Melihat kebingungan Kalea, Barra menggeleng. "Jangan bilang lo tinggal di luar?"Kalea meringis. Sayangnya, itu benar."Ayo, ke bawah," ajak Barra. Kalea mengikuti Barra yang melangkah lebih dulu.Dan ternyata benar, Sena duduk melamun di kursi teras."Kayak orang ilang lo, Sen."Sena sontak menoleh. Tertawa lebar. "Sialan, lo!"Barra duduk di kursi sebelah Sena. Memberi isyarat agar Kalea duduk kursi kosong sebelah."Lo apain gadis orang, Yan. Sampek nangis gitu," ujar Sena, melirik Kalea dengan senyum menggoda Barra."Ih, siapa yang nangis? Enggak tuh," elak Kalea."Yang bener? Gue yakin, Kalea nangis kan, pas di kamar lo? Lihat aja tuh, matanya sembab."Kalea melotot. Kalau saja dekat, sudah dia timpuk lengan Sena.Barra tertawa kecil. "Gak gue apa-apain aja dia nangis, apalagi gue apa-apa--- Aw! Kal?" Barra meringis, menatap gadis sebelahnya dengan tatapan memelas. Memegang lengannya yang mendapat cubitan dari Kalea. "Makanya, ngomong itu yang bener.""Bercanda, Kalea.""Apaan g
Kalea menunggu di teras. Tumben, jam segini Barra belum muncul. Apa dia samperin aja di rumahnya?Namun baru beberapa langkah, terdengar deru motor dari rumah samping. Kalea menoleh. Memandangi laju motor itu sampai berhenti di depan gerbang rumahnya."Bareng aku, Kal"Kalea menelan salivanya. Raka."Barra mana, Bang?" tanyanya, mengalihkan kegugupannya."Barra gak berangkat.""Sakit?" seketika timbul rasa khawatirnya. Gimana pun juga, dia masih terngiang-ngiang dengan kejadian kemarin. Kalau Barra sakit, berarti penyebabnya adalah dirinya."Enggak. Diajak paksa sama mama. Nenek kangen bocilnya," jelas Raka, terkekeh kecil.Kalea mengela napas lega. Dia kira, Barra kenapa-napa."Emang gak papa, bareng bang Raka?" tanyanya ragu."Enggak. Memangnya siapa yang melarang?""Hehe, kirain."Dia menaiki boncengan belakang. "Siap?"Kalea mengangguk. Dan Raka melajukan motornya...Seperti yang dia
Hari ini rasanya lebih menyebalkan dari hari-hari kemarin. Kalea pikir, dengan magang Raka di sekolahnya, akan memberinya waktu lebih banyak dengan pemuda itu. Nyatanya, dia malah dibakar cemburu gara-gara ternyata ada cewek lain. Belum ada konfirmasi sih, apa hubungan Raka dengan perempuan itu. Tapi melihat mereka dekat setiap saat, dadanya gemuruh menahan cemburu. Bahkan, meski tadi Jini masuk kelasnya, Kalea sama sekali gak berminat menanggapi pelajarannya. Menjawabi pertanyaan yang dilontarkan padanya dengan ketus. Saat pulang sekolah, Kalea gegas pulang, tanpa menghampiri Raka terlebih dahulu. Dia sedang sakit hati. "Kal, kok jalan?"Lagi-lagi Sena. Kalea tak menjawab. Moodnya berantakan."Lah, lo kan tadi berangkat sama pak Raka. Emangnya pulangnya gak bareng?""Lagi sibuk. Males ganggu.""Oh, gitu. Ya udah, gue anter aja.""Males. Sana, duluan.""Heey, mana ada. Rumah lo jauh, Kalea. Gempor tuh kaki lo ajak jalan.""Biarin."
Baru jam setengah tujuh Kalea sudah sibuk di kamarnya. Padahal, dia sudah memilah baju dari sepulang sekolah tadi. Bahkan, tadinya sudah nemu baju yang cocok. Giliran sekarang malah uring-uringan karna merasa gak ada baju yang cocok."Aish! Baju gue jelek semua sih," omelnya. Menatap kesal pada tumpukan pakaian berantakan di atas kasurnya."Apa gue beli aja dulu kali ya? Eh, tapi udah jam segini, gak mungkin keburu."Kalea benar-benar dibuat frustasi hanya karna gak nemu pakaian yang cocok. "Kalea! Ada bang Raka nih," panggilan dari mamanya.Kalea terkejut. Loh? Memangnya jam berapa? Kok bang Raka sudah menjemputnya?"Astaga, Kalea! Udah jam setengah delapan! Pantesan!" pekiknya, kelimpungan sendiri. Satu jam dia cuma memilah baju, itupun menurutnya gak ada yang pantes sama sekali di tubuhnya.Dan akhirnya, karna terburu-buru, dia mengambil asal. Memoles wajahnya dengan polesan biasa, hanya menambahkan bubuhan lipstik lebih
"Happy birthday, Kalea. Selamat ulang tahun adik kecilku."Kalea langsung memeluk Raka. Air matanya tumpah juga. Dia bahagia. Bahagia sekali. Karna banyak pikiran seharian ini, dia lupa kalau ulang tahun. Di tambah, mama papanya juga tidak mengirim ucapan apa-apa. Dan, saat Raka mengatakan akan memberinya surprise juga dia gak ngeh. Pikirannya tadi sedang dilanda cemburu."Hey, nangisnya nanti lagi ya. Sekarang ditiup lilinnya," ujar Raka tersenyum.Kalea nurut. Melepas pelukannya. "Make a wish dulu, dong," sela Raka, karna melihat Kalea sudah bersiap meniup lilin.Gadis itu tertawa. Lantas menangkupkan tangannya, dan memejamkan mata. Membacakan harapan dalam doanya.Fuuh!Lilin padam. "Makasih, Bang Raka," ucapnya dengan senyum lebar. Raka mengangguk."Gak ngambek lagi, kan?"Kalea tertawa, menggeleng."Oke, yuk. Duduk dulu. Potong kuenya disana," ujar Raka, mengambil kue dari tangan karyawan.Lantai dua ben
Mendorong pintu kamarnya, senyum Kalea tak bisa dibendung lagi."Aaaa ...." histerinya, membanting tubuhnya di ranjang, tengkurap. Memukul-mukul bantal bantal tak bersalahnya. Dalam sekejap posisinya berubah telentang. Menyipitkan sebelah matanya dan membentuk love dengan tangannya."Aaa .... Bang Raka, gemesh!" Kembali memukul-mukul kakinya sembarang, beradu dengan empuknya kasur.Kebayang semua cerita Jini tentang bagaimana Raka memprioritaskan dirinya selama ini. Gimana dia gak melayang?Kalea meraih ponsel. Membuka galeri, memandang setiap fotonya dengan Raka tadi dengan ulasan senyum yang enggan sirna dari bibirnya. Betah sekali menyunggingkannya.Dengan cepat jemarinya meng-upload foto itu ke semua sosial medianya. Tak lupa menandai Raka."Sweet seventeen. Thanks bang Raka, surprisenya."Pasti teman-temannya bakal heboh melihat statusnya. Membayangkan hebohnya mereka saja membuat kupu-kupu beterbangan di perutnya. Bergu
"Bar ..." Suara Kalea kembali bergetar. Dan Barra paham, apa penyebabnya.Dengan hembusan pelan, Barra menarik pandangannya kembali. "Gue kemarin pijat."Kalea terperangah, menatap Barra sendu. Menelan salivanya kasar."T-terus, kenapa lo jemput gue, kalau lo lagi sakit?"Sesak dadanya, mengingat Barra sedang sakit karna dirinya, dan Barra malah nekat menjemputnya. Dan sekarang, cowok itu terbaring lemah."Gue keinget lo," tukas Barra tanpa menatap gadis itu.Gimana enggak, dia yang meminta Raka untuk membawa gadis itu ke sekolah. Tapi Raka justru pulang sendiri. Gimana dia gak kepikiran? Tapi Barra gak mungkin menjabarkan alasannya. Cukup dia yang tahu.Grep!Barra mematung. Kalea memeluknya. Suara isakan gadis itu terdengar."Gue jahat ya, Bar. Gue gak tahu kalau lo sakit. Bahkan gue bukannya peka malah nyari kesenangan sendiri. Padahal, harusnya gue sadar sejak kemarin. Tapi gue malah abai."
