Ada alasan lain kenapa Ivy lebih memilih Ezra kali ini. Selain karena keadaan Ezra yang terlihat sangat mengenaskan, ia ingin memastikan identitas Ezra.Ivy yakin seratus persen kalau Ezra bukan orang biasa. Ia menduga, Ezra memiliki orang kepercayaan yang merupakan seorang hacker.“Tunggulah di sini. Aku akan mengambil obatmu,” ucap Ivy setelah Ezra ditangani oleh petugas medis di rumah sakit terdekat.Beruntung Ezra bisa berbahasa Jepang sehingga melancarkan komunikasi saat di sini.“Biarkan saja. Ini hanya lebam dan hidungku sedikit patah.” Ezra berkata dengan cengiran.“Kamu masih bisa tertawa di keadaan seperti ini?” tanya Ivy, tak habis pikir.“Di resep dokter tadi ada salepnya. Aku harus mengambilnya untuk lukamu.”Ivy tetap berdiri dari duduknya dan mengabaikan Ezra yang masih terbaring di kasur ruang UGD.Ivy harus berterima kasih pada kemajuan teknologi karena ia bisa mengerti ucapan sang perawat saat menjelaskan penggunaan obat dan salep.“Terima kasih!”Ivy segera melesat
Noah berubah. Saat kembali ke hotel, ia kira Noah akan marah lagi padanya. Namun, Noah malah lebih banyak bicara.Noah akan sering bertanya hal-hal remeh. Mulutnya yang lebih banyak diam itu jadi sering terbuka saat bersamanya.“Kenapa kamarnya dingin? Pemanasnya tidak berfungsi.”Padahal Ivy sudah kepanasan karena Noah terus meninggikan suhu.Pernah juga suatu hari saat Noah tiba-tiba mengajaknya menonton televisi.“Kau suka nonton acara apa?”“Percuma saja, aku tak bisa bahasa Jepang.”“Ya sudah.”Setelah itu, Noah akan berlalu. Kemudian kembali dengan topik baru.“Aroma sabun hotelnya enak. Kau tahu ini wangi apa?” tanyanya sambil membawa sebotol sabun cair dari kamar mandi.“Itu lavender….”“Oh ya.”Sampai hari terakhir di Tokyo, Noah terus berusaha mengajaknya bicara. Noah bahkan melarangnya untuk keluar dari kamar dengan berbagai alasan.“Cuacanya dingin di luar kau akan flu.”“Di kamar saja. Enak. Hangat.”“Kita makan di hotel saja. Tak perlu keluar. Restauran di hotel juga ena
Bodoh.Hanya kata itu yang terus muncul di kepala Ivy untuk memaki dirinya sendiri.Bagaimana bisa ia kelepasan membongkar rahasia Noah yang telah ia cari sendiri?“Aku… aku….”Di saat Ivy sedang gelagapan. Dering notifikasi di ponsel memecahkan ketengangan di antara mereka.Ivy cepat-cepat meraih ponselnya demi mengalihkan diri dari Noah. Ia harus berterima kasih pada siapapun yang menghubunginya sekarang karena berhasil menyelamatkannya dari kecurigaan Noah.“Ezra?”Ivy menoleh pada Noah yang membaca kontak di layar ponselnya. Dering notifikasi itu memang panggilan dari Ezra.“Kau tak memberitahu Ezra kan kalau kita di sini?” tanya Noah dengan alis yang menukik tajam.“Aku memang tak pernah memberitahu apapun padanya!” jawab Ivy.Ivy ingin mengangkat panggilan itu, tetapi Noah lebih dulu mengambil ponselnya.“Jangan diangkat,” titahnya.“Kenapa?”“Pokoknya jangan.”Noah menyimpan ponsel Ivy di balik mantel kemejanya. Ivy akhirnya menyerah dan memalingkan wajah ke balik jendela.Bian
Dunia hacker adalah hal pertama yang Ivy cintai. Ia yang terbiasa terkurung dan tersisihkan menjadi merasa bebas dan berkuasa saat bisa meretas apapun.Selama ini orang-orang selalu meremehkannya, tetapi saat ia menjaid Nyx maka semua orang takut padanya.Nyx adalah sebagian jiwanya, tetapi ia tetap tak ingin menunjukkannya pada siapapun. Jadi, saat J-1511 yang merupakan rekan dekatnya bertanya tentangnya… ia merasa dunia yang selama ini menjadi pelariannya telah hilang.“Kau terus melamun.”“Eh?”Ivy tersentak saat Noah menepuk punggungnya. Sudah lima hari sejak kepulangan mereka dari Tokyo, tapi kabut tebal masih memenuhi wajah Ivy.“Aku hanya sedang berpikir,” balas Ivy secara basa-basi.“Memikirkan apa?”Noah duduk di sofa sebelahnya. Memangku tangan dan siap mendengarkan jawaban.Di saat seperti ini, Ivy berharap Noah menjadi dingin dan mengabaikannya saja daripada mengetahui kepanikan Ivy.“Bukan apa-apa.”Ivy berdiri. Ingin melarikan diri, tapi Noah sudah lebih dulu menahannya.
