Ivy terpaku selama beberapa saat ketika perempuan bernama Bella itu menjulurkan tangan padanya.
“Senang bertemu denganmu. Aku harap kita jadi teman yang akrab.” Bella berkata dengan senyum lebarnya. Ivy menoleh pada Noah yang tengah tersenyum mencemooh. Apa yang dilakukan Noah jelas telah merendahkannya. Bagaimana bisa ia pergi bulan madu dengan teman tidur suaminya? “Ya… ya… senang berkenalan denganmu.” Ivy membalas jabat tangan itu dengan kaku. Samar-samar ia bisa mendengar dengusan pelan Noah yang mengatainya bodoh. Dan ia sendiri juga mengakui kalau memang bodoh. “Harusnya kupatahkan saja tangan ini! Dia adalah selingkuhan suamiku!” batin Ivy meronta dan tanpa sadar mencengkram kuat-kuat tangan Bella yang masih di dalam genggamannya, tapi ia tetap tak bisa melakukan apa pun hingga Bella melepas sendiri jabatan tangan itu. “Kau cukup kuat juga ya,” ucap Bella. Di balik senyumnya yang lebar, ia menaruh kesal karena Ivy benar-benar membuat tangannya sakit. Selama perjalanan Jakarta ke Seoul yang memakan waktu enam jam, Ivy benar-benar membisu. Noah yang duduk di sebelahnya juga tak banyak bicara. Noah lebih banyak sibuk dan mengurus berkas-berkas di mejanya daripada menoleh pada Ivy. Bahkan Bella yang duduk tak jauh dari mereka juga diabaikan oleh Noah. Padahal Ivy mengira Noah dan Bella akan sering mencuri pandang. Ivy diam-diam memperhatikan Bella yang sedang terlelap. Tubuh Bella memang memiliki proporsi yang sangat sempurna layaknya model. Bella tinggi, kurus, berkulit putih mulus dengan buah dada dan bokong yang besar. Oh, jangan lupakan bibirnya yang merah dan tebal itu. “Kalau Noah sampai membawanya ke Seoul dan terus menempel pada Bella, maka keahliannya di ranjang pasti sangat hebat.” Ivy segera menggelengkan kepalanya yang telah berpikir liar. Ia harus mulai menguasai diri agar tak terlalu terbawa suasana dan mengingat kembali adegan panas antara Noah dan Bella semalam. Ivy memilih memejamkan matanya dan berharap pikirannya lebih tenang. Perjalanan ini berlangsung lama dan ia sungguh tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sesampainya mereka di Seoul. Noah yang semula sibuk dengan beberapa pekerjaan, menoleh pada Ivy yang telah tidur dengan nyenyak. Ia tahu kalau tak seharusnya memperhatikan Ivy dalam jangka waktu yang lama, tapi ada sesuatu yang meresahkan hatinya. Noah yakin kalau ia melihat beberapa lebam dan bekas luka di kaki Ivy sebelum ia mulai menyiksanya semalam. Ia memang cukup terkejut melihatnya, ditambah pagi ini ia melihat memar biru keungunan yang melingkar di lehernya. “Sebenarnya apa yang dia lakukan sampai mendapat luka sebanyak itu?” pikirnya. Noah juga baru menyadari kalau selama ini Ivy memang selalu mengenakan pakaian yang tertutup. Ia selalu memakai rok panjang atau celana panjang. Ia juga sering mengenakan jaket atau kardigan daripada pakaian lengan pendek lain. “Apa ada yang dia sembunyikan dariku?” Noah merasa ada hal yang aneh dan harus ia ketahui, tapi ia tak tahu bagaimana cara mengintrogasi Ivy. Akan memalukan jika ia langsung bertanya tentang bekas lukanya yang tak sengaja ia lihat tadi pagi. “Sebentar… aku kan suaminya. Aku bisa melakukan apa pun padanya.” Sebuah ide muncul di pikiran Noah, kemudian ia tersenyum miring dan mengangguk-angguk. “Ya, caranya sangat mudah,” gumamnya. Noah melanjutkan pekerjaannya dengan lebih ceria daripada sebelumnya. Terima kasih pada ide briliannya yang akan ia lakukan untuk mempermainkan Ivy nanti. *** Ivy rasanya tak pernah tidur senyenyak itu dalam hidupnya. Ia tak tahu kalau tidur dalam perjalanan panjang di kelas utama pesawat akan senyaman ini. Saat melihat jam tangan, ia sadar kalau dalam satu jam lagi mereka akan sampai di bandara. Ia menoleh dan mendapati Noah sedang terlelap. Mejanya yang semula penuh dengan berkas pekerjaan sudah kembali rapi. Ini adalah kali pertama Ivy melihat Noah yang terlelap. Wajahnya saat tidur terlihat sangat damai dan tenang, sangat berbeda saat sadar. Hanya ada kemarahan dan kebencian di matanya. “Dia manis juga,” ucapnya. Ivy memperhatikan dahi Noah yang beberapa kali berkerut hingga tanpa sadar tangan Ivy terjulur untuk menyentuhnya agar tenang. Namun, belum sempat ia menyentuh kulit Noah, tangannya sudah dicengkram erat. Tubuh Ivy menegang, apalagi saat mata Noah yang semula terpejam langsung terbuka dan menatapnya dengan tajam. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya dengan tajam. Ivy tergagap. Ia seperti seorang pencuri yang tertangkap basah. “A—aku…” Noah mendengus saat Ivy kesulitan menjawabnya. Ia menepis tangan Ivy dengan sekuat tenaga hingga hampir menabrak kabin. “Maaf… aku hanya… hanya….” Ivy masih berusaha menjelaskan, tapi tatapan Noah yang makin menajam membuatnya mati kutu. “Hanya apa? Apa kau akan menyakitiku dan balas dendam atas semua perbuatanku? Kau akan membunuhku?” Mulut Ivy melongo lebar, tak menyangkah dengan tuduhan Noah padanya. Pikiran Noah terdengar sangat liar. “Mana mungkin! Aku tak pernah berpikir seperti itu!” Ivy memprotes. Noah tetap mendengus tak percaya. “Pembohong,” ucapnya. Ivy sungguh tak mengira Noah akan menuduhnya seperti itu. Ia memang marah dan kecewa dengan sikap Noah, tapi ia tak pernah memikirkan tentang balas dendam apalagi sampai pembunuhan. “Aku sungguh tak berniat seperti itu! Kenapa juga aku membunuh orang lain?” tanyanya, keheranan. “Karena kau anak dari Evan yang telah membu—” Ucapan Noah terhenti saat ia sadar terlalu tersulut emosi. Ia pun berdehem dan kembali memejamkan matanya untuk mengabaikan Ivy. Kali ini, kebingungan mendominasi Ivy. Ia yakin jika Noah ingin mengatakan sesuatu padanya, tapi… apa? Kenapa Noah tak melanjutkannya? Memangnya, apa yang telah diperbuat ayahnya pada Noah? “Dia terlihat sangat marah tadi,” batinnya. “Kau tadi terlihat tak nyaman. Kau sering mengerutkan dahimu. Kupikir kau sedang mimpi buruk. Jadi, aku ingin… ingin mengelus dahimu, siapa tahu kau akan tenang,” aku Ivy. Tentu saja penjelasan itu diabaikan Noah. Ia semakin muak dengan Ivy dan memunggunginya. Namun, saat teringat mungkin ada beberapa orang yang memperhatikan mereka, Noah kembali menyamankan posisinya seperti semula. “Jangan berulah sampai turun dari pesawat,” tegas Noah sambil mencoba kembali terlelap dengan kedua tangan bersedekap di