“Noah, aku memasak pasta kesukaanmu. Jangan lupa dimakan.”Ivy menatap Noah yang masih sibuk dengan berkas-berkas kerjanya. Noah sama sekali tak melirik padanya dan ia sudah biasa dengan hal itu. Maka, ia hanya meletakkan sepiring Fettuccine Alfredo dan jus anggur di meja seperti yang sudah-sudah.Sudah terhitung enam bulan sejak pernikahan mereka, tapi Noah tetap terasa jauh… bahkan semakin jauh darinya. Noah bahkan jarang sekali berbicara padanya sejak pulang dari bulan madu.“Sebenarnya apa salahku?”Dan setiap hari ia juga menanyakan hal yang sama. Semua perkataan Noah padanya terasa abu-abu dan membingungkan. Dia tak pernah berkata secara gamblang alasan yang sesungguhnya kenapa dia menikahinya.Ting! Tong!Suara bel yang ditekan berkali-kali membuat Ivy menuruni tangga dengan tergopoh. Saat di tangga terakhir, ia melihat Bi Wina sudah membuka pintu. Sosok Samuel langsung masuk dengan raut marah.Tubuh Ivy bergetar takut. Sontak ia segera berlari untuk bersembunyi di balik tiang
“Aku akan menjadi janda… janda perawan.”Ivy tahu kalau pernikahannya akan berakhir, seperti yang dikatakan pria itu pada Samuel beberapa minggu lalu.Untuk itu, Ivy telah bersiap, memasukkan barang-barangnya ke koper... meski sampai detik ini belum ada kata talak dari Noah.Selama seminggu ini, Ivy tetap berusaha bersikap hangat meski sikap pria itu masih tak berubah. Setidaknya, ia ingin menjadi istri yang baik sebelum perceraian mereka.Setelah bercerai nanti, ia berencana untuk pergi keluar kota dan hidup sendiri karena ia pasti akan mati jika kembali ke rumah ayahnya.Suara panggilan telepon membuat Ivy meletakkan kembali pigura foto pernikahan yang akan ia masukkan dalam koper. Senyumnya terulas lebar saat mendapati nama adiknya di layar ponsel.“Halo, Clara? Ada apa?” Ivy menyapa dengan ramah. Sangat jarang Clara menghubunginya karena sibuk kuliah, sehingga ia bahagia apabila ada waktu untuk bercengkrama dengannya.“Kak, aku di depan rumahmu.”Senyuman Ivy menghilang saat mende
“Hahaha! Apa maksudmu? Mana mungkin aku tahu menahu tentang kejatuhan perusahaan Ayah? Data-data itu di komputerku saat aku ingin menganalisis apa yang terjadi setelah ada yang meretas dokumen perusahaannya.”Ivy berusaha menutupi ketegangannya dengan tertawa. Berharap alasan yang ia berikan pada Clara membuat adiknya itu percaya, tetapi bibirnya menjadi kaku saat melihat Clara tak bereaksi apa-apa.“Kau tahu kalau aku sangat mengenalmu. Aku tahu di saat kau sedang berbohong atau tidak,” celetuk Clara.Ivy menelan salivanya dengan susah payah. Clara memang tak melakukan apapun, tetapi ucapannya sudah mencekik tenggorokannya sekuat tenaga.“Aku tidak tahu kenapa kau menyembunyikan sesuatu dariku… mungkin karena kau tak percaya padaku. Tidak apa-apa… mungkin salahku yang tak bisa membuatmu percaya.”Clara menunduk lesu. Ia menatap Ivy yang kini menatapnya dengan kebingungan.“Tidak… Clara… bukan seperti itu. Aku selalu percaya padamu,” yakin Ivy sambil menggenggam kedua tangan Clara. Na
