“Mana mungkin aku selingkuh!”Ivy tak sengaja meninggikan suaranya saat menjawab tuduhan Noah. Bukan salahnya yang tak bisa mengatur suaranya. Semua ini karena Noah sendiri yang tiba-tiba mengatakan hal mustahil.Selingkuh? Bagaimana mungkin ia menjalin hubungan dengan orang lain di saat mempertahankan hubungan dengan suaminya saja ia tak bisa?“Kenapa tidak mungkin? Buktinya kau begitu fokus dengan ponselmu saat ada aku di depanmu!” pekik Noah.Ivy ingin kembali mengelak, tetapi tersadarkan dengan suatu hal. Perdebatan mereka kali ini membuat mereka terlihat seperti suami-istri pada umumnya.Noah terlihat seperti suami yang sedang cemburu pada istrinya. Dan hal itu, entah kenapa membuatnya bahagia.“Tunggu… apa kau cemburu?” tanyanya kemudian.“Cemburu? Dalam mimpimu!” elak Noah dengan beranjak dari kursinya.Ivy mendongak untuk mengikuti pergerakan Noah yang kini sudah berdiri dengan kedua tangan bersendekap dada. Noah benar-benar tampak marah dan ia masih tak tahu alasannya.“Kalau
Ivy memandang setangkai mawar di depannya dengan lesu, persis seperti keadaan mawar yang mulai layu. Padahal baru empat hari sejak bunga itu diberikan Noah, tetapi keadaannya sudah mengenaskan.“Persis sepertiku,” gumamnya.Ivy masih kesal pada Noah yang berhasil mengambil alih bunga di tangannya ketika ia sedang tidak fokus. Beruntung ia bisa menyelamatkan satu tangkai dari api yang diciptakan Noah.“Dasar orang aneh. Kenapa membeli banyak bunga kalau pada akhirnya dibakar?” Ivy sangat tak habis pikir.Padahal, ia masih bisa menyelamatkan semua tangkai bunga itu kalau Noah hanya membuangnya ke tempat sampah.Ivy memang sudah hidup bersama Noah cukup lama, tapi ia masih tak bisa mengerti tentang suaminya. Jarak yang Noah ciptakan dalam hubungan pernikahan ini sangat lebar hingga Ivy kesulitan meraihnya.“Aku bahkan baru tahu kalau dia cukup narsis dan pencemburu.”Ivy sangat yakin dengan pemikirannya. Noah yang marah dan tiba-tiba bertanya tentang ciuman adalah Noah yang nampak mengge
Ivy sadar kalau ia tak memiliki banyak waktu untuk bersembunyi. Saat pintu ruangan kerja itu terbuka, Ivy segera merundukkan tubuhnya ke bawah meja. Hanya ini tempat persembunyian satu-satunya yang bisa didapat.“Iya, aku sudah mengambilnya. Aku akan turun. Jangan berisik, Sam.”Kedua tangan Ivy membekap mulutnya erat-erat demi tak menimbulkan suara apa pun. Ia bahkan menahan napasnya tanpa sadar karena takut embusan napasnya terlalu berisik.Ivy mendengar berkas yang ditarik dari atas meja dan ia juga melihat sepatu Noah. Beruntung Noah tak memutari meja kerjanya sehingga ia bisa sembunyi dengan tenang.Noah segera pergi setelah membawa berkas-berkas di amplop cokelat. Ivy sontak melepas tangannya dari mulut dan menghela napas panjang.“Syukurlah aku tak ketahuan,” gumamnya.Ivy melanjutkan pencariannya dengan lebih gesit. Ia tak mau berada di situasi menegangkan lagi. Ia harus keluar dari ruangan ini secepat mungkin.“Apa ini?”Kerutan di dahi Ivy menjadi berlipat-lipat saat melihat
Ivy sudah terisak-isak selama dua puluh menit sejak mengetahui rahasia yang selama ini Noah sembunyikan darinya. Dan entah mengapa, semua kekesalannya pada Noah membuatnya sangat mengerti.Ia pun juga akan membenci orang yang menghancurkan keluarganya hingga membuat semuanya meninggal. Ia jadi tak mengira seberapa kesepiannya Noah selama ini….“Aku ingin memeluknya,” ucap Ivy dengan bibir yang masih gemetar karena menangis.Sebagai orang yang mengalami kekerasan dari ayahnya dan seberapa sering ia dikurung di kamarnya sendirian, ia bisa memahami perasaan Noah. Dan mungkin, Noah menjalani hari dengan lebih buruk daripada dirinya.“Aku bahkan tak akan terkejut kalau Noah membunuhku.”Ivy terus berbicara dengan dirinya sendiri. Semua ini terlalu mengejutkan, juga menyedihkan.Ivy berada di titik ingin membantu Noah, tapi satu-satunya bantuan yang bisa membahagiakan Noah adalah kepergiannya.“Coba deh dengar. Ada suara menangis, Pak.”Ivy masih menundukkan wajahnya dalam-dalam saat menden