dada. Ivy menurut. Ia tetap diam sampai pramugari memberi pengumuman bahwa pesawat segera sampai di Incheon International Airport. Ia bahkan tetap diam saat mereka benar-benar berjalan di bandara. Noah tetap memegang tangannya dan sesekali berbisik untuk mengingatkannya agar tetap tersenyum dan terlihat bahagia. “Aku tahu. Aku tak akan lupa.” Dan Ivy juga menjawab hal yang sama selama berulang kali. Bella sendiri berada di belakang mereka bersama Pak Rudy yang akan menjadi pengawal mereka selama lima hari di seoul. Saat keluar dari pintu gate, seorang lelaki tinggi berkacamata melambaikan tangannya pada Noah. Noah membalasnya, lalu mereka berjalan mendekat. “Dia Samuel, teman baikku,” bisik Noah sebelum mereka sampai di depan Samuel. Samuel memiliki wajah yang sangat ramah. Senyumnya yang lebar bahkan menenggelamkan matanya. “Hai, Bro! Jadi, ini istri cacatmu yang menyebalkan itu.” Namun, ucapan Samuel sangat berbeda dengan keramahan yang tercetak di wajahnya. Sapaan itu cukup mengejutkan dan membuat Ivy tersentak. Noah menendang kaki Samuel, kemudian ia mengaduh protes. Sementara Ivy bisa mendengar tawa tertahan di belakangnya. Bella sedang menertawakannya. “Jangan mengatakan senyaring itu di tempat umum!” peringat Noah. “Oh, ya. Maaf.” Samuel menangkup kedua tangannya, berlagak sok menyesal meski Ivy tahu tak ada penyesalan yang terlihat di wajahnya. Ivy mengeratkan pegangannya di koper saat melihat senyuman miring Samuel, juga tawa Bella yang makin mengeras. “Benar-benar tak ada orang yang berada di pihakku disini,” batinnya. Mereka kembali berjalan menuju mobil. Saat Noah melepaskan tangannya untuk mengangkat panggilan telepon, Samuel tiba-tiba berdiri tepat di belakang Ivy bahkan sengaja menempelkan tubuhnya dengan Ivy. “Tenanglah, jika Noah tak mau denganmu. Kau bisa bersenang-senang denganku setiap malam,” bisiknya dengan sangat seduktif.Ivy berusaha menjaga jarak dari Samuel. Kejadian di bandara cukup membuatnya trauma hingga lebih baik ia di dekat Noah, meski sering mendapat lirikan tajam daripada disentuh oleh Samuel. “Kenapa pegang tangan terus?” protes Noah sambil berusaha melepaskan genggaman Ivy. “Kita masih di tempat umum. Siapa tahu ada orang Indonesia di sini dan mengenalmu,” balas Ivy. Setelah meletakkan barang-barang di hotel, mereka memang segera menuju restoran milik keluarga Samuel. Kata Noah, Samuel sedang liburan seminggu sekaligus menengok bisnis keluarganya. “Tapi kita mau makan. Aku tidak bisa makan kalau kau terus menggenggamnya.” “Saling menyuapi saja.” Ivy segera mengambil potongan tteokbokki dan menjulurkan ke mulut Noah. Jelas Noah ingin mengelak, tapi melihat ramainya tempat makan ini membuatnya tetap menerima. Samuel kembali ke meja dengan membawa sepiring gimbap yang dia buat secara spesial. “Wah. Ternyata kalian romantis juga,” godanya. Ivy membalas dengan buangan muka dan semakin
“Aku cuma ingin mengecek keadaanmu.”Samuel menyentuh pipi Ivy tapi ia menolak dengan berlari mundur. Samuel terus mengejar hingga Ivy terpojok di dinding.“Pe—pergi! Aku ingin keluar! Aku mau jalan-jalan dengan Bella!”“HAHAHA!”Samuel terbahak-bahak sampai air matanya keluar. Ivy berusaha menggunakan kesempatan itu dengan melarikan diri, tapi Samuel tetap berhasil menarik tangannya bahkan mendorong tubuhnya hingga terjatuh di kasur.“Kenapa alasanmu sangat bodoh? Kenapa pula kau mendatangi perempuan yang tidur dengan suamimu sendiri?” tanya Samuel dengan tangan kanan yang menahan kedua tangan Ivy di atas kepala, sedangkan tangan lainnya sudah menjelajah ke tiap lekuk tubuh Ivy.“Le—lepas!”Ivy mulai menangis. Kakinya menendang-nendang udara, berharap bisa menumbangkan Samuel.“Pergi dari sini! Pergi!” pekiknya, putus asa.“Kau tak perlu mengusirku. Kita bisa bersenang-senang di sini. Jangan mau kalah dengan suamimu.”“Sam! Jangan!”Wajah Samuel tenggelam dalam lehernya. Ivy sontak m
Ivy mencengkram ujung selimut dengan gemetar. Noah berjalan semakin dekat dengan sabuk yang masih di tangan kanannya. Seketika bayangan saat ayahnya memukulinya dengan sabuk muncul di kepalanya.“No—ah... Noah... aku bersumpah... aku berani bersumpah bukan aku yang menggoda Sam. Dia yang hampir memperkosaku.” Ivy berusaha menjelaskan bersama gemetar tubuhnya.Namun, penjelasan itu tampak sia-sia karena bara di mata Noah tetap tak padam.“Selain murahan, kau juga pembohong ulung,” desis Noah.Ivy menggeleng. Wajahnya sudah basah dengan air mata. Pelecehan Sam sudah membuatnya ketakutan setengah mati, tapi kini ia harus berhadapan dengan Noah yang sedang kesetanan.“Aku tak berbohong. Aku—”Noah berseru nyaring, tak membiarkan Ivy menyempurnakan kalimatnya. “Diam. Aku muak dengar semua alasanmu.”“Noah....”Noah melempar sabuk di tangannya. Sesaat hal itu membuat Ivy merasa lega, tetapi napasnya tertahan ketika Noah mendekat dan mencengkram dagunya.Dari jarak sedekat ini, Ivy bisa meli
“Noah, aku memasak pasta kesukaanmu. Jangan lupa dimakan.”Ivy menatap Noah yang masih sibuk dengan berkas-berkas kerjanya. Noah sama sekali tak melirik padanya dan ia sudah biasa dengan hal itu. Maka, ia hanya meletakkan sepiring Fettuccine Alfredo dan jus anggur di meja seperti yang sudah-sudah.Sudah terhitung enam bulan sejak pernikahan mereka, tapi Noah tetap terasa jauh… bahkan semakin jauh darinya. Noah bahkan jarang sekali berbicara padanya sejak pulang dari bulan madu.“Sebenarnya apa salahku?”Dan setiap hari ia juga menanyakan hal yang sama. Semua perkataan Noah padanya terasa abu-abu dan membingungkan. Dia tak pernah berkata secara gamblang alasan yang sesungguhnya kenapa dia menikahinya.Ting! Tong!Suara bel yang ditekan berkali-kali membuat Ivy menuruni tangga dengan tergopoh. Saat di tangga terakhir, ia melihat Bi Wina sudah membuka pintu. Sosok Samuel langsung masuk dengan raut marah.Tubuh Ivy bergetar takut. Sontak ia segera berlari untuk bersembunyi di balik tiang
“Aku akan menjadi janda… janda perawan.”Ivy tahu kalau pernikahannya akan berakhir, seperti yang dikatakan pria itu pada Samuel beberapa minggu lalu.Untuk itu, Ivy telah bersiap, memasukkan barang-barangnya ke koper... meski sampai detik ini belum ada kata talak dari Noah.Selama seminggu ini, Ivy tetap berusaha bersikap hangat meski sikap pria itu masih tak berubah. Setidaknya, ia ingin menjadi istri yang baik sebelum perceraian mereka.Setelah bercerai nanti, ia berencana untuk pergi keluar kota dan hidup sendiri karena ia pasti akan mati jika kembali ke rumah ayahnya.Suara panggilan telepon membuat Ivy meletakkan kembali pigura foto pernikahan yang akan ia masukkan dalam koper. Senyumnya terulas lebar saat mendapati nama adiknya di layar ponsel.“Halo, Clara? Ada apa?” Ivy menyapa dengan ramah. Sangat jarang Clara menghubunginya karena sibuk kuliah, sehingga ia bahagia apabila ada waktu untuk bercengkrama dengannya.“Kak, aku di depan rumahmu.”Senyuman Ivy menghilang saat mende
“Hahaha! Apa maksudmu? Mana mungkin aku tahu menahu tentang kejatuhan perusahaan Ayah? Data-data itu di komputerku saat aku ingin menganalisis apa yang terjadi setelah ada yang meretas dokumen perusahaannya.”Ivy berusaha menutupi ketegangannya dengan tertawa. Berharap alasan yang ia berikan pada Clara membuat adiknya itu percaya, tetapi bibirnya menjadi kaku saat melihat Clara tak bereaksi apa-apa.“Kau tahu kalau aku sangat mengenalmu. Aku tahu di saat kau sedang berbohong atau tidak,” celetuk Clara.Ivy menelan salivanya dengan susah payah. Clara memang tak melakukan apapun, tetapi ucapannya sudah mencekik tenggorokannya sekuat tenaga.“Aku tidak tahu kenapa kau menyembunyikan sesuatu dariku… mungkin karena kau tak percaya padaku. Tidak apa-apa… mungkin salahku yang tak bisa membuatmu percaya.”Clara menunduk lesu. Ia menatap Ivy yang kini menatapnya dengan kebingungan.“Tidak… Clara… bukan seperti itu. Aku selalu percaya padamu,” yakin Ivy sambil menggenggam kedua tangan Clara. Na
“Tumben kau tidak berada di rumahmu. Apa kau baik-baik saja?”Satu pesan dari J-1511 membuat Ivy tercengang. Buket mawar di tangannya bahkan hampir terjatuh karena terlalu terkejut dengan pesan itu.“Tunggu, bagaimana bisa dia tahu?” pikir Ivy dengan panik.Pasalnya, ia sudah menggunakan VPN dan proxy tambahan untuk berkomunikasi dengan para peretas di dunia gelap. Mereka pun menggunakan forum pesan khusus yang tak bisa diakses oleh sembarang orang.“Kau tahu rumahku?”Ivy segera mengetik balasan dengan cepat. Selama ini, ia terkenal sebagai hacker individualitas karena tak pernah masuk dalam komplotan tertentu. Ia lebih suka bekerja sendiri, tetapi sudah lima tahun ini ia membuka diri untuk berteman dengan J-1511.“Tidak. Hanya saja, titikmu biasanya selalu berada di tempat yang sama.”Pesan itu membuat Ivy akhirnya bisa menghela napas lega. Namun, bibirnya tetap mencebik kesal. Dasar, dia selalu membuat kaget saja, pikirnya.“Oh.”Ivy hanya membalas dengan singkat. Ia kembali melanj
“Mana mungkin aku selingkuh!”Ivy tak sengaja meninggikan suaranya saat menjawab tuduhan Noah. Bukan salahnya yang tak bisa mengatur suaranya. Semua ini karena Noah sendiri yang tiba-tiba mengatakan hal mustahil.Selingkuh? Bagaimana mungkin ia menjalin hubungan dengan orang lain di saat mempertahankan hubungan dengan suaminya saja ia tak bisa?“Kenapa tidak mungkin? Buktinya kau begitu fokus dengan ponselmu saat ada aku di depanmu!” pekik Noah.Ivy ingin kembali mengelak, tetapi tersadarkan dengan suatu hal. Perdebatan mereka kali ini membuat mereka terlihat seperti suami-istri pada umumnya.Noah terlihat seperti suami yang sedang cemburu pada istrinya. Dan hal itu, entah kenapa membuatnya bahagia.“Tunggu… apa kau cemburu?” tanyanya kemudian.“Cemburu? Dalam mimpimu!” elak Noah dengan beranjak dari kursinya.Ivy mendongak untuk mengikuti pergerakan Noah yang kini sudah berdiri dengan kedua tangan bersendekap dada. Noah benar-benar tampak marah dan ia masih tak tahu alasannya.“Kalau
