"Bar ..." Suara Kalea kembali bergetar. Dan Barra paham, apa penyebabnya.
Dengan hembusan pelan, Barra menarik pandangannya kembali."Gue kemarin pijat."Kalea terperangah, menatap Barra sendu. Menelan salivanya kasar."T-terus, kenapa lo jemput gue, kalau lo lagi sakit?"Sesak dadanya, mengingat Barra sedang sakit karna dirinya, dan Barra malah nekat menjemputnya. Dan sekarang, cowok itu terbaring lemah."Gue keinget lo," tukas Barra tanpa menatap gadis itu.Gimana enggak, dia yang meminta Raka untuk membawa gadis itu ke sekolah. Tapi Raka justru pulang sendiri. Gimana dia gak kepikiran? Tapi Barra gak mungkin menjabarkan alasannya. Cukup dia yang tahu.Grep!Barra mematung. Kalea memeluknya. Suara isakan gadis itu terdengar."Gue jahat ya, Bar. Gue gak tahu kalau lo sakit. Bahkan gue bukannya peka malah nyari kesenangan sendiri. Padahal, harusnya gue sadar sejak kemarin. Tapi gue malah abai."Kalea menggeliat pelan. Meraba sampingnya mencari boneka. Tapi, kok gak ada? Ah, baru inget. Dia kan tidur di kamarnya Barra.Kalea perlahan membuka matanya dengan sisa-sisa kantuk yang masih ada."Eung ...." lenguhnya, menguap lebar. "Loh, Barra mana?" gumamnya, mengedarkan pandangan ke penjuru kamar.Meski tak mendapati Barra, tapi Kalea gak lantas panik. Apa yang dia khawatirkan? Ini kan rumah Barra. Gak mungkin cowok itu ilang.Kalea justru memeluk bantal, matanya menyipit. Masih ngantuk, dan malas bangun. Memang, godaan paling kuat yang gak bisa sembarang diabaikan itu ya kasur. Enak banget rebahan. Apalagi, di jam sekolah begini. Ternyata, bolos itu enak juga. Pantesan, kadang Barra bandel. Melipir gak masuk kelas."Barra mana sih? Gak balik-balik?" gumamnya. Beringsut bangun, badannya mulai pegal."Bar .... Barra? Lo dimana?" panggilnya, mencari di luar. Kalea melongok ke dapur, tapi Barra tak ada. Di ruang tengah, ruang t
Sampai di parkiran, Sena melepas hemnya."Lo sama Bar -- eh kampret! Gue ditinggalin gitu aja tanpa ngucapin terimakasih," omel Sena. Kalea ngeloyor begitu saja tanpa basa basi dengannya. Helmnya saja cuma di taruh sembarang, dan Sena yang harus meletakkan di tempatnya."Lama-lama pusing gue sama mereka berdua. Salah gue sih, merelakan diri jadi samsak," gerutunya lagi. Melangkah tak berdaya.Brak!Kalea meletakkan kasar tasnya ke meja. Untung saja Gita belum datang. Kalau sudah, mungkin Gita sudah mengumpatinya."Woy, Barra! Muncul juga lo. Kemana lo kemarin, gak ada kabar?"Kalea mengambil bukunya. Membuka lembar asal. Sebenarnya dia gak ada niat baca buku. Tapi karna dia tahu ada Barra di belakang, dia jadi berpura-pura menyibukkan diri."Kal,"Apa-apaan Barra? Kenapa malah menghampirinya.Tapi Kalea tak peduli. Mengabaikan panggilan Barra."Gue minta maaf, Kal."Kalea merolingkan bola matany
Kantin.Gita meneguk es jeruknya. Kembali melahap bakso pedasnya. Meski berakhir dengan mendesis heboh gara-gara kepedesan. Menyeka keringat di dahinya, juga hidung dan matanya yang ikut bereaksi.Berbeda dengan Gita, Kalea lebih santai. Dia memang cenderung terlihat biasa saja meski sedang kepedasan sekalipun. Mengunyah santai bakso berkuah merah cabai."Haaahhhh! Gue nyerah."Gita menyudahi makannya. Padahal itu juga karna bulatan bakso di mangkuknya tinggal kuah. Ngacir ke ibu kantin minta tambahan es segelas lagi.Sementara tatapan Kalea tertuju pada meja seberang. Ekspresinya datar, tapi terbesit kesal."Wih, Kim kayaknya mulai agresif tuh. Dari tadi deketin Barra mulu," ujar Gita, tahu arah pandang Kalea. Setengah memancing. Dia keinget ucapan Sena tadi pagi. "Lo tahu, Kal, pas lo gak berangkat kemarin, Kim ke kelas. Dan tahu yang dicarinya siapa? Si Barra. Gue langsung what? Ngapain Kim nyariin Barra. Secara, habis kejadia
"Bar," tepukan pelan mendarat di pundak Barra.Barra melirik tipis. Kembali fokus pada jalanan."Boleh minta tolong mampir ke toko buku, enggak?" suara Kimberly lebih keras.Barra mengangkat tangan sebelahnya. Mengacungkan jempol.Tepat dua ratus meter, dia membelokkan motornya ke toko buku. Memarkirkan motornya ke parkiran."Sory, gue ngerepotin, Bar.""Hmm. Santai aja," Barra melepas helmnya."Ayo," ajaknya. Berjalan lebih dulu. Tapi, tiga langkah dia menoleh. Mengerutkan dahi mendapati Kim masih berdiri di tempatnya. Memegang tali helmnya."Bar, sory. Gue gak bisa bukanya," cicitnya pelan.Barra mengela napas pelan. Berbalik dan berhenti di depan Kim. Melepaskan tali helm Kim."Thanks, Bar. Gue belum pernah naik motor. Jadi gak tahu caranya ngelepas helm."Barra mengangguk. Tanpa ekspresi. Langsung kembali melanjutkan langkahnya..."Sejak kecil papa selalu biasain gue baca buku. Jadi
Tak mau kecolongan seperti kemarin, Barra datang lebih pagi ke rumah Kalea. Dan, seperti yang di duga, Kalea yang bahkan mandi saja belum mengomeli cowok itu."Nyemil dulu, Barra. Tante goreng pisang nih. Kebetulan ada yang mateng," mama Kalea meletakkan sepiring pisang goreng hangat ke depannya.Barra mengangkat wajahnya. Tak ada senyum di bibirnya. Hanya raut datar ketusnya. "Kalea bangun kesiangan tuh. Katanya capek, kemarin habis dorong motor."Barulah atensi Barra teralih. Kalea dorong motor? Apa karna itu Kalea tidak membalas pesannya. Dia kecapek an?Tak berapa lama, Heru, papa Kalea turun. Mengajak ngobrol Barra. "Loh, gak berangkat kerja, Ma?" tanya Heru, mendapati istrinya masih memakai pakaian rumahan, ikut menyiapkan menu sarapan dengan bi Lis. Padahal biasanya jam segini istrinya sudah siap."Enggak, Pa. Mama izin.""Gak enak badan?""Enggak. Kangen nyiapin makanan buat papa sama Kalea."S
"Oke. Jadi miss aja yang bagi kelompoknya ya?""Siap, Miss.""Semoga gue sama Barra," harap Gita, menangkupkan tangannya berdoa. Kalea meliriknya, tertawa kecil."Ih, malah diketawain. Aminin dong.""Iya, amiinn Gita. Semoga lo sekelompok sama dia."Gita tersenyum lebar. Menaruh perhatian pada Jini yang sedang membacakan pembagian kelompok.Wajah Gita tegang. Melihatnya, Kalea menahan tawa. Lagian, apa enaknya sekelompok sama Barra? Yang ada malah ngerjain sendiri. Ditinggal tidur."Septa dan Ria. Natalie dan Reyhan. Terus .... Gita sama Sena."Seketika Gita manyun. Melirik sinis Sena yang juga tengah menatap ke arahnya."Ish! Kok Sena sih.""Sabar Git. Lagian Sena juga ser--""Kalea sama Elbarra."Kalea seketika cengo. Tatapannya beralih ke Barra. Yang ditatapnya memasang wajah cuek tak merasa."Tuh, kan, elo sama Barra. Hiks.""Ck. Gantian aja kali, ya." Kayaknya Jini sengaja memasangka
