Ivy memandang setangkai mawar di depannya dengan lesu, persis seperti keadaan mawar yang mulai layu. Padahal baru empat hari sejak bunga itu diberikan Noah, tetapi keadaannya sudah mengenaskan.“Persis sepertiku,” gumamnya.Ivy masih kesal pada Noah yang berhasil mengambil alih bunga di tangannya ketika ia sedang tidak fokus. Beruntung ia bisa menyelamatkan satu tangkai dari api yang diciptakan Noah.“Dasar orang aneh. Kenapa membeli banyak bunga kalau pada akhirnya dibakar?” Ivy sangat tak habis pikir.Padahal, ia masih bisa menyelamatkan semua tangkai bunga itu kalau Noah hanya membuangnya ke tempat sampah.Ivy memang sudah hidup bersama Noah cukup lama, tapi ia masih tak bisa mengerti tentang suaminya. Jarak yang Noah ciptakan dalam hubungan pernikahan ini sangat lebar hingga Ivy kesulitan meraihnya.“Aku bahkan baru tahu kalau dia cukup narsis dan pencemburu.”Ivy sangat yakin dengan pemikirannya. Noah yang marah dan tiba-tiba bertanya tentang ciuman adalah Noah yang nampak mengge
Ivy sadar kalau ia tak memiliki banyak waktu untuk bersembunyi. Saat pintu ruangan kerja itu terbuka, Ivy segera merundukkan tubuhnya ke bawah meja. Hanya ini tempat persembunyian satu-satunya yang bisa didapat.“Iya, aku sudah mengambilnya. Aku akan turun. Jangan berisik, Sam.”Kedua tangan Ivy membekap mulutnya erat-erat demi tak menimbulkan suara apa pun. Ia bahkan menahan napasnya tanpa sadar karena takut embusan napasnya terlalu berisik.Ivy mendengar berkas yang ditarik dari atas meja dan ia juga melihat sepatu Noah. Beruntung Noah tak memutari meja kerjanya sehingga ia bisa sembunyi dengan tenang.Noah segera pergi setelah membawa berkas-berkas di amplop cokelat. Ivy sontak melepas tangannya dari mulut dan menghela napas panjang.“Syukurlah aku tak ketahuan,” gumamnya.Ivy melanjutkan pencariannya dengan lebih gesit. Ia tak mau berada di situasi menegangkan lagi. Ia harus keluar dari ruangan ini secepat mungkin.“Apa ini?”Kerutan di dahi Ivy menjadi berlipat-lipat saat melihat
Ivy sudah terisak-isak selama dua puluh menit sejak mengetahui rahasia yang selama ini Noah sembunyikan darinya. Dan entah mengapa, semua kekesalannya pada Noah membuatnya sangat mengerti.Ia pun juga akan membenci orang yang menghancurkan keluarganya hingga membuat semuanya meninggal. Ia jadi tak mengira seberapa kesepiannya Noah selama ini….“Aku ingin memeluknya,” ucap Ivy dengan bibir yang masih gemetar karena menangis.Sebagai orang yang mengalami kekerasan dari ayahnya dan seberapa sering ia dikurung di kamarnya sendirian, ia bisa memahami perasaan Noah. Dan mungkin, Noah menjalani hari dengan lebih buruk daripada dirinya.“Aku bahkan tak akan terkejut kalau Noah membunuhku.”Ivy terus berbicara dengan dirinya sendiri. Semua ini terlalu mengejutkan, juga menyedihkan.Ivy berada di titik ingin membantu Noah, tapi satu-satunya bantuan yang bisa membahagiakan Noah adalah kepergiannya.“Coba deh dengar. Ada suara menangis, Pak.”Ivy masih menundukkan wajahnya dalam-dalam saat menden
