Ivy terpaku selama beberapa saat ketika perempuan bernama Bella itu menjulurkan tangan padanya.
“Senang bertemu denganmu. Aku harap kita jadi teman yang akrab.” Bella berkata dengan senyum lebarnya. Ivy menoleh pada Noah yang tengah tersenyum mencemooh. Apa yang dilakukan Noah jelas telah merendahkannya. Bagaimana bisa ia pergi bulan madu dengan teman tidur suaminya? “Ya… ya… senang berkenalan denganmu.” Ivy membalas jabat tangan itu dengan kaku. Samar-samar ia bisa mendengar dengusan pelan Noah yang mengatainya bodoh. Dan ia sendiri juga mengakui kalau memang bodoh. “Harusnya kupatahkan saja tangan ini! Dia adalah selingkuhan suamiku!” batin Ivy meronta dan tanpa sadar mencengkram kuat-kuat tangan Bella yang masih di dalam genggamannya, tapi ia tetap tak bisa melakukan apa pun hingga Bella melepas sendiri jabatan tangan itu. “Kau cukup kuat juga ya,” ucap Bella. Di balik senyumnya yang lebar, ia menaruh kesal karena Ivy benar-benar membuat tangannya sakit. Selama perjalanan Jakarta ke Seoul yang memakan waktu enam jam, Ivy benar-benar membisu. Noah yang duduk di sebelahnya juga tak banyak bicara. Noah lebih banyak sibuk dan mengurus berkas-berkas di mejanya daripada menoleh pada Ivy. Bahkan Bella yang duduk tak jauh dari mereka juga diabaikan oleh Noah. Padahal Ivy mengira Noah dan Bella akan sering mencuri pandang. Ivy diam-diam memperhatikan Bella yang sedang terlelap. Tubuh Bella memang memiliki proporsi yang sangat sempurna layaknya model. Bella tinggi, kurus, berkulit putih mulus dengan buah dada dan bokong yang besar. Oh, jangan lupakan bibirnya yang merah dan tebal itu. “Kalau Noah sampai membawanya ke Seoul dan terus menempel pada Bella, maka keahliannya di ranjang pasti sangat hebat.” Ivy segera menggelengkan kepalanya yang telah berpikir liar. Ia harus mulai menguasai diri agar tak terlalu terbawa suasana dan mengingat kembali adegan panas antara Noah dan Bella semalam. Ivy memilih memejamkan matanya dan berharap pikirannya lebih tenang. Perjalanan ini berlangsung lama dan ia sungguh tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sesampainya mereka di Seoul. Noah yang semula sibuk dengan beberapa pekerjaan, menoleh pada Ivy yang telah tidur dengan nyenyak. Ia tahu kalau tak seharusnya memperhatikan Ivy dalam jangka waktu yang lama, tapi ada sesuatu yang meresahkan hatinya. Noah yakin kalau ia melihat beberapa lebam dan bekas luka di kaki Ivy sebelum ia mulai menyiksanya semalam. Ia memang cukup terkejut melihatnya, ditambah pagi ini ia melihat memar biru keungunan yang melingkar di lehernya. “Sebenarnya apa yang dia lakukan sampai mendapat luka sebanyak itu?” pikirnya. Noah juga baru menyadari kalau selama ini Ivy memang selalu mengenakan pakaian yang tertutup. Ia selalu memakai rok panjang atau celana panjang. Ia juga sering mengenakan jaket atau kardigan daripada pakaian lengan pendek lain. “Apa ada yang dia sembunyikan dariku?” Noah merasa ada hal yang aneh dan harus ia ketahui, tapi ia tak tahu bagaimana cara mengintrogasi Ivy. Akan memalukan jika ia langsung bertanya tentang bekas lukanya yang tak sengaja ia lihat tadi pagi. “Sebentar… aku kan