Share

Bab 2. Masuk ke Neraka Baru

"Stop!" Ivy berteriak lantang tepat ketika Noah nyaris saja menempelkan bibirnya ke bibir perempuan itu. "Aku akan keluar."

Setelahnya, Ivy beranjak. Menyeret kakinya yang pincang dan kini terasa lemas karena sikap tega suaminya, ia pun keluar menuju kamar yang telah dipesankan Noah.

“Harusnya… harusnya aku memang tidak boleh memiliki harapan.”

Ivy duduk di tepian tempat tidur dengan kepala menunduk. Jari-jemarinya saling bertautan demi mengontrol tubuhnya yang gemetar semenjak keluar dari kamar yang seharusnya menjadi saksi malam pertamanya.

Meski ia tidak menyaksikan bagaimana Noah dan perempuan murahannya itu melanjutkan adegan dewasa itu, tapi bayangan liar mengenai kemungkinan mereka memadu kasih kini terus mengganggu benak Ivy.

Seharusnya, Ivy tidak lupa tentang takdirnya yang selalu terkurung dan dibatasi. Sikap Noah selama beberapa minggu terakhir membuatnya sangat terlena hingga ia bisa jatuh cinta dengan mudah.

Sebelumnya, Noah memang melamar untuk Clara. Namun, ia berusaha membatalkan pernikahan itu dan menggantikan Clara karena adiknya masih terlalu muda untuk menikah apalagi terkekang dalam pernikahan bisnis.

“Aku pikir dia berbeda. Aku pikir….” Ivy tak bisa melanjutkan gumamannya karena air mata yang akhirnya keluar satu per satu.

Benak Ivy lantas membandingkan perilaku Noah sebelum dan setelah mereka menikah.

Noah tahu kalau Ivy memiliki kecacatan. Ia memiliki kaki yang tak sempurna, yang membuatnya terlihat kurang nyaman saat berjalan.

Ia pikir, kebaikan Noah adalah sebuah ketulusan. Nyatanya, Ivy yang terlalu mudah dibohongi.

Sadar tak bisa terus-terusan menjadi gadis lemah, Ivy mencoba memukul dadanya untuk menghentikan tangisan. Matanya menatap ke tiap penjuru kamar hotel, mencari barang elektronik yang mungkin disediakan di kamar.

“Kenapa nggak ada komputer di sini?”

Ivy mulai mendesis frustrasi. Ia benar-benar harus melakukan sesuatu. Di saat yang tepat, ponselnya berbunyi nyaring.

Sebuah panggilan masuk, dari Clara. Tanpa pikir panjang ia segera mengangkat panggilan dari adiknya.

“Halo, Kak? Bisa turun ke lobi nggak? Aku dan Ayah membawa kopermu karena Noah bilang kalian akan langsung berangkat ke Korea untuk bulan madu besok.”

Mata Ivy melebar. Ia hampir lupa dengan wacana bulan madu yang telah direncanakan jauh-jauh hari.

“Cepat datang, sebelum Ayah marah.”

“Tunggu!”

Ivy menunduk dan menyadari kalau ia hanya mengenakan jubah mandi. Bagaimana mungkin ia turun ke lobi hanya berpenampilan seperti ini?

“Apa kau bisa naik ke lantai sepuluh? Aku akan menunggu di lorong,” pinta Ivy.

Ivy bisa mendengar deru napas panjang di seberang telepon. “Aku sih tak masalah, tapi kau tahu kalau Ayah….”

Please, Clara. Ayah bisa menunggu di lobi dan kau naik sendiri. Aku mohon….”

“Ya, baiklah.”

Saat panggilan berakhir, Ivy segera menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Kepalanya makin pusing saat melihat penampilannya yang berantakan dengan wajah yang bengkak karena terlalu banyak menangis.

“Clara pasti curiga… aku harus bilang apa?”

Adiknya itu selalu mengkhawatirkannya dan ia tak mau membuatnya kepikiran. Lamunan Ivy buyar saat notifikasi ponselnya menunjukkan satu pesan baru dari Clara.