Ivy tak pernah bergerak secepat ini dalam hidupnya. Ketika Pak Fian dan Bi Wina menuruni tangga menuju ruang keamanan, Ivy ikut mengekor. Kemudian berlarian kecil dengan susah payah menuju sumber listrik di sebelah rumah.Ada begitu banyak saluran listrik yang berada di depannya dan ia tak memiliki ide bagian mana yang seharusnya dipotong untuk menyelamatkannya. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol mati lalu menggunting semua kabel di depannya dan melarikan diri.Sayup-sayup ia mendengar seruan Bi Wina. Ivy sedang sembunyi di balik tiang ruang tengah dan melihat Bi Wina berlarian menuju sumber listrik.“Pak! Kabelnya rusak semua!”Tak lama kemudian, Pak Fian turut berlarian mengejar Bi Wina. Ivy menggunakan kesempatan itu untuk memasuki ruang keamanan. Ia membuka laptop dan mencari akses jaringan tempat CCTV terhubung.Ivy mengeksploitasi celah keamanan dan memasang malware yang mampu merusak rekaman video. Virus itu pasti menghancurkan semua rekaman sehingga ia akan aman.Selanjut
“Untuk sementara tinggallah di sini.”Ivy yang baru duduk di tepi ranjang, mengangguk kaku. “Ya....”Noah masih berdiri di depannya. Kedua tangan sibuk mengendurkan dasi yang melilit erat di leher. Dalam sekejap Ivy berdiri untuk membantunya.“Biar aku lepasin.”Entah keberanian dari mana ia bisa berhadapan dengan Noah dalam jarak yang cukup dekat. Ia sudah mengantisipasi apabila Noah akan mendorongnya, tetapi nyatanya Noah tetap diam dan mengizinkannya melepaskan dasi.“Makasih,” ucapnya, pendek.Ivy tersenyum malu-malu. “Sama-sama.”Kemudian, Ivy meletakkan dasi itu di meja sebelah tempat tidur. Kepalanya terus berputar untuk mencari topik pembicaraan karena baru kali ini mereka berada di ruang kamar yang sama setelah kejadian di Seoul.“Berapa lama kita di sini?” tanya Ivy pada akhirnya.Sebenarnya, Ivy masih terkejut saat Noah tiba-tiba mengajaknya ke hotel setelah kejadian kabel putus di rumah. Noah terus berkata kalau keadaan rumah sedang berbahaya. Dan Ivy tak tahu kalau tindak
Sudah satu bulan berlalu sejak Ivy menjadi istri yang sesungguhnya dari Noah. Terkadang, Ivy masih tak menyangka kalau mereka sudah seperti pasangan normal. Ya, meskipun mereka hanya melakukannya satu kali.“Mungkin saat itu Noah sedang stres,” pikirnya sewaktu bertanya-tanya tentang alasan Noah.Yang jelas, tak mungkin Noah melakukannya dengan penuh perasaan. Buktinya, Noah tak pernah menyentuhnya lagi.Noah bahkan lebih sering membuat jarak darinya. Dulu, mereka sudah cukup jauh. Dan sekarang menjadi kian berjarak.Seperti saat ini. Noah yang baru pulang setelah satu minggu ada pekerjaan di Malaysia.“Capek ya?” Ivy meletakkan teh hangat di meja.Noah tak membalas. Matanya bahkan tetap lurus pada televisi di depannya. Ivy pun mengambil duduk di sebelah Noah.“Noah….”Ivy baru memanggil namanya, tetapi Noah sudah mematikan televisi dan beranjak pergi. Sikap Noah yang sangat menghindarinya membuat Ivy kesal sendiri.“Apa kau sebegitu bencinya padaku sampai tak mau berbicara denganku?!