Kalea menggeliat pelan. Meraba sampingnya mencari boneka. Tapi, kok gak ada? Ah, baru inget. Dia kan tidur di kamarnya Barra.Kalea perlahan membuka matanya dengan sisa-sisa kantuk yang masih ada."Eung ...." lenguhnya, menguap lebar. "Loh, Barra mana?" gumamnya, mengedarkan pandangan ke penjuru kamar.Meski tak mendapati Barra, tapi Kalea gak lantas panik. Apa yang dia khawatirkan? Ini kan rumah Barra. Gak mungkin cowok itu ilang.Kalea justru memeluk bantal, matanya menyipit. Masih ngantuk, dan malas bangun. Memang, godaan paling kuat yang gak bisa sembarang diabaikan itu ya kasur. Enak banget rebahan. Apalagi, di jam sekolah begini. Ternyata, bolos itu enak juga. Pantesan, kadang Barra bandel. Melipir gak masuk kelas."Barra mana sih? Gak balik-balik?" gumamnya. Beringsut bangun, badannya mulai pegal."Bar .... Barra? Lo dimana?" panggilnya, mencari di luar. Kalea melongok ke dapur, tapi Barra tak ada. Di ruang tengah, ruang t
"Baru juga jadi sekretaris pak Barra belum ada berapa minggu, udah berulah aja. Dih."Tahan, Kal. Tahan. Bukannya dari kemarin sudah banyak lontaran kalimat kejam yang ditujukan padanya. Gara-gara gosip sialan uang mudah banget menyebar.Okey! Kupingnya kebal."Bener. Berani banget godain pak Barra. Pasti ngincer hartanya tuh. Secara, dia kan miskin."Mengabaikan, Kalea mempercepat langkahnya. Masuk ke lift. Omongan orang memang kejam. Dan rasanya percuma juga dia membela diri. Gak ada yang percaya."Tunggu!"Pintu ditahan dari luar. Gak jadi tertutup. Seorang pemuda menyusul masuk. Melempar senyum pada Kalea."Maaf, boleh bareng?" pintanya sopan."Hmm. Silakan."Pemuda itu kembali tersenyum. Mengambil tempat di samping Kalea.Lift kembali menutup. Setelah pemuda itu menekankan tombol tujuan mereka, yang ternyata sama.Kalea sadar, pemuda itu menatap ke arahnya. Tapi dia pura-pura tidak tahu. Lagian,
Kevin ... Menatap dua manusia berbeda jenis kelamin itu dengan tatapan syok. Apalagi, setelah melihat penampilan sang boss yang berantakan."Ma-maaf ... Saya tidak sengaja lewat."Kevin buru-buru pergi.Tidak! Kevin bisa salah sangka."Kevin, tunggu!"Kaleaberanjak, hendak mengejar Kevin. Jangan sampai Kevin salah sangka, yang akibatnya gosip bisa menyebar.Tapi, tangannya ditahan."Mau kemana, kamu!" Barra menyorotnya galak."Itu ... Gue harus jelasin ke Kevin. Dia pasti salah paham." Saking paniknya Kalea, sampai dia lupa dengan penggunakan kata formalnya."Tidak perlu," ketus Barra.Kalea cengo. "Hah? Tap ... Tapi kan ...." menunjuk Kevin. Maksudnya, bukankah seharusnya dia mencegah kecurigaan Kevin? Sebelum menyebar ke yang lainnya, dan menjadi gosip dadakan."Tidak perlu. Urusanmu dengan saya lebih penting."Urusan? Apa?"Kamu harus bertanggung jawab.""Hah?!"..Kalea menatap layar p