“Tumben kau tidak berada di rumahmu. Apa kau baik-baik saja?”Satu pesan dari J-1511 membuat Ivy tercengang. Buket mawar di tangannya bahkan hampir terjatuh karena terlalu terkejut dengan pesan itu.“Tunggu, bagaimana bisa dia tahu?” pikir Ivy dengan panik.Pasalnya, ia sudah menggunakan VPN dan proxy tambahan untuk berkomunikasi dengan para peretas di dunia gelap. Mereka pun menggunakan forum pesan khusus yang tak bisa diakses oleh sembarang orang.“Kau tahu rumahku?”Ivy segera mengetik balasan dengan cepat. Selama ini, ia terkenal sebagai hacker individualitas karena tak pernah masuk dalam komplotan tertentu. Ia lebih suka bekerja sendiri, tetapi sudah lima tahun ini ia membuka diri untuk berteman dengan J-1511.“Tidak. Hanya saja, titikmu biasanya selalu berada di tempat yang sama.”Pesan itu membuat Ivy akhirnya bisa menghela napas lega. Namun, bibirnya tetap mencebik kesal. Dasar, dia selalu membuat kaget saja, pikirnya.“Oh.”Ivy hanya membalas dengan singkat. Ia kembali melanj
“Mana mungkin aku selingkuh!”Ivy tak sengaja meninggikan suaranya saat menjawab tuduhan Noah. Bukan salahnya yang tak bisa mengatur suaranya. Semua ini karena Noah sendiri yang tiba-tiba mengatakan hal mustahil.Selingkuh? Bagaimana mungkin ia menjalin hubungan dengan orang lain di saat mempertahankan hubungan dengan suaminya saja ia tak bisa?“Kenapa tidak mungkin? Buktinya kau begitu fokus dengan ponselmu saat ada aku di depanmu!” pekik Noah.Ivy ingin kembali mengelak, tetapi tersadarkan dengan suatu hal. Perdebatan mereka kali ini membuat mereka terlihat seperti suami-istri pada umumnya.Noah terlihat seperti suami yang sedang cemburu pada istrinya. Dan hal itu, entah kenapa membuatnya bahagia.“Tunggu… apa kau cemburu?” tanyanya kemudian.“Cemburu? Dalam mimpimu!” elak Noah dengan beranjak dari kursinya.Ivy mendongak untuk mengikuti pergerakan Noah yang kini sudah berdiri dengan kedua tangan bersendekap dada. Noah benar-benar tampak marah dan ia masih tak tahu alasannya.“Kalau
Ivy memandang setangkai mawar di depannya dengan lesu, persis seperti keadaan mawar yang mulai layu. Padahal baru empat hari sejak bunga itu diberikan Noah, tetapi keadaannya sudah mengenaskan.“Persis sepertiku,” gumamnya.Ivy masih kesal pada Noah yang berhasil mengambil alih bunga di tangannya ketika ia sedang tidak fokus. Beruntung ia bisa menyelamatkan satu tangkai dari api yang diciptakan Noah.“Dasar orang aneh. Kenapa membeli banyak bunga kalau pada akhirnya dibakar?” Ivy sangat tak habis pikir.Padahal, ia masih bisa menyelamatkan semua tangkai bunga itu kalau Noah hanya membuangnya ke tempat sampah.Ivy memang sudah hidup bersama Noah cukup lama, tapi ia masih tak bisa mengerti tentang suaminya. Jarak yang Noah ciptakan dalam hubungan pernikahan ini sangat lebar hingga Ivy kesulitan meraihnya.“Aku bahkan baru tahu kalau dia cukup narsis dan pencemburu.”Ivy sangat yakin dengan pemikirannya. Noah yang marah dan tiba-tiba bertanya tentang ciuman adalah Noah yang nampak mengge
Ivy sadar kalau ia tak memiliki banyak waktu untuk bersembunyi. Saat pintu ruangan kerja itu terbuka, Ivy segera merundukkan tubuhnya ke bawah meja. Hanya ini tempat persembunyian satu-satunya yang bisa didapat.“Iya, aku sudah mengambilnya. Aku akan turun. Jangan berisik, Sam.”Kedua tangan Ivy membekap mulutnya erat-erat demi tak menimbulkan suara apa pun. Ia bahkan menahan napasnya tanpa sadar karena takut embusan napasnya terlalu berisik.Ivy mendengar berkas yang ditarik dari atas meja dan ia juga melihat sepatu Noah. Beruntung Noah tak memutari meja kerjanya sehingga ia bisa sembunyi dengan tenang.Noah segera pergi setelah membawa berkas-berkas di amplop cokelat. Ivy sontak melepas tangannya dari mulut dan menghela napas panjang.“Syukurlah aku tak ketahuan,” gumamnya.Ivy melanjutkan pencariannya dengan lebih gesit. Ia tak mau berada di situasi menegangkan lagi. Ia harus keluar dari ruangan ini secepat mungkin.“Apa ini?”Kerutan di dahi Ivy menjadi berlipat-lipat saat melihat
