Share

Jerat Dendam CEO Kejam
Jerat Dendam CEO Kejam
Penulis: Mbak Ai

Bab 1. Hancurnya Malam Pertama

Hari pernikahan telah tiba. Ivy menatap dirinya di pantulan cermin dengan gugup. Gaun pengantin ini nampak begitu mewah. Kainnya memang dibuat sangat tertutup hingga tak menunjukkan punggung bahkan lengannya.

Ivy tahu bahwa ayahnya telah mengatur desain gaun pengantin ini karena ingin menutup memar yang memenuhi punggung, lengan, dan kakinya. Memar dan bekas luka di tubuhnya tak akan bisa hilang karena telah menumpuk di kulitnya selama lima belas tahun lamanya.

Ada ketakutan yang kini memenuhi hatinya. “Bagaimana malam pertamanya nanti? Apa aku harus mengatakan yang sejujurnya pada Noah?”

“Jangan sampai Noah tahu.”

Ivy tersentak saat suara ayahnya tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya. Tenggorokannya seketika tercekat dan ia merasa tercekik karena ketakutan.

“Kau akan mati kalau ada orang yang tahu,” ancam Evan.

“Ya—ya...,” jawab Ivy dengan terpatah-patah.

“Sekarang tersenyumlah. Kita harus bergandengan tangan saat masuk ke aula pernikahan.” Evan mengulurkan tangannya, Ivy meraihnya dengan gemetar.

“Perhatikan langkahmu. Aku sudah sangat malu menggandeng anak cacat sepertimu, jangan sampai kau terjatuh dan membuatku semakin malu,” peringat Evan.

Ivy kembali mengangguk. Ia sedikit menahan rintihan saat genggaman ayahnya terlalu kuat seakan-akan ingin mematahkan jari-jemarinya.

Ketika memasuki aula, mungkin orang-orang akan melihat rintihan tertahan Ivy sebagai rasa haru karena pernikahan ini. Hanya Clara, adiknya, yang sadar bahwa kakaknya sedang menahan rasa sakit.

Di lain sisi, Noah terus tersenyum lebar sewaktu Ivy telah berada di sisinya. Senyum Noah terus merekah bahkan saat mereka mengucapkan janji pernikahan.

Berbeda dengan Noah yang mengucap janji dengan lancar dan penuh keyakinan, Ivy terus berusaha untuk tetap berdiri dengan benar karena debar jantungnya yang makin kencang.

Setiap Noah mengucap janjinya, ia merasa ingin menangis. Ivy tak pernah membayangkan jika ia bisa melewati momen pernikahan.

Seumur hidup, ia mengira akan terkurung di rumah hingga akhirnya akan meninggal di tangan ayahnya sebagaimana mendiang ibunya dulu.

Tapi, lihatlah... sekarang ia menikah.

“Mama, aku menikah. Pria di sampingku ini namanya Noah dan dia sepertinya orang baik,” batin Ivy seakan-akan mengobrol dengan mendiang ibunya.

“Selamat, kalian sudah sah menjadi pasangan suami dan istri.”

Sorak sorai para tamu memenuhi gedung pernikahan. Noah menatapnya, lalu meraih pinggangnya sebelum bibir mereka saling bertemu. Ivy meremas tuksedo Noah karena berbagai emosi asing yang memenuhi dadanya.

Untuk pertama kali ada lelaki yang menyentuhnya, lelaki yang telah bersumpah untuk mencintainya dalam suka dan duka, lelaki yang kini menjadi pasangan seumur hidupnya.

“Kau masih lama?”

Ivy yang masih melamun di depan cermin kamar mandi langsung tersentak saat mendengar ketukan di pintu.

“Se—sebentar lagi,” ucapnya dengan kikuk.

Mereka memang sudah berada di kamar dan Ivy sudah membersihkan diri. Acara pernikahan yang panjang itu akhirnya berakhir, tapi kini ia dihadapkan dengan masalah yang sesungguhnya, puluhan memar yang membiru di sekujur tubuhnya.

“Ivy! Ayo cepatlah!”

Ivy tersentak saat Noah kembali mengetuk pintu dengan lebih keras.