Ivy tak tidur. Saat Noah membisikkan panggilan sayang padanya, rasa kantuknya sudah terbang ke antah berantah.Ia yakin kalau Noah sudah berubah dan ia ingin kembali membicarakan tentang perasaan padanya sekali lagi. Karena sikap Noah telah melambungkan harapannya.Ia menunggu di kamar selama lima menit…Sepuluh menit….Bahkan sudah dua puluh menit, Noah tak kunjung kembali.“Sebenarnya dia kemana?” gumam Ivy.Ivy menyibakkan selimutnya, lalu berjalan keluar kamar. Ia berniat mencari keberadaan Noah. Mungkin saja ia berada di ruang kantornya untuk mengambil beberapa berkas.“Aku harus memarahinya kalau dia tetap bekerja selarut ini,” gumamnya.Saat Ivy membuka pintu, ruang kerja Noah diliputi kegelapan. Artinya, Noah tak berada di sana.“Lalu di mana dia?”Ivy tak tahan untuk berdecak, kebingungan. Ia segera menutup kembali pintu kantor Noah, lalu berjalan menuruni tangga.Kakinya masih terlalu sakit digerakkan sehingga setiap langkah yang tercipta terasa berat. Ia bahkan ingin menyer
Ivy kira Noah akan kembali dingin setelah perbincangan mereka di halaman belakang rumah. Ia sudah siap dengan sikap Noah yang kejam seperti sebelumnya, tapi rupanya ia salah besar.Noah masih tetap manis. Dia tak menghindar sama sekali.Awalnya, Ivy mengira kalau Noah akan bersikap baik untuk berakting di depang Clara. Namun, dia tetap lembut bahkan hanya saat ada mereka berdua saja.“Noah.”Noah sedang sibuk dengan laptopnya saat Ivy memanggil dengan penuh keraguan.“Ada apa?” sahut Noah sambil meletakkan laptop yang sebelumnya dipangku di paha ke atas kasur.Lagi-lagi itu adalah pemandangan aneh. Sudah beberapa hari ini Noah membawa pekerjaannya di kamar, padahal biasanya ia selalu menghabiskan waktu lama berkutat dengan pekerjaannya di dalam ruang kerja.“Tidak. Tidak apa-apa,” balas Ivy dengan menggeleng.Noah mengerutkan dahinya. “Kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu?”Ivy menggigit bibirnya, berpikir lebih dalam untuk mengutarakan isi hatinya atau tidak.“Kenapa, Ivy?” tanya Noah
Selama seharian ini Ivy melihat Noah lebih banyak diam. Kerut di dahinya terus berlipat-lipat, menandakan suasana hatinya sedang buruk.Ivy memilih untuk menghindar karena takut semakin memperburuk perasaan Noah. Biar bagaimanapun, ia masih tahu diri kalau Noah bisa saja masih sangat membencinya.“Kenapa kau menghindar?”Ivy sedang menatap beberapa mawar yang mekar dengan cantik di halaman belakang saat Noah datang dengan raut marahnya.“Apa… apa aku berbuat salah?” tanya Ivy dengan tergagap.Noah menjawab dengan dengusan, “Kau daritadi menghindar.”“Ya, karena aku tahu kau sedang marah. Jadi aku tak ingin memperburuk-”“Justru kau malah makin memperburuknya.”Ivy mengambil napas dalam-dalam kala mendengar ucapan Noah. Ia mencoba menenangkan dirinya sebelum membalas Noah.“Lalu apa yang seharusnya kulakukan? Kenapa rasanya aku selalu salah di depan matamu?”Ivy sudah siap jika harus mendengar ucapan menyakitkan dari Noah. Ia sudah menyiiapkan hatinya.Namun, di luar perkiraan. Keruh d
