Tak mau kecolongan seperti kemarin, Barra datang lebih pagi ke rumah Kalea. Dan, seperti yang di duga, Kalea yang bahkan mandi saja belum mengomeli cowok itu.
"Nyemil dulu, Barra. Tante goreng pisang nih. Kebetulan ada yang mateng," mama Kalea meletakkan sepiring pisang goreng hangat ke depannya.Barra mengangkat wajahnya. Tak ada senyum di bibirnya. Hanya raut datar ketusnya."Kalea bangun kesiangan tuh. Katanya capek, kemarin habis dorong motor."Barulah atensi Barra teralih. Kalea dorong motor? Apa karna itu Kalea tidak membalas pesannya. Dia kecapek an?Tak berapa lama, Heru, papa Kalea turun. Mengajak ngobrol Barra."Loh, gak berangkat kerja, Ma?" tanya Heru, mendapati istrinya masih memakai pakaian rumahan, ikut menyiapkan menu sarapan dengan bi Lis. Padahal biasanya jam segini istrinya sudah siap."Enggak, Pa. Mama izin.""Gak enak badan?""Enggak. Kangen nyiapin makanan buat papa sama Kalea."S"Oke. Jadi miss aja yang bagi kelompoknya ya?""Siap, Miss.""Semoga gue sama Barra," harap Gita, menangkupkan tangannya berdoa. Kalea meliriknya, tertawa kecil."Ih, malah diketawain. Aminin dong.""Iya, amiinn Gita. Semoga lo sekelompok sama dia."Gita tersenyum lebar. Menaruh perhatian pada Jini yang sedang membacakan pembagian kelompok.Wajah Gita tegang. Melihatnya, Kalea menahan tawa. Lagian, apa enaknya sekelompok sama Barra? Yang ada malah ngerjain sendiri. Ditinggal tidur."Septa dan Ria. Natalie dan Reyhan. Terus .... Gita sama Sena."Seketika Gita manyun. Melirik sinis Sena yang juga tengah menatap ke arahnya."Ish! Kok Sena sih.""Sabar Git. Lagian Sena juga ser--""Kalea sama Elbarra."Kalea seketika cengo. Tatapannya beralih ke Barra. Yang ditatapnya memasang wajah cuek tak merasa."Tuh, kan, elo sama Barra. Hiks.""Ck. Gantian aja kali, ya." Kayaknya Jini sengaja memasangka
Diakui atau tidak, tapi perlahan Kalea tidak terlalu obsesi dengan Raka lagi. Dia memang masih menyukai Raka, tapi tidak lagi cemburu saat melihat Raka dengan Jini. Karna dia percaya, Raka dan Jini hanya sebatas teman. Ucapan Jini saat hari ulang tahunnya malam itu menenangkannya. Dia malah menganggap Jini seperti kakaknya sendiri. Tak jarang dia bertukar pesan dengan Jini. Dengan tema yang bisa tebak. Yups, apalagi kalau bukan tentang Raka. Tapi, ya itu, dia tidak seobses dulu."Woy! Gantian dong nulisnya," kesal melihat Barra yang malah diam, melamun, bukannya membantu mengerjakan tugas kelompok."Ntar. Masih sedikit juga, kan?" sahut Barra, bergerak malas."Dikit gundulmu! Gue udah dapat dua halaman, Barra!" sungut Kalea.Barra hanya melirik sekilas. Lanjut melamun."Barra! Ish!"Barra menggumam. Mengambil kertas karton seukuran hvs."Gue bikin covernya. Lo terusin nulisnya. Ntar sisain buat gue," tugasnya, mengambil peralatan gambar."Na
Percaya dengan istilah gajah di depan mata tidak kelihatan, tapi semut di seberang laut malah terlihat jelas? Nyatanya, kadang kita tak pernah sadar dengan sesuatu yang dekat karna lebih fokus pada hal yang diincar. Meski sesuatu itu lebih besar dan nyata, tetap kalah jika mata enggan menganggapnya ada. Memang tidak pas dengan penafsiran istilah diatas, tapi dengan sudut pandang berbeda. Waktu tak terasa berlalu, Raka dan Jini telah menyelesaikan penelitiannya. Bahkan perpisahan sudah dilakukan sejak seminggu yang lalu. Keduanya sudah kembali ke kampus untuk menyelesaikan tahap selanjutnya dengan bahan yang di dapat dari penelitian. Kalea sedih? Jelas. Tapi dia tak perlu khawatir. Dia punya Jini untuk menanyakan keseharian Raka, berbagi daily life nya, atau sekedar mengirim pap. Jini menggodanya, tapi Kalea meminta agar Jini merahasiakan perasaannya. Jini tertawa, dan dia berjanji akan merahasiakannya. "Gue lihat Kim makin t
Jangan percaya diri dengan masa depan yang belum kamu ketahui. Kenyataannya, kata-kata dari Suga aka Min Yoongi itu nyata adanya. Kita tidak pernah tahu, akan terjadi apa di masa depan nanti. Seperti halnya yang dialami Kalea. Kehidupan sempurnanya hancur dalam satu malam."Ampun Kalea! Itu kan kopi gue!"Gadis yang tujuh tahun lalu patah hati karna cinta itu menjulurkan lidahnya. Membawa kabur dan menyeruputnya dengan segera. Memasang tampang berdosanya dan kembali pura-pura sibuk dengan laptopnya. Melanjutkan pekerjaan yang dia tinggal demi nyerobot kopi. Sedangkan Ella, yang diambil kopinya, cuma bisa mengela napas pasrah. Kalea mah gitu. Suka jahil dan lumayan nyebelin sih. Tapi, jangan salah. Mereka bestie deket banget. Kayak gitu mah gak bikin marahan. Lebay."Eh, mau ke dapur, La?"Ella mencibir. Dasar, gak tahu malu. Giliran ngeliat dirinya beranjak, langsung aja sok nanya-nanya. Sedangkan Kalea tertawa. "Sekalian buatin mie ya.
Jam istirahat, di kantin. Kalea dan Ella membawa nampan berisi makanan masing-masing. Memang, disini makanan mendapat jatah ransum harian. Tapi, sekiranya kurang berkenan, bisa beli lauk yang lain. "Aaah ... Lapernya. Rasanya kek mau meninggoy aja," seru Ella. Seraya mengempas bokongnya ke kursi duduk. Menatap berbinar makanannya."Lebaaayy ...." cibir Kalea. "Haha. Sialan."Dengan segera, Ella menyuap suapan penuh semangat. Begitu juga Kalea. Pekerjaan yang menguras pikiran. Membuat perut ikut demo minta jatah. Tapi, justru dengan begini makanan terasa nikmat. Makan disaat perut benar-benar lapar."Em, Kal. Btw, kita udah kerja satu tahun ya."Kalea mengangkat alisnya. Terus?"Selama ini, kok gue gak pernah ngelihat pimpinan deh. Perasaan, pas rapat atau acara peresmian, cuma ada pak Prayit, wakil doang.""Gak pernah denger ya? Pimpinan kan emang lagi nyelesain studi.""Enggak. Gue gak pernah denger tuh," geleng Ella, mengernyitk
"Ma-maaf ...."Maaf. Perutnya belum usai. Kalea langsung berlari ke kamar mandi. Menuntaskan mual perutnya. Muntah berkali-kali. Sampai kosong perutnya. Dan, kebas lidahnya. Wajahnya pucat pasi. Entah bagaimana nasib orang yang dia tabrak tadi. Nanti, dia akan meminta maaf dengan benar, karna sudah mengotori bajunya. "Huft ... Haahhh!" Kalea memejamkan matanya. Mengatur napasnya yang naik turun setelah perjuangan menghabiskan isi perut tadi. Menatap cermin wastafel. Memandang wajah pucatnya. Meringis kecil, saat membayangkan amarah apa yang akan dia dapatkan dari orang yang dia tabrak tadi. Jelas marahlah. Bayangkan saja, dirimu terkena muntahan orang lain. Lantas, bukannya bertanggung jawab, malah ditinggal kabur. Dan kira-kira, siapa yang dia tabrak tadi? Kok, gak nyusul ke kamar mandi? Ya, Kalea baru sadar. Orang yang ditabraknya tadi, harusnya menyusul ke kamar mandi. Selain buat marahin dia, emang dia gak butuh bersih-bersih? Kalea mengeru
