“Aku cuma ingin mengecek keadaanmu.”
Samuel menyentuh pipi Ivy tapi ia menolak dengan berlari mundur. Samuel terus mengejar hingga Ivy terpojok di dinding. “Pe—pergi! Aku ingin keluar! Aku mau jalan-jalan dengan Bella!” “HAHAHA!” Samuel terbahak-bahak sampai air matanya keluar. Ivy berusaha menggunakan kesempatan itu dengan melarikan diri, tapi Samuel tetap berhasil menarik tangannya bahkan mendorong tubuhnya hingga terjatuh di kasur. “Kenapa alasanmu sangat bodoh? Kenapa pula kau mendatangi perempuan yang tidur dengan suamimu sendiri?” tanya Samuel dengan tangan kanan yang menahan kedua tangan Ivy di atas kepala, sedangkan tangan lainnya sudah menjelajah ke tiap lekuk tubuh Ivy. “Le—lepas!” Ivy mulai menangis. Kakinya menendang-nendang udara, berharap bisa menumbangkan Samuel. “Pergi dari sini! Pergi!” pekiknya, putus asa. “Kau tak perlu mengusirku. Kita bisa bersenang-senang di sini. Jangan mau kalah dengan suamimu.” “Sam! Jangan!” Wajah Samuel tenggelam dalam lehernya. Ivy sontak menggigit telinga Samuel yang berada di dekatnya hingga ia melepaskan cengkraman. “Dasar wanita gila!” seru Samuel sambil mengelus telinganya. Ivy meraih ponsel di nakas dan segera menghubungi Noah saat ada kesempatan. “Noah!” Namun, kesadaran Samuel kembali dan merampas ponsel itu untuk mematikan panggilan. “Noah tak akan menolongmu!” lolongnya. Samuel kembali tertawa dengan kejam seolah-olah siap menerkam hewan buruannya. Ia kembali membanting tubuh Ivy ke ranjang dan menindihnya. “Bagaimana bisa Noah menolong seseorang yang ingin dia bunuh?” Ivy yang semula masih berontak untuk melepaskan diri, langsung tersentak saat mendengar ucapan Noah. “Apa maksudmu?” Ivy yakin kalau pendengarannya tak bermasalah. Ia yakin kalau Samuel mengatakan bahwa Noah akan membunuhnya. “Apa maksudmu tadi?!” Ivy mengulang dengan suara yang lebih serak. “Oh? Jadi, kau tak tahu kalau kau hanya alat untuk balas dendam karena ayahmu telah membunuh keluarga—” Ucapan Samuel terhenti saat ada suara ketukan di pintu. Samuel berdesis kesal dan mencoba mengabaikannya. Ia ingin segera bersenang-senang dengan Ivy, tapi ketukan itu tak kunjung berhenti. “Sialan! Siapa itu?!” Samuel membuka pintu dengan marah. Kemudian, matanya membelalak terkejut saat melihat Noah di depannya. “Bukannya dia tadi bilang mau meeting?” pikirnya. Noah menatapnya dengan tajam, lalu masuk ke dalam kamar dan mendapati keadaan Ivy dengan pakaian yang penuh sobekan di atas tempat tidur. “Apa yang terjadi di sini?” tanyanya dengan suara rendah. “Istrimu menggodaku. Dia tiba-tiba menyuruhku datang ke sini dan mengajakku tidur dengannya,” balas Samuel dengan cepat. Ivy yang masih berusaha melilitkan tubuhnya dengan selimut, langsung menggeleng saat mendengar tuduhan itu. “Ti—tidak! Dia berbohong!” pekik Ivy. Samuel kembali menyahut, “Untuk apa aku berbohong? Kau temanku! Kau tentu lebih mengenal aku daripada dia!” Ivy bisa melihat mata Noah yang biasanya menatapnya dengan tajam sekarang berubah menjadi jijik seakan dirinya orang yang kotor dan najis. “Aku baru tahu kalau selain cacat, kau juga sangat murahan,” hina Noah. Samuel senang karena Noah lebih percaya padanya. Namun, kebahagiaan itu hanya berlangsung beberapa detik karena Noah langsung menendangnya keluar dari kamar. “Sial! Celanaku masih di dalam!” pekiknya sambil menutupi tubuh bagian bawahnya dengan tangan. Noah memang mendengar gedoran pintu itu, tapi ia tak peduli. Fokusnya hanya tertuju pada Ivy yang masih gemetar di atas tempat tidur.Tatapan pria itu menggelap, terus tertuju pada Ivy yang masih gemetar di atas tempat tidur. Sembari membuka sabuk celananya, pria itu mendesis, “Kau benar-benar harus dihukum.”