Tokyo di bulan Desember seperti berada di dunia lain. Salju menumpuk di semua tempat. Ivy melihat beberapa petugas kebersihan terus sibuk bekerja menyingkirkan salju-salju di jalanan.“Hacim!”Ivy bersin untuk yang sepuluh kalinya. Kedua tangannya mengeratkan mantel cokelat dengan tubuh gemetar.Ah, jari-jemarinya seperti mati rasa karena ia tak mengenakan sarung tangan. Ia memang tak memilikinya dan tak sempat membeli di bandara karena Noah terus berjalan dengan cepat hingga ia takut ketinggalan.“Ini.”Ivy yang sibuk menggosok kedua tangannya untuk mencari kehangatan langsung termenung saat melihat Noah menjulurkan syal hitam yang semula berada di lehernya.“Pakailah sebelum kau mati kedinginan,” ucapnya.Akan tetapi, Ivy tak langsung menerimanya. Ia menatap Noah yang kini lehernya mulai memerah karena terkena angin musim dingin.“Tidak perlu. Kau juga kedinginan,” tolak Ivy pada akhirnya.Noah berdecak, “Ya sudah.”Noah melilitkan syal itu kembali ke lehernya. Kemudian ia menatap p
Pesta yang menjadi kedok perjanjian bisnis itu berlangsung megah di sebuah hotel bintang lima tak jauh dari tempat Noah dan Ivy menginap. Semenjak masuk ke lobi, Noah sudah menggenggam tangannya erat-erat.Mereka memang harus berakting sebagai suami-istri yang harmonis dan penuh cinta apabila di tempat umum, terutama acara penting yang membawa nama perusahaan Noah.“Itu dia. Pak Mikail. Dia memiliki jaringan bisnis yang luas di bidang hotel dan pariwisata. Bisnisnya sudah menjalar di seluruh dunia,” bisik Noah sambil menunjuk seorang lelaki berkumis putih yang berjarak lima meter dari tempat mereka berdiri.“Aku penasaran. Jika dia orang Indonesia, kenapa repot-repot mengadakan pesta di Tokyo?” balas Ivy.“Hotel ini adalah miliknya. Pesta ini diselenggarakan sebagai tanda Grand Opening. Banyak pebisnis yang diundang dan ingin datang demi menjalin kerja sama. Dia orang sibuk dan jarang sekali memiliki waktu luang sehingga banyak yang menggunakan kesempatan ini untuk mengajukan kolabora
“Kau serius?”Ezra masih menanyakan hal yang sama selama sepuluh kali selama lima menit terakhir dan Ivy juga mengangguk selama sepuluh kali pula. Ivy tahu kalau keputusannya akan mengejutkan Ezra.Sebagai teman, Ivy berpikir kalau bisa mengatakannya pada Ezra. Apalagi mereka sedang merencanakan hal penti yang terkait perusahaan Noah juga.“Lupakan masalah rencana pembatalan akuisisi ini. Sekarang ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi.”Ezra menyingkirkan berkas di depan Ivy, juga cangkir kopi dan segelas blueberry smoothies milik Ivy. Kemudian, ia memajukan tubuhnya seolah siap mendengar semua cerita yang Ivy tumpahkan.Namun, Ivy bukan orang yang bisa menceritakan masalah keluarganya kepada orang lain. Meskipun ia cukup dengan Ezra, ia tak bisa melupakan bagaimana kacaunya keadaaan ini bermula saat Noah menuduhnya berselingkuh dengan Ezra.“Aku tak bisa mengatakannya,” tolak Ivy.Ada gurat kekecewaan yang besar di wajah Ezra.“Yang jelas hubunganku dengan Noah akan berakhir,”
Jalanan nampak padat meski terik matahari sedang membakar seluruh penjuru kota. Orang-orang berdesakan di segala arah dengan tempo cepat. Beberapa di antaranya terus-menerus mengecek jam tangan, mungkin takut kehabisan waktu istirahat makan siang.Semua orang sibuk. Hanya Ivy yang tetap duduk tenang di lantai dua kafe Evora selama empat puluh menit terakhir.Air mukanya tenang. Pun tak ada pergerakan berarti dari tubuhnya selain sesekali mengangkat cangkir cokelat panasnya yang mulai mendingin ke bela bibir. Namun, apa yang ada dalam hati dan jiwanya lebih berantakan dari segala hal yang sedang ia lihat di jalanan.Sudah dua malam ia tak bisa tidur sejak menyaksikan perselingkuhan Noah dan Clara. Meski sudah meyakinkan diri berkali-kali kalau ia tak masalah, nyatanya ia memang terluka cukup parah.“Maaf sudah terlambat!” Ezra menarik kursi di depan Ivy dengan napas tersendat-sendat.Lilitan dasi yang melingkar di lehernya ia kendorkan. Ivy tersenyum kecil, lalu mendorong cold brew yan