Ivy tak pernah bergerak secepat ini dalam hidupnya. Ketika Pak Fian dan Bi Wina menuruni tangga menuju ruang keamanan, Ivy ikut mengekor. Kemudian berlarian kecil dengan susah payah menuju sumber listrik di sebelah rumah.Ada begitu banyak saluran listrik yang berada di depannya dan ia tak memiliki ide bagian mana yang seharusnya dipotong untuk menyelamatkannya. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol mati lalu menggunting semua kabel di depannya dan melarikan diri.Sayup-sayup ia mendengar seruan Bi Wina. Ivy sedang sembunyi di balik tiang ruang tengah dan melihat Bi Wina berlarian menuju sumber listrik.“Pak! Kabelnya rusak semua!”Tak lama kemudian, Pak Fian turut berlarian mengejar Bi Wina. Ivy menggunakan kesempatan itu untuk memasuki ruang keamanan. Ia membuka laptop dan mencari akses jaringan tempat CCTV terhubung.Ivy mengeksploitasi celah keamanan dan memasang malware yang mampu merusak rekaman video. Virus itu pasti menghancurkan semua rekaman sehingga ia akan aman.Selanjut
“Untuk sementara tinggallah di sini.”Ivy yang baru duduk di tepi ranjang, mengangguk kaku. “Ya....”Noah masih berdiri di depannya. Kedua tangan sibuk mengendurkan dasi yang melilit erat di leher. Dalam sekejap Ivy berdiri untuk membantunya.“Biar aku lepasin.”Entah keberanian dari mana ia bisa berhadapan dengan Noah dalam jarak yang cukup dekat. Ia sudah mengantisipasi apabila Noah akan mendorongnya, tetapi nyatanya Noah tetap diam dan mengizinkannya melepaskan dasi.“Makasih,” ucapnya, pendek.Ivy tersenyum malu-malu. “Sama-sama.”Kemudian, Ivy meletakkan dasi itu di meja sebelah tempat tidur. Kepalanya terus berputar untuk mencari topik pembicaraan karena baru kali ini mereka berada di ruang kamar yang sama setelah kejadian di Seoul.“Berapa lama kita di sini?” tanya Ivy pada akhirnya.Sebenarnya, Ivy masih terkejut saat Noah tiba-tiba mengajaknya ke hotel setelah kejadian kabel putus di rumah. Noah terus berkata kalau keadaan rumah sedang berbahaya. Dan Ivy tak tahu kalau tindak
Sudah satu bulan berlalu sejak Ivy menjadi istri yang sesungguhnya dari Noah. Terkadang, Ivy masih tak menyangka kalau mereka sudah seperti pasangan normal. Ya, meskipun mereka hanya melakukannya satu kali.“Mungkin saat itu Noah sedang stres,” pikirnya sewaktu bertanya-tanya tentang alasan Noah.Yang jelas, tak mungkin Noah melakukannya dengan penuh perasaan. Buktinya, Noah tak pernah menyentuhnya lagi.Noah bahkan lebih sering membuat jarak darinya. Dulu, mereka sudah cukup jauh. Dan sekarang menjadi kian berjarak.Seperti saat ini. Noah yang baru pulang setelah satu minggu ada pekerjaan di Malaysia.“Capek ya?” Ivy meletakkan teh hangat di meja.Noah tak membalas. Matanya bahkan tetap lurus pada televisi di depannya. Ivy pun mengambil duduk di sebelah Noah.“Noah….”Ivy baru memanggil namanya, tetapi Noah sudah mematikan televisi dan beranjak pergi. Sikap Noah yang sangat menghindarinya membuat Ivy kesal sendiri.“Apa kau sebegitu bencinya padaku sampai tak mau berbicara denganku?!
