Tokyo di bulan Desember seperti berada di dunia lain. Salju menumpuk di semua tempat. Ivy melihat beberapa petugas kebersihan terus sibuk bekerja menyingkirkan salju-salju di jalanan.“Hacim!”Ivy bersin untuk yang sepuluh kalinya. Kedua tangannya mengeratkan mantel cokelat dengan tubuh gemetar.Ah, jari-jemarinya seperti mati rasa karena ia tak mengenakan sarung tangan. Ia memang tak memilikinya dan tak sempat membeli di bandara karena Noah terus berjalan dengan cepat hingga ia takut ketinggalan.“Ini.”Ivy yang sibuk menggosok kedua tangannya untuk mencari kehangatan langsung termenung saat melihat Noah menjulurkan syal hitam yang semula berada di lehernya.“Pakailah sebelum kau mati kedinginan,” ucapnya.Akan tetapi, Ivy tak langsung menerimanya. Ia menatap Noah yang kini lehernya mulai memerah karena terkena angin musim dingin.“Tidak perlu. Kau juga kedinginan,” tolak Ivy pada akhirnya.Noah berdecak, “Ya sudah.”Noah melilitkan syal itu kembali ke lehernya. Kemudian ia menatap p
Pesta yang menjadi kedok perjanjian bisnis itu berlangsung megah di sebuah hotel bintang lima tak jauh dari tempat Noah dan Ivy menginap. Semenjak masuk ke lobi, Noah sudah menggenggam tangannya erat-erat.Mereka memang harus berakting sebagai suami-istri yang harmonis dan penuh cinta apabila di tempat umum, terutama acara penting yang membawa nama perusahaan Noah.“Itu dia. Pak Mikail. Dia memiliki jaringan bisnis yang luas di bidang hotel dan pariwisata. Bisnisnya sudah menjalar di seluruh dunia,” bisik Noah sambil menunjuk seorang lelaki berkumis putih yang berjarak lima meter dari tempat mereka berdiri.“Aku penasaran. Jika dia orang Indonesia, kenapa repot-repot mengadakan pesta di Tokyo?” balas Ivy.“Hotel ini adalah miliknya. Pesta ini diselenggarakan sebagai tanda Grand Opening. Banyak pebisnis yang diundang dan ingin datang demi menjalin kerja sama. Dia orang sibuk dan jarang sekali memiliki waktu luang sehingga banyak yang menggunakan kesempatan ini untuk mengajukan kolabora
Ivy merasa terjebak. Karena tangisan yang tak bisa dibendung, serta rasa takut ketahuan Ezra tentang rahasia pernikahannya, membuat ia berakhir di bar bersama pria dengan rambut panjang yang hampir menyentuh bahu ini.Sudah dua puluh menit Ivy terus terisak dan Ezra yang duduk di sampingnya masih setia mendampingi.“A—aku tidak minum alkohol,” tolak Ivy saat Ezra mendorong segelas vodka untuknya.“Baiklah.”Gelas itu ditarik kembali, lalu dihabiskan dalam sekali tandas. Ivy masih berusaha menghapus air matanya dengan sapu tangan yang sebelumnya diberikan Ezra.“Kau benar-benar telah menyia-nyiakan hidupmu dengan menikahi Noah,” celetuk Ezra.Ivy tak menggubrisnya. Toh, Ezra tak mengetahui kalau hidupnya sebelum menikah dengan Noah bahkan lebih buruk.“Tolong... tolong jangan katakan pada siapapun apa yang kau dengar hari ini,” ucap Ivy dengan gugup sampai-sampai membuatnya tergagap.Ezra mengerutkan dahinya. “Yang mana ya? Tentang suamimu yang bermesraan dengan putri Pak Mikail atau t
Ivy yakin kalau Ezra adalah manusia paling aneh di muka bumi.“Aku menang lagi!” Ezra tertawa girang saat lemparan dadu menunjuk empat angkah. Tangannya bergerak cepat menjalankan bidaknya sampai ke garis akhir.“Aku menang lagi! Hahaha!”Ivy memijat keningnya yang kini berdenyut nyeri karena teriakan Ezra selama setengah jam terakhir.“Aku masih tak habis pikir kau menahanku di sini hanya untuk menemanimu main monopoli,” desis Ivy.Saat di dalam lift, Ivy mengira hidupnya sudah berakhir. Ia hanya bisa membayangkan hal buruk.Kepalanya sudah dipenuhi dengan bayangan Samuel yang melecehkannya selama di Seoul. Dan, ia mengira Ezra akan melakukan hal yang sama.Nyatanya, Ezra langsung mengeluarkan permainan monopoli dari dalam kopernya setelah menguncinya di kamar hotel.“Aku sudah menang dua kali. Aku sangat jagoan, kan? Kau payah sekali,” ucap Ezra dengan senyuman sombong.“Ini hanya game! Apa pentingnya menang dan kalah?” tanya Ivy, terheran-heran.“Ini penting! Lihatlah!” Ezra menunj