Diakui atau tidak, tapi perlahan Kalea tidak terlalu obsesi dengan Raka lagi. Dia memang masih menyukai Raka, tapi tidak lagi cemburu saat melihat Raka dengan Jini. Karna dia percaya, Raka dan Jini hanya sebatas teman. Ucapan Jini saat hari ulang tahunnya malam itu menenangkannya. Dia malah menganggap Jini seperti kakaknya sendiri. Tak jarang dia bertukar pesan dengan Jini. Dengan tema yang bisa tebak. Yups, apalagi kalau bukan tentang Raka. Tapi, ya itu, dia tidak seobses dulu."Woy! Gantian dong nulisnya," kesal melihat Barra yang malah diam, melamun, bukannya membantu mengerjakan tugas kelompok."Ntar. Masih sedikit juga, kan?" sahut Barra, bergerak malas."Dikit gundulmu! Gue udah dapat dua halaman, Barra!" sungut Kalea.Barra hanya melirik sekilas. Lanjut melamun."Barra! Ish!"Barra menggumam. Mengambil kertas karton seukuran hvs."Gue bikin covernya. Lo terusin nulisnya. Ntar sisain buat gue," tugasnya, mengambil peralatan gambar."Na
Percaya dengan istilah gajah di depan mata tidak kelihatan, tapi semut di seberang laut malah terlihat jelas? Nyatanya, kadang kita tak pernah sadar dengan sesuatu yang dekat karna lebih fokus pada hal yang diincar. Meski sesuatu itu lebih besar dan nyata, tetap kalah jika mata enggan menganggapnya ada. Memang tidak pas dengan penafsiran istilah diatas, tapi dengan sudut pandang berbeda. Waktu tak terasa berlalu, Raka dan Jini telah menyelesaikan penelitiannya. Bahkan perpisahan sudah dilakukan sejak seminggu yang lalu. Keduanya sudah kembali ke kampus untuk menyelesaikan tahap selanjutnya dengan bahan yang di dapat dari penelitian. Kalea sedih? Jelas. Tapi dia tak perlu khawatir. Dia punya Jini untuk menanyakan keseharian Raka, berbagi daily life nya, atau sekedar mengirim pap. Jini menggodanya, tapi Kalea meminta agar Jini merahasiakan perasaannya. Jini tertawa, dan dia berjanji akan merahasiakannya. "Gue lihat Kim makin t
"Baru juga jadi sekretaris pak Barra belum ada berapa minggu, udah berulah aja. Dih."Tahan, Kal. Tahan. Bukannya dari kemarin sudah banyak lontaran kalimat kejam yang ditujukan padanya. Gara-gara gosip sialan uang mudah banget menyebar.Okey! Kupingnya kebal."Bener. Berani banget godain pak Barra. Pasti ngincer hartanya tuh. Secara, dia kan miskin."Mengabaikan, Kalea mempercepat langkahnya. Masuk ke lift. Omongan orang memang kejam. Dan rasanya percuma juga dia membela diri. Gak ada yang percaya."Tunggu!"Pintu ditahan dari luar. Gak jadi tertutup. Seorang pemuda menyusul masuk. Melempar senyum pada Kalea."Maaf, boleh bareng?" pintanya sopan."Hmm. Silakan."Pemuda itu kembali tersenyum. Mengambil tempat di samping Kalea.Lift kembali menutup. Setelah pemuda itu menekankan tombol tujuan mereka, yang ternyata sama.Kalea sadar, pemuda itu menatap ke arahnya. Tapi dia pura-pura tidak tahu. Lagian,
Kevin ... Menatap dua manusia berbeda jenis kelamin itu dengan tatapan syok. Apalagi, setelah melihat penampilan sang boss yang berantakan."Ma-maaf ... Saya tidak sengaja lewat."Kevin buru-buru pergi.Tidak! Kevin bisa salah sangka."Kevin, tunggu!"Kaleaberanjak, hendak mengejar Kevin. Jangan sampai Kevin salah sangka, yang akibatnya gosip bisa menyebar.Tapi, tangannya ditahan."Mau kemana, kamu!" Barra menyorotnya galak."Itu ... Gue harus jelasin ke Kevin. Dia pasti salah paham." Saking paniknya Kalea, sampai dia lupa dengan penggunakan kata formalnya."Tidak perlu," ketus Barra.Kalea cengo. "Hah? Tap ... Tapi kan ...." menunjuk Kevin. Maksudnya, bukankah seharusnya dia mencegah kecurigaan Kevin? Sebelum menyebar ke yang lainnya, dan menjadi gosip dadakan."Tidak perlu. Urusanmu dengan saya lebih penting."Urusan? Apa?"Kamu harus bertanggung jawab.""Hah?!"..Kalea menatap layar p
