"Naik."
Kalea tersadar dari lamunannya. Melihat Barra berjongkok."Naik mana?" tanyanya, bingung."Pundak. Cepat. Gak mau kena hukuman, kan?""Iya sih. Tapi ....""Gak ada waktu, Kalea. Cepat, naik."Kalea bergerak ragu. Perlahan mengangkat kakinya. Tapi dia gak tega, menginjak pundak Barra. Apa gak sakit?"Aish! Lea, lama."Barra bergerak mengangkat tubuh kecil Kalea."Barra!" pekiknya, terkejut. Juga takut."Pegangan tembok atas," intruksi Barra."Cepat, Kalea."Gadis itu mencengkram puncak tembok dengan rasa takutnya."Tahan berat tubuhmu sebentar.""Aaa ... Barra!" Kalea memekik. Karna tiba-tiba Barra melepas tubuhnya."Injak pundak gue, Kal."Karna sudah diambang takutnya, Kalea menginjak pundak Barra gak kira-kira. Tentu saja Barra meringis kesakitan."Ish! Pelan-pelan," omel Barra.Setelah merasakan ketenangan gadis itu, Barra perlahan berdiri."Angkat kaki Lo, naikkan ke tSesuai dugaannya, sekolah dihebohkan dengan kedatangan guru muda. Tepatnya guru sementara selama masa penelitian. Siapa yang gak bakal heboh, kalau gurunya setampan Raka? Masih muda, tampan, dan ramah. Dan harusnya Kalea termasuk bagian dari yang heboh itu. Tapi, perasaannya lain. Perasaan bersalah membuatnya kehilangan semangat. Bahkan, dia abai bahwa ada satu lagi guru peneliti yang bersama Raka. Dan dia seorang perempuan. Pikiran Kalea terfokus pada Barra.Selama jam sekolah, Barra sama sekali gak muncul. Dia hanya menitipkan sepatunya lewat Sena, temannya. Sena pun gak tahu dimana Barra. Cowok itu hanya menitipkan sepatu, lalu pergi.Saat pulang pun, Barra gak muncul. Kalea mencoba mengecek di rumah yang dititipi motor tadi. Tapi orang itu bilang, Barra sudah pergi sejak tadi pagi. Berarti setelah menitipkan sepatu, Barra langsung pergi.Langkah Kalea lunglai. Pasti Barra kesakitan. Dan jahatnya dia, malah ninggalin Barra sendirian, demi egonya yang takut terlambat. Jahat. Dia mem
Melihat kebingungan Kalea, Barra menggeleng. "Jangan bilang lo tinggal di luar?"Kalea meringis. Sayangnya, itu benar."Ayo, ke bawah," ajak Barra. Kalea mengikuti Barra yang melangkah lebih dulu.Dan ternyata benar, Sena duduk melamun di kursi teras."Kayak orang ilang lo, Sen."Sena sontak menoleh. Tertawa lebar. "Sialan, lo!"Barra duduk di kursi sebelah Sena. Memberi isyarat agar Kalea duduk kursi kosong sebelah."Lo apain gadis orang, Yan. Sampek nangis gitu," ujar Sena, melirik Kalea dengan senyum menggoda Barra."Ih, siapa yang nangis? Enggak tuh," elak Kalea."Yang bener? Gue yakin, Kalea nangis kan, pas di kamar lo? Lihat aja tuh, matanya sembab."Kalea melotot. Kalau saja dekat, sudah dia timpuk lengan Sena.Barra tertawa kecil. "Gak gue apa-apain aja dia nangis, apalagi gue apa-apa--- Aw! Kal?" Barra meringis, menatap gadis sebelahnya dengan tatapan memelas. Memegang lengannya yang mendapat cubitan dari Kalea. "Makanya, ngomong itu yang bener.""Bercanda, Kalea.""Apaan g
Kalea menunggu di teras. Tumben, jam segini Barra belum muncul. Apa dia samperin aja di rumahnya?Namun baru beberapa langkah, terdengar deru motor dari rumah samping. Kalea menoleh. Memandangi laju motor itu sampai berhenti di depan gerbang rumahnya."Bareng aku, Kal"Kalea menelan salivanya. Raka."Barra mana, Bang?" tanyanya, mengalihkan kegugupannya."Barra gak berangkat.""Sakit?" seketika timbul rasa khawatirnya. Gimana pun juga, dia masih terngiang-ngiang dengan kejadian kemarin. Kalau Barra sakit, berarti penyebabnya adalah dirinya."Enggak. Diajak paksa sama mama. Nenek kangen bocilnya," jelas Raka, terkekeh kecil.Kalea mengela napas lega. Dia kira, Barra kenapa-napa."Emang gak papa, bareng bang Raka?" tanyanya ragu."Enggak. Memangnya siapa yang melarang?""Hehe, kirain."Dia menaiki boncengan belakang. "Siap?"Kalea mengangguk. Dan Raka melajukan motornya...Seperti yang dia