Kebingungan Ivy terhadap Noah tak akan pernah hilang. Pasalnya, Noah masih saja memperlakukannya dengan sangat manis meski selalu bilang kalau pernikahan mereka tak berdasar cinta.Hal itu membuat Ivy merasa bimbang dan aneh, tapi pada akhirnya ia tetap menuruti semua perilaku dan permainan Noah.Toh, ia pun juga suka saat diperhatikan Noah. Seperti saat ini, ketika ia tiba-tiba mendapatkan segelas jus melon di sebelah tempat tidur.“Aku membuatnya khusus untukmu,” ucap Noah.Ivy mengernyitkan dahi. “Kau? Menyentuh dapur hanya untuk membuatkan jus?”“Ya, aku minta diajarkan oleh Bi Wina sih.”Jawaban Noah tak cocok dengan pertanyaan yang dilempar, tapi cukup untuk memberi Ivy fakta kalau Noah bersungguh-sungguh membuatkan jus melon ini.“Kenapa? Kenapa kau susah payah membuatkan jus untukku?” tanya Ivy, masih ingin mendengar jawaban lain.“Ya… karena buah sehat untuk kesembuhanmu. Kau harus cepat sembuh, kan? Supaya bisa beraktivitas normal lagi.”Mendengar kata “normal” sedikit menya
Ivy kembali ke rumah sakit dengan hati berbunga karena Clara akan tinggal bersamanya mulai detik ini.“Masuklah ke kamarmu,” ucapnya sambil menunjuk kamar yang sebelumnya ia tinggali.Sejak Ivy dan Noah memutuskan menerima Clara di rumah, Noah memindahkan semua barang-barang dan pakaian Ivy ke dalam kamarnya.Ivy juga terus mengingatkan Noah untuk membersihkan kamarnya dengan sebaik mungkin. Ia tak mau Clara mengetahui pernikahan mereka yang sebenarnya tak bahagia.“Kita harus tidur di kamar yang sama. Clara akan curiga kalau kita pisah ranjang,” celetuk Ivy beberapa hari yang lalu.Ajaibnya, Noah tak mengelak sama sekali. Noah bahkan terlihat lebih bersemangat menyiapkan segalanya.“Kau mengubah cat bahkan dekorasi kamarnya?” tanya Ivy setelah mengantar Clara masuk ke kamarnya.Dinding berwarna cokelat muda memenuhi ruangan, juga perabot dengan warna senada hingga menciptakan suasana minimalis.“Ya. Kubuat sebaik mungkin agar tak ada sisa bayangan kau pernah di sini,” jawab Noah samb
Ivy dirawaht selama dua minggu penuh di rumah sakit. Sebenarnya, ia sudah ingin pulang tetapi Noah terus menolak.“Kau harus di sini sampai sembuh.”Terkadang, Ivy dibingungkan dengan semua ucapan dan perilaku Noah. Dia sangat manis, tapi bisa berubah menjadi kejam dalam hitungan detik.Seperti sekarang, saat ia menemukan Ezra sudah berdiri di depan pintu dengan sebuket besar bunga mawar.“Kau memberitahunya kalau kau di sini?!” bentak Noah setelah membanting pintu di depan wajah Ezra.Telinga Ivy rasanya berdenging mendengar suara tinggi Noah sekaligus teriakan Ezra yang meminta dibukakan sambil mengetuk-ngetuk pintu.“Aku tak mengatakan apa-apa padanya. Ponselku rusak, kau tahu kan? Kita bahkan beli ponsel baru dan aku belum menggunakannya sama sekali karena terbaring di rumah sakit.”Ivy akhirnya menjawab dengan panjang lebar untuk menenangkan Noah. Deru napas Noah masih naik turun.“Baiklah, aku mengerti.” Noah mengangguk, tetapi wajahnya masih terlihat kesal karena terus mendeng