Cukup lama Kalea bersemedi di kamar mandi. Perutnya benar-benar mulas. Rasanya seperti diremas-remas. Baru dia keluar dari kamar mandi, perutnya kembali melilit. Jadilah dia keluar masuk kamar mandi, sampai pegal rasanya. "Sialan! Kenapa gue bisa kelupaan sih, tadi. Aish!" gerutunya, meringis, sembari meremat perutnya.Sudah lumayan. Hanya saja, tubuhnya jadi lemas kehabisan tenaga. Langkahnya gontai kembali ke meja kerjanya. Lupa kalau dia tadi ninggalin Barra di mobil."Loh, udah balik, Kal?" sambut Kevin dengan binar cerahnya."Udah," sahut Kalea lemas. Menyandar ke kursi."Oke. Thanks," Kevin menyambar berkas di mejanya. Melangkah cepat penuh semangat. Melihatnya, Kalea menatap heran."Semangat banget dia," gumamnya, berkomentar."Siapa? Oh, Kevin? Jelas dong. Dia dikasih proyek sama pak Barra. Dan kalau berhasil, dia dijanjiin bonus gajinya dinaikin," jelas Hana, menyahut. Masih dengan fokus ke komputer. Mengaudit data atau entahlah."Pantesan, semangat banget.""Hem. Dia dari t
"Ah? Haha. Anda benar, pak Barra."Pria bernama Surya itu melirik Kalea. "Tapi, rasanya tidak masalah kalau mengajak kenalan sekretaris anda.""Kalau begitu lanjutkan saja perkenalan kalian. Kita batalkan kerjasamanya.""Eh? Jangan pak Barra! Maaf, saya hanya bercanda. Mari kita bahas baik-baik." Raut Surya yang semula penuh senyuman menggoda berubah serius. Dia tahu, kalimat calon partnernya itu mengandung maksud ketidaksukaan atas sikapnya. Daripada kerjasama malah gagal.Nyatanya bukan cuma Surya yang terkejut dengan ucapan Barra barusan, Kalea juga sama terkejutnya. Barra berbeda dengan pak Prayit yang terkesan hati-hati dan menjaga perasaan calon rekan kerjanya. Barra sama sekali tidak suka dengan basa basi. Tapi, apa itu gak bahaya? Apa gak terkesan frontal?Seperti takut dengan ancaman Barra, Surya berubah serius. Fokus membahas pekerjaan. Wajar saja sih, perusahaan pak Surya masih di bawah perusahaan Barra. Mau melawan tidak ada kuasa. Kale
"Dia inget gue gak sih?"Memikirkan sikap Barra sejak pertemuan pertama, nyatanya membuat Kalea bertanya-tanya. Sikap Barra membuatnya kembali ragu. "Tapi, perasaan dia sama sekali gak menyinggung apa-apa deh. Seenggaknya, minimal nanyain kabar kek, atau apa. Lah, ini boro-boro. Lagaknya kayak boss beneran deh. Kesannya bukan lagi sombong, tapi ... kayak gak kenal deh," gumamnya lagi, mengerutkan dahi. Menepis keraguannya sendiri.Banyak hal yang dia lewatkan selama ini. Dia benar-benar lari dari kehidupan kelam di masa lalunya itu. Saking kencangnya dia lari, sampai kadang batu sandungan pun gak dia pedulikan. Lukanya akibat terjatuh, gak seberapa sakit dibandingkan dia memilih berhenti, yang akibatnya akan membuatnya menoleh.Tangannya bergerak di tengah otaknya yang masih melamun. Mengetik nama akun yang terlintas di otaknya. Tak butuh berapa detik, muncul akun seperti yang dia tujukan. Sayangnya, gak sesuai harapan."Ck. Update terak