Ivy sudah terisak-isak selama dua puluh menit sejak mengetahui rahasia yang selama ini Noah sembunyikan darinya. Dan entah mengapa, semua kekesalannya pada Noah membuatnya sangat mengerti.Ia pun juga akan membenci orang yang menghancurkan keluarganya hingga membuat semuanya meninggal. Ia jadi tak mengira seberapa kesepiannya Noah selama ini….“Aku ingin memeluknya,” ucap Ivy dengan bibir yang masih gemetar karena menangis.Sebagai orang yang mengalami kekerasan dari ayahnya dan seberapa sering ia dikurung di kamarnya sendirian, ia bisa memahami perasaan Noah. Dan mungkin, Noah menjalani hari dengan lebih buruk daripada dirinya.“Aku bahkan tak akan terkejut kalau Noah membunuhku.”Ivy terus berbicara dengan dirinya sendiri. Semua ini terlalu mengejutkan, juga menyedihkan.Ivy berada di titik ingin membantu Noah, tapi satu-satunya bantuan yang bisa membahagiakan Noah adalah kepergiannya.“Coba deh dengar. Ada suara menangis, Pak.”Ivy masih menundukkan wajahnya dalam-dalam saat menden
Ivy tahu kalau riwayatnya sudah tamat saat kelepasan memanggil Ezra di situ rahasia.Ezra bukan orang bodoh yang akan diam saja identitasnya terungkap, pasti dia juga akan melakukan segalanya untuk mengungkap identitasnya.“Apa aku mengaku saja sebelum dia tahu lebih dulu?” gumam Ivy, kebingungan.“Jangan pikirkan tentang Clara.”Noah yang baru masuk kabar tiba-tiba bersuara hingga membuat Ivy menoleh padanya.“Kau terlihat sangat khawatir dan gugup. Tenang, Sayang.”Noah mengelus puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang, membuat hati Ivy terenyuh.Di antara beribu masalah yang datang, setidaknya saat ini ia memiliki Noah di sisinya.“Iya,” balas Ivy dengan mencoba tersenyum.“Apa kau mau jalan-jalan? Aku bisa memesan tiket-”Ucapan Noah terpotong oleh nada dering ponsel Ivy yang berada tepat di sebelah laptop. Sontak Ivy segera beranjak dan mengambil ponselnya saat menyadari kalau Ezra yang menelfonnya.“Aku angkat telepo dulu,” pamit Ivy.Jantung Ivy berdebar kian kencang saat kel
Ivy tak pernah mengira kalau pengkhiatan akan sesakit ini. Sejak pulang dari kafe, ia lebih banyak diam dan meminta Noah benar-benar memberinya waktu sendiri.Maka, di sinilah ia sekarang. Di depan laptop yang sudah lama tak ia gunakan.“Aku pasti sudah gila,” gumam Ivy sambil menggigit bibir bawahnya.Ia ingin menyadap ponsel Clara. Suatu hal yang tak pernah ia kira akan terjadi.“Aku harus melakukannya untuk membuktikan ucapan Clara,” yakin Ivy.Jauh di dalam hati kecilnya, ia masih tak percaya dengan semua ucapan dan sikap Clara. Oleh karena itu, ia berharap menemukan kenyataan lain; Clara sedang bercanda, misalnya.Hanya perlu menunggu beberapa detik hingga Ivy bisa mengakses semua ruang obrolan Clara.“Nasibmu jelek sekali.”Dahi Ivy berkerut kala melihat satu pesan baru dari seseorang bernama Rere. Ivy pun segera mengekliknya untuk membuat seluruh percakapan.“Kakakmu sangat egois sekali. Aku prihatin mendengar ceritamu.”Setiap Ivy membaca semua pesan yang dikirim Clara untuk R
