ternak kami. Setelah beberapa tahun menikah, banyak sekali perkembangan di desaku. Dari masyarakatnya yang sudah tak bergantung pada pekerjaan di rantau dan juga masyarakatnya sudah tak malas lagi bertani. Itu karena aku mengajarkan mereka cara bertani yang baik dan benar sehingga hasil olahan bisa dijual dengan harga yang pantas.“Pak, aku mau ke sana sebentar,” ucap Gilang menunjuk pohon beringin besar yang tumbuh di depan pesantren.“Mau ngapain? Jangan ke tempat tempat aneh ah!” ucap Syarifah mencegah anak lana
“Pak, Gilang main sama Jihan ya?”“Pa, anak itu nangis, kasihan.”“Pah, pinjem uang buat beli jajan sama dia.”Semua hal yang Gilang ucapkan itu bukan ajakan bersama dengan teman manusianya, tapi sama mahluk yang suka sekali mengajak Gilang bermain. Kadang mereka main di sawah sama sama, kadang juga dia diam diam mengatakan kalau temannya itu mendadak hilang dan mengajaknya pergi.Aku tahu, semakin besar, kemampuan mistisnya yang bisa melihat makhluk lain itu semakin terasah. Bahkan, dulu dia sering sakit dan rewel saat diganggu oleh mereka. Lama kelamaan terbiasa setelah aku berusaha memberikan pengertian dan pemakluman kalau ini tak akan mengganggu hidupnya jika dia bisa abai dan tak ikuti permintaan mereka yang aneh aneh. Jika mengobrol itu akan menjadi hal biasa dan anakku sejak dini aku ajarkan mengaji dan hafalan. Hingga teman temannya paling hanua akan mendekat jika dia di luar rumah saja. “Dek, apa kita nggak bawa dia pada Abah suruh dibantu biar nggak kebablasan gini ya? Ka
"Sarapan dulu, Nak.""Udah siang, Mak. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab mamak dengan lantang dan menerima uluran Salim dariku."Buku sudah dibawa?" Tanya Bapak."Sudah.""Pensil?""Sudah.""Pulpen?""Sudah, Pak. Lagian, masih aja absen alat sekolah. Sekali kali kek, absen dosa Bapak," jawabku membuat Bapak menepuk pipiku pelan.Namaku Gilang. Umurku 17 tahun sekarang ini. Bapak dan Mamak bilang, aku ini anak istimewa. Sejak lahir aku sudah sangat istimewa karena keberadaanku di muka bumi ini akhirnya diakui semua makhluk bumi. Dari yang napak kakinya, sampai yang tak napak kakinya. Dari yang lubang hidungnya dua sampai yang tak ada hidungnya. Ya, aku istimewa karena memiliki indra ke-6 yang kadang membuatku bisa melihat sesuatu di luar penglihatan manusia biasa."Nyawa jangan lupa dibawa, Lang," ucap Mamak saat aku mengambil helm."Dih, Mak, kagak ada nyawa mana bisa senyum dengan mamak yang cantik ini.""Abang, Salim!"Aku tersenyum pada adikku yang imut ini, namanya Namir
Aku menepikan motor. Memilih turun dan melihat apa yang ada di depan sana. AKu benar benar kaget, ternyata memang Gilang yang tergeletak dengan darah yang tercecer di jalan.Dua temanku yang lain pun terlihat sedang ditanyai polisi, aku mendekat tapi Asma buru buru menarikku.“Ada apa sih?” tanyanya.“Bima kecelakaan.”“Innalilahi.”Tadinya aku hendak menghampiir, tapi ambulan lebih dulu membawa Bima ke dalam ambulan, pun dengan kedua temanku yang digiring ke kantor polisi. “Lo pulang dulu lah sama Marimar, gue mau ikut ke polsek.”“Tapi, Lang, kalau mamak kau cariin?”“Bilang aja lagi main.”Aku tak bisa menunggu. Rasa penasaran ini mengundangku untuk datang pada mereka dan menanyakan kenapa Bima bisa seperti itu. Pantas sejak tadi di sekolah, aku mencium bau anyir yang luar biasa. Ternyata, Bima memang akan mengalami ini. Aku pun sangat menyayangkan kenapa mereka tak mau mendengarku, Padahal sudah jelas selama ini apa yang aku ucapkan sering terjadi.Begitu sampai di kantor polisi
..“Sekar Widodari, panggil saja begitu.”Aku mengangguk dan seolah paham dan kenal siapa dia, gegas aku bangkit dan hendak masuk tetapi dia mencegahku.“Bolehkan aku mengajaknya ke alamku? Dia harus dihukum,” ucapnya. Ada hantu sopan kek gini, jadi gemas sendiri.“Mana bisa? Dia udah ditunggu keluarga buat sembuh, masa mau kamu ajak ke alam kamu yang udah penuh sama bangsa kamu sendiri? Kalau kamu mengganggu dia, apa bedanya dia dengan kamu? Jadi anak baik, ya?” Aku menepuk kepalanya, meski tak terasa aku harap dia mengerti.“Kalau begitu, kamu saja yang ikut aku.”“Ndak bisa, aku sekolah. Nanti kalau aku nggak pinter, aku dimarahi Mamak. Kalau mau ajak, ajaklah ayam tetangga yang kena flu burung itu.”Dia manyun, seolah tahu akan bercandaanku. Sudah persis seperti manusia, aku dan dia berbincang seolah nyambung saja.“Ngomong sapa siapa lo?” tanya Noval yang ternyata menyusulku.“Tadi lagi berargumen, kok mendadak jadi pengin pup di rumah sakit.”“Betah kali lo di sini,” kekeh Novel