"Happy birthday, Kalea. Selamat ulang tahun adik kecilku."
Kalea langsung memeluk Raka. Air matanya tumpah juga. Dia bahagia. Bahagia sekali. Karna banyak pikiran seharian ini, dia lupa kalau ulang tahun. Di tambah, mama papanya juga tidak mengirim ucapan apa-apa. Dan, saat Raka mengatakan akan memberinya surprise juga dia gak ngeh. Pikirannya tadi sedang dilanda cemburu."Hey, nangisnya nanti lagi ya. Sekarang ditiup lilinnya," ujar Raka tersenyum.Kalea nurut. Melepas pelukannya."Make a wish dulu, dong," sela Raka, karna melihat Kalea sudah bersiap meniup lilin.Gadis itu tertawa. Lantas menangkupkan tangannya, dan memejamkan mata. Membacakan harapan dalam doanya.Fuuh!Lilin padam."Makasih, Bang Raka," ucapnya dengan senyum lebar. Raka mengangguk."Gak ngambek lagi, kan?"Kalea tertawa, menggeleng."Oke, yuk. Duduk dulu. Potong kuenya disana," ujar Raka, mengambil kue dari tangan karyawan.Lantai dua benMendorong pintu kamarnya, senyum Kalea tak bisa dibendung lagi."Aaaa ...." histerinya, membanting tubuhnya di ranjang, tengkurap. Memukul-mukul bantal bantal tak bersalahnya. Dalam sekejap posisinya berubah telentang. Menyipitkan sebelah matanya dan membentuk love dengan tangannya."Aaa .... Bang Raka, gemesh!" Kembali memukul-mukul kakinya sembarang, beradu dengan empuknya kasur.Kebayang semua cerita Jini tentang bagaimana Raka memprioritaskan dirinya selama ini. Gimana dia gak melayang?Kalea meraih ponsel. Membuka galeri, memandang setiap fotonya dengan Raka tadi dengan ulasan senyum yang enggan sirna dari bibirnya. Betah sekali menyunggingkannya.Dengan cepat jemarinya meng-upload foto itu ke semua sosial medianya. Tak lupa menandai Raka."Sweet seventeen. Thanks bang Raka, surprisenya."Pasti teman-temannya bakal heboh melihat statusnya. Membayangkan hebohnya mereka saja membuat kupu-kupu beterbangan di perutnya. Bergu
"Bar ..." Suara Kalea kembali bergetar. Dan Barra paham, apa penyebabnya.Dengan hembusan pelan, Barra menarik pandangannya kembali. "Gue kemarin pijat."Kalea terperangah, menatap Barra sendu. Menelan salivanya kasar."T-terus, kenapa lo jemput gue, kalau lo lagi sakit?"Sesak dadanya, mengingat Barra sedang sakit karna dirinya, dan Barra malah nekat menjemputnya. Dan sekarang, cowok itu terbaring lemah."Gue keinget lo," tukas Barra tanpa menatap gadis itu.Gimana enggak, dia yang meminta Raka untuk membawa gadis itu ke sekolah. Tapi Raka justru pulang sendiri. Gimana dia gak kepikiran? Tapi Barra gak mungkin menjabarkan alasannya. Cukup dia yang tahu.Grep!Barra mematung. Kalea memeluknya. Suara isakan gadis itu terdengar."Gue jahat ya, Bar. Gue gak tahu kalau lo sakit. Bahkan gue bukannya peka malah nyari kesenangan sendiri. Padahal, harusnya gue sadar sejak kemarin. Tapi gue malah abai."
Kalea menggeliat pelan. Meraba sampingnya mencari boneka. Tapi, kok gak ada? Ah, baru inget. Dia kan tidur di kamarnya Barra.Kalea perlahan membuka matanya dengan sisa-sisa kantuk yang masih ada."Eung ...." lenguhnya, menguap lebar. "Loh, Barra mana?" gumamnya, mengedarkan pandangan ke penjuru kamar.Meski tak mendapati Barra, tapi Kalea gak lantas panik. Apa yang dia khawatirkan? Ini kan rumah Barra. Gak mungkin cowok itu ilang.Kalea justru memeluk bantal, matanya menyipit. Masih ngantuk, dan malas bangun. Memang, godaan paling kuat yang gak bisa sembarang diabaikan itu ya kasur. Enak banget rebahan. Apalagi, di jam sekolah begini. Ternyata, bolos itu enak juga. Pantesan, kadang Barra bandel. Melipir gak masuk kelas."Barra mana sih? Gak balik-balik?" gumamnya. Beringsut bangun, badannya mulai pegal."Bar .... Barra? Lo dimana?" panggilnya, mencari di luar. Kalea melongok ke dapur, tapi Barra tak ada. Di ruang tengah, ruang t