Ivy mencengkram ujung selimut dengan gemetar. Noah berjalan semakin dekat dengan sabuk yang masih di tangan kanannya. Seketika bayangan saat ayahnya memukulinya dengan sabuk muncul di kepalanya.“No—ah... Noah... aku bersumpah... aku berani bersumpah bukan aku yang menggoda Sam. Dia yang hampir memperkosaku.” Ivy berusaha menjelaskan bersama gemetar tubuhnya.Namun, penjelasan itu tampak sia-sia karena bara di mata Noah tetap tak padam.“Selain murahan, kau juga pembohong ulung,” desis Noah.Ivy menggeleng. Wajahnya sudah basah dengan air mata. Pelecehan Sam sudah membuatnya ketakutan setengah mati, tapi kini ia harus berhadapan dengan Noah yang sedang kesetanan.“Aku tak berbohong. Aku—”Noah berseru nyaring, tak membiarkan Ivy menyempurnakan kalimatnya. “Diam. Aku muak dengar semua alasanmu.”“Noah....”Noah melempar sabuk di tangannya. Sesaat hal itu membuat Ivy merasa lega, tetapi napasnya tertahan ketika Noah mendekat dan mencengkram dagunya.Dari jarak sedekat ini, Ivy bisa meli
“Noah, aku memasak pasta kesukaanmu. Jangan lupa dimakan.”Ivy menatap Noah yang masih sibuk dengan berkas-berkas kerjanya. Noah sama sekali tak melirik padanya dan ia sudah biasa dengan hal itu. Maka, ia hanya meletakkan sepiring Fettuccine Alfredo dan jus anggur di meja seperti yang sudah-sudah.Sudah terhitung enam bulan sejak pernikahan mereka, tapi Noah tetap terasa jauh… bahkan semakin jauh darinya. Noah bahkan jarang sekali berbicara padanya sejak pulang dari bulan madu.“Sebenarnya apa salahku?”Dan setiap hari ia juga menanyakan hal yang sama. Semua perkataan Noah padanya terasa abu-abu dan membingungkan. Dia tak pernah berkata secara gamblang alasan yang sesungguhnya kenapa dia menikahinya.Ting! Tong!Suara bel yang ditekan berkali-kali membuat Ivy menuruni tangga dengan tergopoh. Saat di tangga terakhir, ia melihat Bi Wina sudah membuka pintu. Sosok Samuel langsung masuk dengan raut marah.Tubuh Ivy bergetar takut. Sontak ia segera berlari untuk bersembunyi di balik tiang
“Aku akan menjadi janda… janda perawan.”Ivy tahu kalau pernikahannya akan berakhir, seperti yang dikatakan pria itu pada Samuel beberapa minggu lalu.Untuk itu, Ivy telah bersiap, memasukkan barang-barangnya ke koper... meski sampai detik ini belum ada kata talak dari Noah.Selama seminggu ini, Ivy tetap berusaha bersikap hangat meski sikap pria itu masih tak berubah. Setidaknya, ia ingin menjadi istri yang baik sebelum perceraian mereka.Setelah bercerai nanti, ia berencana untuk pergi keluar kota dan hidup sendiri karena ia pasti akan mati jika kembali ke rumah ayahnya.Suara panggilan telepon membuat Ivy meletakkan kembali pigura foto pernikahan yang akan ia masukkan dalam koper. Senyumnya terulas lebar saat mendapati nama adiknya di layar ponsel.“Halo, Clara? Ada apa?” Ivy menyapa dengan ramah. Sangat jarang Clara menghubunginya karena sibuk kuliah, sehingga ia bahagia apabila ada waktu untuk bercengkrama dengannya.“Kak, aku di depan rumahmu.”Senyuman Ivy menghilang saat mende