Hal pertama yang Ivy lihat adalah sinar lampu yang cukup menyilaukan. Kelopak matanya yang berat jadi kian kesulitan untuk terbuka.Ivy membutuh waktu cukup lama untuk membiasakan diri dengan cahaya lampu yang terang benderang di atas kepalanya. Setelah itu, pupilnya bergerak untuk mencari tahu sedang dimana dirinya.Tak banyak ingatan yang berada di kepala. Hal terakhir yang diingat adalah saat Noah membukakan pintu untuknya sesampainya di rumah.“Argh…” Ivy mengerang karena tubuhnya terasa sulit digerakkan.Bola matanya menjadi satu-satunya yang bisa bergerak bebas. Ia menemukan Noah sedang terlelap di sebelahnya dengan kepala yang tertumpu di sisi ranjang.Melihat wajah Noah yang nampak sayu membuat Ivy teringat akan senyum hangatnya saat Noah berusaha menenangkannya dari sang ayah.“Ah… ya. Aku didorong Ayah dari tangga.” Ivy membatin kala mengingat kejadian akhir yang membuatnya terbaring di sini.“Aku pikir aku akan mati. Ternyata Tuhan masih mengizinkanku untuk tetap hidup.”Iv
Noah sudah memiliki firasat buruk saat mendengar jeritan Ivy. Ia segera berlari dari ruang makan bersama Clara yang mengekor di belakang.“Ivy!”Kaki Noah berlari makin cepat saat melihat Ivy sudah tergeletak di bawah tangga dengan darah yang mengalir deras dari kepalanya.“Astaga, Ivy!” Evan dari arah atas tangga ikut berteriak dengan wajah paniknya.Noah menahan gemeletuk gigi saat melihat Evan yang tengah berpura-pura. Ia yakin kalau semua ini ulahnya.“Kenapa dia bisa jatuh dari tangga?” Evan bertanya dengan wajah polosnya.“Saya tidak tahu. Bukannya Anda yang lebih dulu masuk ke rumah?” geram Noah.“Tapi aku daritadi di kamar. Aku tidak tahu.”Noah ingin berteriak marah, tapi Clara yang datang dengan air mata di wajah membuatnya tersadar kalau ia harus segera membawa Ivy ke rumah sakit.“Kakak!”“Cepat hubungi ambulans, Clara.”“Ya….”Clara mulai menekan panggilan darurat dengan tangan bergetar, sedangkan Noah terus memeluk Ivy dan mencoba menghentikan pendarahan di kepalanya den
Ivy bisa mendengar betapa keras debar jantungnya saat mobil semakin mendekati rumah. Ia berkali-kali mengambil napas panjang demi menenangkan diri.“Kau yakin baik-baik saja?” tanya Noah.“Hm.” Ivy mengangguk.Meski batinnya bersuara, “Tidak. Aku tak pernah baik-baik saja jika bertemu Ayah.”Semua kenangan buruk muncul di kepalanya saat mobil sudah sepenuhnya berhenti di pelataran.Saat ayahnya mencambuknya dengan sabuk tanpa ampun, saat kakinya ditendang, saat rambutnya dijambak….“Ayo.”Kenangan itu memudar saat Ivy merasakan lembut genggaman tangan Noah di atas punggung tangannya.“Ya.”Ivy berusaha keras untuk tersenyum. Dalam hati terus meyakinkan diri bahwa ayahnya tak akan lagi menyiksanya selama bersama Noah.“Kak Ivy!”Ketegangan Ivy makin menghilang saat Clara sudah menyambutnya di teras.“Clara!”Ivy melebarkan kedua tangannya untuk menyambut Clara dalam pelukan. Clara mendekat dan mendekapnya erat-erat.“Aku sangat merindukanmu,” ucap Ivy dengan suara beratnya menahan tang