suaminya. Aku bisa melakukan apa pun padanya.” Sebuah ide muncul di pikiran Noah, kemudian ia tersenyum miring dan mengangguk-angguk. “Ya, caranya sangat mudah,” gumamnya. Noah melanjutkan pekerjaannya dengan lebih ceria daripada sebelumnya. Terima kasih pada ide briliannya yang akan ia lakukan untuk mempermainkan Ivy nanti. *** Ivy rasanya tak pernah tidur senyenyak itu dalam hidupnya. Ia tak tahu kalau tidur dalam perjalanan panjang di kelas utama pesawat akan senyaman ini. Saat melihat jam tangan, ia sadar kalau dalam satu jam lagi mereka akan sampai di bandara. Ia menoleh dan mendapati Noah sedang terlelap. Mejanya yang semula penuh dengan berkas pekerjaan sudah kembali rapi. Ini adalah kali pertama Ivy melihat Noah yang terlelap. Wajahnya saat tidur terlihat sangat damai dan tenang, sangat berbeda saat sadar. Hanya ada kemarahan dan kebencian di matanya. “Dia manis juga,” ucapnya. Ivy memperhatikan dahi Noah yang beberapa kali berkerut hingga tanpa sadar tangan Ivy terjulur untuk menyentuhnya agar tenang. Namun, belum sempat ia menyentuh kulit Noah, tangannya sudah dicengkram erat. Tubuh Ivy menegang, apalagi saat mata Noah yang semula terpejam langsung terbuka dan menatapnya dengan tajam. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya dengan tajam. Ivy tergagap. Ia seperti seorang pencuri yang tertangkap basah. “A—aku…” Noah mendengus saat Ivy kesulitan menjawabnya. Ia menepis tangan Ivy dengan sekuat tenaga hingga hampir menabrak kabin. “Maaf… aku hanya… hanya….” Ivy masih berusaha menjelaskan, tapi tatapan Noah yang makin menajam membuatnya mati kutu. “Hanya apa? Apa kau akan menyakitiku dan balas dendam atas semua perbuatanku? Kau akan membunuhku?” Mulut Ivy melongo lebar, tak menyangkah dengan tuduhan Noah padanya. Pikiran Noah terdengar sangat liar. “Mana mungkin! Aku tak pernah berpikir seperti itu!” Ivy memprotes. Noah tetap mendengus tak percaya. “Pembohong,” ucapnya. Ivy sungguh tak mengira Noah akan menuduhnya seperti itu. Ia memang marah dan kecewa dengan sikap Noah, tapi ia tak pernah memikirkan tentang balas dendam apalagi sampai pembunuhan. “Aku sungguh tak berniat seperti itu! Kenapa juga aku membunuh orang lain?” tanyanya, keheranan. “Karena kau anak dari Evan yang telah membu—” Ucapan Noah terhenti saat ia sadar terlalu tersulut emosi. Ia pun berdehem dan kembali memejamkan matanya untuk mengabaikan Ivy. Kali ini, kebingungan mendominasi Ivy. Ia yakin jika Noah ingin mengatakan sesuatu padanya, tapi… apa? Kenapa Noah tak melanjutkannya? Memangnya, apa yang telah diperbuat ayahnya pada Noah? “Dia terlihat sangat marah tadi,” batinnya. “Kau tadi terlihat tak nyaman. Kau sering mengerutkan dahimu. Kupikir kau sedang mimpi buruk. Jadi, aku ingin… ingin mengelus dahimu, siapa tahu kau akan tenang,” aku Ivy. Tentu saja penjelasan itu diabaikan Noah. Ia semakin muak dengan Ivy dan memunggunginya. Namun, saat teringat mungkin ada beberapa orang yang memperhatikan mereka, Noah kembali menyamankan posisinya seperti semula. “Jangan berulah sampai turun dari pesawat,” tegas Noah sambil mencoba kembali terlelap dengan kedua tangan bersedekap di dada. Ivy