“Hahaha! Apa maksudmu? Mana mungkin aku tahu menahu tentang kejatuhan perusahaan Ayah? Data-data itu di komputerku saat aku ingin menganalisis apa yang terjadi setelah ada yang meretas dokumen perusahaannya.”Ivy berusaha menutupi ketegangannya dengan tertawa. Berharap alasan yang ia berikan pada Clara membuat adiknya itu percaya, tetapi bibirnya menjadi kaku saat melihat Clara tak bereaksi apa-apa.“Kau tahu kalau aku sangat mengenalmu. Aku tahu di saat kau sedang berbohong atau tidak,” celetuk Clara.Ivy menelan salivanya dengan susah payah. Clara memang tak melakukan apapun, tetapi ucapannya sudah mencekik tenggorokannya sekuat tenaga.“Aku tidak tahu kenapa kau menyembunyikan sesuatu dariku… mungkin karena kau tak percaya padaku. Tidak apa-apa… mungkin salahku yang tak bisa membuatmu percaya.”Clara menunduk lesu. Ia menatap Ivy yang kini menatapnya dengan kebingungan.“Tidak… Clara… bukan seperti itu. Aku selalu percaya padamu,” yakin Ivy sambil menggenggam kedua tangan Clara. Na
“Tumben kau tidak berada di rumahmu. Apa kau baik-baik saja?”Satu pesan dari J-1511 membuat Ivy tercengang. Buket mawar di tangannya bahkan hampir terjatuh karena terlalu terkejut dengan pesan itu.“Tunggu, bagaimana bisa dia tahu?” pikir Ivy dengan panik.Pasalnya, ia sudah menggunakan VPN dan proxy tambahan untuk berkomunikasi dengan para peretas di dunia gelap. Mereka pun menggunakan forum pesan khusus yang tak bisa diakses oleh sembarang orang.“Kau tahu rumahku?”Ivy segera mengetik balasan dengan cepat. Selama ini, ia terkenal sebagai hacker individualitas karena tak pernah masuk dalam komplotan tertentu. Ia lebih suka bekerja sendiri, tetapi sudah lima tahun ini ia membuka diri untuk berteman dengan J-1511.“Tidak. Hanya saja, titikmu biasanya selalu berada di tempat yang sama.”Pesan itu membuat Ivy akhirnya bisa menghela napas lega. Namun, bibirnya tetap mencebik kesal. Dasar, dia selalu membuat kaget saja, pikirnya.“Oh.”Ivy hanya membalas dengan singkat. Ia kembali melanj
“Mana mungkin aku selingkuh!”Ivy tak sengaja meninggikan suaranya saat menjawab tuduhan Noah. Bukan salahnya yang tak bisa mengatur suaranya. Semua ini karena Noah sendiri yang tiba-tiba mengatakan hal mustahil.Selingkuh? Bagaimana mungkin ia menjalin hubungan dengan orang lain di saat mempertahankan hubungan dengan suaminya saja ia tak bisa?“Kenapa tidak mungkin? Buktinya kau begitu fokus dengan ponselmu saat ada aku di depanmu!” pekik Noah.Ivy ingin kembali mengelak, tetapi tersadarkan dengan suatu hal. Perdebatan mereka kali ini membuat mereka terlihat seperti suami-istri pada umumnya.Noah terlihat seperti suami yang sedang cemburu pada istrinya. Dan hal itu, entah kenapa membuatnya bahagia.“Tunggu… apa kau cemburu?” tanyanya kemudian.“Cemburu? Dalam mimpimu!” elak Noah dengan beranjak dari kursinya.Ivy mendongak untuk mengikuti pergerakan Noah yang kini sudah berdiri dengan kedua tangan bersendekap dada. Noah benar-benar tampak marah dan ia masih tak tahu alasannya.“Kalau
Ivy memandang setangkai mawar di depannya dengan lesu, persis seperti keadaan mawar yang mulai layu. Padahal baru empat hari sejak bunga itu diberikan Noah, tetapi keadaannya sudah mengenaskan.“Persis sepertiku,” gumamnya.Ivy masih kesal pada Noah yang berhasil mengambil alih bunga di tangannya ketika ia sedang tidak fokus. Beruntung ia bisa menyelamatkan satu tangkai dari api yang diciptakan Noah.“Dasar orang aneh. Kenapa membeli banyak bunga kalau pada akhirnya dibakar?” Ivy sangat tak habis pikir.Padahal, ia masih bisa menyelamatkan semua tangkai bunga itu kalau Noah hanya membuangnya ke tempat sampah.Ivy memang sudah hidup bersama Noah cukup lama, tapi ia masih tak bisa mengerti tentang suaminya. Jarak yang Noah ciptakan dalam hubungan pernikahan ini sangat lebar hingga Ivy kesulitan meraihnya.“Aku bahkan baru tahu kalau dia cukup narsis dan pencemburu.”Ivy sangat yakin dengan pemikirannya. Noah yang marah dan tiba-tiba bertanya tentang ciuman adalah Noah yang nampak mengge