Tokyo di bulan Desember seperti berada di dunia lain. Salju menumpuk di semua tempat. Ivy melihat beberapa petugas kebersihan terus sibuk bekerja menyingkirkan salju-salju di jalanan.“Hacim!”Ivy bersin untuk yang sepuluh kalinya. Kedua tangannya mengeratkan mantel cokelat dengan tubuh gemetar.Ah, jari-jemarinya seperti mati rasa karena ia tak mengenakan sarung tangan. Ia memang tak memilikinya dan tak sempat membeli di bandara karena Noah terus berjalan dengan cepat hingga ia takut ketinggalan.“Ini.”Ivy yang sibuk menggosok kedua tangannya untuk mencari kehangatan langsung termenung saat melihat Noah menjulurkan syal hitam yang semula berada di lehernya.“Pakailah sebelum kau mati kedinginan,” ucapnya.Akan tetapi, Ivy tak langsung menerimanya. Ia menatap Noah yang kini lehernya mulai memerah karena terkena angin musim dingin.“Tidak perlu. Kau juga kedinginan,” tolak Ivy pada akhirnya.Noah berdecak, “Ya sudah.”Noah melilitkan syal itu kembali ke lehernya. Kemudian ia menatap p
Ivy tak tidur. Saat Noah membisikkan panggilan sayang padanya, rasa kantuknya sudah terbang ke antah berantah.Ia yakin kalau Noah sudah berubah dan ia ingin kembali membicarakan tentang perasaan padanya sekali lagi. Karena sikap Noah telah melambungkan harapannya.Ia menunggu di kamar selama lima menit…Sepuluh menit….Bahkan sudah dua puluh menit, Noah tak kunjung kembali.“Sebenarnya dia kemana?” gumam Ivy.Ivy menyibakkan selimutnya, lalu berjalan keluar kamar. Ia berniat mencari keberadaan Noah. Mungkin saja ia berada di ruang kantornya untuk mengambil beberapa berkas.“Aku harus memarahinya kalau dia tetap bekerja selarut ini,” gumamnya.Saat Ivy membuka pintu, ruang kerja Noah diliputi kegelapan. Artinya, Noah tak berada di sana.“Lalu di mana dia?”Ivy tak tahan untuk berdecak, kebingungan. Ia segera menutup kembali pintu kantor Noah, lalu berjalan menuruni tangga.Kakinya masih terlalu sakit digerakkan sehingga setiap langkah yang tercipta terasa berat. Ia bahkan ingin menyer
Ivy kira Noah akan kembali dingin setelah perbincangan mereka di halaman belakang rumah. Ia sudah siap dengan sikap Noah yang kejam seperti sebelumnya, tapi rupanya ia salah besar.Noah masih tetap manis. Dia tak menghindar sama sekali.Awalnya, Ivy mengira kalau Noah akan bersikap baik untuk berakting di depang Clara. Namun, dia tetap lembut bahkan hanya saat ada mereka berdua saja.“Noah.”Noah sedang sibuk dengan laptopnya saat Ivy memanggil dengan penuh keraguan.“Ada apa?” sahut Noah sambil meletakkan laptop yang sebelumnya dipangku di paha ke atas kasur.Lagi-lagi itu adalah pemandangan aneh. Sudah beberapa hari ini Noah membawa pekerjaannya di kamar, padahal biasanya ia selalu menghabiskan waktu lama berkutat dengan pekerjaannya di dalam ruang kerja.“Tidak. Tidak apa-apa,” balas Ivy dengan menggeleng.Noah mengerutkan dahinya. “Kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu?”Ivy menggigit bibirnya, berpikir lebih dalam untuk mengutarakan isi hatinya atau tidak.“Kenapa, Ivy?” tanya Noah