Ivy mematikan ponselnya selama satu minggu penuh setelah mengetahui bahwa J-1511 adalah Ezra. Ia tak ingin membiarkan Ezra bisa melacaknya dan tak mau Ezra mengetahui identitas aslinya.Biarpun Ezra cukup baik dan konyol, ia tak mau membuka diri lebih banyak pada Ezra. Cukup Clara saja yang mengetahui siapa dirinya, tak perlu orang lain.Karena Ivy tahu kalau manusia rawan melakukan pengkhianatan. Meski Ezra telah menjadi temannya, bukan berarti Ezra tak akan mengkhianatinya mengingat Ezra juga rival Noah.“Ivy.”“Ya?”Ivy yang sedang termenung di balkon kamar langsung tersentak saat Noah memanggilnya.“Kenapa kau selalu terkejut saat aku datang?” tanya Noah dengan wajah masam.Ivy menggeleng. “Aku tadi sedang melamun… jadi kaget saja dengar suara orang lain. Aku kira siapa….”“Tak ada orang lain di sini kecuali aku dan para pembantu.”“Iya, aku tahu.”Ivy bisa merasakan kalau Noah masih tak puas dengan jawabannya, tetapi ia berusaha mengalihkan pembicaraan dengan lanjut bertanya.“Ke
"Tas ini bagus sekali."Ivy memperhatikan Jinny yang memegang tas selempang merah muda yang terpasang cantik di antara puluhan tas lain di etalase. Sontak Ivy mengeratkan genggamannya pada Noah.“Aku mau tas itu, boleh?” tanyanya.Noah hanya mengangguk, lalu berkata pada pelayan. “Tolong bungkus tas ini.”Pelayan itu mengangguk mengerti dan berjalan mendekat untuk mengambil tas yang masih disentuh Jinny.“Tapi aku juga menginginkan tas ini,” tukas Jinny.Pelayan itu berhenti bergerak, lalu menata Jinny dengan senyuman.“Mohon maaf. Stok tas ini hanya tinggal satu. Tas ini adalah keluaran terbatas, hanya ada sepuluh di dunia.”Ivy menahan napasnya. Ia tak tahu kalau tas yang dipilih akan semewah itu. Jika memang hanya ada sepuluh di dunia, berarti harganya sangat mahal.“Kau gila Ivy. Bisa-bisanya meminta hal besar pada Noah hanya karena ingin membuat mantan pacarnya geram,” rutuk Ivy pada dirinya sendiri dalam hati.Ivy ingin mengurungkan niatnya dan mengatakan pada pelayan kalau ia t
Ivy bisa mendengar betapa keras debar jantungnya saat mobil semakin mendekati rumah. Ia berkali-kali mengambil napas panjang demi menenangkan diri.“Kau yakin baik-baik saja?” tanya Noah.“Hm.” Ivy mengangguk.Meski batinnya bersuara, “Tidak. Aku tak pernah baik-baik saja jika bertemu Ayah.”Semua kenangan buruk muncul di kepalanya saat mobil sudah sepenuhnya berhenti di pelataran.Saat ayahnya mencambuknya dengan sabuk tanpa ampun, saat kakinya ditendang, saat rambutnya dijambak….“Ayo.”Kenangan itu memudar saat Ivy merasakan lembut genggaman tangan Noah di atas punggung tangannya.“Ya.”Ivy berusaha keras untuk tersenyum. Dalam hati terus meyakinkan diri bahwa ayahnya tak akan lagi menyiksanya selama bersama Noah.“Kak Ivy!”Ketegangan Ivy makin menghilang saat Clara sudah menyambutnya di teras.“Clara!”Ivy melebarkan kedua tangannya untuk menyambut Clara dalam pelukan. Clara mendekat dan mendekapnya erat-erat.“Aku sangat merindukanmu,” ucap Ivy dengan suara beratnya menahan tang