menurut. Ia tetap diam sampai pramugari memberi pengumuman bahwa pesawat segera sampai di Incheon International Airport. Ia bahkan tetap diam saat mereka benar-benar berjalan di bandara. Noah tetap memegang tangannya dan sesekali berbisik untuk mengingatkannya agar tetap tersenyum dan terlihat bahagia. “Aku tahu. Aku tak akan lupa.” Dan Ivy juga menjawab hal yang sama selama berulang kali. Bella sendiri berada di belakang mereka bersama Pak Rudy yang akan menjadi pengawal mereka selama lima hari di seoul. Saat keluar dari pintu gate, seorang lelaki tinggi berkacamata melambaikan tangannya pada Noah. Noah membalasnya, lalu mereka berjalan mendekat. “Dia Samuel, teman baikku,” bisik Noah sebelum mereka sampai di depan Samuel. Samuel memiliki wajah yang sangat ramah. Senyumnya yang lebar bahkan menenggelamkan matanya. “Hai, Bro! Jadi, ini istri cacatmu yang menyebalkan itu.” Namun, ucapan Samuel sangat berbeda dengan keramahan yang tercetak di wajahnya. Sapaan itu cukup mengejutkan dan membuat Ivy tersentak. Noah menendang kaki Samuel, kemudian ia mengaduh protes. Sementara Ivy bisa mendengar tawa tertahan di belakangnya. Bella sedang menertawakannya. “Jangan mengatakan senyaring itu di tempat umum!” peringat Noah. “Oh, ya. Maaf.” Samuel menangkup kedua tangannya, berlagak sok menyesal meski Ivy tahu tak ada penyesalan yang terlihat di wajahnya. Ivy mengeratkan pegangannya di koper saat melihat senyuman miring Samuel, juga tawa Bella yang makin mengeras. “Benar-benar tak ada orang yang berada di pihakku disini,” batinnya. Mereka kembali berjalan menuju mobil. Saat Noah melepaskan tangannya untuk mengangkat panggilan telepon, Samuel tiba-tiba berdiri tepat di belakang Ivy bahkan sengaja menempelkan tubuhnya dengan Ivy. “Tenanglah, jika Noah tak mau denganmu. Kau bisa bersenang-senang denganku setiap malam,” bisiknya dengan sangat seduktif.Ivy berusaha menjaga jarak dari Samuel. Kejadian di bandara cukup membuatnya trauma hingga lebih baik ia di dekat Noah, meski sering mendapat lirikan tajam daripada disentuh oleh Samuel. “Kenapa pegang tangan terus?” protes Noah sambil berusaha melepaskan genggaman Ivy. “Kita masih di tempat umum. Siapa tahu ada orang Indonesia di sini dan mengenalmu,” balas Ivy. Setelah meletakkan barang-barang di hotel, mereka memang segera menuju restoran milik keluarga Samuel. Kata Noah, Samuel sedang liburan seminggu sekaligus menengok bisnis keluarganya. “Tapi kita mau makan. Aku tidak bisa makan kalau kau terus menggenggamnya.” “Saling menyuapi saja.” Ivy segera mengambil potongan tteokbokki dan menjulurkan ke mulut Noah. Jelas Noah ingin mengelak, tapi melihat ramainya tempat makan ini membuatnya tetap menerima. Samuel kembali ke meja dengan membawa sepiring gimbap yang dia buat secara spesial. “Wah. Ternyata kalian romantis juga,” godanya. Ivy membalas dengan buangan muka dan semakin
“Aku cuma ingin mengecek keadaanmu.”Samuel menyentuh pipi Ivy tapi ia menolak dengan berlari mundur. Samuel terus mengejar hingga Ivy terpojok di dinding.“Pe—pergi! Aku ingin keluar! Aku mau jalan-jalan dengan Bella!”“HAHAHA!”Samuel terbahak-bahak sampai air matanya keluar. Ivy berusaha menggunakan kesempatan itu dengan melarikan diri, tapi Samuel tetap berhasil menarik tangannya bahkan mendorong tubuhnya hingga terjatuh di kasur.“Kenapa alasanmu sangat bodoh? Kenapa pula kau mendatangi perempuan yang tidur dengan suamimu sendiri?” tanya Samuel dengan tangan kanan yang menahan kedua tangan Ivy di atas kepala, sedangkan tangan lainnya sudah menjelajah ke tiap lekuk tubuh Ivy.“Le—lepas!”Ivy mulai menangis. Kakinya menendang-nendang udara, berharap bisa menumbangkan Samuel.“Pergi dari sini! Pergi!” pekiknya, putus asa.“Kau tak perlu mengusirku. Kita bisa bersenang-senang di sini. Jangan mau kalah dengan suamimu.”“Sam! Jangan!”Wajah Samuel tenggelam dalam lehernya. Ivy sontak m
Ivy mencengkram ujung selimut dengan gemetar. Noah berjalan semakin dekat dengan sabuk yang masih di tangan kanannya. Seketika bayangan saat ayahnya memukulinya dengan sabuk muncul di kepalanya.“No—ah... Noah... aku bersumpah... aku berani bersumpah bukan aku yang menggoda Sam. Dia yang hampir memperkosaku.” Ivy berusaha menjelaskan bersama gemetar tubuhnya.Namun, penjelasan itu tampak sia-sia karena bara di mata Noah tetap tak padam.“Selain murahan, kau juga pembohong ulung,” desis Noah.Ivy menggeleng. Wajahnya sudah basah dengan air mata. Pelecehan Sam sudah membuatnya ketakutan setengah mati, tapi kini ia harus berhadapan dengan Noah yang sedang kesetanan.“Aku tak berbohong. Aku—”Noah berseru nyaring, tak membiarkan Ivy menyempurnakan kalimatnya. “Diam. Aku muak dengar semua alasanmu.”“Noah....”Noah melempar sabuk di tangannya. Sesaat hal itu membuat Ivy merasa lega, tetapi napasnya tertahan ketika Noah mendekat dan mencengkram dagunya.Dari jarak sedekat ini, Ivy bisa meli
“Noah, aku memasak pasta kesukaanmu. Jangan lupa dimakan.”Ivy menatap Noah yang masih sibuk dengan berkas-berkas kerjanya. Noah sama sekali tak melirik padanya dan ia sudah biasa dengan hal itu. Maka, ia hanya meletakkan sepiring Fettuccine Alfredo dan jus anggur di meja seperti yang sudah-sudah.Sudah terhitung enam bulan sejak pernikahan mereka, tapi Noah tetap terasa jauh… bahkan semakin jauh darinya. Noah bahkan jarang sekali berbicara padanya sejak pulang dari bulan madu.“Sebenarnya apa salahku?”Dan setiap hari ia juga menanyakan hal yang sama. Semua perkataan Noah padanya terasa abu-abu dan membingungkan. Dia tak pernah berkata secara gamblang alasan yang sesungguhnya kenapa dia menikahinya.Ting! Tong!Suara bel yang ditekan berkali-kali membuat Ivy menuruni tangga dengan tergopoh. Saat di tangga terakhir, ia melihat Bi Wina sudah membuka pintu. Sosok Samuel langsung masuk dengan raut marah.Tubuh Ivy bergetar takut. Sontak ia segera berlari untuk bersembunyi di balik tiang