“Sayang, kau harus makan.”Noah meletakkan bubur di nakas sebelah tempat tidur. Tangannya mengelus bahu Ivy yang memunggunginya, tapi Ivy tetap tak bereaksi.“Ivy.”Ivy hanya menggeleng dan mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya.“Aku di ruang kerja, kalau kau butuh apa-apa… datanglah. Jangan lupa dimakan.”Noah tak bisa melakukan apa-apa selain memberikan waktu dan ruang bagi Ivy untuk sendiri.Sudah hampir semingu Ivy terlihat seperti mayat hidup. Ia belum bisa berdamai dengan kenyataan kalau Clara tak menyayanginya dan bahkan berusaha untuk menyakitinya dengan menggoda Noah.“Bagaimana bisa semua ini terjadi?” Hanya iu yang terus bernaung di benak dan pikiran Ivy.“Apa rasa sayangku padanya kurang sampai dia tega melakukannya?”Lagi-lagi Ivy menangis.Dadanya terasa sangat sesak dan sakit hingga ia kesulitan bernapas. Tubuhnya bahkan ikut lemas dan tak bertenaga.Ia sering merasakan sakit. Hidupnya dilalui dengan siksaan, tapi baru kali ini ia merasa begitu tersiksa padahal ta
Ivy tersentak saat pintu kamar ditutup dengan keras oleh Noah. Namun, ia sudah menduganya.“Jelaskan padaku,” pinta Noah dengan rahang sempurna mengeras.“Aku tahu kalau kau akan salah paham. Tapi sungguh, tak ada apa-apa denganku dan Ezra,” terang Ivy, seyakin mungkin.“Kalau kau tahu aku akan salah paham, kenapa kau tetap melakukannya? Kau bilang hanya butuh waktu sebentar untuk cari angin! Kenapa malah menginap di tempatnya?!”Ivy bisa melihat otot-otot di leher Noah karena pekikannya yang makin meninggi.“Kami tidak sengaja bertemu! Demi Tuhan, aku dan Ezra tak berbuat apapun!”“Bagaimana kau bisa membuktikannya?!”Dengan kesadaran penuh, Ivy membuka satu per satu kancing baju tidurnya hingga membuat mata Noah membelalak.“Kau bisa melihat kalau tak ada jejak apapun di tubuhku.”Noah menghela napas panjang. Ia mendekat dan kembali mengancing satu per satu.“Kau tak perlu melakukannya,” ucap Noah dengan suara yang lebih rendah.“Kau bilang aku harus membuktikannya.” Ivy masih bersi
Semua yang Ivy khawatirkan terjadi. Noah sudah berada di depan gerbang saat ia baru turun dari mobil Ezra.“Kemana saja kau?” tanyanya dengan dingin.Tatapan mata Noah yang dipenuhi dengan bara membuat tenggorokan Ivy tercekat. Ia tak bisa mengeluarkan satu kata pun.“Kenapa kau bersamanya?” tanyanya sekali lagi, bahkan dengan suara yang dalam.“Aku-”“Dia bermalam di rumahku.”Ivy memejamkan matanya saat Ezra menyahuti pertanyaan Noah. Membuat tatapan Noah jauh lebih menusuk.Ya Tuhan.Tatapan Noah itu mengingatkannya saat malam pertama. Tidak. Bahkan lebih buruk lagi.Mata Noah kali ini hanya menunjukkan kemarahan, tapi juga kekecewaan dan kepedihan.Yang mana hal itu makin membuatnya kehilangan kata-kata, apalagi saat Noah menarik tangannya untuk masuk ke dalam rumah.“Masuk.”“Noah….”Tangan Noah dingin.Sangat…. dingin.Seolah-olah ia sudah berdiri di depan rumah, menunggunya semalaman untuk pulang.Sesampainya di ruang tamu, Ivy melihat Clara baru menuruni tangga dengan mata yan
Malam ini Ezra memang terlihat berbeda. Tak ada kekonyolan sedikit pun yang tercetak di wajahnya.Ezra sangat dingin, persis seperti Noah. Hal itu membuat Ivy jadi makin canggung.“Istirahatlah di sini dulu,” ucap Ezra seraya membukakan pintu ruang kamar di lantai satu.Kamar itu cukup besar dan bersih seperti tak pernah disentuh. Ivy segera mengira kalau itu memang kamar tamu.“Aku baik-baik saja. Aku tadi hanya ingin berkeliling mencari udara segar dan-”“Kau tak perlu berbohong kepadaku di saat aku sudah tahu busuknya Noah dan buruknya sikap dia padamu.” Ezra memotong ucapan Ivy dengan kesal.Ivy meringis canggung. Andai saja Ezra tahu kalau dirinya yang baru saja menampar Noah, dua kali.“Noah sudah baik padaku. Jangan khawatir.”Ivy memilih berjalan menjauh karena sadar perdebatan dengan Ezra hanyalah sebuah kesia-siaan.“Kau ini sangat keras kepala,” gumam Ezra sebelum kembali menggendongnya paksa dan masuk ke dalam kamar.Ivy memekik kaget saat tubuhnya dijatuhkan di atas kasur