Karna di rumah ternyata tidak lantas membuatnya tenang, Kalea memutuskan untuk jalan keluar. Jalan kaki tak tentu arah. Katanya, lumayan untuk membuang pikiran yang semrawut.Terasa getaran dari saku hodie yang dipakainya. Tepatnya dari ponselnya. Kalea tidak langsung merogohnya. Takut ada pesan yang akan membuatnya mati berdiri. Apalagi, di tengah keadaannya yang seperti ini. Bisa jadi, seperti yang dia khawatirkan tadi. Email dari perusahaan mengenai pemberhentiannya, misalnya. Susah-susah loh dia dapetin pekerjaan ini. Pekerjaan yang lumayan untuk menghidupi kehidupannya yang mandiri. Tapi, getar itu berdering berturut-turut. Mengganggu imajinasinya. Dengan tegukan saliva kasar, Kalea memutuskan merogohnya. Tangannya saja sampai tremor, takut bayangannya jadi kenyataan. "Nak, mama butuh uang.""Mama gak ada pegangan sama sekali.""Papamu masih sakit, jadi belum bisa nyari kerja.""Hari ini mama cuma makan dengan lauk seadanya.""Tolong
"Sumpah, Kal. Pokoknya, jadi lo nyesel banget deh, ngelewatin momen langka."Nyatanya, setelah Ella pulang pun, gadis itu masih menyerocos tentang kedatangan si CEO muda yang katanya tampan itu.Kalea menggendikkan bahu, meletakkan mie panasnya di meja. Siap menyantap."Ish! Ella! Bikin sendiri!"Sialnya, Ella malah nyomot duluan. Dan tanpa rasa bersalah, gadis itu cuma nyengir dan menjulurkan lidah. Gantian."Gue jamin, lo juga bakalan tertarik deh, sama Ceo kita. Secara, ganteng banget."Kalea merotasikan bola matanya. Masih aja, topik CEO gak ganti-ganti. Cewek mah, kalau ada yang membuatnya tertarik, cenderung enggan beralih dari pengalihan pembahasan."Siapa bilang. Ganteng versi lo sama gue kan beda.""Eh, kali ini beneran deh, ganteng banget. Sumpah.""Iya ... Iya, La. Heboh amat. Kayak orangnya baik aja. Ntar ganteng doang, tapi galak dan super nyebelin, terus diktator dan sombong gimana? Apa asyiknya? Ga
"Ganti disini saja," tukas Barra saat dirinya mendekat. Pria itu tampak sibuk dengan ponselnya. Sampai melihat ke arahnya saja enggan. Namun, reaksi yang didapatnya justru lain. Barra menatapnya tajam dengan mata menyipit. Dengkusan lirih terdengar. Tanpa kata, pria itu beranjak dari duduknya, mengabaikan Kalea yang bingung dengan reaksi pria tersebut. "Emang jelek banget, ya?" Kalea bermonolog. Menatap penampilannya sendiri. Ya wajar saja. Dia ambil baju termurah disini. Apa yang diharapkan? "Coba ini." Barra menyodorkan gaun ke arahnya. Gaun cantik yang sebenarnya dia incar. Tapi urung karna harganya di luar nalar. "Tapi ini mahal, pak. Gaji saya kurang." "Memang apa urusannya dengan gajimu? Cepat, dicoba sana." Kalea menerimanya ragu. Dia masih bimbang. Tapi akhirnya dia kembali ke ruang ganti. Dengan membawa gaun tersebut. Menatap nanar bandrol harga di gaun itu. Lima puluh juta. Yang
"Aaahh ... Akhirnya selesai juga," Kalea merentangkan tangan, memutar pelan lehernya ke kanan dan kiri. Lantas mematikan laptop dan bersiap-siap untuk pulang. Kalea mengerling pandang ke ruangan sebelah. Belum ada tanda-tanda si boss bakal keluar. Ck. Jangan bilang pemuda itu lembur. Alamat dia juga gagal pulang. Ya kali, dia nekat pulang sementara bossnya saja belum pulang. Huft. Padahal dia sudah beres. Tinggal pulang.Kalea meletakkan dagunya di meja kerja. Membuat bibirnya manyun otomatis. Beberapa saat kemudian ponselnya berdering. Tanda ada panggilan masuk. Dengan malas gadis itu merogoh tasnya. Mengambil ponsel tanpa merubah posisinya. Bahkan menekan tombol hijau dengan gerakan malas. "Halo ...""Jangan langsung pulang."Gadis itu tersentak. Sontak menegakkan tubuhnya, mengangkat wajah. Menjauhkan ponsel demi memastikan siapa yang memanggil. Padahal dia tahu, itu suara Barra."Eoh?" ucapnya, cengo."Tunggu seben