Ivy sadar kalau ia tak memiliki banyak waktu untuk bersembunyi. Saat pintu ruangan kerja itu terbuka, Ivy segera merundukkan tubuhnya ke bawah meja. Hanya ini tempat persembunyian satu-satunya yang bisa didapat.“Iya, aku sudah mengambilnya. Aku akan turun. Jangan berisik, Sam.”Kedua tangan Ivy membekap mulutnya erat-erat demi tak menimbulkan suara apa pun. Ia bahkan menahan napasnya tanpa sadar karena takut embusan napasnya terlalu berisik.Ivy mendengar berkas yang ditarik dari atas meja dan ia juga melihat sepatu Noah. Beruntung Noah tak memutari meja kerjanya sehingga ia bisa sembunyi dengan tenang.Noah segera pergi setelah membawa berkas-berkas di amplop cokelat. Ivy sontak melepas tangannya dari mulut dan menghela napas panjang.“Syukurlah aku tak ketahuan,” gumamnya.Ivy melanjutkan pencariannya dengan lebih gesit. Ia tak mau berada di situasi menegangkan lagi. Ia harus keluar dari ruangan ini secepat mungkin.“Apa ini?”Kerutan di dahi Ivy menjadi berlipat-lipat saat melihat
Ivy tak tidur. Saat Noah membisikkan panggilan sayang padanya, rasa kantuknya sudah terbang ke antah berantah.Ia yakin kalau Noah sudah berubah dan ia ingin kembali membicarakan tentang perasaan padanya sekali lagi. Karena sikap Noah telah melambungkan harapannya.Ia menunggu di kamar selama lima menit…Sepuluh menit….Bahkan sudah dua puluh menit, Noah tak kunjung kembali.“Sebenarnya dia kemana?” gumam Ivy.Ivy menyibakkan selimutnya, lalu berjalan keluar kamar. Ia berniat mencari keberadaan Noah. Mungkin saja ia berada di ruang kantornya untuk mengambil beberapa berkas.“Aku harus memarahinya kalau dia tetap bekerja selarut ini,” gumamnya.Saat Ivy membuka pintu, ruang kerja Noah diliputi kegelapan. Artinya, Noah tak berada di sana.“Lalu di mana dia?”Ivy tak tahan untuk berdecak, kebingungan. Ia segera menutup kembali pintu kantor Noah, lalu berjalan menuruni tangga.Kakinya masih terlalu sakit digerakkan sehingga setiap langkah yang tercipta terasa berat. Ia bahkan ingin menyer
Ivy kira Noah akan kembali dingin setelah perbincangan mereka di halaman belakang rumah. Ia sudah siap dengan sikap Noah yang kejam seperti sebelumnya, tapi rupanya ia salah besar.Noah masih tetap manis. Dia tak menghindar sama sekali.Awalnya, Ivy mengira kalau Noah akan bersikap baik untuk berakting di depang Clara. Namun, dia tetap lembut bahkan hanya saat ada mereka berdua saja.“Noah.”Noah sedang sibuk dengan laptopnya saat Ivy memanggil dengan penuh keraguan.“Ada apa?” sahut Noah sambil meletakkan laptop yang sebelumnya dipangku di paha ke atas kasur.Lagi-lagi itu adalah pemandangan aneh. Sudah beberapa hari ini Noah membawa pekerjaannya di kamar, padahal biasanya ia selalu menghabiskan waktu lama berkutat dengan pekerjaannya di dalam ruang kerja.“Tidak. Tidak apa-apa,” balas Ivy dengan menggeleng.Noah mengerutkan dahinya. “Kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu?”Ivy menggigit bibirnya, berpikir lebih dalam untuk mengutarakan isi hatinya atau tidak.“Kenapa, Ivy?” tanya Noah