Ia segera meraih bathrobe dan mengenakannya serapat mungkin. Ketika ia membuka pintu, wajah dingin Noah menyambutnya.

“Lama banget sih mandinya? Susah hidup dengan orang cacat!” Noah mendorong tubuh Ivy agar tak menghalangi jalannya.

Ivy sangat terkejut. Selama tiga bulan mengenal pria itu, baru kali ini ia melihat Noah marah. Namun, ia mencoba berpikir logis, mungkin suaminya itu tengah begitu kelelahan hingga emosinya memuncak.

Ivy akhirnya duduk di depan meja rias dan mulai mengeringkan rambutnya. Ia juga mengoleskan sedikit krim di wajahnya dan terus-menerus menghela napas panjang karena terlampau khawatir dengan apa yang selanjutnya terjadi.

Perkenalan Ivy dan Noah juga terlampau singkat. Selama mengatur segala rencana pernikahan di satu bulan terakhir, Noah selalu memperlakukannya dengan baik. Noah bahkan beberapa kali mengucapkan kata sayang, tapi entah kenapa … perasaannya malam ini tak enak.

Lamunan Ivy buyar saat pintu kamarnya diketuk. Ia mengira staf hotel pengantar makan malam atau cemilan yang datang, tapi ternyata seorang perempuan dengan rambut pirang dengan lipstik merah merona.

“Kamu… siapa?” tanya Ivy.

Perempuan itu mengerutkan dahinya, lalu kembali melihat nomor kamar dan ponselnya secara bergantian.

“Ini kamar Noah Horison, kan?” Perempuan itu balik bertanya.

“Iya, benar,” jawab Ivy.

Perempuan itu mengangguk mengerti, “Oh, aku tak tahu kalau dia mau bermain bertiga. Atau jangan-jangan kau sudah selesai bermain dengannya dan sekarang gantian aku?”

“Apa maksudmu?” Ivy tak mengerti dengan apa yang perempuan itu katakan.

“Apa lagi? Kau juga perempuan yang disewa Noah Horison, kan? Sama sepertiku.”

Ucapan perempuan itu bagaikan petir yang menyambar Ivy. Ivy melebarkan matanya, lalu menggeleng secara berkala.

“Apa? Tidak—ah, kau pasti salah. Noah tidak mungkin—”

“Oh, kau sudah datang?”

Kalimat Ivy terpotong oleh Noah yang baru keluar dari kamar mandi. Noah hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya.

“Masuklah. Kenapa kau hanya berdiri di luar?” ucap Noah selanjutnya.

Perempuan itu tersenyum lebar, lalu melewati Ivy bahkan sengaja menabrak pundaknya cukup keras. Ivy masih terpaku dan berusaha memahami kondisi, tetapi ia tetap tak mengerti dengan apa yang dilakukan suaminya.

“Noah, ini... apa?” tanya Ivy dengan lirih.

“Aku hanya ingin menikmati malamku,” jawabnya dengan berkacak pinggang. Kemudian ia melemparkan sebuah kartu akses hotel pada Ivy. “Kau bisa pergi ke kamar lain. Aku sudah berbaik hati memesankan kamar untukmu.”

“Tapi... Noah... kau suamiku. Bukankah seharusnya malam ini kita—” makin lama, suara Ivy semakin pelan.

Noah tertawa dengan kencang, mengetahui ke mana maksud wanita itu. “Siapa yang mau bercinta dengan perempuan cacat sepertimu?” Inilah yang ia tunggu-tunggu, melihat wajah Ivy yang benar-benar terluka. “Kau pikir, aku menikahimu karena cinta? Kau hanyalah alat untukku balas dendam pada ayahmu.”

Dengusan sinis Noah membuat Ivy semakin terpojok. “Apa maksudmu, Noah? Kenapa kau berbeda dengan sebelum menikah?” tanya Ivy dengan air mata yang mulai menetes.

“Aku sudah menyuruhmu keluar, tapi kalau kau bersikeras ingin di sini, baiklah.” Lalu, seolah tidak punya hati, Noah yang bertelanjang dada itu melangkah mendekati si perempuan bayaran. “Inilah malam pertamamu. Melihat suamimu tidur dengan perempuan lain.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status