“Aku akan menjadi janda… janda perawan.”Ivy tahu kalau pernikahannya akan berakhir, seperti yang dikatakan pria itu pada Samuel beberapa minggu lalu.Untuk itu, Ivy telah bersiap, memasukkan barang-barangnya ke koper... meski sampai detik ini belum ada kata talak dari Noah.Selama seminggu ini, Ivy tetap berusaha bersikap hangat meski sikap pria itu masih tak berubah. Setidaknya, ia ingin menjadi istri yang baik sebelum perceraian mereka.Setelah bercerai nanti, ia berencana untuk pergi keluar kota dan hidup sendiri karena ia pasti akan mati jika kembali ke rumah ayahnya.Suara panggilan telepon membuat Ivy meletakkan kembali pigura foto pernikahan yang akan ia masukkan dalam koper. Senyumnya terulas lebar saat mendapati nama adiknya di layar ponsel.“Halo, Clara? Ada apa?” Ivy menyapa dengan ramah. Sangat jarang Clara menghubunginya karena sibuk kuliah, sehingga ia bahagia apabila ada waktu untuk bercengkrama dengannya.“Kak, aku di depan rumahmu.”Senyuman Ivy menghilang saat mende
“Hahaha! Apa maksudmu? Mana mungkin aku tahu menahu tentang kejatuhan perusahaan Ayah? Data-data itu di komputerku saat aku ingin menganalisis apa yang terjadi setelah ada yang meretas dokumen perusahaannya.”Ivy berusaha menutupi ketegangannya dengan tertawa. Berharap alasan yang ia berikan pada Clara membuat adiknya itu percaya, tetapi bibirnya menjadi kaku saat melihat Clara tak bereaksi apa-apa.“Kau tahu kalau aku sangat mengenalmu. Aku tahu di saat kau sedang berbohong atau tidak,” celetuk Clara.Ivy menelan salivanya dengan susah payah. Clara memang tak melakukan apapun, tetapi ucapannya sudah mencekik tenggorokannya sekuat tenaga.“Aku tidak tahu kenapa kau menyembunyikan sesuatu dariku… mungkin karena kau tak percaya padaku. Tidak apa-apa… mungkin salahku yang tak bisa membuatmu percaya.”Clara menunduk lesu. Ia menatap Ivy yang kini menatapnya dengan kebingungan.“Tidak… Clara… bukan seperti itu. Aku selalu percaya padamu,” yakin Ivy sambil menggenggam kedua tangan Clara. Na
“Tumben kau tidak berada di rumahmu. Apa kau baik-baik saja?”Satu pesan dari J-1511 membuat Ivy tercengang. Buket mawar di tangannya bahkan hampir terjatuh karena terlalu terkejut dengan pesan itu.“Tunggu, bagaimana bisa dia tahu?” pikir Ivy dengan panik.Pasalnya, ia sudah menggunakan VPN dan proxy tambahan untuk berkomunikasi dengan para peretas di dunia gelap. Mereka pun menggunakan forum pesan khusus yang tak bisa diakses oleh sembarang orang.“Kau tahu rumahku?”Ivy segera mengetik balasan dengan cepat. Selama ini, ia terkenal sebagai hacker individualitas karena tak pernah masuk dalam komplotan tertentu. Ia lebih suka bekerja sendiri, tetapi sudah lima tahun ini ia membuka diri untuk berteman dengan J-1511.“Tidak. Hanya saja, titikmu biasanya selalu berada di tempat yang sama.”Pesan itu membuat Ivy akhirnya bisa menghela napas lega. Namun, bibirnya tetap mencebik kesal. Dasar, dia selalu membuat kaget saja, pikirnya.“Oh.”Ivy hanya membalas dengan singkat. Ia kembali melanj
“Mana mungkin aku selingkuh!”Ivy tak sengaja meninggikan suaranya saat menjawab tuduhan Noah. Bukan salahnya yang tak bisa mengatur suaranya. Semua ini karena Noah sendiri yang tiba-tiba mengatakan hal mustahil.Selingkuh? Bagaimana mungkin ia menjalin hubungan dengan orang lain di saat mempertahankan hubungan dengan suaminya saja ia tak bisa?“Kenapa tidak mungkin? Buktinya kau begitu fokus dengan ponselmu saat ada aku di depanmu!” pekik Noah.Ivy ingin kembali mengelak, tetapi tersadarkan dengan suatu hal. Perdebatan mereka kali ini membuat mereka terlihat seperti suami-istri pada umumnya.Noah terlihat seperti suami yang sedang cemburu pada istrinya. Dan hal itu, entah kenapa membuatnya bahagia.“Tunggu… apa kau cemburu?” tanyanya kemudian.“Cemburu? Dalam mimpimu!” elak Noah dengan beranjak dari kursinya.Ivy mendongak untuk mengikuti pergerakan Noah yang kini sudah berdiri dengan kedua tangan bersendekap dada. Noah benar-benar tampak marah dan ia masih tak tahu alasannya.“Kalau
Ivy tahu kalau riwayatnya sudah tamat saat kelepasan memanggil Ezra di situ rahasia.Ezra bukan orang bodoh yang akan diam saja identitasnya terungkap, pasti dia juga akan melakukan segalanya untuk mengungkap identitasnya.“Apa aku mengaku saja sebelum dia tahu lebih dulu?” gumam Ivy, kebingungan.“Jangan pikirkan tentang Clara.”Noah yang baru masuk kabar tiba-tiba bersuara hingga membuat Ivy menoleh padanya.“Kau terlihat sangat khawatir dan gugup. Tenang, Sayang.”Noah mengelus puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang, membuat hati Ivy terenyuh.Di antara beribu masalah yang datang, setidaknya saat ini ia memiliki Noah di sisinya.“Iya,” balas Ivy dengan mencoba tersenyum.“Apa kau mau jalan-jalan? Aku bisa memesan tiket-”Ucapan Noah terpotong oleh nada dering ponsel Ivy yang berada tepat di sebelah laptop. Sontak Ivy segera beranjak dan mengambil ponselnya saat menyadari kalau Ezra yang menelfonnya.“Aku angkat telepo dulu,” pamit Ivy.Jantung Ivy berdebar kian kencang saat kel
Ivy tak pernah mengira kalau pengkhiatan akan sesakit ini. Sejak pulang dari kafe, ia lebih banyak diam dan meminta Noah benar-benar memberinya waktu sendiri.Maka, di sinilah ia sekarang. Di depan laptop yang sudah lama tak ia gunakan.“Aku pasti sudah gila,” gumam Ivy sambil menggigit bibir bawahnya.Ia ingin menyadap ponsel Clara. Suatu hal yang tak pernah ia kira akan terjadi.“Aku harus melakukannya untuk membuktikan ucapan Clara,” yakin Ivy.Jauh di dalam hati kecilnya, ia masih tak percaya dengan semua ucapan dan sikap Clara. Oleh karena itu, ia berharap menemukan kenyataan lain; Clara sedang bercanda, misalnya.Hanya perlu menunggu beberapa detik hingga Ivy bisa mengakses semua ruang obrolan Clara.“Nasibmu jelek sekali.”Dahi Ivy berkerut kala melihat satu pesan baru dari seseorang bernama Rere. Ivy pun segera mengekliknya untuk membuat seluruh percakapan.“Kakakmu sangat egois sekali. Aku prihatin mendengar ceritamu.”Setiap Ivy membaca semua pesan yang dikirim Clara untuk R
“Sayang, kau harus makan.”Noah meletakkan bubur di nakas sebelah tempat tidur. Tangannya mengelus bahu Ivy yang memunggunginya, tapi Ivy tetap tak bereaksi.“Ivy.”Ivy hanya menggeleng dan mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya.“Aku di ruang kerja, kalau kau butuh apa-apa… datanglah. Jangan lupa dimakan.”Noah tak bisa melakukan apa-apa selain memberikan waktu dan ruang bagi Ivy untuk sendiri.Sudah hampir semingu Ivy terlihat seperti mayat hidup. Ia belum bisa berdamai dengan kenyataan kalau Clara tak menyayanginya dan bahkan berusaha untuk menyakitinya dengan menggoda Noah.“Bagaimana bisa semua ini terjadi?” Hanya iu yang terus bernaung di benak dan pikiran Ivy.“Apa rasa sayangku padanya kurang sampai dia tega melakukannya?”Lagi-lagi Ivy menangis.Dadanya terasa sangat sesak dan sakit hingga ia kesulitan bernapas. Tubuhnya bahkan ikut lemas dan tak bertenaga.Ia sering merasakan sakit. Hidupnya dilalui dengan siksaan, tapi baru kali ini ia merasa begitu tersiksa padahal ta