Sampai di parkiran, Sena melepas hemnya."Lo sama Bar -- eh kampret! Gue ditinggalin gitu aja tanpa ngucapin terimakasih," omel Sena. Kalea ngeloyor begitu saja tanpa basa basi dengannya. Helmnya saja cuma di taruh sembarang, dan Sena yang harus meletakkan di tempatnya."Lama-lama pusing gue sama mereka berdua. Salah gue sih, merelakan diri jadi samsak," gerutunya lagi. Melangkah tak berdaya.Brak!Kalea meletakkan kasar tasnya ke meja. Untung saja Gita belum datang. Kalau sudah, mungkin Gita sudah mengumpatinya."Woy, Barra! Muncul juga lo. Kemana lo kemarin, gak ada kabar?"Kalea mengambil bukunya. Membuka lembar asal. Sebenarnya dia gak ada niat baca buku. Tapi karna dia tahu ada Barra di belakang, dia jadi berpura-pura menyibukkan diri."Kal,"Apa-apaan Barra? Kenapa malah menghampirinya.Tapi Kalea tak peduli. Mengabaikan panggilan Barra."Gue minta maaf, Kal."Kalea merolingkan bola matany
Kantin.Gita meneguk es jeruknya. Kembali melahap bakso pedasnya. Meski berakhir dengan mendesis heboh gara-gara kepedesan. Menyeka keringat di dahinya, juga hidung dan matanya yang ikut bereaksi.Berbeda dengan Gita, Kalea lebih santai. Dia memang cenderung terlihat biasa saja meski sedang kepedasan sekalipun. Mengunyah santai bakso berkuah merah cabai."Haaahhhh! Gue nyerah."Gita menyudahi makannya. Padahal itu juga karna bulatan bakso di mangkuknya tinggal kuah. Ngacir ke ibu kantin minta tambahan es segelas lagi.Sementara tatapan Kalea tertuju pada meja seberang. Ekspresinya datar, tapi terbesit kesal."Wih, Kim kayaknya mulai agresif tuh. Dari tadi deketin Barra mulu," ujar Gita, tahu arah pandang Kalea. Setengah memancing. Dia keinget ucapan Sena tadi pagi. "Lo tahu, Kal, pas lo gak berangkat kemarin, Kim ke kelas. Dan tahu yang dicarinya siapa? Si Barra. Gue langsung what? Ngapain Kim nyariin Barra. Secara, habis kejadia
"Bar," tepukan pelan mendarat di pundak Barra.Barra melirik tipis. Kembali fokus pada jalanan."Boleh minta tolong mampir ke toko buku, enggak?" suara Kimberly lebih keras.Barra mengangkat tangan sebelahnya. Mengacungkan jempol.Tepat dua ratus meter, dia membelokkan motornya ke toko buku. Memarkirkan motornya ke parkiran."Sory, gue ngerepotin, Bar.""Hmm. Santai aja," Barra melepas helmnya."Ayo," ajaknya. Berjalan lebih dulu. Tapi, tiga langkah dia menoleh. Mengerutkan dahi mendapati Kim masih berdiri di tempatnya. Memegang tali helmnya."Bar, sory. Gue gak bisa bukanya," cicitnya pelan.Barra mengela napas pelan. Berbalik dan berhenti di depan Kim. Melepaskan tali helm Kim."Thanks, Bar. Gue belum pernah naik motor. Jadi gak tahu caranya ngelepas helm."Barra mengangguk. Tanpa ekspresi. Langsung kembali melanjutkan langkahnya..."Sejak kecil papa selalu biasain gue baca buku. Jadi
Tak mau kecolongan seperti kemarin, Barra datang lebih pagi ke rumah Kalea. Dan, seperti yang di duga, Kalea yang bahkan mandi saja belum mengomeli cowok itu."Nyemil dulu, Barra. Tante goreng pisang nih. Kebetulan ada yang mateng," mama Kalea meletakkan sepiring pisang goreng hangat ke depannya.Barra mengangkat wajahnya. Tak ada senyum di bibirnya. Hanya raut datar ketusnya. "Kalea bangun kesiangan tuh. Katanya capek, kemarin habis dorong motor."Barulah atensi Barra teralih. Kalea dorong motor? Apa karna itu Kalea tidak membalas pesannya. Dia kecapek an?Tak berapa lama, Heru, papa Kalea turun. Mengajak ngobrol Barra. "Loh, gak berangkat kerja, Ma?" tanya Heru, mendapati istrinya masih memakai pakaian rumahan, ikut menyiapkan menu sarapan dengan bi Lis. Padahal biasanya jam segini istrinya sudah siap."Enggak, Pa. Mama izin.""Gak enak badan?""Enggak. Kangen nyiapin makanan buat papa sama Kalea."S
"Oke. Jadi miss aja yang bagi kelompoknya ya?""Siap, Miss.""Semoga gue sama Barra," harap Gita, menangkupkan tangannya berdoa. Kalea meliriknya, tertawa kecil."Ih, malah diketawain. Aminin dong.""Iya, amiinn Gita. Semoga lo sekelompok sama dia."Gita tersenyum lebar. Menaruh perhatian pada Jini yang sedang membacakan pembagian kelompok.Wajah Gita tegang. Melihatnya, Kalea menahan tawa. Lagian, apa enaknya sekelompok sama Barra? Yang ada malah ngerjain sendiri. Ditinggal tidur."Septa dan Ria. Natalie dan Reyhan. Terus .... Gita sama Sena."Seketika Gita manyun. Melirik sinis Sena yang juga tengah menatap ke arahnya."Ish! Kok Sena sih.""Sabar Git. Lagian Sena juga ser--""Kalea sama Elbarra."Kalea seketika cengo. Tatapannya beralih ke Barra. Yang ditatapnya memasang wajah cuek tak merasa."Tuh, kan, elo sama Barra. Hiks.""Ck. Gantian aja kali, ya." Kayaknya Jini sengaja memasangka