“Kau yakin ini akan berhasil?” “Iya, percaya saja padaku.”Ivy masih berdiri diam saat tangan Ezra sibuk dengan rambutnya. Gerakannya lurus tadi sudah diacak-acak.Tampilan Ivy di cermin persis seperti orang yang baru bangun tidur.“Aku terlihat jelek sekali,” keluhnya.“Ini belum selesai.” Ezra menyentuh bibir Ivy dengan jempolnya. Ivy sontak melangkah mundur, tapi pinggangnya ditahan oleh Ezra.“Tenang saja, aku tak akan macam-macam. Aku tak tertarik dengan istri orang.”Ivy masih menatap Ezra dengan tajam, tapi akhirnya tetap menurut karena tak mau membuang waktu lebih lama.Noah sudah menunggunya di lobi dan ia tak ingin membuat Noah semakin marah. Apalagi dengan rencana gila Ezra.“Sudah,” cetus Ezra setelah berhasil mengusap lipstik Ivy hingga berantakan ke sudut bibir.“Ini untuk apa sih?” tanyanya, keheranan.“Aku tak percaya kau masih belum sadar juga. Ternyata kau hanya perempuan polos.” Ivy merotasikan bola matanya malas. Semua ucapan Ezra terdengar konyol.“Sudah! Aku m
Ivy sadar kalau ia tak akan pernah bisa melawan Noah. Di detik setelah ia memilih Ezra, nyatanya Noah tetap menariknya sampai membuatnya hampir terjatuh.“Apa kau sudah gila?!” Noah langsung membentaknya setelah mereka masuk ke dalam mobil.“Iya! Aku sudah gila! Semua ini juga karena kau yang sudah bersikap seenaknya padaku!”Ivy tak tahu mendapat keberanian dari mana sehingga bisa membalas Noah dengan suara tak kalah tinggi. Mungkin, ucapan Ezra yang sudah menyadarkannya.“Aku sudah bilang kan sejak awal kalau kau harus menurut padaku! Aku yang berkuasa atasmu!”“Aku akan menurut kalau kau bisa bersikap baik padaku! Kau bahkan tak pernah kan menganggapku sebagai istrimu? Aku hanya alat balas dendam yang gagal!”Napas Ivy terengah-engah karena berbicara dengan penuh emosi. Noah terdiam selama beberapa saat, terlihat terkejut karena ia bisa membentaknya.“Kau—”“Maaf karena mengganggu pertengkaran, tapi mohon jangan berisik karena saya tak bisa mengemudi dengan fokus.”Ucapan Noah terp
Ivy menunggu kedatangan Noah sampai jatuh tertidur. Ia pikir, Noah akan mengambil kamar lain atau pergi menemui Jinny setelah pertikaian mereka.Kenyataannya, ia menemukan Noah yang terlelap di sebelahnya saat pagi tiba. Noah tertidur dengan tetap memakai setelan kemejanya.“Kapan dia kembali?” gumam Ivy.Tangan Ivy naik untuk mengelus pipi Noah, tetapi gerakannya terhenti di udara kala mengingat kemarahan Noah saat ia mencoba menyentuh keningnya di pesawat dulu.“Lebih baik aku mandi saja.”Baru saja Ivy ingin turun dari kasur, tangannya sudah ditarik oleh Noah. Sontak membuatnya terkejut.“Kau sudah bangun?” tanyanya.Mata Noah perlahan terbuka. Saat pagi hari seperti ini, mata itu menyiratkan ketenangan layaknya debur ombak ringan.“Andai saja dia selalu menatapku seperti itu,” batin Ivy.“Jangan dekat-dekat Ezra. Aku tak suka.”Ivy yang masih terkagum-kagum pada mata indah Noah seketika mendengus malas. Lagi-lagi pembahasan tentang Ezra.“Dia tak seburuk itu! Kenapa aku tak boleh
Noah sudah rapi dengan sweater turtleneck abu-abu gelap dan celana kain hitam yang rapi.Ivy termenung selama beberapa saat di depan pintu kamar mandi kala melihat otot-otot di tangannya karena Noah mengangkat lengan sweater-nya sampai siku.“Kenapa?” tanya Noah ketika menyadari Ivy yang diam-diam memperhatikannya.“Tidak apa-apa! Aku hanya kaget melihatmu pakai baju seperti ini. Biasanya kan hanya kemeja saja,” balas Ivy dengan buru-buru membuka lemari untuk mencari baju ganti.Pilihannya jatuh pada blus putih, rok plaid cokelat kotak-kotak yang panjang, dan mantel berukuran senada yang jatuh sampai mata kakinya.Ia segera kembali ke kamar mandi untuk ganti baju sebelum Noah berkata, “Aku akan keluar. Kau di sini saja.”“Aku juga mau keluar kok,” sahutnya dengan cepat.Ivy sudah menutup pintu kamar mandi meski tahu Noah sudah membuka mulutnya untuk menyahuti.“Menyebalkan. Apa dia kira bisa jalan-jalan sendiri? Aku juga bisa!”Ivy terus mengomel selama berganti pakaian. Ia pikir, Noa