Noah sudah memiliki firasat buruk saat mendengar jeritan Ivy. Ia segera berlari dari ruang makan bersama Clara yang mengekor di belakang.“Ivy!”Kaki Noah berlari makin cepat saat melihat Ivy sudah tergeletak di bawah tangga dengan darah yang mengalir deras dari kepalanya.“Astaga, Ivy!” Evan dari arah atas tangga ikut berteriak dengan wajah paniknya.Noah menahan gemeletuk gigi saat melihat Evan yang tengah berpura-pura. Ia yakin kalau semua ini ulahnya.“Kenapa dia bisa jatuh dari tangga?” Evan bertanya dengan wajah polosnya.“Saya tidak tahu. Bukannya Anda yang lebih dulu masuk ke rumah?” geram Noah.“Tapi aku daritadi di kamar. Aku tidak tahu.”Noah ingin berteriak marah, tapi Clara yang datang dengan air mata di wajah membuatnya tersadar kalau ia harus segera membawa Ivy ke rumah sakit.“Kakak!”“Cepat hubungi ambulans, Clara.”“Ya….”Clara mulai menekan panggilan darurat dengan tangan bergetar, sedangkan Noah terus memeluk Ivy dan mencoba menghentikan pendarahan di kepalanya den
Ivy tahu kalau riwayatnya sudah tamat saat kelepasan memanggil Ezra di situ rahasia.Ezra bukan orang bodoh yang akan diam saja identitasnya terungkap, pasti dia juga akan melakukan segalanya untuk mengungkap identitasnya.“Apa aku mengaku saja sebelum dia tahu lebih dulu?” gumam Ivy, kebingungan.“Jangan pikirkan tentang Clara.”Noah yang baru masuk kabar tiba-tiba bersuara hingga membuat Ivy menoleh padanya.“Kau terlihat sangat khawatir dan gugup. Tenang, Sayang.”Noah mengelus puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang, membuat hati Ivy terenyuh.Di antara beribu masalah yang datang, setidaknya saat ini ia memiliki Noah di sisinya.“Iya,” balas Ivy dengan mencoba tersenyum.“Apa kau mau jalan-jalan? Aku bisa memesan tiket-”Ucapan Noah terpotong oleh nada dering ponsel Ivy yang berada tepat di sebelah laptop. Sontak Ivy segera beranjak dan mengambil ponselnya saat menyadari kalau Ezra yang menelfonnya.“Aku angkat telepo dulu,” pamit Ivy.Jantung Ivy berdebar kian kencang saat kel
Ivy tak pernah mengira kalau pengkhiatan akan sesakit ini. Sejak pulang dari kafe, ia lebih banyak diam dan meminta Noah benar-benar memberinya waktu sendiri.Maka, di sinilah ia sekarang. Di depan laptop yang sudah lama tak ia gunakan.“Aku pasti sudah gila,” gumam Ivy sambil menggigit bibir bawahnya.Ia ingin menyadap ponsel Clara. Suatu hal yang tak pernah ia kira akan terjadi.“Aku harus melakukannya untuk membuktikan ucapan Clara,” yakin Ivy.Jauh di dalam hati kecilnya, ia masih tak percaya dengan semua ucapan dan sikap Clara. Oleh karena itu, ia berharap menemukan kenyataan lain; Clara sedang bercanda, misalnya.Hanya perlu menunggu beberapa detik hingga Ivy bisa mengakses semua ruang obrolan Clara.“Nasibmu jelek sekali.”Dahi Ivy berkerut kala melihat satu pesan baru dari seseorang bernama Rere. Ivy pun segera mengekliknya untuk membuat seluruh percakapan.“Kakakmu sangat egois sekali. Aku prihatin mendengar ceritamu.”Setiap Ivy membaca semua pesan yang dikirim Clara untuk R
“Sayang, kau harus makan.”Noah meletakkan bubur di nakas sebelah tempat tidur. Tangannya mengelus bahu Ivy yang memunggunginya, tapi Ivy tetap tak bereaksi.“Ivy.”Ivy hanya menggeleng dan mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya.“Aku di ruang kerja, kalau kau butuh apa-apa… datanglah. Jangan lupa dimakan.”Noah tak bisa melakukan apa-apa selain memberikan waktu dan ruang bagi Ivy untuk sendiri.Sudah hampir semingu Ivy terlihat seperti mayat hidup. Ia belum bisa berdamai dengan kenyataan kalau Clara tak menyayanginya dan bahkan berusaha untuk menyakitinya dengan menggoda Noah.