Ivy sadar kalau ia tak akan pernah bisa melawan Noah. Di detik setelah ia memilih Ezra, nyatanya Noah tetap menariknya sampai membuatnya hampir terjatuh.“Apa kau sudah gila?!” Noah langsung membentaknya setelah mereka masuk ke dalam mobil.“Iya! Aku sudah gila! Semua ini juga karena kau yang sudah bersikap seenaknya padaku!”Ivy tak tahu mendapat keberanian dari mana sehingga bisa membalas Noah dengan suara tak kalah tinggi. Mungkin, ucapan Ezra yang sudah menyadarkannya.“Aku sudah bilang kan sejak awal kalau kau harus menurut padaku! Aku yang berkuasa atasmu!”“Aku akan menurut kalau kau bisa bersikap baik padaku! Kau bahkan tak pernah kan menganggapku sebagai istrimu? Aku hanya alat balas dendam yang gagal!”Napas Ivy terengah-engah karena berbicara dengan penuh emosi. Noah terdiam selama beberapa saat, terlihat terkejut karena ia bisa membentaknya.“Kau—”“Maaf karena mengganggu pertengkaran, tapi mohon jangan berisik karena saya tak bisa mengemudi dengan fokus.”Ucapan Noah terp
Ivy menunggu kedatangan Noah sampai jatuh tertidur. Ia pikir, Noah akan mengambil kamar lain atau pergi menemui Jinny setelah pertikaian mereka.Kenyataannya, ia menemukan Noah yang terlelap di sebelahnya saat pagi tiba. Noah tertidur dengan tetap memakai setelan kemejanya.“Kapan dia kembali?” gumam Ivy.Tangan Ivy naik untuk mengelus pipi Noah, tetapi gerakannya terhenti di udara kala mengingat kemarahan Noah saat ia mencoba menyentuh keningnya di pesawat dulu.“Lebih baik aku mandi saja.”Baru saja Ivy ingin turun dari kasur, tangannya sudah ditarik oleh Noah. Sontak membuatnya terkejut.“Kau sudah bangun?” tanyanya.Mata Noah perlahan terbuka. Saat pagi hari seperti ini, mata itu menyiratkan ketenangan layaknya debur ombak ringan.“Andai saja dia selalu menatapku seperti itu,” batin Ivy.“Jangan dekat-dekat Ezra. Aku tak suka.”Ivy yang masih terkagum-kagum pada mata indah Noah seketika mendengus malas. Lagi-lagi pembahasan tentang Ezra.“Dia tak seburuk itu! Kenapa aku tak boleh
Noah sudah rapi dengan sweater turtleneck abu-abu gelap dan celana kain hitam yang rapi.Ivy termenung selama beberapa saat di depan pintu kamar mandi kala melihat otot-otot di tangannya karena Noah mengangkat lengan sweater-nya sampai siku.“Kenapa?” tanya Noah ketika menyadari Ivy yang diam-diam memperhatikannya.“Tidak apa-apa! Aku hanya kaget melihatmu pakai baju seperti ini. Biasanya kan hanya kemeja saja,” balas Ivy dengan buru-buru membuka lemari untuk mencari baju ganti.Pilihannya jatuh pada blus putih, rok plaid cokelat kotak-kotak yang panjang, dan mantel berukuran senada yang jatuh sampai mata kakinya.Ia segera kembali ke kamar mandi untuk ganti baju sebelum Noah berkata, “Aku akan keluar. Kau di sini saja.”“Aku juga mau keluar kok,” sahutnya dengan cepat.Ivy sudah menutup pintu kamar mandi meski tahu Noah sudah membuka mulutnya untuk menyahuti.“Menyebalkan. Apa dia kira bisa jalan-jalan sendiri? Aku juga bisa!”Ivy terus mengomel selama berganti pakaian. Ia pikir, Noa
Saat Ezra tiba-tiba datang ke kafe tempat Noah dan Ivy sarapan, suasana terasa berbeda. Noah tak bisa menghentikan tatapan tajamnya pada Ezra yang terus mengajak Ivy mengobrol."Akan kutunjukkan restoran sushi yang enak di sini. Kau pasti suka.""Aku tak terlalu suka sushi." Ivy menjawab secara ogah-ogahan.Pasalnya, ia dipenuhi dengan kecurigaan karena kedatangan Ezra.Ivy tak pernah mengatakan pada Ezra kemana ia pergi. Dan sebelumnya, ia pun tak memberitahu Ezra nomor teleponnya."Dia sangat aneh," batin Ivy secara terus-menerus.Sebagai seorang hacker, ia tahu kalau semuanya terasa mencurigakan. Orang awam tak mungkin bisa melacak semudah itu.Maka, ketika Noah pergi ke kamar mandi, Ivy tak tahan untuk bertanya."Sebenarnya siapa dirimu?"Ezra yang sedang minum, menatap Ivy dengan bingung."Aku Ezra! Bukannya kita sudah kenalan? Apa kau hilang ingatan tiba-tiba?”Mata Ivy makin menyipit karena Ezra yang terasa sengaja mengalihkan pembicaraan."Kau tahu, tidak semua orang bisa memi