Ivy tersentak saat pintu kamar ditutup dengan keras oleh Noah. Namun, ia sudah menduganya.“Jelaskan padaku,” pinta Noah dengan rahang sempurna mengeras.“Aku tahu kalau kau akan salah paham. Tapi sungguh, tak ada apa-apa denganku dan Ezra,” terang Ivy, seyakin mungkin.“Kalau kau tahu aku akan salah paham, kenapa kau tetap melakukannya? Kau bilang hanya butuh waktu sebentar untuk cari angin! Kenapa malah menginap di tempatnya?!”Ivy bisa melihat otot-otot di leher Noah karena pekikannya yang makin meninggi.“Kami tidak sengaja bertemu! Demi Tuhan, aku dan Ezra tak berbuat apapun!”“Bagaimana kau bisa membuktikannya?!”Dengan kesadaran penuh, Ivy membuka satu per satu kancing baju tidurnya hingga membuat mata Noah membelalak.“Kau bisa melihat kalau tak ada jejak apapun di tubuhku.”Noah menghela napas panjang. Ia mendekat dan kembali mengancing satu per satu.“Kau tak perlu melakukannya,” ucap Noah dengan suara yang lebih rendah.“Kau bilang aku harus membuktikannya.” Ivy masih bersi
Semua yang Ivy khawatirkan terjadi. Noah sudah berada di depan gerbang saat ia baru turun dari mobil Ezra.“Kemana saja kau?” tanyanya dengan dingin.Tatapan mata Noah yang dipenuhi dengan bara membuat tenggorokan Ivy tercekat. Ia tak bisa mengeluarkan satu kata pun.“Kenapa kau bersamanya?” tanyanya sekali lagi, bahkan dengan suara yang dalam.“Aku-”“Dia bermalam di rumahku.”Ivy memejamkan matanya saat Ezra menyahuti pertanyaan Noah. Membuat tatapan Noah jauh lebih menusuk.Ya Tuhan.Tatapan Noah itu mengingatkannya saat malam pertama. Tidak. Bahkan lebih buruk lagi.Mata Noah kali ini hanya menunjukkan kemarahan, tapi juga kekecewaan dan kepedihan.Yang mana hal itu makin membuatnya kehilangan kata-kata, apalagi saat Noah menarik tangannya untuk masuk ke dalam rumah.“Masuk.”“Noah….”Tangan Noah dingin.Sangat…. dingin.Seolah-olah ia sudah berdiri di depan rumah, menunggunya semalaman untuk pulang.Sesampainya di ruang tamu, Ivy melihat Clara baru menuruni tangga dengan mata yan
Malam ini Ezra memang terlihat berbeda. Tak ada kekonyolan sedikit pun yang tercetak di wajahnya.Ezra sangat dingin, persis seperti Noah. Hal itu membuat Ivy jadi makin canggung.“Istirahatlah di sini dulu,” ucap Ezra seraya membukakan pintu ruang kamar di lantai satu.Kamar itu cukup besar dan bersih seperti tak pernah disentuh. Ivy segera mengira kalau itu memang kamar tamu.“Aku baik-baik saja. Aku tadi hanya ingin berkeliling mencari udara segar dan-”“Kau tak perlu berbohong kepadaku di saat aku sudah tahu busuknya Noah dan buruknya sikap dia padamu.” Ezra memotong ucapan Ivy dengan kesal.Ivy meringis canggung. Andai saja Ezra tahu kalau dirinya yang baru saja menampar Noah, dua kali.“Noah sudah baik padaku. Jangan khawatir.”Ivy memilih berjalan menjauh karena sadar perdebatan dengan Ezra hanyalah sebuah kesia-siaan.“Kau ini sangat keras kepala,” gumam Ezra sebelum kembali menggendongnya paksa dan masuk ke dalam kamar.Ivy memekik kaget saat tubuhnya dijatuhkan di atas kasur