Pagi-pagi, Kalea geger melihat mejanya sudah dihuni karyawan lain."Loh, Miko! ini kan meja gue?" seru Kalea. Menatap tak terima. "Itu kan kemarin, Kal. Sekarang meja gue.""Lah, mana bisa?! Tiba-tiba pindah aja," sungut Kalea, kesal.Hana dan Kevin yang melihat keributan itu hanya menonton. Mereka juga gak tahu tiba-tiba Miko pindah ke meja Kalea. Dia bilang dia dapat perintah."Lah, gue juga cuma disuruh, Kal. Mana mungkin gue main pindah-pindah aja. Yang ada kena SP gue ntar," Miko membela diri.Iya juga sih. Tapi, tetep aja kan ...."Terus, gue dimana, dong?" Kalea mencebik. Harusnya gak tiba-tiba gini dong. Ditambah, perintahnya sepihak. Dia aja gak tahu apa-apa."Ya gue gak tahu, Kal." Miko menggendikkan bahu santai. Kembali merapikan meja yang beralih jadi miliknya itu."Emang yang nyuruh siapa, Mik?" Kevin menimpali. Tatapannya menyelidik. Siapa tahu Miko bohong."Pak Lino. Tadi pagi gue ditelpon beliau, disur
Netranya tertuju pada pemuda yang sedang menikmati makanannya. Nampak lahap, padahal makanan warteg. Kalea memang tadi keluar, membelikan pakaian untuk Barra, sekalian makan. Dia tidak punya uang banyak. Untuk dirinya saja dia berhemat. Jadi dia membelikan seadanya. Bukan pakaian bermerek seperti yang biasa dipakai Barra. Yang penting nyaman dan bisa buat ganti. Mau dipakai syukur, enggak ya terserah. Ah, untung saja masih ada toko yang buka. Coba kalau enggak?Tapi lihatlah, pakaian itu pas di tubuh Barra. Kaos pendek putih oversize sesiku, menampakkan otot lengan yang kekar. Ternyata waktu berlalu. Barra yang dikenalnya dulu, jauh berbeda. Termasuk proporsi badannya. Pria ini, pasti banyak berolahraga. Otot liatnya tercetak bagus. Urat tangannya menyembul dengan jemari panjang lentiknya. Tangannya saja kalah lentik dengan milik Barra. Tangannya mungil, agak bantet dikit. Tanpa sengaja Kalea melebarkan jemarinya. Membandingkan dengan milik Barra. Pandangannya j
Karna kesalnya, Kalea tidak mempedulikan bagaimana Barra pulang. Dia bahkan mengabaikan Barra yang ternyata mengikuti di belakangnya. Salah sendiri, gak peka. Seharusnya kalau memang gak tahu jalan, kan bisa bangunin dia. Bukan malah diem-diem menyesatkan. Terus, harusnya dia juga inisiatif nelpon siapa kek. Emangnya supirnya tadi gak merasa kehilangan bossnya? Aneh banget. Jadi cowok kok gak ada inisiatif.Untung saja bajunya sudah kering. Tapi tetap saja dingin. Apalagi malam setelah hujan begini. Ditambah, capek setelah bekerja. Tapi demi bisa cepat pulang, dia terpaksa menahan semuanya. Masuk ke gang, Kalea sedikit melirik ke belakang. Masih ada derap langkah Barra. Berarti Barra mengikutinya? Kalea mengela napas. Baiklah. Dia coba lihat sampai depan kosan. Apa Barra masih akan mengikutinya? Daripada dia salah omong lagi, dan dikatai kepedean.Ternyata benar. Barra masih di belakangnya. Kalea mengela napas. Mengurungkan niat membuka pagar.Ga
