Share

Bab 3. Takdir Istri Teraniaya

“Kalau Noah memang ingin mempermainkanku, maka aku tak boleh terlihat lemah. Akan kutunjukkan kalau aku bukan perempuan yang mudah disakiti.”

Tangisan semalam seolah menjadi pertanda tangisan terakhirnya.

Ia sudah banyak menangis… menangis karena ayahnya, keluarganya, sekarang suaminya. Ia tak mau menghabiskan sisa hidupnya dengan menangis… tidak akan.

Setelah mandi dan menyiapkan diri sebaik mungkin, Ivy mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia segera membukanya dan mendapati Noah yang sudah rapi dengan kemeja biru muda.

“Selamat pagi,” sapa Ivy dengan seramah mungkin.

Meski tenggorokannya terasa tercekat karena kepedihan dan kemarahan semalam, ia berusaha mengendalikan diri dengan sebaik mungkin.

Noah sendiri hanya membalas dengan dengusan kasar, terlihat tak suka dengan basa-basi Ivy.

“Dia… sudah pergi?” Mata Ivy menatap pintu di belakang Noah yang sudah tertutup rapat. Dalam diam, ia menanti kemunculan perempuan berambut pirang yang semalam datang secara tiba-tiba.

“Siapa?” Satu alis Noah terangkat.

“Perempuan yang—”

“Oh.” Noah mengangguk. “Dia sudah pergi semalam setelah aku puas bermain dengannya.” Kemudian, pria itu masuk ke dalam kamarnya dan tak lupa menutup pintu.

Ivy terdiam. Noah tetap terlihat tenang, seakan-akan kalimat yang baru saja ia ucap tak menusuk jantung Ivy dengan kejamnya.

Perempuan itu hanya termenung selama beberapa saat dengan mata kosongnya, hingga Noah berjalan mendekat padanya. “Apa yang kau lakukan? Jangan berdiri diam saja seperti orang bodoh. Kita harus segera keluar dari sini dan berjalan beriringan agar tetap terlihat mesra di depan orang lain.”

Kedua tangan Ivy mengepal menahan amarah, tapi ia tetap berusaha menjaga ketenangannya. “Kupikir kau berhutang penjelasan padaku,” ucapnya.

Noah mengangkat sebelah alisnya, lalu menunjukkan senyuman miring.

Senyuman yang sama seperti semalam saat ia mengusirnya dari kamar demi bersama pelacur itu.

Noah tersenyum lebar. Sesungguhnya, Ivy cukup takut dengan senyuman itu. Ditambah tatapan Noah yang setajam pedang. Ia tak pernah melihat mata itu sebelumnya.

Mata Noah benar-benar dipenuhi dendam padanya.

“Kurasa aku tak perlu menjelaskan apa pun padamu. Aku bebas memperlakukanmu semauku,” jawab Noah.

“Tapi….”

Ivy menggigit bibir bawahnya karena merasa terpojokkan. Padahal, ia hanya minta kejelasan tentang maksud dendam Noah, tapi tatapan Noah telah membungkamnya.

“Kenapa kau berani membalas tatapanku? Kau seharusnya tidak menatapku seperti itu. Kau sendiri yang memohon padaku untuk menikahimu. Kau juga mengatakan akan melakukan apa pun untukku. Apa kau lupa?”

Noah berjalan maju hingga Ivy mundur secara spontan. Namun, tangan pria itu sudah lebih dulu mencengkram dagunya.

“Ingat. Kau sendiri yang menjerumuskan diri ke dalam pernikahan ini. Kau tak akan mengalami hal ini jika saja aku tetap menikah dengan adikmu.”

Apa yang dikatakan Noah membuat Ivy bersyukur. Setidaknya, dengan menggantikan posisi Clara di pernikahan ini, ia telah menyelamatkan sang adik.

“Jika kau tetap menikah dengan Clara, apa kau tetap akan berlaku buruk seperti ini?” Ivy bertanya untuk memastikan.

“Tentu saja.”

Mata Ivy semakin memerah, tetapi sekuat tenaga ia tahan untuk tidak menangis di hadapan Noah. “Kenapa?”

Noah tak menjawab pertanyaannya. Dia malah tertawa dengan amat keras sampai-sampai Ivy ingin menyumpal kedua telinganya.

Suara tawa itu terdengar bengis. Mengingatkannya pada ayahnya yang suka tertawa saat menyiksanya.

