“Kamu dari mana saja jam segini baru pulang?” tanya Mamak saat aku baru sampai di rumah.“Biasa lah, Mak. Anak bujang kok,” jawabku.Kunaikkan kaki di atas kursi, ikut makan makanan yang dimasak oleh Mamak. Mamak dan Bapak sampai heran melihatku pulang pulang langsung menghabiskan makanan yang ada di sana.“Kamu doyan apa lapar, Lang? Makan di eling loh, adikmu sampai nggak kebagian gitu?” ucap Bapak.“Lapar banget, Pak. Tadi gak sempat makan di pesantren.”“Pesantren? Memang kamu dari sana?” tanya Mamak dengan tatapan tanpa kedip ke arahku.“Iya, nganterin temen kampus tadi. Jadi pulangnya sore. Tadi Gilang sempat ngerasa nggak beres dengan tuh anak, jadi dibawa ke pesantren. Eh, tahunya dia kena guna guna. Kasihannya, Pak, dia udah nggak perawan. Udah nggak cocok jadi calon mantunya mamak deh,” jawabku.pletak!“Aduh, Mak. Kok Gilang malah digetok?” tanyaku seraya mengusap kepalaku.“Namanya musibah, bukannya didoakan yang baik baik malah ngomongnya gitu. Jodoh nggak ada yang tahu.”
“Tidak, dia ada di pesantren dan kami datang ke sini untuk meminta izin terlebih dahulu. Semoga saat kembali nanti, Sari sudah baik baik saja.”“Memangnya ada apa?” tanya wanita itu.“Sakit, sedang ditangani oleh Ustad di pesantren kami.”“Sakit apa memangnya? Kok ustad yang menangani?”“Dia diganggu jin, dan ada yang berniat jahat padanya, Bi. Maaf, kami belum bisa membawanya pulang karena kasihan.”“Jahat gimana? Mas, Mba, selama ini dia memang rada rada stres. Dia itu pasti cuma akting, dia itu begitu biar aku kasihan sama dia dan nggak minta bantuan dia buat urus urus ini itu. Namanya orang males ya gitu. Di mana pondoknya? Biar aku minta Johan jemput!” sentak si wanita yang meruapakan bibi Sari.Aku pun semakin yakin, memberikan informasi keberadaan Sari saat ini pasti akan membuatnya dalam bahaya. Akhirnya aku pun berusaha untuk menengangkan wanita paruh baya itu agar tidak marah marah di depan banyak orang.“Gini aja, Bu. Gimana kalau IBu ke sananya nanti aja kalau udah sembuh?
Saat aku sudah kalap, aku tak ingat apapun. Namun, saat aku mulai sadar dan tubuhku melemah, aku melihat Arga dan teman temannya yang lain terkapar penuh darah di lantai. Aku menengok pada sosok perempuan berambut panjang yang ada di sebelahku. Wajahnya tak begitu nampak, tapi dia mengusap rambutku dan tersenyum. Dia menghilang saat aku hendak bertanya tentangnya.Pintu terbuka. Asma datang bersama dengan petugas keamanan. Tubuhku yang masih diikat kursi tentu membuat semua seperti bingung. Pasti mereka bingung kenapa semua anggota BEM dan ketuanya terkapar tak berdaya.“Gilang, lo nggak apa apa?” tanya Asma yang seperti panik melihatku.“Gak ada apa apa, cuma tangan kayak sakit aja. Mereka siksa aku, tapi kok mereka yang kalah?” jawabku heran.“Pak, saya nggak terima teman saya dibeginikan. Kami memang mahasiswa baru, tapi senior seperti mereka tidak bisa dilepaskan begitu saja setelah kasus ini. Mentang mentang senior, gak diadili. Kami mau keadilan, kalau nggak kami akan mempro
bab 33“Aku akan mengamankan keduanya dari sekte sesat itu. Pastikan lo ke warung dan cari sesuatu yang bisa menjadi petunjuk di sana.”Ini adalah sesuatu yang cukup mengejutkan. Dari mana Asma bisa tahu Bima dan Noval adalah bagian dari sekte sesat itu. Sedangkan aku? Aku harus mencari sesuatu yang mungkin akan berimbas pada nasib Asma setelah ini. Dia masuk ke dalam lingkaran yang mungkin akan membuatnya dalam bahaya.“Kenapa, Lang?” tanya Yai yang tiba tiba mengejutkanku.“Ustadz tahu kenapa Asma mendadak pergi dengan dua sahabatku itu?” tanyaku pada Kyai yang pasti sudah tahu lah apa yang aku maksudkan ini.“Asma memang mau pergi ke kampus bersama mereka karena pulangnya akan ke warung. Kamu kerja di sana kan? Asma bilang demi bisa mendapatkan izin untuk Sari di sini, kamu harus jaga warung di sana bareng sama Asma. Memangnya ada apa?” tanya Yai.“Yai tak tahu kalau ada sekte sesat yang membuat semuanya jadi seribet ini?”“Sekte sesat?”Pasti Yai nggak tahu nih mereka seperti ini