Hari ini rasanya lebih menyebalkan dari hari-hari kemarin. Kalea pikir, dengan magang Raka di sekolahnya, akan memberinya waktu lebih banyak dengan pemuda itu. Nyatanya, dia malah dibakar cemburu gara-gara ternyata ada cewek lain. Belum ada konfirmasi sih, apa hubungan Raka dengan perempuan itu. Tapi melihat mereka dekat setiap saat, dadanya gemuruh menahan cemburu. Bahkan, meski tadi Jini masuk kelasnya, Kalea sama sekali gak berminat menanggapi pelajarannya. Menjawabi pertanyaan yang dilontarkan padanya dengan ketus. Saat pulang sekolah, Kalea gegas pulang, tanpa menghampiri Raka terlebih dahulu. Dia sedang sakit hati. "Kal, kok jalan?"Lagi-lagi Sena. Kalea tak menjawab. Moodnya berantakan."Lah, lo kan tadi berangkat sama pak Raka. Emangnya pulangnya gak bareng?""Lagi sibuk. Males ganggu.""Oh, gitu. Ya udah, gue anter aja.""Males. Sana, duluan.""Heey, mana ada. Rumah lo jauh, Kalea. Gempor tuh kaki lo ajak jalan.""Biarin."
Baru jam setengah tujuh Kalea sudah sibuk di kamarnya. Padahal, dia sudah memilah baju dari sepulang sekolah tadi. Bahkan, tadinya sudah nemu baju yang cocok. Giliran sekarang malah uring-uringan karna merasa gak ada baju yang cocok."Aish! Baju gue jelek semua sih," omelnya. Menatap kesal pada tumpukan pakaian berantakan di atas kasurnya."Apa gue beli aja dulu kali ya? Eh, tapi udah jam segini, gak mungkin keburu."Kalea benar-benar dibuat frustasi hanya karna gak nemu pakaian yang cocok. "Kalea! Ada bang Raka nih," panggilan dari mamanya.Kalea terkejut. Loh? Memangnya jam berapa? Kok bang Raka sudah menjemputnya?"Astaga, Kalea! Udah jam setengah delapan! Pantesan!" pekiknya, kelimpungan sendiri. Satu jam dia cuma memilah baju, itupun menurutnya gak ada yang pantes sama sekali di tubuhnya.Dan akhirnya, karna terburu-buru, dia mengambil asal. Memoles wajahnya dengan polesan biasa, hanya menambahkan bubuhan lipstik lebih
"Happy birthday, Kalea. Selamat ulang tahun adik kecilku."Kalea langsung memeluk Raka. Air matanya tumpah juga. Dia bahagia. Bahagia sekali. Karna banyak pikiran seharian ini, dia lupa kalau ulang tahun. Di tambah, mama papanya juga tidak mengirim ucapan apa-apa. Dan, saat Raka mengatakan akan memberinya surprise juga dia gak ngeh. Pikirannya tadi sedang dilanda cemburu."Hey, nangisnya nanti lagi ya. Sekarang ditiup lilinnya," ujar Raka tersenyum.Kalea nurut. Melepas pelukannya. "Make a wish dulu, dong," sela Raka, karna melihat Kalea sudah bersiap meniup lilin.Gadis itu tertawa. Lantas menangkupkan tangannya, dan memejamkan mata. Membacakan harapan dalam doanya.Fuuh!Lilin padam. "Makasih, Bang Raka," ucapnya dengan senyum lebar. Raka mengangguk."Gak ngambek lagi, kan?"Kalea tertawa, menggeleng."Oke, yuk. Duduk dulu. Potong kuenya disana," ujar Raka, mengambil kue dari tangan karyawan.Lantai dua ben
Mendorong pintu kamarnya, senyum Kalea tak bisa dibendung lagi."Aaaa ...." histerinya, membanting tubuhnya di ranjang, tengkurap. Memukul-mukul bantal bantal tak bersalahnya. Dalam sekejap posisinya berubah telentang. Menyipitkan sebelah matanya dan membentuk love dengan tangannya."Aaa .... Bang Raka, gemesh!" Kembali memukul-mukul kakinya sembarang, beradu dengan empuknya kasur.Kebayang semua cerita Jini tentang bagaimana Raka memprioritaskan dirinya selama ini. Gimana dia gak melayang?Kalea meraih ponsel. Membuka galeri, memandang setiap fotonya dengan Raka tadi dengan ulasan senyum yang enggan sirna dari bibirnya. Betah sekali menyunggingkannya.Dengan cepat jemarinya meng-upload foto itu ke semua sosial medianya. Tak lupa menandai Raka."Sweet seventeen. Thanks bang Raka, surprisenya."Pasti teman-temannya bakal heboh melihat statusnya. Membayangkan hebohnya mereka saja membuat kupu-kupu beterbangan di perutnya. Bergu