Selama seharian ini Ivy melihat Noah lebih banyak diam. Kerut di dahinya terus berlipat-lipat, menandakan suasana hatinya sedang buruk.Ivy memilih untuk menghindar karena takut semakin memperburuk perasaan Noah. Biar bagaimanapun, ia masih tahu diri kalau Noah bisa saja masih sangat membencinya.“Kenapa kau menghindar?”Ivy sedang menatap beberapa mawar yang mekar dengan cantik di halaman belakang saat Noah datang dengan raut marahnya.“Apa… apa aku berbuat salah?” tanya Ivy dengan tergagap.Noah menjawab dengan dengusan, “Kau daritadi menghindar.”“Ya, karena aku tahu kau sedang marah. Jadi aku tak ingin memperburuk-”“Justru kau malah makin memperburuknya.”Ivy mengambil napas dalam-dalam kala mendengar ucapan Noah. Ia mencoba menenangkan dirinya sebelum membalas Noah.“Lalu apa yang seharusnya kulakukan? Kenapa rasanya aku selalu salah di depan matamu?”Ivy sudah siap jika harus mendengar ucapan menyakitkan dari Noah. Ia sudah menyiiapkan hatinya.Namun, di luar perkiraan. Keruh d
Kebingungan Ivy terhadap Noah tak akan pernah hilang. Pasalnya, Noah masih saja memperlakukannya dengan sangat manis meski selalu bilang kalau pernikahan mereka tak berdasar cinta.Hal itu membuat Ivy merasa bimbang dan aneh, tapi pada akhirnya ia tetap menuruti semua perilaku dan permainan Noah.Toh, ia pun juga suka saat diperhatikan Noah. Seperti saat ini, ketika ia tiba-tiba mendapatkan segelas jus melon di sebelah tempat tidur.“Aku membuatnya khusus untukmu,” ucap Noah.Ivy mengernyitkan dahi. “Kau? Menyentuh dapur hanya untuk membuatkan jus?”“Ya, aku minta diajarkan oleh Bi Wina sih.”Jawaban Noah tak cocok dengan pertanyaan yang dilempar, tapi cukup untuk memberi Ivy fakta kalau Noah bersungguh-sungguh membuatkan jus melon ini.“Kenapa? Kenapa kau susah payah membuatkan jus untukku?” tanya Ivy, masih ingin mendengar jawaban lain.“Ya… karena buah sehat untuk kesembuhanmu. Kau harus cepat sembuh, kan? Supaya bisa beraktivitas normal lagi.”Mendengar kata “normal” sedikit menya
Ivy kembali ke rumah sakit dengan hati berbunga karena Clara akan tinggal bersamanya mulai detik ini.“Masuklah ke kamarmu,” ucapnya sambil menunjuk kamar yang sebelumnya ia tinggali.Sejak Ivy dan Noah memutuskan menerima Clara di rumah, Noah memindahkan semua barang-barang dan pakaian Ivy ke dalam kamarnya.Ivy juga terus mengingatkan Noah untuk membersihkan kamarnya dengan sebaik mungkin. Ia tak mau Clara mengetahui pernikahan mereka yang sebenarnya tak bahagia.“Kita harus tidur di kamar yang sama. Clara akan curiga kalau kita pisah ranjang,” celetuk Ivy beberapa hari yang lalu.Ajaibnya, Noah tak mengelak sama sekali. Noah bahkan terlihat lebih bersemangat menyiapkan segalanya.“Kau mengubah cat bahkan dekorasi kamarnya?” tanya Ivy setelah mengantar Clara masuk ke kamarnya.Dinding berwarna cokelat muda memenuhi ruangan, juga perabot dengan warna senada hingga menciptakan suasana minimalis.“Ya. Kubuat sebaik mungkin agar tak ada sisa bayangan kau pernah di sini,” jawab Noah samb
Ivy dirawaht selama dua minggu penuh di rumah sakit. Sebenarnya, ia sudah ingin pulang tetapi Noah terus menolak.“Kau harus di sini sampai sembuh.”Terkadang, Ivy dibingungkan dengan semua ucapan dan perilaku Noah. Dia sangat manis, tapi bisa berubah menjadi kejam dalam hitungan detik.Seperti sekarang, saat ia menemukan Ezra sudah berdiri di depan pintu dengan sebuket besar bunga mawar.“Kau memberitahunya kalau kau di sini?!” bentak Noah setelah membanting pintu di depan wajah Ezra.Telinga Ivy rasanya berdenging mendengar suara tinggi Noah sekaligus teriakan Ezra yang meminta dibukakan sambil mengetuk-ngetuk pintu.“Aku tak mengatakan apa-apa padanya. Ponselku rusak, kau tahu kan? Kita bahkan beli ponsel baru dan aku belum menggunakannya sama sekali karena terbaring di rumah sakit.”Ivy akhirnya menjawab dengan panjang lebar untuk menenangkan Noah. Deru napas Noah masih naik turun.“Baiklah, aku mengerti.” Noah mengangguk, tetapi wajahnya masih terlihat kesal karena terus mendeng