“Aku dan Ayah sudah di lorong lantai 10. Cepat keluarlah sebelum Ayah marah.”

Ivy berlari cepat. Meskipun kaki kirinya cacat dan susah bergerak, ia masih cukup lihai dengan kaki kanannya.

“Kak Ivy!”

Ivy menoleh ke arah kanan di mana sumber suara berada. Ayah dan adiknya berdiri tak jauh dari lift.

“Ini kopermu.” Clara menyerahkan koper abu-abu miliknya.

“Terima kasih banyak. Maaf merepotkan.”

“Sejak dulu kau memang selalu merepotkan dan menjadi beban.”

Senyuman Ivy menjadi kaku saat mendengar ucapan ayahnya. Ia hanya mengangguk. Sudah sangat biasa dengan segala ucapan menyakitkan dari ayahnya.

Ivy tersedak saat tangan ayahnya sudah melingkar cepat di leher.  “Kau pasti bersenang-senang dengan suamimu. Apa dia tahu tentang luka-luka itu? Apa kau sudah mengatakannya?”

Ia menggeleng cepat dan mencoba melepaskan cekikan itu tapi cengkraman tangan ayahnya makin erat.

Clara menarik tangan ayahnya dengan sekuat tenaga. “Ayah, jangan melakukannya di sini. Ada kamera CCTV, belum juga beberapa orang yang lewat.”

Saat lehernya terbebas, Ivy terbatuk-batuk dan mengambil napas dalam-dalam. Dadanya hampir pecah karena kehabisan oksigen. Beruntung, Clara berhasil menyelamatkannya untuk kesekian kali.

“Jangan merasa bahagia karena bisa lepas dari kendaliku. Selamanya, kau adalah samsakku.”

Ayahnya segera masuk ke lift setelah mengatakan itu.

Clara menyempatkan diri untuk memeluknya sambil berbisik, “Tidak apa, sekarang kau bisa bahagia tanpa kekangan Ayah.”

“Kau juga harus keluar dari rumah setelah aku menikah. Jangan sampai menjadi samsak penggantiku,” balas Ivy dengan memeluk Clara lebih.

“Iya, aku sudah ambil kamar di asrama kampus.”

“Clara! Cepatlah!” Terdengar ayahnya berteriak tak sabar.

Ivy mendorong tubuh Clara agar segera menyusul ayahnya. Ia tak mau membuat adiknya terkena masalah.

“Dadah!”

Clara melambaikan senyumnya dengan tersenyum lebar. Ivy ikut tersenyum sampai pintu lift tertutup rapat.

“Ah… sakit,” rintihnya sambil menyentuh leher bekas cekikan ayahnya.

Ivy segera kembali ke kamarnya dan mencari cermin. Kemudian, helaan napas panjangnya memenuhi ruangan karena melihat bekas merah yang melingkar di lehernya.

“Kenapa semua orang terobsesi untuk menyiksaku?”

Setelah berhasil lepas dari ayahnya yang suka menyiksa di tiap kesempatan, sekarang ia mesti terjebak dengan suaminya yang gemar menyiksanya secara batin.

Melihat aura kekejaman Noah semalam, diam-diam rasa takut mulai Ivy rasakan. Bukan tak mungkin, Noah bisa melakukan kekejaman yang sama, seperti yang ayahnya lakukan.

“Apa… nasibku akan sama seperti Mama?”

Ivy terduduk lemas di lantai. Angannya terbang pada memori masa kecilnya yang dipenuhi dengan jeritan dari mendiang ibunya saat menjadi pelampiasan amarah ayahnya.

Evan Dharma, ayahnya, memang memiliki temperamen yang sangat buruk. Apabila suasana hatinya memburuk sedikit saja, maka tangannya bergerak cepat memukul orang di dekatnya.

Ivy kembali menangis. Mengingat sikap Noah, membuatnya sadar kalau pernikahan ini telah menjadi neraka lain untuknya.

“Apa… pada akhirnya aku juga akan meninggal di tangan suamiku?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status