Sebesar apapun usaha Ivy untuk menjauhi Noah, kakinya yang cacat ini tak pernah sebanding dengan langkah Noah yang lebar-lebar. “Ivy! Dengarkan penjelasanku dulu!” Noah menghadang langkah Ivy.Ivy tak bisa menatap Noah sedikitpun. Wajahnya langsung berpaling dari Noah, lalu memilih berbelok untuk menghindar dari Noah.“Ivy….” Noah menjambak rambutnya frustrasi.Tubuhnya masih panas, tetapi ia harus menguasai diri agar tak membuat semuanya lebih hancur lagi.“Ivy!” Noah berteriak putus asa saat Ivy membanting pintu kamar di depannya. Ia terus berusaha mengetuk pintu itu sekeras mungkin, tapi Ivy tetap tak menyahutinya sama sekali.Di dalam kamar, Ivy hanya bisa tenggelam dalam air matanya. Ia tergugu di atas tempat tidur dengan kekecewaan yang telah menggunung.“Kenapa aku kaget? Kenapa aku kecewa? Bukannya aku sudah mengatakan kalau aku mengizinkan Noah seandainya ia bersama Clara?”Sejak tadi, Ivy hanya bisa menanyai dirinya sendiri. Ia merasa menjadi manusia yang paling bermuka du
“Eh? Ini bukannya jam tangan Noah?” Ivy mengambil jam tangan yang tergeletak di meja makan dengan bingung. “Bagaimana bisa Noah melupakan jam tangannya dan pergi begitu saja?” gumamnya kemudian.Ia segera mengantongi jam tangan Noah dan melupakan niatnya untuk membantu Bi Dina membersihkan meja.“Maaf ya, Bi. Saya harus menyusul Noah ke depan secepatnya,” pamit Ivy.“Iya, tak masalah, Nyonya. Saya memang tak enak dan sungkan kalau Nyonya selalu membantu saya,” balas Bi Dina.Ivy tersenyum. “Tenang saja. Tak merepotkan kok.”Ivy menggerakkan kruknya dengan lebih cepat agar masih sempat menahan Noah yang akan berangkat kerja. Namun, langkahnya dihentikan oleh seorang staf keamanan saat ia akan memasuki garasi.“Kenapa?” tanya Ivy dengan bingung.Pegawai bernama Beni itu tampak canggung dan gugup.“Tuan Noah masih sibuk di dalam,” jawabnya.Tentu jawaban itu sangat aneh bagi Ivy. Apa yang Noah lakukan sampai dia sibuk di garasi? Jangan-jangan ayahnya membuat ulah lagi hingga Noah samp
Clara segera mengembalikan botol yang sudah kosong ke saku celananya setelah usai melaksanakan rencana besarnya. Ia pun mengaduk kopi Noah, lalu memasukkan satu gula lagi di kopinya agar ia terlihat sibuk di depan nampan. “Kopi datang!”Clara tersenyum riang saat meletakkan kopi Noah di sebelah piringnya dan kopinya sendiri di depannya. “Terima kasih,” ucap Noah dengan acuh. “Sama-sama,” balas Clara, masih dengan senyuman lima jarinya. “Dan kurasa kau harus makan dulu sebelum minum kopi demi kebaikan lambungmu,” lanjutnya kemudian. Ivy mengangguk-angguk. “Benar kata Clara. Kau ini memang memiliki kebiasaan buruk dengan minum kopi saat perut kosong.”Cangkir yang sudah di depan bibir kembali Noah letakkan di atas meja. Ia tak bisa mengelak ketika istrinya sudah bersabda. Clara sendiri merasa cukup lega, karena efek cairan cinta yang ia letakkan di kopi Noah cukup banyak sehingga pasti langsung berefek. Ia tak ingin ada Ivy saat efek dari minuman itu mulai bereaksi. Ia harus menci