Hal pertama yang Ivy lihat adalah sinar lampu yang cukup menyilaukan. Kelopak matanya yang berat jadi kian kesulitan untuk terbuka.Ivy membutuh waktu cukup lama untuk membiasakan diri dengan cahaya lampu yang terang benderang di atas kepalanya. Setelah itu, pupilnya bergerak untuk mencari tahu sedang dimana dirinya.Tak banyak ingatan yang berada di kepala. Hal terakhir yang diingat adalah saat Noah membukakan pintu untuknya sesampainya di rumah.“Argh…” Ivy mengerang karena tubuhnya terasa sulit digerakkan.Bola matanya menjadi satu-satunya yang bisa bergerak bebas. Ia menemukan Noah sedang terlelap di sebelahnya dengan kepala yang tertumpu di sisi ranjang.Melihat wajah Noah yang nampak sayu membuat Ivy teringat akan senyum hangatnya saat Noah berusaha menenangkannya dari sang ayah.“Ah… ya. Aku didorong Ayah dari tangga.” Ivy membatin kala mengingat kejadian akhir yang membuatnya terbaring di sini.“Aku pikir aku akan mati. Ternyata Tuhan masih mengizinkanku untuk tetap hidup.”Iv
Noah sudah memiliki firasat buruk saat mendengar jeritan Ivy. Ia segera berlari dari ruang makan bersama Clara yang mengekor di belakang.“Ivy!”Kaki Noah berlari makin cepat saat melihat Ivy sudah tergeletak di bawah tangga dengan darah yang mengalir deras dari kepalanya.“Astaga, Ivy!” Evan dari arah atas tangga ikut berteriak dengan wajah paniknya.Noah menahan gemeletuk gigi saat melihat Evan yang tengah berpura-pura. Ia yakin kalau semua ini ulahnya.“Kenapa dia bisa jatuh dari tangga?” Evan bertanya dengan wajah polosnya.“Saya tidak tahu. Bukannya Anda yang lebih dulu masuk ke rumah?” geram Noah.“Tapi aku daritadi di kamar. Aku tidak tahu.”Noah ingin berteriak marah, tapi Clara yang datang dengan air mata di wajah membuatnya tersadar kalau ia harus segera membawa Ivy ke rumah sakit.“Kakak!”“Cepat hubungi ambulans, Clara.”“Ya….”Clara mulai menekan panggilan darurat dengan tangan bergetar, sedangkan Noah terus memeluk Ivy dan mencoba menghentikan pendarahan di kepalanya den
Ivy bisa mendengar betapa keras debar jantungnya saat mobil semakin mendekati rumah. Ia berkali-kali mengambil napas panjang demi menenangkan diri.“Kau yakin baik-baik saja?” tanya Noah.“Hm.” Ivy mengangguk.Meski batinnya bersuara, “Tidak. Aku tak pernah baik-baik saja jika bertemu Ayah.”Semua kenangan buruk muncul di kepalanya saat mobil sudah sepenuhnya berhenti di pelataran.Saat ayahnya mencambuknya dengan sabuk tanpa ampun, saat kakinya ditendang, saat rambutnya dijambak….“Ayo.”Kenangan itu memudar saat Ivy merasakan lembut genggaman tangan Noah di atas punggung tangannya.“Ya.”Ivy berusaha keras untuk tersenyum. Dalam hati terus meyakinkan diri bahwa ayahnya tak akan lagi menyiksanya selama bersama Noah.“Kak Ivy!”Ketegangan Ivy makin menghilang saat Clara sudah menyambutnya di teras.“Clara!”Ivy melebarkan kedua tangannya untuk menyambut Clara dalam pelukan. Clara mendekat dan mendekapnya erat-erat.“Aku sangat merindukanmu,” ucap Ivy dengan suara beratnya menahan tang