Selama seharian ini Ivy melihat Noah lebih banyak diam. Kerut di dahinya terus berlipat-lipat, menandakan suasana hatinya sedang buruk.Ivy memilih untuk menghindar karena takut semakin memperburuk perasaan Noah. Biar bagaimanapun, ia masih tahu diri kalau Noah bisa saja masih sangat membencinya.“Kenapa kau menghindar?”Ivy sedang menatap beberapa mawar yang mekar dengan cantik di halaman belakang saat Noah datang dengan raut marahnya.“Apa… apa aku berbuat salah?” tanya Ivy dengan tergagap.Noah menjawab dengan dengusan, “Kau daritadi menghindar.”“Ya, karena aku tahu kau sedang marah. Jadi aku tak ingin memperburuk-”“Justru kau malah makin memperburuknya.”Ivy mengambil napas dalam-dalam kala mendengar ucapan Noah. Ia mencoba menenangkan dirinya sebelum membalas Noah.“Lalu apa yang seharusnya kulakukan? Kenapa rasanya aku selalu salah di depan matamu?”Ivy sudah siap jika harus mendengar ucapan menyakitkan dari Noah. Ia sudah menyiiapkan hatinya.Namun, di luar perkiraan. Keruh d
Kebingungan Ivy terhadap Noah tak akan pernah hilang. Pasalnya, Noah masih saja memperlakukannya dengan sangat manis meski selalu bilang kalau pernikahan mereka tak berdasar cinta.Hal itu membuat Ivy merasa bimbang dan aneh, tapi pada akhirnya ia tetap menuruti semua perilaku dan permainan Noah.Toh, ia pun juga suka saat diperhatikan Noah. Seperti saat ini, ketika ia tiba-tiba mendapatkan segelas jus melon di sebelah tempat tidur.“Aku membuatnya khusus untukmu,” ucap Noah.Ivy mengernyitkan dahi. “Kau? Menyentuh dapur hanya untuk membuatkan jus?”“Ya, aku minta diajarkan oleh Bi Wina sih.”Jawaban Noah tak cocok dengan pertanyaan yang dilempar, tapi cukup untuk memberi Ivy fakta kalau Noah bersungguh-sungguh membuatkan jus melon ini.“Kenapa? Kenapa kau susah payah membuatkan jus untukku?” tanya Ivy, masih ingin mendengar jawaban lain.“Ya… karena buah sehat untuk kesembuhanmu. Kau harus cepat sembuh, kan? Supaya bisa beraktivitas normal lagi.”Mendengar kata “normal” sedikit menya
Ivy kembali ke rumah sakit dengan hati berbunga karena Clara akan tinggal bersamanya mulai detik ini.“Masuklah ke kamarmu,” ucapnya sambil menunjuk kamar yang sebelumnya ia tinggali.Sejak Ivy dan Noah memutuskan menerima Clara di rumah, Noah memindahkan semua barang-barang dan pakaian Ivy ke dalam kamarnya.Ivy juga terus mengingatkan Noah untuk membersihkan kamarnya dengan sebaik mungkin. Ia tak mau Clara mengetahui pernikahan mereka yang sebenarnya tak bahagia.“Kita harus tidur di kamar yang sama. Clara akan curiga kalau kita pisah ranjang,” celetuk Ivy beberapa hari yang lalu.Ajaibnya, Noah tak mengelak sama sekali. Noah bahkan terlihat lebih bersemangat menyiapkan segalanya.“Kau mengubah cat bahkan dekorasi kamarnya?” tanya Ivy setelah mengantar Clara masuk ke kamarnya.Dinding berwarna cokelat muda memenuhi ruangan, juga perabot dengan warna senada hingga menciptakan suasana minimalis.“Ya. Kubuat sebaik mungkin agar tak ada sisa bayangan kau pernah di sini,” jawab Noah samb
Ivy dirawaht selama dua minggu penuh di rumah sakit. Sebenarnya, ia sudah ingin pulang tetapi Noah terus menolak.“Kau harus di sini sampai sembuh.”Terkadang, Ivy dibingungkan dengan semua ucapan dan perilaku Noah. Dia sangat manis, tapi bisa berubah menjadi kejam dalam hitungan detik.Seperti sekarang, saat ia menemukan Ezra sudah berdiri di depan pintu dengan sebuket besar bunga mawar.“Kau memberitahunya kalau kau di sini?!” bentak Noah setelah membanting pintu di depan wajah Ezra.Telinga Ivy rasanya berdenging mendengar suara tinggi Noah sekaligus teriakan Ezra yang meminta dibukakan sambil mengetuk-ngetuk pintu.“Aku tak mengatakan apa-apa padanya. Ponselku rusak, kau tahu kan? Kita bahkan beli ponsel baru dan aku belum menggunakannya sama sekali karena terbaring di rumah sakit.”Ivy akhirnya menjawab dengan panjang lebar untuk menenangkan Noah. Deru napas Noah masih naik turun.“Baiklah, aku mengerti.” Noah mengangguk, tetapi wajahnya masih terlihat kesal karena terus mendeng
