Kata kata Puspa terhenti, membuatku semakin penasaran saja. Dia malah sibuk menatap ke arah jendela, hingga tersenyum saat menatap luar sana.Aku yang penasaran akhirnya ikut mendekat dan duduk di sampingnya. Melihat apa yang ada di hadapan sana. Aku cukup kaget dengan pemandangan di luar yang berbeda dari kemarin. Jika kemarin terlihat seperti jalan jalanan yang tak beraspal dan masih kuno, kali ini aku melihat jalan setapak yang sudah dicor. Namun, aku sedikit mengenal tempat itu. Itu di …Ya. Itu di jalan setapak menuju ke rumahku. Aku melihatnya dan aku melihat suasana di sana yang begitu asri.“Itu duniamu, kah?” tanyanya.“AKu harus pulang!” Aku hendak melompat ke arah jendela, tapi Puspa menarikku dan membuatku terjungkal ke belakang. Aku pun mendelik kesal padanya dan langsung berdiri untuk keluar dari jendela. Namun, saat aku melihat lagi ke luar justru hanya pemandangan yang sama dengan kemarin. Bukan lagi desaku, melainkan desa Mak Nyai.“KOk bisa ganti kek layar bioskop g
“Enak rasanya?” tanya Mak Nyai.Aku berusaha tak menelannya. Rasanya aneh, seperti daging mentah yang terasa di lidah.“Habiskan, Mak mau ke depan dulu mengurus sesuatu.”Aku bernapas lega. Setidaknya ini bisa menjadi waktuku untuk membuang makanan aneh ini. Aku membawa makanan itu, lalu membuangnya ke luar jendela. Tak peduli diketahui Mak NYai atau tidak. Meski bentuknya sama dengan sate bikinan Mamak, jelas ini sangat beda rasanya. Seperti kanibal saja makanannya begitu.Aku kembali dengan hati yang berdebar. Ternyata Puspa sudah ada di sana dan tengah menatapku kesal.“Kenapa mendadak di sini? Aku tak memintamu datang,” tanyaku.“Kamu tuh nggak minta, tapi manggil aku lewat Nyai. Sama saja!” ketusnya.Eh?Apakah dunia lain ini cara berkomunikasinya seperti itu. Hanya mengandalkan insting saja atau memang mereka ada semacam telepati ya?“Ini perasaan nggak pernah malam. Siang terus,” tanyaku sambil duduk di kursi empuk di sebelah sisi kamar.“Itu karena hati Nyai sedang senang, mak
..“Kita akan pulang nanti.”Bapak memastikan pastinya aku baik baik saja. Hal yang perlu dibahas dan diingat bahwa semua ini tak mungkin akan mudah. Namun, aku juga tak ingin menyia nyiakan kesempatan ini untuk bersama Bapak mencari jalan pulang. Bapak pergi bersama dengan sang raja dan beberapa pengawal, lalu tak lama kemudian kembali padaku. “Kalian makanlah,” ajak raja yang seperti Bapak panggil tadi. Raja. Aku yang dibaringkan di kamar khusus, hanya kamar ini terbuka sehingga aku bisa melihat Bapak duduk di meja khusus ditemani Mak Nyai.“Kalau tak begini, kamu tak mau datang ke sini lagi.” Mak Nyai terlihat menangis.“Untuk apa? Jangan membuat masalah dengan keluarga kami, bahkan setelah ini aku ingin kita hanya berdampingan beda dunia. Tak juga mencampuri urusan di alam masing masing.”“Mana bisa begitu? Gilang adalah anakmu, di mana kamu pernah mengatakan akan bisa menjaganya demi aku. Lupa?”“Menjaganya bukan berarti memilikinya. Ini tidak akan pernah terjadi lagi, jadi ber
“Asma?”Aku menyentuh pundaknya. Dia sejak tadi hanya menangis dan diam saja. Tapi lelehan air mata itu membuatku cukup khawatir dan takut dengan apa yang akan terjadi dengan Bapakku.“Gilang, Bapakmu mencarimu. Beliau bilang akan mengusahakan. Hanya saja … kemarin Ustad Yai bilang, Bapak kamu mau ke sebuah hutan di belakang desa kita tanpa ditemani. Jadi, Mamak kamu khawatir dan mungkin juga beliau juga sudah kembali. Kita berdoa saja. Soalnya hutan di kawasan desa kita itu terkenal angker, Bapak kamu kan pernah hilang di sana.”Aku mengingatnya. Bapak pernah beberapa kali hilang di tempat tempat angker. Pernah di hutan bambu, pernah di kawasan hutan dan pernah juga hilang saat sedang tidur. Semua diceritakan agar aku waspada dan tentu tak sembarangan masuk kawasan kawasan itu.“Semoga Bapak bisa kembali.”Aku pun menunggu sembari berdoa. Asma juga menemaniku dan menghubungi Paman Hamzah. Beliau datang sendirian dan aku pun penasaran kenapa Paman tak datang dengan mamak dan bapakku.
Aku membuka mata perlahan, melihat kembali cahaya yang tadinya membawa kami menuju jalan pulang. Aku melihat lampu putih di atas kepalaku, lalu mengerjapkan mata karena terlalu silau setelah tadi merasakan gelap yang sangat menyeramkan.Suara suara orang yang sangat aku kenal akhirnya sangat jelas terdengar. Aku mulai jelas melihat ke wajah mereka, lalu melihat mamak dengan wajah sembabnya.“Anak Mamak sudah bangun, alhamdulillah ya Allah.”Aku mencoba mengingat kembali terakhir aku berada di mana, tempat yang aneh dan berbeda dengan saat aku kini ada di mana. Aku menengok dan ternyata ada Bapak di sisiku.“Pak.”Aku melihat Bapak terpejam juga. Banyak selang infus daripada aku yang hanya di bagian tangan saja. Tapi kepala dan kaki Sepertinya tidak terluka.“Mak, Bapak kenapa?” tanyaku.“Sedang istirahat, Nak. Kamu bikin mamak panik, ditambah bapak mu juga,” ucap Mamak yang langsung memelukku. Aku melihat Asma dan Paman Hamzah juga Ustad Kyai di ruangan ini. Ada alquran di tangan mer
Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban
Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad
“Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga