Ivy terpaku selama beberapa saat ketika perempuan bernama Bella itu menjulurkan tangan padanya.
“Senang bertemu denganmu. Aku harap kita jadi teman yang akrab.” Bella berkata dengan senyum lebarnya. Ivy menoleh pada Noah yang tengah tersenyum mencemooh. Apa yang dilakukan Noah jelas telah merendahkannya. Bagaimana bisa ia pergi bulan madu dengan teman tidur suaminya? “Ya… ya… senang berkenalan denganmu.” Ivy membalas jabat tangan itu dengan kaku. Samar-samar ia bisa mendengar dengusan pelan Noah yang mengatainya bodoh. Dan ia sendiri juga mengakui kalau memang bodoh. “Harusnya kupatahkan saja tangan ini! Dia adalah selingkuhan suamiku!” batin Ivy meronta dan tanpa sadar mencengkram kuat-kuat tangan Bella yang masih di dalam genggamannya, tapi ia tetap tak bisa melakukan apa pun hingga Bella melepas sendiri jabatan tangan itu. “Kau cukup kuat juga ya,” ucap Bella. Di balik senyumnya yang lebar, ia menaruh kesal karena Ivy benar-benar membuat tangannya sakit. Selama perjalanan Jakarta ke Seoul yang memakan waktu enam jam, Ivy benar-benar membisu. Noah yang duduk di sebelahnya juga tak banyak bicara. Noah lebih banyak sibuk dan mengurus berkas-berkas di mejanya daripada menoleh pada Ivy. Bahkan Bella yang duduk tak jauh dari mereka juga diabaikan oleh Noah. Padahal Ivy mengira Noah dan Bella akan sering mencuri pandang. Ivy diam-diam memperhatikan Bella yang sedang terlelap. Tubuh Bella memang memiliki proporsi yang sangat sempurna layaknya model. Bella tinggi, kurus, berkulit putih mulus dengan buah dada dan bokong yang besar. Oh, jangan lupakan bibirnya yang merah dan tebal itu. “Kalau Noah sampai membawanya ke Seoul dan terus menempel pada Bella, maka keahliannya di ranjang pasti sangat hebat.” Ivy segera menggelengkan kepalanya yang telah berpikir liar. Ia harus mulai menguasai diri agar tak terlalu terbawa suasana dan mengingat kembali adegan panas antara Noah dan Bella semalam. Ivy memilih memejamkan matanya dan berharap pikirannya lebih tenang. Perjalanan ini berlangsung lama dan ia sungguh tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sesampainya mereka di Seoul. Noah yang semula sibuk dengan beberapa pekerjaan, menoleh pada Ivy yang telah tidur dengan nyenyak. Ia tahu kalau tak seharusnya memperhatikan Ivy dalam jangka waktu yang lama, tapi ada sesuatu yang meresahkan hatinya. Noah yakin kalau ia melihat beberapa lebam dan bekas luka di kaki Ivy sebelum ia mulai menyiksanya semalam. Ia memang cukup terkejut melihatnya, ditambah pagi ini ia melihat memar biru keungunan yang melingkar di lehernya. “Sebenarnya apa yang dia lakukan sampai mendapat luka sebanyak itu?” pikirnya. Noah juga baru menyadari kalau selama ini Ivy memang selalu mengenakan pakaian yang tertutup. Ia selalu memakai rok panjang atau celana panjang. Ia juga sering mengenakan jaket atau kardigan daripada pakaian lengan pendek lain. “Apa ada yang dia sembunyikan dariku?” Noah merasa ada hal yang aneh dan harus ia ketahui, tapi ia tak tahu bagaimana cara mengintrogasi Ivy. Akan memalukan jika ia langsung bertanya tentang bekas lukanya yang tak sengaja ia lihat tadi pagi. “Sebentar… aku kan suaminya. Aku bisa melakukan apa pun padanya.” Sebuah ide muncul di pikiran Noah, kemudian ia tersenyum miring dan mengangguk-angguk. “Ya, caranya sangat mudah,” gumamnya. Noah melanjutkan pekerjaannya dengan lebih ceria daripada sebelumnya. Terima kasih pada ide briliannya yang akan ia lakukan untuk mempermainkan Ivy nanti. *** Ivy rasanya tak pernah tidur senyenyak itu dalam hidupnya. Ia tak tahu kalau tidur dalam perjalanan panjang di kelas utama pesawat akan senyaman ini. Saat melihat jam tangan, ia sadar kalau dalam satu jam lagi mereka akan sampai di bandara. Ia menoleh dan mendapati Noah sedang terlelap. Mejanya yang semula penuh dengan berkas pekerjaan sudah kembali rapi. Ini adalah kali pertama Ivy melihat Noah yang terlelap. Wajahnya saat tidur terlihat sangat damai dan tenang, sangat berbeda saat sadar. Hanya ada kemarahan dan kebencian di matanya. “Dia manis juga,” ucapnya. Ivy memperhatikan dahi Noah yang beberapa kali berkerut hingga tanpa sadar tangan Ivy terjulur untuk menyentuhnya agar tenang. Namun, belum sempat ia menyentuh kulit Noah, tangannya sudah dicengkram erat. Tubuh Ivy menegang, apalagi saat mata Noah yang semula terpejam langsung terbuka dan menatapnya dengan tajam. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya dengan tajam. Ivy tergagap. Ia seperti seorang pencuri yang tertangkap basah. “A—aku…” Noah mendengus saat Ivy kesulitan menjawabnya. Ia menepis tangan Ivy dengan sekuat tenaga hingga hampir menabrak kabin. “Maaf… aku hanya… hanya….” Ivy masih berusaha menjelaskan, tapi tatapan Noah yang makin menajam membuatnya mati kutu. “Hanya apa? Apa kau akan menyakitiku dan balas dendam atas semua perbuatanku? Kau akan membunuhku?” Mulut Ivy melongo lebar, tak menyangkah dengan tuduhan Noah padanya. Pikiran Noah terdengar sangat liar. “Mana mungkin! Aku tak pernah berpikir seperti itu!” Ivy memprotes. Noah tetap mendengus tak percaya. “Pembohong,” ucapnya. Ivy sungguh tak mengira Noah akan menuduhnya seperti itu. Ia memang marah dan kecewa dengan sikap Noah, tapi ia tak pernah memikirkan tentang balas dendam apalagi sampai pembunuhan. “Aku sungguh tak berniat seperti itu! Kenapa juga aku membunuh orang lain?” tanyanya, keheranan. “Karena kau anak dari Evan yang telah membu—” Ucapan Noah terhenti saat ia sadar terlalu tersulut emosi. Ia pun berdehem dan kembali memejamkan matanya untuk mengabaikan Ivy. Kali ini, kebingungan mendominasi Ivy. Ia yakin jika Noah ingin mengatakan sesuatu padanya, tapi… apa? Kenapa Noah tak melanjutkannya? Memangnya, apa yang telah diperbuat ayahnya pada Noah? “Dia terlihat sangat marah tadi,” batinnya. “Kau tadi terlihat tak nyaman. Kau sering mengerutkan dahimu. Kupikir kau sedang mimpi buruk. Jadi, aku ingin… ingin mengelus dahimu, siapa tahu kau akan tenang,” aku Ivy. Tentu saja penjelasan itu diabaikan Noah. Ia semakin muak dengan Ivy dan memunggunginya. Namun, saat teringat mungkin ada beberapa orang yang memperhatikan mereka, Noah kembali menyamankan posisinya seperti semula. “Jangan berulah sampai turun dari pesawat,” tegas Noah sambil mencoba kembali terlelap dengan kedua tangan bersedekap di dada. Ivy menurut. Ia tetap diam sampai pramugari memberi pengumuman bahwa pesawat segera sampai di Incheon International Airport. Ia bahkan tetap diam saat mereka benar-benar berjalan di bandara. Noah tetap memegang tangannya dan sesekali berbisik untuk mengingatkannya agar tetap tersenyum dan terlihat bahagia. “Aku tahu. Aku tak akan lupa.” Dan Ivy juga menjawab hal yang sama selama berulang kali. Bella sendiri berada di belakang mereka bersama Pak Rudy yang akan menjadi pengawal mereka selama lima hari di seoul. Saat keluar dari pintu gate, seorang lelaki tinggi berkacamata melambaikan tangannya pada Noah. Noah membalasnya, lalu mereka berjalan mendekat. “Dia Samuel, teman baikku,” bisik Noah sebelum mereka sampai di depan Samuel. Samuel memiliki wajah yang sangat ramah. Senyumnya yang lebar bahkan menenggelamkan matanya. “Hai, Bro! Jadi, ini istri cacatmu yang menyebalkan itu.” Namun, ucapan Samuel sangat berbeda dengan keramahan yang tercetak di wajahnya. Sapaan itu cukup mengejutkan dan membuat Ivy tersentak. Noah menendang kaki Samuel, kemudian ia mengaduh protes. Sementara Ivy bisa mendengar tawa tertahan di belakangnya. Bella sedang menertawakannya. “Jangan mengatakan senyaring itu di tempat umum!” peringat Noah. “Oh, ya. Maaf.” Samuel menangkup kedua tangannya, berlagak sok menyesal meski Ivy tahu tak ada penyesalan yang terlihat di wajahnya. Ivy mengeratkan pegangannya di koper saat melihat senyuman miring Samuel, juga tawa Bella yang makin mengeras. “Benar-benar tak ada orang yang berada di pihakku disini,” batinnya. Mereka kembali berjalan menuju mobil. Saat Noah melepaskan tangannya untuk mengangkat panggilan telepon, Samuel tiba-tiba berdiri tepat di belakang Ivy bahkan sengaja menempelkan tubuhnya dengan Ivy. “Tenanglah, jika Noah tak mau denganmu. Kau bisa bersenang-senang denganku setiap malam,” bisiknya dengan sangat seduktif.Ivy berusaha menjaga jarak dari Samuel. Kejadian di bandara cukup membuatnya trauma hingga lebih baik ia di dekat Noah, meski sering mendapat lirikan tajam daripada disentuh oleh Samuel. “Kenapa pegang tangan terus?” protes Noah sambil berusaha melepaskan genggaman Ivy. “Kita masih di tempat umum. Siapa tahu ada orang Indonesia di sini dan mengenalmu,” balas Ivy. Setelah meletakkan barang-barang di hotel, mereka memang segera menuju restoran milik keluarga Samuel. Kata Noah, Samuel sedang liburan seminggu sekaligus menengok bisnis keluarganya. “Tapi kita mau makan. Aku tidak bisa makan kalau kau terus menggenggamnya.” “Saling menyuapi saja.” Ivy segera mengambil potongan tteokbokki dan menjulurkan ke mulut Noah. Jelas Noah ingin mengelak, tapi melihat ramainya tempat makan ini membuatnya tetap menerima. Samuel kembali ke meja dengan membawa sepiring gimbap yang dia buat secara spesial. “Wah. Ternyata kalian romantis juga,” godanya. Ivy membalas dengan buangan muka dan semakin
“Aku cuma ingin mengecek keadaanmu.”Samuel menyentuh pipi Ivy tapi ia menolak dengan berlari mundur. Samuel terus mengejar hingga Ivy terpojok di dinding.“Pe—pergi! Aku ingin keluar! Aku mau jalan-jalan dengan Bella!”“HAHAHA!”Samuel terbahak-bahak sampai air matanya keluar. Ivy berusaha menggunakan kesempatan itu dengan melarikan diri, tapi Samuel tetap berhasil menarik tangannya bahkan mendorong tubuhnya hingga terjatuh di kasur.“Kenapa alasanmu sangat bodoh? Kenapa pula kau mendatangi perempuan yang tidur dengan suamimu sendiri?” tanya Samuel dengan tangan kanan yang menahan kedua tangan Ivy di atas kepala, sedangkan tangan lainnya sudah menjelajah ke tiap lekuk tubuh Ivy.“Le—lepas!”Ivy mulai menangis. Kakinya menendang-nendang udara, berharap bisa menumbangkan Samuel.“Pergi dari sini! Pergi!” pekiknya, putus asa.“Kau tak perlu mengusirku. Kita bisa bersenang-senang di sini. Jangan mau kalah dengan suamimu.”“Sam! Jangan!”Wajah Samuel tenggelam dalam lehernya. Ivy sontak m
Ivy mencengkram ujung selimut dengan gemetar. Noah berjalan semakin dekat dengan sabuk yang masih di tangan kanannya. Seketika bayangan saat ayahnya memukulinya dengan sabuk muncul di kepalanya.“No—ah... Noah... aku bersumpah... aku berani bersumpah bukan aku yang menggoda Sam. Dia yang hampir memperkosaku.” Ivy berusaha menjelaskan bersama gemetar tubuhnya.Namun, penjelasan itu tampak sia-sia karena bara di mata Noah tetap tak padam.“Selain murahan, kau juga pembohong ulung,” desis Noah.Ivy menggeleng. Wajahnya sudah basah dengan air mata. Pelecehan Sam sudah membuatnya ketakutan setengah mati, tapi kini ia harus berhadapan dengan Noah yang sedang kesetanan.“Aku tak berbohong. Aku—”Noah berseru nyaring, tak membiarkan Ivy menyempurnakan kalimatnya. “Diam. Aku muak dengar semua alasanmu.”“Noah....”Noah melempar sabuk di tangannya. Sesaat hal itu membuat Ivy merasa lega, tetapi napasnya tertahan ketika Noah mendekat dan mencengkram dagunya.Dari jarak sedekat ini, Ivy bisa meli
“Noah, aku memasak pasta kesukaanmu. Jangan lupa dimakan.”Ivy menatap Noah yang masih sibuk dengan berkas-berkas kerjanya. Noah sama sekali tak melirik padanya dan ia sudah biasa dengan hal itu. Maka, ia hanya meletakkan sepiring Fettuccine Alfredo dan jus anggur di meja seperti yang sudah-sudah.Sudah terhitung enam bulan sejak pernikahan mereka, tapi Noah tetap terasa jauh… bahkan semakin jauh darinya. Noah bahkan jarang sekali berbicara padanya sejak pulang dari bulan madu.“Sebenarnya apa salahku?”Dan setiap hari ia juga menanyakan hal yang sama. Semua perkataan Noah padanya terasa abu-abu dan membingungkan. Dia tak pernah berkata secara gamblang alasan yang sesungguhnya kenapa dia menikahinya.Ting! Tong!Suara bel yang ditekan berkali-kali membuat Ivy menuruni tangga dengan tergopoh. Saat di tangga terakhir, ia melihat Bi Wina sudah membuka pintu. Sosok Samuel langsung masuk dengan raut marah.Tubuh Ivy bergetar takut. Sontak ia segera berlari untuk bersembunyi di balik tiang
“Aku akan menjadi janda… janda perawan.”Ivy tahu kalau pernikahannya akan berakhir, seperti yang dikatakan pria itu pada Samuel beberapa minggu lalu.Untuk itu, Ivy telah bersiap, memasukkan barang-barangnya ke koper... meski sampai detik ini belum ada kata talak dari Noah.Selama seminggu ini, Ivy tetap berusaha bersikap hangat meski sikap pria itu masih tak berubah. Setidaknya, ia ingin menjadi istri yang baik sebelum perceraian mereka.Setelah bercerai nanti, ia berencana untuk pergi keluar kota dan hidup sendiri karena ia pasti akan mati jika kembali ke rumah ayahnya.Suara panggilan telepon membuat Ivy meletakkan kembali pigura foto pernikahan yang akan ia masukkan dalam koper. Senyumnya terulas lebar saat mendapati nama adiknya di layar ponsel.“Halo, Clara? Ada apa?” Ivy menyapa dengan ramah. Sangat jarang Clara menghubunginya karena sibuk kuliah, sehingga ia bahagia apabila ada waktu untuk bercengkrama dengannya.“Kak, aku di depan rumahmu.”Senyuman Ivy menghilang saat mende
“Hahaha! Apa maksudmu? Mana mungkin aku tahu menahu tentang kejatuhan perusahaan Ayah? Data-data itu di komputerku saat aku ingin menganalisis apa yang terjadi setelah ada yang meretas dokumen perusahaannya.”Ivy berusaha menutupi ketegangannya dengan tertawa. Berharap alasan yang ia berikan pada Clara membuat adiknya itu percaya, tetapi bibirnya menjadi kaku saat melihat Clara tak bereaksi apa-apa.“Kau tahu kalau aku sangat mengenalmu. Aku tahu di saat kau sedang berbohong atau tidak,” celetuk Clara.Ivy menelan salivanya dengan susah payah. Clara memang tak melakukan apapun, tetapi ucapannya sudah mencekik tenggorokannya sekuat tenaga.“Aku tidak tahu kenapa kau menyembunyikan sesuatu dariku… mungkin karena kau tak percaya padaku. Tidak apa-apa… mungkin salahku yang tak bisa membuatmu percaya.”Clara menunduk lesu. Ia menatap Ivy yang kini menatapnya dengan kebingungan.“Tidak… Clara… bukan seperti itu. Aku selalu percaya padamu,” yakin Ivy sambil menggenggam kedua tangan Clara. Na
“Tumben kau tidak berada di rumahmu. Apa kau baik-baik saja?”Satu pesan dari J-1511 membuat Ivy tercengang. Buket mawar di tangannya bahkan hampir terjatuh karena terlalu terkejut dengan pesan itu.“Tunggu, bagaimana bisa dia tahu?” pikir Ivy dengan panik.Pasalnya, ia sudah menggunakan VPN dan proxy tambahan untuk berkomunikasi dengan para peretas di dunia gelap. Mereka pun menggunakan forum pesan khusus yang tak bisa diakses oleh sembarang orang.“Kau tahu rumahku?”Ivy segera mengetik balasan dengan cepat. Selama ini, ia terkenal sebagai hacker individualitas karena tak pernah masuk dalam komplotan tertentu. Ia lebih suka bekerja sendiri, tetapi sudah lima tahun ini ia membuka diri untuk berteman dengan J-1511.“Tidak. Hanya saja, titikmu biasanya selalu berada di tempat yang sama.”Pesan itu membuat Ivy akhirnya bisa menghela napas lega. Namun, bibirnya tetap mencebik kesal. Dasar, dia selalu membuat kaget saja, pikirnya.“Oh.”Ivy hanya membalas dengan singkat. Ia kembali melanj
“Mana mungkin aku selingkuh!”Ivy tak sengaja meninggikan suaranya saat menjawab tuduhan Noah. Bukan salahnya yang tak bisa mengatur suaranya. Semua ini karena Noah sendiri yang tiba-tiba mengatakan hal mustahil.Selingkuh? Bagaimana mungkin ia menjalin hubungan dengan orang lain di saat mempertahankan hubungan dengan suaminya saja ia tak bisa?“Kenapa tidak mungkin? Buktinya kau begitu fokus dengan ponselmu saat ada aku di depanmu!” pekik Noah.Ivy ingin kembali mengelak, tetapi tersadarkan dengan suatu hal. Perdebatan mereka kali ini membuat mereka terlihat seperti suami-istri pada umumnya.Noah terlihat seperti suami yang sedang cemburu pada istrinya. Dan hal itu, entah kenapa membuatnya bahagia.“Tunggu… apa kau cemburu?” tanyanya kemudian.“Cemburu? Dalam mimpimu!” elak Noah dengan beranjak dari kursinya.Ivy mendongak untuk mengikuti pergerakan Noah yang kini sudah berdiri dengan kedua tangan bersendekap dada. Noah benar-benar tampak marah dan ia masih tak tahu alasannya.“Kalau
“Kau serius?”Ezra masih menanyakan hal yang sama selama sepuluh kali selama lima menit terakhir dan Ivy juga mengangguk selama sepuluh kali pula. Ivy tahu kalau keputusannya akan mengejutkan Ezra.Sebagai teman, Ivy berpikir kalau bisa mengatakannya pada Ezra. Apalagi mereka sedang merencanakan hal penti yang terkait perusahaan Noah juga.“Lupakan masalah rencana pembatalan akuisisi ini. Sekarang ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi.”Ezra menyingkirkan berkas di depan Ivy, juga cangkir kopi dan segelas blueberry smoothies milik Ivy. Kemudian, ia memajukan tubuhnya seolah siap mendengar semua cerita yang Ivy tumpahkan.Namun, Ivy bukan orang yang bisa menceritakan masalah keluarganya kepada orang lain. Meskipun ia cukup dengan Ezra, ia tak bisa melupakan bagaimana kacaunya keadaaan ini bermula saat Noah menuduhnya berselingkuh dengan Ezra.“Aku tak bisa mengatakannya,” tolak Ivy.Ada gurat kekecewaan yang besar di wajah Ezra.“Yang jelas hubunganku dengan Noah akan berakhir,”
Jalanan nampak padat meski terik matahari sedang membakar seluruh penjuru kota. Orang-orang berdesakan di segala arah dengan tempo cepat. Beberapa di antaranya terus-menerus mengecek jam tangan, mungkin takut kehabisan waktu istirahat makan siang.Semua orang sibuk. Hanya Ivy yang tetap duduk tenang di lantai dua kafe Evora selama empat puluh menit terakhir.Air mukanya tenang. Pun tak ada pergerakan berarti dari tubuhnya selain sesekali mengangkat cangkir cokelat panasnya yang mulai mendingin ke bela bibir. Namun, apa yang ada dalam hati dan jiwanya lebih berantakan dari segala hal yang sedang ia lihat di jalanan.Sudah dua malam ia tak bisa tidur sejak menyaksikan perselingkuhan Noah dan Clara. Meski sudah meyakinkan diri berkali-kali kalau ia tak masalah, nyatanya ia memang terluka cukup parah.“Maaf sudah terlambat!” Ezra menarik kursi di depan Ivy dengan napas tersendat-sendat.Lilitan dasi yang melingkar di lehernya ia kendorkan. Ivy tersenyum kecil, lalu mendorong cold brew yan
Sebesar apapun usaha Ivy untuk menjauhi Noah, kakinya yang cacat ini tak pernah sebanding dengan langkah Noah yang lebar-lebar. “Ivy! Dengarkan penjelasanku dulu!” Noah menghadang langkah Ivy.Ivy tak bisa menatap Noah sedikitpun. Wajahnya langsung berpaling dari Noah, lalu memilih berbelok untuk menghindar dari Noah.“Ivy….” Noah menjambak rambutnya frustrasi.Tubuhnya masih panas, tetapi ia harus menguasai diri agar tak membuat semuanya lebih hancur lagi.“Ivy!” Noah berteriak putus asa saat Ivy membanting pintu kamar di depannya. Ia terus berusaha mengetuk pintu itu sekeras mungkin, tapi Ivy tetap tak menyahutinya sama sekali.Di dalam kamar, Ivy hanya bisa tenggelam dalam air matanya. Ia tergugu di atas tempat tidur dengan kekecewaan yang telah menggunung.“Kenapa aku kaget? Kenapa aku kecewa? Bukannya aku sudah mengatakan kalau aku mengizinkan Noah seandainya ia bersama Clara?”Sejak tadi, Ivy hanya bisa menanyai dirinya sendiri. Ia merasa menjadi manusia yang paling bermuka du
“Eh? Ini bukannya jam tangan Noah?” Ivy mengambil jam tangan yang tergeletak di meja makan dengan bingung. “Bagaimana bisa Noah melupakan jam tangannya dan pergi begitu saja?” gumamnya kemudian.Ia segera mengantongi jam tangan Noah dan melupakan niatnya untuk membantu Bi Dina membersihkan meja.“Maaf ya, Bi. Saya harus menyusul Noah ke depan secepatnya,” pamit Ivy.“Iya, tak masalah, Nyonya. Saya memang tak enak dan sungkan kalau Nyonya selalu membantu saya,” balas Bi Dina.Ivy tersenyum. “Tenang saja. Tak merepotkan kok.”Ivy menggerakkan kruknya dengan lebih cepat agar masih sempat menahan Noah yang akan berangkat kerja. Namun, langkahnya dihentikan oleh seorang staf keamanan saat ia akan memasuki garasi.“Kenapa?” tanya Ivy dengan bingung.Pegawai bernama Beni itu tampak canggung dan gugup.“Tuan Noah masih sibuk di dalam,” jawabnya.Tentu jawaban itu sangat aneh bagi Ivy. Apa yang Noah lakukan sampai dia sibuk di garasi? Jangan-jangan ayahnya membuat ulah lagi hingga Noah samp
Clara segera mengembalikan botol yang sudah kosong ke saku celananya setelah usai melaksanakan rencana besarnya. Ia pun mengaduk kopi Noah, lalu memasukkan satu gula lagi di kopinya agar ia terlihat sibuk di depan nampan. “Kopi datang!”Clara tersenyum riang saat meletakkan kopi Noah di sebelah piringnya dan kopinya sendiri di depannya. “Terima kasih,” ucap Noah dengan acuh. “Sama-sama,” balas Clara, masih dengan senyuman lima jarinya. “Dan kurasa kau harus makan dulu sebelum minum kopi demi kebaikan lambungmu,” lanjutnya kemudian. Ivy mengangguk-angguk. “Benar kata Clara. Kau ini memang memiliki kebiasaan buruk dengan minum kopi saat perut kosong.”Cangkir yang sudah di depan bibir kembali Noah letakkan di atas meja. Ia tak bisa mengelak ketika istrinya sudah bersabda. Clara sendiri merasa cukup lega, karena efek cairan cinta yang ia letakkan di kopi Noah cukup banyak sehingga pasti langsung berefek. Ia tak ingin ada Ivy saat efek dari minuman itu mulai bereaksi. Ia harus menci
Clara membanting pintu kamarnya dengan penuh emosi. Semua ini karena Ivy yang sudah berbuat sesukanya.“Kurang ajar. Dia sudah mulai berani,” gumamnya dengan napas pendek-pendek, menahan amarah.Wajah Ivy yang menyebalkan membuatnya makin geram. Bantal di dekatnya menjadi pelampiasan emosi. Ia meninju-ninju bantal itu dengan kekuatan penuh selagi membayangkan wajah Ivy.“Awas saja. Akan kubuat kau menyesal,” geram Clara.Ada sebuah ide yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Mengundang senyuman kecil yang penuh kelicikan.“Aku hampir melupakan ide itu.”Clara segera membuka laci mejanya, lalu meraih botol kecil yang baru ia beli melalui daring beberapa hari yang lalu.“Aku tahu kalau kau akan bermanfaat, tapi aku tak tahu kalau akan kugunakan secepat ini,” ucap Clara dengan tertawa girang sambil menatap botol berisi cairan cinta itu.Clara segera memasukkannya ke dalam saku, lalu buru-buru kembali keluar dari kamar untuk melancarkan aksi.Sebentar lagi Noah akan berangkat kerja dan biasan
Sudah satu minggu terakhir Clara telihat berbeda. Bukan hanya Ivy yang merasakan perubahan sikap Clara, tapi juga Noah.“Aku merasa ada hal busuk yang sedang dia rencanakan,” ungkap Noah.Ivy memberengut. “Kau terlalu berpikir buruk. Bagaimana kalau dia memang sudah menyadari kesalahannya dan ingin memperbaiki semuanya.”“Itu lebih tak mungkin lagi.”Ivy tak bisa menahan helaan napas panjangnya saat ia dan Noah kembali berbeda pandangan. Noah masih berjalan kesana-kemari dengan wajah bingung.Tanpa bicara pun, Ivy bisa menebak bagaimana isi kepalanya.“Cobalah untuk tak terlalu mencurigainya,” pesan Ivy, yang langsung mendapat lirikan tajam dari Noah.Langkah Noah yang tak menentu itu bahkan sudah berakhir. Kini, ia berdiri di depan Ivy dengan tangan yang menyilang di depan dada.“Dan kau juga cobalah untuk tak selalu berprasangka baik. Aku tahu kalau pada dasarnya kau memang baik sehingga menyangsikan setiap kejahatan orang lain. Tapi… ayolah, Sayang.”Noah mengelus pipi Ivy. Berhara
“Iya. Aku sudah mengirim beberapa berkas yang kudapatkan ke email. Kau sudah mengeceknya?”Ivy mengapit ponselnya di antara telinga dan bahu kanan karena tangannya sibuk membereskan beberapa lembar catatan yang ia buat semalaman.Di balik telepon, terdengar suara Ezra yang berat dan lelah.“Ya, aku sudah mengeceknya. Akan kubaca sekarang. Hacim!”Dahi Ivy berkerut. Ia memindahkan ponselnya ke telinga kiri setelah berkas-berkas di tangannya sudah dimasukkan ke dalam laci.“Kau sakit?” tanyanya.“Ya. Sedikit flu. Sepertinya terlalu lelah. Pekerjaanku agak berat akhir-akhir ini.”Seketika perasaan bersalah menyeruak ke seluruh relung hati Ivy. Tanpa bertanya pun, ia tahu kalau semua kesusahan Ezra juga disebabkan oleh ayahnya.“Kalau begitu istirahatlah dulu. Baca data dariku nanti saja,” ucap Ivy sungguh-sungguh.Ia sudah cukup merasa bersalah pada Ezra dan ia akan makin tak enak hati jika membuatnya semakin kerepotan.“Tak apa. Kita juga harus bertindak cepat agar semuanya kembali sepe
Ivy berdiri diam di depan pintu kamar tamu yang akan ditempati Noah dengan cukup lama. Tangannya ragu saat ingin memutar knop pintu. Namun, ia harus memastikan kebenaran ucapan Clara.“Ivy?”Ivy tersentak saat pintu itu terbuka dari dalam. Noah berdiri di depannya dengan bingung.“Kenapa hanya berdiri di sini? Tak masuk?” tanyanya.“Ini mau masuk,” balas Ivy.Noah memundurkan langkahnya agar Ivy bisa berjalan maju dan masuk ke kamar tamu. Ia membiarkan Ivy memandang kamar yang masih berantakan itu dengan keheranan.“Pasti ada yang ingin kau bicarakan padaku, kan?” tebak Noah.Ivy yang sedang memperhatikan koper Noah hanya berdehem. Ia berjalan mendekati koper itu dan merapikan sisa pakaian yang belum diletakkan di lemari.“Mau bicara apa?” Noah kembali bertanya dengan berjalan mendekati Ivy.Noah lupa dengan niatnya untuk keluar kamar mencari minuman. Baginya, Ivy memang bagai magnet yang selalu menariknya.“Ada sesuatu….”Ivy menundukkan kepalanya. Ia tak berani memandang mata Noah k