Ada alasan lain kenapa Ivy lebih memilih Ezra kali ini. Selain karena keadaan Ezra yang terlihat sangat mengenaskan, ia ingin memastikan identitas Ezra.Ivy yakin seratus persen kalau Ezra bukan orang biasa. Ia menduga, Ezra memiliki orang kepercayaan yang merupakan seorang hacker.“Tunggulah di sini. Aku akan mengambil obatmu,” ucap Ivy setelah Ezra ditangani oleh petugas medis di rumah sakit terdekat.Beruntung Ezra bisa berbahasa Jepang sehingga melancarkan komunikasi saat di sini.“Biarkan saja. Ini hanya lebam dan hidungku sedikit patah.” Ezra berkata dengan cengiran.“Kamu masih bisa tertawa di keadaan seperti ini?” tanya Ivy, tak habis pikir.“Di resep dokter tadi ada salepnya. Aku harus mengambilnya untuk lukamu.”Ivy tetap berdiri dari duduknya dan mengabaikan Ezra yang masih terbaring di kasur ruang UGD.Ivy harus berterima kasih pada kemajuan teknologi karena ia bisa mengerti ucapan sang perawat saat menjelaskan penggunaan obat dan salep.“Terima kasih!”Ivy segera melesat
Hari pernikahan telah tiba. Ivy menatap dirinya di pantulan cermin dengan gugup. Gaun pengantin ini nampak begitu mewah. Kainnya memang dibuat sangat tertutup hingga tak menunjukkan punggung bahkan lengannya.Ivy tahu bahwa ayahnya telah mengatur desain gaun pengantin ini karena ingin menutup memar yang memenuhi punggung, lengan, dan kakinya. Memar dan bekas luka di tubuhnya tak akan bisa hilang karena telah menumpuk di kulitnya selama lima belas tahun lamanya.Ada ketakutan yang kini memenuhi hatinya. “Bagaimana malam pertamanya nanti? Apa aku harus mengatakan yang sejujurnya pada Noah?”“Jangan sampai Noah tahu.”Ivy tersentak saat suara ayahnya tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya. Tenggorokannya seketika tercekat dan ia merasa tercekik karena ketakutan.“Kau akan mati kalau ada orang yang tahu,” ancam Evan.“Ya—ya...,” jawab Ivy dengan terpatah-patah.“Sekarang tersenyumlah. Kita harus bergandengan tangan saat masuk ke aula pernikahan.” Evan mengulurkan tangannya, Ivy meraihnya den
"Stop!" Ivy berteriak lantang tepat ketika Noah nyaris saja menempelkan bibirnya ke bibir perempuan itu. "Aku akan keluar."Setelahnya, Ivy beranjak. Menyeret kakinya yang pincang dan kini terasa lemas karena sikap tega suaminya, ia pun keluar menuju kamar yang telah dipesankan Noah.“Harusnya… harusnya aku memang tidak boleh memiliki harapan.”Ivy duduk di tepian tempat tidur dengan kepala menunduk. Jari-jemarinya saling bertautan demi mengontrol tubuhnya yang gemetar semenjak keluar dari kamar yang seharusnya menjadi saksi malam pertamanya.Meski ia tidak menyaksikan bagaimana Noah dan perempuan murahannya itu melanjutkan adegan dewasa itu, tapi bayangan liar mengenai kemungkinan mereka memadu kasih kini terus mengganggu benak Ivy.Seharusnya, Ivy tidak lupa tentang takdirnya yang selalu terkurung dan dibatasi. Sikap Noah selama beberapa minggu terakhir membuatnya sangat terlena hingga ia bisa jatuh cinta dengan mudah.Sebelumnya, Noah memang melamar untuk Clara. Namun, ia berusaha
“Kalau Noah memang ingin mempermainkanku, maka aku tak boleh terlihat lemah. Akan kutunjukkan kalau aku bukan perempuan yang mudah disakiti.”Tangisan semalam seolah menjadi pertanda tangisan terakhirnya.Ia sudah banyak menangis… menangis karena ayahnya, keluarganya, sekarang suaminya. Ia tak mau menghabiskan sisa hidupnya dengan menangis… tidak akan.Setelah mandi dan menyiapkan diri sebaik mungkin, Ivy mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia segera membukanya dan mendapati Noah yang sudah rapi dengan kemeja biru muda.“Selamat pagi,” sapa Ivy dengan seramah mungkin.Meski tenggorokannya terasa tercekat karena kepedihan dan kemarahan semalam, ia berusaha mengendalikan diri dengan sebaik mungkin.Noah sendiri hanya membalas dengan dengusan kasar, terlihat tak suka dengan basa-basi Ivy.“Dia… sudah pergi?” Mata Ivy menatap pintu di belakang Noah yang sudah tertutup rapat. Dalam diam, ia menanti kemunculan perempuan berambut pirang yang semalam datang secara tiba-tiba.“Siapa?” Satu alis