“Bapak…”Bibi Sari langsung berlari dan berlindung di balik tubuhku. Aku melihat rona ketakutan dari bibi saat melihat lelaki yang belum aku ketahui namanya itu.“Berani beraninya kamu bilang seperti itu pada istri saya?”Tangan lelaki itu hendak menghajarku, dengan sigap aku mencegahnya. Aku bukan seorang lelaki payah yang akan diam saja ketika bahaya datang mengancam. Aku mengibaskan tangannya, lalu menatapnya dengan tatapan menantang. “Kalau Bapak nggak mau ditinggalkan wanita sebaik Ibu ini, jadilah lelaki yang waras dan bertanggung jawab. Bapak terlalu kejam sampai menumbalkan keluarga demi hobi dan kesenangan bapak sendiri. Judi dan main dengan wanita, berlaku seenaknya bahkan mengajak istri buat syirik, dosa mana lagi yang mau dilakukan? Jangankan masuk surga, baunya saja sudah tak mungkin dapat kalau Bapak tak lekas bertaubat. Saya bukan mengajari atau sok suci, tapi saya tahu bagaimana rusaknya orang orang seperti bapak yang mau enaknya tapi nggak mau getahnya. Bapak nggak
.“Mak, Gilang mau pulang. Mau pulang ke dunia Gilang,” ucapku yang berusaha berjalan ke arah pintu tapi pintu tak bisa dibuka, padahal hanya pintu kayu. Tapi saat aku dorong begitu kuat dan susah. Seperti jati asli dan sangat kuat.“Setidaknya, di sinilah sampai sembuh, Gilang. Mamakmu ini sulit sekali menemui kamu kalau nggak begini. Tinggalah beberapa hari, ya?”Aku pun menatap mamak yang tentu berbeda dengan wajah mamak asliku. Wajah mamak sendu, seperti bukan mamak yang biasanya merepet panjang lebar.“Hanya sampai kamu sembuh,” ucapnya.Aku pun mengangguk saja, entah kenapa jiwa ini jadi penasaran siapa sosok mamak yang bukan aslinya ini. Aku pernah dengar dari Pak Yai kalau dulu Bapak memang pernah tersesat di dunia lain. Mungkinkah dia mahluk itu? Wanita yang pernah mencintai bapakku dan menganggap aku adalah anaknya.Setelah aku mengangguk, Mamak tersenyum. Memelukku dan tentu saja dia tersenyum sumringah. Pintu terbuka, lelaki berbadan besar nan gagah seperti raja kerajaan
Aku bingung sendiri. Semua yang aku lihat di sini seperti dunia animasi. Tak ada yang benar benar nyata, bahkan kerumunan pasar yang tadinya ramai manusia, kini seperti sebuah gunung tinggi yang menampakkan pohon pohon besar. Entah ke mana hilangnya perkampungan itu, aku seperti dibuat pusing dengan apa yang aku lihat dengan mataku ini.“Sudah jalan jalannya?” tanya Mamak, eh Mak Nyai.“Mak Nyai, kenapa semuanya seperti berbeda?" tanyaku."Apa yang berbeda? Semuanya sama, kamu mungkin lelah.""Masa sih?" Aku merenung sekilas. "Mak Nyai, bolehkan aku pulang?” tanyaku dengan wajah memelas.“Pulang ke mana? Ini rumahmu, Nak.” Wajahnya berubah sendu, mendadak angin seperti ikut menambah kesan menyedihkan karena bertiup cukup kuat.“Nyi, kita harus pulang. Baginda pasti cemas,” ucap salah satu lelaki berbadan besar yang aku yakini sebagai pengawal Mak Nyai.“Mak, Gilang pengin pulang,” ucapku lagi.Mak Nyai tersenyum dan meraihku. “Nanti Mamak yang antar, sekarang nikmati dulu suasana di s
Kata kata Puspa terhenti, membuatku semakin penasaran saja. Dia malah sibuk menatap ke arah jendela, hingga tersenyum saat menatap luar sana.Aku yang penasaran akhirnya ikut mendekat dan duduk di sampingnya. Melihat apa yang ada di hadapan sana. Aku cukup kaget dengan pemandangan di luar yang berbeda dari kemarin. Jika kemarin terlihat seperti jalan jalanan yang tak beraspal dan masih kuno, kali ini aku melihat jalan setapak yang sudah dicor. Namun, aku sedikit mengenal tempat itu. Itu di …Ya. Itu di jalan setapak menuju ke rumahku. Aku melihatnya dan aku melihat suasana di sana yang begitu asri.“Itu duniamu, kah?” tanyanya.“AKu harus pulang!” Aku hendak melompat ke arah jendela, tapi Puspa menarikku dan membuatku terjungkal ke belakang. Aku pun mendelik kesal padanya dan langsung berdiri untuk keluar dari jendela. Namun, saat aku melihat lagi ke luar justru hanya pemandangan yang sama dengan kemarin. Bukan lagi desaku, melainkan desa Mak Nyai.“KOk bisa ganti kek layar bioskop g