“Bagaimana bisa semua ini terjadi?” Hanya iu yang terus bernaung di benak dan pikiran Ivy.“Apa rasa sayangku padanya kurang sampai dia tega melakukannya?”Lagi-lagi Ivy menangis.Dadanya terasa sangat sesak dan sakit hingga ia kesulitan bernapas. Tubuhnya bahkan ikut lemas dan tak bertenaga.Ia sering merasakan sakit. Hidupnya dilalui dengan siksaan, tapi baru kali ini ia merasa begitu tersiksa padahal ta
Ivy tersentak saat pintu kamar ditutup dengan keras oleh Noah. Namun, ia sudah menduganya.“Jelaskan padaku,” pinta Noah dengan rahang sempurna mengeras.“Aku tahu kalau kau akan salah paham. Tapi sungguh, tak ada apa-apa denganku dan Ezra,” terang Ivy, seyakin mungkin.“Kalau kau tahu aku akan salah paham, kenapa kau tetap melakukannya? Kau bilang hanya butuh waktu sebentar untuk cari angin! Kenapa malah menginap di tempatnya?!”Ivy bisa melihat otot-otot di leher Noah karena pekikannya yang makin meninggi.“Kami tidak sengaja bertemu! Demi Tuhan, aku dan Ezra tak berbuat apapun!”“Bagaimana kau bisa membuktikannya?!”Dengan kesadaran penuh, Ivy membuka satu per satu kancing baju tidurnya hingga membuat mata Noah membelalak.“Kau bisa melihat kalau tak ada jejak apapun di tubuhku.”Noah menghela napas panjang. Ia mendekat dan kembali mengancing satu per satu.“Kau tak perlu melakukannya,” ucap Noah dengan suara yang lebih rendah.“Kau bilang aku harus membuktikannya.” Ivy masih bersi
Semua yang Ivy khawatirkan terjadi. Noah sudah berada di depan gerbang saat ia baru turun dari mobil Ezra.“Kemana saja kau?” tanyanya dengan dingin.Tatapan mata Noah yang dipenuhi dengan bara membuat tenggorokan Ivy tercekat. Ia tak bisa mengeluarkan satu kata pun.“Kenapa kau bersamanya?” tanyanya sekali lagi, bahkan dengan suara yang dalam.“Aku-”“Dia bermalam di rumahku.”Ivy memejamkan matanya saat Ezra menyahuti pertanyaan Noah. Membuat tatapan Noah jauh lebih menusuk.Ya Tuhan.Tatapan Noah itu mengingatkannya saat malam pertama. Tidak. Bahkan lebih buruk lagi.Mata Noah kali ini hanya menunjukkan kemarahan, tapi juga kekecewaan dan kepedihan.Yang mana hal itu makin membuatnya kehilangan kata-kata, apalagi saat Noah menarik tangannya untuk masuk ke dalam rumah.“Masuk.”“Noah….”Tangan Noah dingin.Sangat…. dingin.Seolah-olah ia sudah berdiri di depan rumah, menunggunya semalaman untuk pulang.Sesampainya di ruang tamu, Ivy melihat Clara baru menuruni tangga dengan mata yan
Malam ini Ezra memang terlihat berbeda. Tak ada kekonyolan sedikit pun yang tercetak di wajahnya.Ezra sangat dingin, persis seperti Noah. Hal itu membuat Ivy jadi makin canggung.“Istirahatlah di sini dulu,” ucap Ezra seraya membukakan pintu ruang kamar di lantai satu.Kamar itu cukup besar dan bersih seperti tak pernah disentuh. Ivy segera mengira kalau itu memang kamar tamu.“Aku baik-baik saja. Aku tadi hanya ingin berkeliling mencari udara segar dan-”“Kau tak perlu berbohong kepadaku di saat aku sudah tahu busuknya Noah dan buruknya sikap dia padamu.” Ezra memotong ucapan Ivy dengan kesal.Ivy meringis canggung. Andai saja Ezra tahu kalau dirinya yang baru saja menampar Noah, dua kali.“Noah sudah baik padaku. Jangan khawatir.”Ivy memilih berjalan menjauh karena sadar perdebatan dengan Ezra hanyalah sebuah kesia-siaan.“Kau ini sangat keras kepala,” gumam Ezra sebelum kembali menggendongnya paksa dan masuk ke dalam kamar.Ivy memekik kaget saat tubuhnya dijatuhkan di atas kasur