Halte.Kalea memandang lekat akun rekening online-nya. Sejumlah nominal tertulis disana. Helaan napas berat terembus. Memejamkan mata, seraya menyandarkan kepala di dinding halte. "Gue benci lo! gara-gara lo mama gue terbuang! Gara-gara mama lo hidup gue hancur! Papa jadi miskin gara-gara milih mama sialan lo itu!"Kalimat Alfin terus terngiang-ngiang di kepalanya. Dia bisa merasakan betapa hancurnya Alfin. Korban keegoisan para orang tua. Sama seperti dirinya. Hanya saja, dirinya memilih menjauh dari sumber rasa sakit. Sedangkan Alfin, mungkin dia tidak ada pilihan. Sehingga dia merasa hanya dirinyalah yang menjadi korban disana. Jujur, dia ingin menyahut sama kerasnya dengan teriakan Alfin padanya. Bahwa bukan cuma Alfin yang terluka. Tapi dia juga! Bukan cuma Alfin yang kehilangan fasilitas hidup nyamannya. Tapi dia juga! Bukan cuma Alfin yang sengsara!Tapi ... Dia tak tega. Alfin jauh lebih muda darinya.Masih dalam posisi yang sama. Kal
"Kal, lo baik-baik aja?" Kevin yang sedari tadi melihat Kalea bolak balik komputer dan mesin print menatap prihatin. Apalagi, dilihatnya gadis itu suram. Tak seperti biasanya. Kalea hanya mengangguk. Sesekali mendekat ke komputer. Memeriksa jika ada tulisan yang salah. Ayolah, dia harus profesional, bukan? Jangan sampai karna mementingkan egonya, dia malah menganggu kinerja Barra. "Perlu gue bantu?" tawar Kevin."Gak usah, Vin. Bentar lagi juga beres, kok," sahut Kalea, dengan tanpa mengalihkan netranya dari layar komputer. Sesekali membenarkan kacamata bacanya yang melorot."Kalau gitu gue print-kan?""Gak usah, Vin. Thanks.""Gak papa, Kal. Sini." Kevin merebut flashdisk dari tangan Kalea. Dan gadis itu mengela napas pasrah. Baiklah, mungkin dia bisa istirahat sejenak sebelum kembali berhadapan dengan Barra. Netranya menatap Kevin yang tengah sibuk dengan printer. Menata kertas yang keluar, dan memberinya klip."Thanks, Vin," ucap Kalea
"Mbak Kalea!"Langkah Kalea terhenti. Terkejut mendapati siapa yang memanggilnya. Alfin."Ngapain kamu disini, Fin?"Alfin, adik tirinya itu bisa berada di halaman kantornya. "Mbak, aku mau ngomong." Alfin memegang tangannya. Tapi langsung Kalea tepis."Disini aja.""Gak, mbak. Banyak orang.""Gue keburu telat, Fin.""Tapi ini penting." Alfin kembali memegang tangannya sebelum dia sempat protes lagi. Dan menarik paksa ke parkiran yang lebih sepi."Lo apain mama?" Sorot Alfin berubah tajam. Bahkan tak ada panggilan sopan seperti tadi. "Lah, gue gak ngapa-ngapain," tukas Kalea, mengusap tangannya yang memerah. Cukup kuat Alfin menarik tangannya tadi."Halah! Jangan bohong. Lo marahin mama kan? Ngehina-hina mama?" Sinis Alfin. Kalea menatapnya aneh. Dia memang tidak dekat dengan Alfin. Bertemu juga cuma beberapa kali. Tapi, biasanya Alfin tidak sekasar itu bicara dengannya."Lo ngomong apa sih, Fi
Sejak dirinya lahir ke dunia, menjadi bagian dari sesaknya dunia, hingga usia remaja, Kalea rasa, dirinya adalah manusia yang beruntung. Punya orang tua yang harmonis dan melimpahinya dengan kasih sayang. Papanya yang penuh perhatian dan selalu menyempatkan waktu untuk keluarga. Dan mamanya yang selalu ada untuknya. Semuanya sempurna. Ditambah dengan tetangga sebelah yang juga sangat baik. Apalagi, putra pertama si tetangga yang gak cuma tampan, tapi juga baik hati. Yang selalu sedia menjadi sosok yang baik untuk dirinya yang semata wayang. Mungkin, satu-satunya pengganggu dimasa kecilnya hanyalah Elbarra, putra kedua si tetangga. Yang entah kenapa seperti punya dendam padanya. Kalau gak jahil, ya bikin dirinya nangis. Untung saja abangnya Barra malah sering belain dia dibanding si Elbarra nakal.Masa kecilnya benar-benar sempurna. Menjadi kesayangan keluarga, menjadi adik sekaligus anak perempuan di kelurga tetangga. Ah, indah sekali masa-masa itu.Entah apakah ad