Cukup lama Kalea bersemedi di kamar mandi. Perutnya benar-benar mulas. Rasanya seperti diremas-remas. Baru dia keluar dari kamar mandi, perutnya kembali melilit. Jadilah dia keluar masuk kamar mandi, sampai pegal rasanya. "Sialan! Kenapa gue bisa kelupaan sih, tadi. Aish!" gerutunya, meringis, sembari meremat perutnya.Sudah lumayan. Hanya saja, tubuhnya jadi lemas kehabisan tenaga. Langkahnya gontai kembali ke meja kerjanya. Lupa kalau dia tadi ninggalin Barra di mobil."Loh, udah balik, Kal?" sambut Kevin dengan binar cerahnya."Udah," sahut Kalea lemas. Menyandar ke kursi."Oke. Thanks," Kevin menyambar berkas di mejanya. Melangkah cepat penuh semangat. Melihatnya, Kalea menatap heran."Semangat banget dia," gumamnya, berkomentar."Siapa? Oh, Kevin? Jelas dong. Dia dikasih proyek sama pak Barra. Dan kalau berhasil, dia dijanjiin bonus gajinya dinaikin," jelas Hana, menyahut. Masih dengan fokus ke komputer. Mengaudit data atau entahlah."Pantesan, semangat banget.""Hem. Dia dari t
"Ah? Haha. Anda benar, pak Barra."Pria bernama Surya itu melirik Kalea. "Tapi, rasanya tidak masalah kalau mengajak kenalan sekretaris anda.""Kalau begitu lanjutkan saja perkenalan kalian. Kita batalkan kerjasamanya.""Eh? Jangan pak Barra! Maaf, saya hanya bercanda. Mari kita bahas baik-baik." Raut Surya yang semula penuh senyuman menggoda berubah serius. Dia tahu, kalimat calon partnernya itu mengandung maksud ketidaksukaan atas sikapnya. Daripada kerjasama malah gagal.Nyatanya bukan cuma Surya yang terkejut dengan ucapan Barra barusan, Kalea juga sama terkejutnya. Barra berbeda dengan pak Prayit yang terkesan hati-hati dan menjaga perasaan calon rekan kerjanya. Barra sama sekali tidak suka dengan basa basi. Tapi, apa itu gak bahaya? Apa gak terkesan frontal?Seperti takut dengan ancaman Barra, Surya berubah serius. Fokus membahas pekerjaan. Wajar saja sih, perusahaan pak Surya masih di bawah perusahaan Barra. Mau melawan tidak ada kuasa. Kale
"Dia inget gue gak sih?"Memikirkan sikap Barra sejak pertemuan pertama, nyatanya membuat Kalea bertanya-tanya. Sikap Barra membuatnya kembali ragu. "Tapi, perasaan dia sama sekali gak menyinggung apa-apa deh. Seenggaknya, minimal nanyain kabar kek, atau apa. Lah, ini boro-boro. Lagaknya kayak boss beneran deh. Kesannya bukan lagi sombong, tapi ... kayak gak kenal deh," gumamnya lagi, mengerutkan dahi. Menepis keraguannya sendiri.Banyak hal yang dia lewatkan selama ini. Dia benar-benar lari dari kehidupan kelam di masa lalunya itu. Saking kencangnya dia lari, sampai kadang batu sandungan pun gak dia pedulikan. Lukanya akibat terjatuh, gak seberapa sakit dibandingkan dia memilih berhenti, yang akibatnya akan membuatnya menoleh.Tangannya bergerak di tengah otaknya yang masih melamun. Mengetik nama akun yang terlintas di otaknya. Tak butuh berapa detik, muncul akun seperti yang dia tujukan. Sayangnya, gak sesuai harapan."Ck. Update terak
Tok! Tok!"Hmm. Masuk."Dengan kertas di tangan kirinya, Kalea mendorong pintu. Yang langsung di suguhi tatapan tajam Barra."Untuk kali ini kamu beruntung. Kurang lima menit. Lain kali saya tidak akan mentolerir keterlambatanmu," tegas pria tersebut. Dan tanpa menunggu Kalea sempat menarik napas, Barra sudah berjalan melewati gadis itu. Dan pastinya mau tak mau Kalea mengikutinya. Berkas yang dia bawa adalah bahan untuk rapat. Dia belum sempat mendapat jadwal resmi pria itu. Karna memang dia baru tahu penugasan barunya kemarin. Itupun dia langsung disuruh bersih-bersih. Matanya berat sekali, ya Tuhaaan. Kalau boleh, ingin rasanya dia rebahan sebentar. Suasana rapat yang terlalu tegang dan serius itu membuat kantuknya menjadi. Entah berapa kali matanya tiba-tiba memejam tanpa sadar. Sampai notebooknya penuh coretan. Gadis itu menggeleng kuat. Tidak. Dia gak boleh tertidur. Bagaimanapun juga, tugasnya mencatat apa saja yang penting. Bisa kena semp