Kembang api yang semula memenuhi hati Ivy atas pernyataan cinta Noah berubah menjadi ledakan hebat selayaknya bom yang meluluhlantakkan setelah mendengar ucapan Noah.“A… apa maksudmu?” ucapnya dengan terbata.“Clara menggodaku saat di dapur dan dia juga menjelekkanmu-”Logika Ivy tak bisa berjalan baik. Ucapan Noah adalah sebuah kemustahilan hingga tangannya bergerak cepat menampar Noah.“Ivy?!”Noah menatapnya dengan mata membulat kaget. Tak percaya bahwa Ivy yang selama ini penuh dengan ketenangan mampu menamparnya saat ia mengatakan hal yang sejujurnya.“Apa ini cara barumu untuk menghancurkanku?” desis Ivy dengan napas naik turun.“Apa maksudmu?!” Suara Noah ikut meninggi mendengarnya.“Kau membuatku terlena, lalu menjatuhkanku dengan cara menjelekkan adikku! Kau tahu… kau sangat licik! Aku kira kau tak akan sekejam itu. Aku kira kau-”“Aku mengatakan yang sebenarnya, Ivy!”Noah mengguncang kedua bahu Ivy demi menyadarkannya pada kenyataan, tapi Ivy menepis kasar tangannya.“Jang
Ivy tak tidur. Saat Noah membisikkan panggilan sayang padanya, rasa kantuknya sudah terbang ke antah berantah.Ia yakin kalau Noah sudah berubah dan ia ingin kembali membicarakan tentang perasaan padanya sekali lagi. Karena sikap Noah telah melambungkan harapannya.Ia menunggu di kamar selama lima menit…Sepuluh menit….Bahkan sudah dua puluh menit, Noah tak kunjung kembali.“Sebenarnya dia kemana?” gumam Ivy.Ivy menyibakkan selimutnya, lalu berjalan keluar kamar. Ia berniat mencari keberadaan Noah. Mungkin saja ia berada di ruang kantornya untuk mengambil beberapa berkas.“Aku harus memarahinya kalau dia tetap bekerja selarut ini,” gumamnya.Saat Ivy membuka pintu, ruang kerja Noah diliputi kegelapan. Artinya, Noah tak berada di sana.“Lalu di mana dia?”Ivy tak tahan untuk berdecak, kebingungan. Ia segera menutup kembali pintu kantor Noah, lalu berjalan menuruni tangga.Kakinya masih terlalu sakit digerakkan sehingga setiap langkah yang tercipta terasa berat. Ia bahkan ingin menyer
Ivy kira Noah akan kembali dingin setelah perbincangan mereka di halaman belakang rumah. Ia sudah siap dengan sikap Noah yang kejam seperti sebelumnya, tapi rupanya ia salah besar.Noah masih tetap manis. Dia tak menghindar sama sekali.Awalnya, Ivy mengira kalau Noah akan bersikap baik untuk berakting di depang Clara. Namun, dia tetap lembut bahkan hanya saat ada mereka berdua saja.“Noah.”Noah sedang sibuk dengan laptopnya saat Ivy memanggil dengan penuh keraguan.“Ada apa?” sahut Noah sambil meletakkan laptop yang sebelumnya dipangku di paha ke atas kasur.Lagi-lagi itu adalah pemandangan aneh. Sudah beberapa hari ini Noah membawa pekerjaannya di kamar, padahal biasanya ia selalu menghabiskan waktu lama berkutat dengan pekerjaannya di dalam ruang kerja.“Tidak. Tidak apa-apa,” balas Ivy dengan menggeleng.Noah mengerutkan dahinya. “Kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu?”Ivy menggigit bibirnya, berpikir lebih dalam untuk mengutarakan isi hatinya atau tidak.“Kenapa, Ivy?” tanya Noah