Kembang api yang semula memenuhi hati Ivy atas pernyataan cinta Noah berubah menjadi ledakan hebat selayaknya bom yang meluluhlantakkan setelah mendengar ucapan Noah.“A… apa maksudmu?” ucapnya dengan terbata.“Clara menggodaku saat di dapur dan dia juga menjelekkanmu-”Logika Ivy tak bisa berjalan baik. Ucapan Noah adalah sebuah kemustahilan hingga tangannya bergerak cepat menampar Noah.“Ivy?!”Noah menatapnya dengan mata membulat kaget. Tak percaya bahwa Ivy yang selama ini penuh dengan ketenangan mampu menamparnya saat ia mengatakan hal yang sejujurnya.“Apa ini cara barumu untuk menghancurkanku?” desis Ivy dengan napas naik turun.“Apa maksudmu?!” Suara Noah ikut meninggi mendengarnya.“Kau membuatku terlena, lalu menjatuhkanku dengan cara menjelekkan adikku! Kau tahu… kau sangat licik! Aku kira kau tak akan sekejam itu. Aku kira kau-”“Aku mengatakan yang sebenarnya, Ivy!”Noah mengguncang kedua bahu Ivy demi menyadarkannya pada kenyataan, tapi Ivy menepis kasar tangannya.“Jang
Ivy tak tidur. Saat Noah membisikkan panggilan sayang padanya, rasa kantuknya sudah terbang ke antah berantah.Ia yakin kalau Noah sudah berubah dan ia ingin kembali membicarakan tentang perasaan padanya sekali lagi. Karena sikap Noah telah melambungkan harapannya.Ia menunggu di kamar selama lima menit…Sepuluh menit….Bahkan sudah dua puluh menit, Noah tak kunjung kembali.“Sebenarnya dia kemana?” gumam Ivy.Ivy menyibakkan selimutnya, lalu berjalan keluar kamar. Ia berniat mencari keberadaan Noah. Mungkin saja ia berada di ruang kantornya untuk mengambil beberapa berkas.“Aku harus memarahinya kalau dia tetap bekerja selarut ini,” gumamnya.Saat Ivy membuka pintu, ruang kerja Noah diliputi kegelapan. Artinya, Noah tak berada di sana.“Lalu di mana dia?”Ivy tak tahan untuk berdecak, kebingungan. Ia segera menutup kembali pintu kantor Noah, lalu berjalan menuruni tangga.Kakinya masih terlalu sakit digerakkan sehingga setiap langkah yang tercipta terasa berat. Ia bahkan ingin menyer
Ivy kira Noah akan kembali dingin setelah perbincangan mereka di halaman belakang rumah. Ia sudah siap dengan sikap Noah yang kejam seperti sebelumnya, tapi rupanya ia salah besar.Noah masih tetap manis. Dia tak menghindar sama sekali.Awalnya, Ivy mengira kalau Noah akan bersikap baik untuk berakting di depang Clara. Namun, dia tetap lembut bahkan hanya saat ada mereka berdua saja.“Noah.”Noah sedang sibuk dengan laptopnya saat Ivy memanggil dengan penuh keraguan.“Ada apa?” sahut Noah sambil meletakkan laptop yang sebelumnya dipangku di paha ke atas kasur.Lagi-lagi itu adalah pemandangan aneh. Sudah beberapa hari ini Noah membawa pekerjaannya di kamar, padahal biasanya ia selalu menghabiskan waktu lama berkutat dengan pekerjaannya di dalam ruang kerja.“Tidak. Tidak apa-apa,” balas Ivy dengan menggeleng.Noah mengerutkan dahinya. “Kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu?”Ivy menggigit bibirnya, berpikir lebih dalam untuk mengutarakan isi hatinya atau tidak.“Kenapa, Ivy?” tanya Noah