"Kusut amat muka. Udah ketemu sama pak direktur baru kan?" Kalea mendengkus keras. Melempar badannya ke salah satu sofa kontrakan mereka."Gimana, Kal? Ganteng, kan? Gue bilang juga apa. Aaaish! Enak jadi elo. Bisa tiap hari ketemu. Bebas mandangin wajah tampannya. Aaaa ... Pengen deh."Kalea mendesis sinis. "Ganteng apanya? Gitu doang. Biasa aja.""Eee ... Kayaknya mata lo perlu operasi geh, Kal."Kalea merotasikan bola matanya, malas."Pak Barra tuh, gimana ya ... Eeum ... Perfect banget deh pokoknya.""Serah deh. Dia emang si paling sempurna," ketus Kalea, seraya beranjak. "Gue mandi duluan.""Yee ... Malah pergi," gerutu Ella. "Jangan lama-lama," tambahnya, berteriak. Tapi Kalea sudah menghilang di balik tembok."Coba gue aja yang jadi sekretaris pak Barra. Beruntung banget gue. Kalea emang aneh. Dikasih anugerah malam asem banget tuh muka." Gadis itu menyusul masuk ke dalam, setelah sebelumnya menutup pintu terlebih dahu
Meski mulut menggerutu penuh hujatan pada sang boss, tetap saja gadis itu melakukannya. Lagian, mana bisa dia nolak. Yang ada malah dirinya dipecat nanti. Yang sama artinya, dirinya juga yang rugi. Terpaksa. Dirinya masih membutuhkan pekerjaan ini untuk menghidupi dirinya.Kalea mengusap dahinya yang dibanjiri peluh. Basah."Huft ... Akhirnya selesai juga," tukasnya, mendesah lega. Melirik jam tangannya, ternyata masih ada waktu sebelum jam makan siang."Ternyata gue cekatan juga. Hebat. Bisa selesai cepet. Haha," pujinya, membanggakan diri."Haahh ... Capek juga ternyata. Gerah juga. Emm ... Enaknya ngadem dulu aja, ah. Lagian Barra sialan itu lagi di luar juga. Palingan juga dia datengnya molor. Daripada gue langsung keluar, ntar malah ketemu dia, dikasih kerjaan tambahan lagi. Cih! Ogah banget," ujarnya setengah menggerutu.Dan benar, gadis itu mewujudkan omongannya. Dengan santai tanpa dosa merebahkan diri di sofa. Menikmati hembusan AC ya
"Bodoh."Deg.Setelah sekian lama tidak mendengar desisan kasar itu, kali ini telinganya kembali mendengar. Meski lirih.Eh, tapi apakah telinganya benar mendengar desisan itu? Atau hanya sekedar imajinasi alam bawah sadar? Karna nyatanya bibir pria yang menangkapnya itu terkatup rapat dengan ekspresi datar tanpa reaksi."Pak Barra"Demi mendengar panggilan pak Prayit pada pria itu, seketika menyadarkan Kalea dari lamunanya. Gadis itu tergesa melepaskan diri, tapi sialnya, justru membuatnya jatuh terjerembab di lantai."Aa ... Awh!" pekik Kalea, meringis kesakitan. Iya sih, tadi pantatnya sempat gagal landing ke lantai. Tapi sekarang justru dia sendiri yang mewujudkannya. Sukses menghantam lantai, yang menimbulkan nyeri di pantat.Sementara pria yang menangkapnya tadi, melenggang santai melangkahi kakinya yang membujur. Tanpa dosa. Kalea menatapnya penuh rasa kesal. Ah! Sialan! Kenapa pula dia malah melamun tadi."Aku kir