Clara membanting pintu kamarnya dengan penuh emosi. Semua ini karena Ivy yang sudah berbuat sesukanya.“Kurang ajar. Dia sudah mulai berani,” gumamnya dengan napas pendek-pendek, menahan amarah.Wajah Ivy yang menyebalkan membuatnya makin geram. Bantal di dekatnya menjadi pelampiasan emosi. Ia meninju-ninju bantal itu dengan kekuatan penuh selagi membayangkan wajah Ivy.“Awas saja. Akan kubuat kau menyesal,” geram Clara.Ada sebuah ide yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Mengundang senyuman kecil yang penuh kelicikan.“Aku hampir melupakan ide itu.”Clara segera membuka laci mejanya, lalu meraih botol kecil yang baru ia beli melalui daring beberapa hari yang lalu.“Aku tahu kalau kau akan bermanfaat, tapi aku tak tahu kalau akan kugunakan secepat ini,” ucap Clara dengan tertawa girang sambil menatap botol berisi cairan cinta itu.Clara segera memasukkannya ke dalam saku, lalu buru-buru kembali keluar dari kamar untuk melancarkan aksi.Sebentar lagi Noah akan berangkat kerja dan biasan
Sudah satu minggu terakhir Clara telihat berbeda. Bukan hanya Ivy yang merasakan perubahan sikap Clara, tapi juga Noah.“Aku merasa ada hal busuk yang sedang dia rencanakan,” ungkap Noah.Ivy memberengut. “Kau terlalu berpikir buruk. Bagaimana kalau dia memang sudah menyadari kesalahannya dan ingin memperbaiki semuanya.”“Itu lebih tak mungkin lagi.”Ivy tak bisa menahan helaan napas panjangnya saat ia dan Noah kembali berbeda pandangan. Noah masih berjalan kesana-kemari dengan wajah bingung.Tanpa bicara pun, Ivy bisa menebak bagaimana isi kepalanya.“Cobalah untuk tak terlalu mencurigainya,” pesan Ivy, yang langsung mendapat lirikan tajam dari Noah.Langkah Noah yang tak menentu itu bahkan sudah berakhir. Kini, ia berdiri di depan Ivy dengan tangan yang menyilang di depan dada.“Dan kau juga cobalah untuk tak selalu berprasangka baik. Aku tahu kalau pada dasarnya kau memang baik sehingga menyangsikan setiap kejahatan orang lain. Tapi… ayolah, Sayang.”Noah mengelus pipi Ivy. Berhara
“Iya. Aku sudah mengirim beberapa berkas yang kudapatkan ke email. Kau sudah mengeceknya?”Ivy mengapit ponselnya di antara telinga dan bahu kanan karena tangannya sibuk membereskan beberapa lembar catatan yang ia buat semalaman.Di balik telepon, terdengar suara Ezra yang berat dan lelah.“Ya, aku sudah mengeceknya. Akan kubaca sekarang. Hacim!”Dahi Ivy berkerut. Ia memindahkan ponselnya ke telinga kiri setelah berkas-berkas di tangannya sudah dimasukkan ke dalam laci.“Kau sakit?” tanyanya.“Ya. Sedikit flu. Sepertinya terlalu lelah. Pekerjaanku agak berat akhir-akhir ini.”Seketika perasaan bersalah menyeruak ke seluruh relung hati Ivy. Tanpa bertanya pun, ia tahu kalau semua kesusahan Ezra juga disebabkan oleh ayahnya.“Kalau begitu istirahatlah dulu. Baca data dariku nanti saja,” ucap Ivy sungguh-sungguh.Ia sudah cukup merasa bersalah pada Ezra dan ia akan makin tak enak hati jika membuatnya semakin kerepotan.“Tak apa. Kita juga harus bertindak cepat agar semuanya kembali sepe
Ivy berdiri diam di depan pintu kamar tamu yang akan ditempati Noah dengan cukup lama. Tangannya ragu saat ingin memutar knop pintu. Namun, ia harus memastikan kebenaran ucapan Clara.“Ivy?”Ivy tersentak saat pintu itu terbuka dari dalam. Noah berdiri di depannya dengan bingung.“Kenapa hanya berdiri di sini? Tak masuk?” tanyanya.“Ini mau masuk,” balas Ivy.Noah memundurkan langkahnya agar Ivy bisa berjalan maju dan masuk ke kamar tamu. Ia membiarkan Ivy memandang kamar yang masih berantakan itu dengan keheranan.“Pasti ada yang ingin kau bicarakan padaku, kan?” tebak Noah.Ivy yang sedang memperhatikan koper Noah hanya berdehem. Ia berjalan mendekati koper itu dan merapikan sisa pakaian yang belum diletakkan di lemari.“Mau bicara apa?” Noah kembali bertanya dengan berjalan mendekati Ivy.Noah lupa dengan niatnya untuk keluar kamar mencari minuman. Baginya, Ivy memang bagai magnet yang selalu menariknya.“Ada sesuatu….”Ivy menundukkan kepalanya. Ia tak berani memandang mata Noah k