Tok! Tok!"Hmm. Masuk."Dengan kertas di tangan kirinya, Kalea mendorong pintu. Yang langsung di suguhi tatapan tajam Barra."Untuk kali ini kamu beruntung. Kurang lima menit. Lain kali saya tidak akan mentolerir keterlambatanmu," tegas pria tersebut. Dan tanpa menunggu Kalea sempat menarik napas, Barra sudah berjalan melewati gadis itu. Dan pastinya mau tak mau Kalea mengikutinya. Berkas yang dia bawa adalah bahan untuk rapat. Dia belum sempat mendapat jadwal resmi pria itu. Karna memang dia baru tahu penugasan barunya kemarin. Itupun dia langsung disuruh bersih-bersih. Matanya berat sekali, ya Tuhaaan. Kalau boleh, ingin rasanya dia rebahan sebentar. Suasana rapat yang terlalu tegang dan serius itu membuat kantuknya menjadi. Entah berapa kali matanya tiba-tiba memejam tanpa sadar. Sampai notebooknya penuh coretan. Gadis itu menggeleng kuat. Tidak. Dia gak boleh tertidur. Bagaimanapun juga, tugasnya mencatat apa saja yang penting. Bisa kena semp
"Kusut amat muka. Udah ketemu sama pak direktur baru kan?" Kalea mendengkus keras. Melempar badannya ke salah satu sofa kontrakan mereka."Gimana, Kal? Ganteng, kan? Gue bilang juga apa. Aaaish! Enak jadi elo. Bisa tiap hari ketemu. Bebas mandangin wajah tampannya. Aaaa ... Pengen deh."Kalea mendesis sinis. "Ganteng apanya? Gitu doang. Biasa aja.""Eee ... Kayaknya mata lo perlu operasi geh, Kal."Kalea merotasikan bola matanya, malas."Pak Barra tuh, gimana ya ... Eeum ... Perfect banget deh pokoknya.""Serah deh. Dia emang si paling sempurna," ketus Kalea, seraya beranjak. "Gue mandi duluan.""Yee ... Malah pergi," gerutu Ella. "Jangan lama-lama," tambahnya, berteriak. Tapi Kalea sudah menghilang di balik tembok."Coba gue aja yang jadi sekretaris pak Barra. Beruntung banget gue. Kalea emang aneh. Dikasih anugerah malam asem banget tuh muka." Gadis itu menyusul masuk ke dalam, setelah sebelumnya menutup pintu terlebih dahu
Meski mulut menggerutu penuh hujatan pada sang boss, tetap saja gadis itu melakukannya. Lagian, mana bisa dia nolak. Yang ada malah dirinya dipecat nanti. Yang sama artinya, dirinya juga yang rugi. Terpaksa. Dirinya masih membutuhkan pekerjaan ini untuk menghidupi dirinya.Kalea mengusap dahinya yang dibanjiri peluh. Basah."Huft ... Akhirnya selesai juga," tukasnya, mendesah lega. Melirik jam tangannya, ternyata masih ada waktu sebelum jam makan siang."Ternyata gue cekatan juga. Hebat. Bisa selesai cepet. Haha," pujinya, membanggakan diri."Haahh ... Capek juga ternyata. Gerah juga. Emm ... Enaknya ngadem dulu aja, ah. Lagian Barra sialan itu lagi di luar juga. Palingan juga dia datengnya molor. Daripada gue langsung keluar, ntar malah ketemu dia, dikasih kerjaan tambahan lagi. Cih! Ogah banget," ujarnya setengah menggerutu.Dan benar, gadis itu mewujudkan omongannya. Dengan santai tanpa dosa merebahkan diri di sofa. Menikmati hembusan AC ya
"Bodoh."Deg.Setelah sekian lama tidak mendengar desisan kasar itu, kali ini telinganya kembali mendengar. Meski lirih.Eh, tapi apakah telinganya benar mendengar desisan itu? Atau hanya sekedar imajinasi alam bawah sadar? Karna nyatanya bibir pria yang menangkapnya itu terkatup rapat dengan ekspresi datar tanpa reaksi."Pak Barra"Demi mendengar panggilan pak Prayit pada pria itu, seketika menyadarkan Kalea dari lamunanya. Gadis itu tergesa melepaskan diri, tapi sialnya, justru membuatnya jatuh terjerembab di lantai."Aa ... Awh!" pekik Kalea, meringis kesakitan. Iya sih, tadi pantatnya sempat gagal landing ke lantai. Tapi sekarang justru dia sendiri yang mewujudkannya. Sukses menghantam lantai, yang menimbulkan nyeri di pantat.Sementara pria yang menangkapnya tadi, melenggang santai melangkahi kakinya yang membujur. Tanpa dosa. Kalea menatapnya penuh rasa kesal. Ah! Sialan! Kenapa pula dia malah melamun tadi."Aku kir