Kembang api yang semula memenuhi hati Ivy atas pernyataan cinta Noah berubah menjadi ledakan hebat selayaknya bom yang meluluhlantakkan setelah mendengar ucapan Noah.“A… apa maksudmu?” ucapnya dengan terbata.“Clara menggodaku saat di dapur dan dia juga menjelekkanmu-”Logika Ivy tak bisa berjalan baik. Ucapan Noah adalah sebuah kemustahilan hingga tangannya bergerak cepat menampar Noah.“Ivy?!”Noah menatapnya dengan mata membulat kaget. Tak percaya bahwa Ivy yang selama ini penuh dengan ketenangan mampu menamparnya saat ia mengatakan hal yang sejujurnya.“Apa ini cara barumu untuk menghancurkanku?” desis Ivy dengan napas naik turun.“Apa maksudmu?!” Suara Noah ikut meninggi mendengarnya.“Kau membuatku terlena, lalu menjatuhkanku dengan cara menjelekkan adikku! Kau tahu… kau sangat licik! Aku kira kau tak akan sekejam itu. Aku kira kau-”“Aku mengatakan yang sebenarnya, Ivy!”Noah mengguncang kedua bahu Ivy demi menyadarkannya pada kenyataan, tapi Ivy menepis kasar tangannya.“Jang
Ivy tak tidur. Saat Noah membisikkan panggilan sayang padanya, rasa kantuknya sudah terbang ke antah berantah.Ia yakin kalau Noah sudah berubah dan ia ingin kembali membicarakan tentang perasaan padanya sekali lagi. Karena sikap Noah telah melambungkan harapannya.Ia menunggu di kamar selama lima menit…Sepuluh menit….Bahkan sudah dua puluh menit, Noah tak kunjung kembali.“Sebenarnya dia kemana?” gumam Ivy.Ivy menyibakkan selimutnya, lalu berjalan keluar kamar. Ia berniat mencari keberadaan Noah. Mungkin saja ia berada di ruang kantornya untuk mengambil beberapa berkas.“Aku harus memarahinya kalau dia tetap bekerja selarut ini,” gumamnya.Saat Ivy membuka pintu, ruang kerja Noah diliputi kegelapan. Artinya, Noah tak berada di sana.“Lalu di mana dia?”Ivy tak tahan untuk berdecak, kebingungan. Ia segera menutup kembali pintu kantor Noah, lalu berjalan menuruni tangga.Kakinya masih terlalu sakit digerakkan sehingga setiap langkah yang tercipta terasa berat. Ia bahkan ingin menyer
Ivy kira Noah akan kembali dingin setelah perbincangan mereka di halaman belakang rumah. Ia sudah siap dengan sikap Noah yang kejam seperti sebelumnya, tapi rupanya ia salah besar.Noah masih tetap manis. Dia tak menghindar sama sekali.Awalnya, Ivy mengira kalau Noah akan bersikap baik untuk berakting di depang Clara. Namun, dia tetap lembut bahkan hanya saat ada mereka berdua saja.“Noah.”Noah sedang sibuk dengan laptopnya saat Ivy memanggil dengan penuh keraguan.“Ada apa?” sahut Noah sambil meletakkan laptop yang sebelumnya dipangku di paha ke atas kasur.Lagi-lagi itu adalah pemandangan aneh. Sudah beberapa hari ini Noah membawa pekerjaannya di kamar, padahal biasanya ia selalu menghabiskan waktu lama berkutat dengan pekerjaannya di dalam ruang kerja.“Tidak. Tidak apa-apa,” balas Ivy dengan menggeleng.Noah mengerutkan dahinya. “Kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu?”Ivy menggigit bibirnya, berpikir lebih dalam untuk mengutarakan isi hatinya atau tidak.“Kenapa, Ivy?” tanya Noah