“Bagaimana… kalau aku menjawab karena aku suka? Ayahmu adalah manusia menjijikkan, jadi aku ingin membalas dengan menyiksa putrinya. Dan kurasa itu keputusan yang hebat karena aku… sangat suka saat menyiksamu.”

Tawa Noah masih tak berhenti, apalagi saat Ivy sudah kehilangan rasa tenangnya. Ivy tak bisa mengontrol tubuhnya yang tersentak dan sedikit bergetar.

Melihat Noah yang seperti ini, seketika ia melihat kemiripan antara suaminya dengan sang ayah.

Dan itu bukanlah hal baik.

“Apa kau seorang psikopat? Bagaimana bisa kau bersikap jahat hanya karena suka?” Ivy bertanya dengan deru napas yang mulai memburu.

Semuanya terasa janggal. Noah Horison terkenal sebagai lelaki yang tak memiliki celah buruk sama sekali. Data-datanya sangat bersih. Ivy sudah mengecek informasi tentang Noah berkali-kali dan tak ada catatan kriminal sedikit pun.

“Argh!” Ivy merintih saat Noah semakin menekan rahangnya hingga tubuhnya ikut terdorong menabrak pintu.

“Dengar, aku sama sekali tak perlu menjelaskan apa pun padamu. Yang terpenting, kau sekarang istriku dan berada di bawah kuasaku. Jangan berani untuk melawan atau kau akan merasakan akibatnya.”

Tenaga Noah sangat besar hingga membuat rongga mulutnya mulai berdenyut nyeri.

Sebagai orang yang terbiasa mendapatkan kekerasan, menurut adalah langkah terbaik agar ia cepat terbebas dari penderitaan.

“Jawab aku! Apa kau ini memang bisu?!” Noah berteriak lebih keras.

Ivy terpaksa mengangguk dengan cepat. “Ya, aku mengerti.”

“Bagus.” Noah akhirnya melepas cengkramannya dan kembali menatap Ivy dengan tak mengurangi ketegasannya sedikit pun. “Sekarang kau harus bersiap sebelum kita meninggalkan hotel. Dan ingatlah untuk terus tersenyum seolah-olah kau perempuan paling beruntung di dunia ini karena menikah denganku.”

“Ya.”

Setelah menghabiskan waktu selama satu jam penuh untuk mempersiapkan diri dan berdandan sebaik mungkin, Noah dan Ivy keluar dari hotel dengan terus bergandengan tangan.

Sepanjang perjalanan di lorong hotel dan lobi, tangan mereka sama sekali tak terlepas. Noah juga memulai percakapan basa-basi dengan Ivy saat ia menyadari ada beberapa paparazi yang mengikuti.

“Jangan lupa untuk terus tersenyum bahagia,” bisik Noah dengan sedekat mungkin hingga mereka terlihat sangat intim.

“Aku sudah tersenyum sejak tadi. Malah sepertinya kau yang terlihat tegang dan kurang alami untuk tersenyum padaku,” balas Ivy dengan tersenyum sinis.

Noah cukup terkejut dengan senyuman yang terulas selama beberapa detik itu. Meski kini Ivy kembali menunjukkan senyuman yang sangat manis hingga menenggelamkan matanya.

“Kau… pintar berakting ternyata.” Noah meremas pinggang Ivy.

Sejujurnya, sentuhan itu membuat Ivy menegang, tetapi ia tetap berwajah santai seolah-olah apa yang dilakukan Noah tak memengaruhinya sama sekali.

“Aku anggap itu pujian.”

Selama berjalan di sisi Noah, Ivy sadar kalau lelaki itu sedang menyesuaikan diri dengannya. Kakinya yang cacat memang membuat langkahnya lebih pelan saat berjalan hingga Noah pun ikut memelankan pacu kecepatan jalannya.

Sesaat, tentu saja ada perasaan haru yang menyergap. Namun, Ivy buru-buru menyangkal, sebab tahu jika kebaikan Noah hanyalah sebuah kepura-puraan.

Saat masuk ke dalam mobil yang sudah disiapkan. Ivy terkejut bukan main saat melihat seseorang yang sudah duduk di sebelah sopir.

“Bukannya dia yang—” Ivy tak bisa melanjutkan ucapannya saat perempuan itu hanya menyengir padanya.

“Ya, dia perempuan yang semalam. Namanya, Bella dan dia akan ikut bulan madu bersama kita.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status