Hal pertama yang Ivy lihat adalah sinar lampu yang cukup menyilaukan. Kelopak matanya yang berat jadi kian kesulitan untuk terbuka.Ivy membutuh waktu cukup lama untuk membiasakan diri dengan cahaya lampu yang terang benderang di atas kepalanya. Setelah itu, pupilnya bergerak untuk mencari tahu sedang dimana dirinya.Tak banyak ingatan yang berada di kepala. Hal terakhir yang diingat adalah saat Noah membukakan pintu untuknya sesampainya di rumah.“Argh…” Ivy mengerang karena tubuhnya terasa sulit digerakkan.Bola matanya menjadi satu-satunya yang bisa bergerak bebas. Ia menemukan Noah sedang terlelap di sebelahnya dengan kepala yang tertumpu di sisi ranjang.Melihat wajah Noah yang nampak sayu membuat Ivy teringat akan senyum hangatnya saat Noah berusaha menenangkannya dari sang ayah.“Ah… ya. Aku didorong Ayah dari tangga.” Ivy membatin kala mengingat kejadian akhir yang membuatnya terbaring di sini.“Aku pikir aku akan mati. Ternyata Tuhan masih mengizinkanku untuk tetap hidup.”Iv
Noah sudah memiliki firasat buruk saat mendengar jeritan Ivy. Ia segera berlari dari ruang makan bersama Clara yang mengekor di belakang.“Ivy!”Kaki Noah berlari makin cepat saat melihat Ivy sudah tergeletak di bawah tangga dengan darah yang mengalir deras dari kepalanya.“Astaga, Ivy!” Evan dari arah atas tangga ikut berteriak dengan wajah paniknya.Noah menahan gemeletuk gigi saat melihat Evan yang tengah berpura-pura. Ia yakin kalau semua ini ulahnya.“Kenapa dia bisa jatuh dari tangga?” Evan bertanya dengan wajah polosnya.“Saya tidak tahu. Bukannya Anda yang lebih dulu masuk ke rumah?” geram Noah.“Tapi aku daritadi di kamar. Aku tidak tahu.”Noah ingin berteriak marah, tapi Clara yang datang dengan air mata di wajah membuatnya tersadar kalau ia harus segera membawa Ivy ke rumah sakit.“Kakak!”“Cepat hubungi ambulans, Clara.”“Ya….”Clara mulai menekan panggilan darurat dengan tangan bergetar, sedangkan Noah terus memeluk Ivy dan mencoba menghentikan pendarahan di kepalanya den
Ivy bisa mendengar betapa keras debar jantungnya saat mobil semakin mendekati rumah. Ia berkali-kali mengambil napas panjang demi menenangkan diri.“Kau yakin baik-baik saja?” tanya Noah.“Hm.” Ivy mengangguk.Meski batinnya bersuara, “Tidak. Aku tak pernah baik-baik saja jika bertemu Ayah.”Semua kenangan buruk muncul di kepalanya saat mobil sudah sepenuhnya berhenti di pelataran.Saat ayahnya mencambuknya dengan sabuk tanpa ampun, saat kakinya ditendang, saat rambutnya dijambak….“Ayo.”Kenangan itu memudar saat Ivy merasakan lembut genggaman tangan Noah di atas punggung tangannya.“Ya.”Ivy berusaha keras untuk tersenyum. Dalam hati terus meyakinkan diri bahwa ayahnya tak akan lagi menyiksanya selama bersama Noah.“Kak Ivy!”Ketegangan Ivy makin menghilang saat Clara sudah menyambutnya di teras.“Clara!”Ivy melebarkan kedua tangannya untuk menyambut Clara dalam pelukan. Clara mendekat dan mendekapnya erat-erat.“Aku sangat merindukanmu,” ucap Ivy dengan suara beratnya menahan tang