"Bar ..." Suara Kalea kembali bergetar. Dan Barra paham, apa penyebabnya.Dengan hembusan pelan, Barra menarik pandangannya kembali. "Gue kemarin pijat."Kalea terperangah, menatap Barra sendu. Menelan salivanya kasar."T-terus, kenapa lo jemput gue, kalau lo lagi sakit?"Sesak dadanya, mengingat Barra sedang sakit karna dirinya, dan Barra malah nekat menjemputnya. Dan sekarang, cowok itu terbaring lemah."Gue keinget lo," tukas Barra tanpa menatap gadis itu.Gimana enggak, dia yang meminta Raka untuk membawa gadis itu ke sekolah. Tapi Raka justru pulang sendiri. Gimana dia gak kepikiran? Tapi Barra gak mungkin menjabarkan alasannya. Cukup dia yang tahu.Grep!Barra mematung. Kalea memeluknya. Suara isakan gadis itu terdengar."Gue jahat ya, Bar. Gue gak tahu kalau lo sakit. Bahkan gue bukannya peka malah nyari kesenangan sendiri. Padahal, harusnya gue sadar sejak kemarin. Tapi gue malah abai."
"Ganti disini saja," tukas Barra saat dirinya mendekat. Pria itu tampak sibuk dengan ponselnya. Sampai melihat ke arahnya saja enggan. Namun, reaksi yang didapatnya justru lain. Barra menatapnya tajam dengan mata menyipit. Dengkusan lirih terdengar. Tanpa kata, pria itu beranjak dari duduknya, mengabaikan Kalea yang bingung dengan reaksi pria tersebut. "Emang jelek banget, ya?" Kalea bermonolog. Menatap penampilannya sendiri. Ya wajar saja. Dia ambil baju termurah disini. Apa yang diharapkan? "Coba ini." Barra menyodorkan gaun ke arahnya. Gaun cantik yang sebenarnya dia incar. Tapi urung karna harganya di luar nalar. "Tapi ini mahal, pak. Gaji saya kurang." "Memang apa urusannya dengan gajimu? Cepat, dicoba sana." Kalea menerimanya ragu. Dia masih bimbang. Tapi akhirnya dia kembali ke ruang ganti. Dengan membawa gaun tersebut. Menatap nanar bandrol harga di gaun itu. Lima puluh juta. Yang
"Aaahh ... Akhirnya selesai juga," Kalea merentangkan tangan, memutar pelan lehernya ke kanan dan kiri. Lantas mematikan laptop dan bersiap-siap untuk pulang. Kalea mengerling pandang ke ruangan sebelah. Belum ada tanda-tanda si boss bakal keluar. Ck. Jangan bilang pemuda itu lembur. Alamat dia juga gagal pulang. Ya kali, dia nekat pulang sementara bossnya saja belum pulang. Huft. Padahal dia sudah beres. Tinggal pulang.Kalea meletakkan dagunya di meja kerja. Membuat bibirnya manyun otomatis. Beberapa saat kemudian ponselnya berdering. Tanda ada panggilan masuk. Dengan malas gadis itu merogoh tasnya. Mengambil ponsel tanpa merubah posisinya. Bahkan menekan tombol hijau dengan gerakan malas. "Halo ...""Jangan langsung pulang."Gadis itu tersentak. Sontak menegakkan tubuhnya, mengangkat wajah. Menjauhkan ponsel demi memastikan siapa yang memanggil. Padahal dia tahu, itu suara Barra."Eoh?" ucapnya, cengo."Tunggu seben
Pagi-pagi, Kalea geger melihat mejanya sudah dihuni karyawan lain."Loh, Miko! ini kan meja gue?" seru Kalea. Menatap tak terima. "Itu kan kemarin, Kal. Sekarang meja gue.""Lah, mana bisa?! Tiba-tiba pindah aja," sungut Kalea, kesal.Hana dan Kevin yang melihat keributan itu hanya menonton. Mereka juga gak tahu tiba-tiba Miko pindah ke meja Kalea. Dia bilang dia dapat perintah."Lah, gue juga cuma disuruh, Kal. Mana mungkin gue main pindah-pindah aja. Yang ada kena SP gue ntar," Miko membela diri.Iya juga sih. Tapi, tetep aja kan ...."Terus, gue dimana, dong?" Kalea mencebik. Harusnya gak tiba-tiba gini dong. Ditambah, perintahnya sepihak. Dia aja gak tahu apa-apa."Ya gue gak tahu, Kal." Miko menggendikkan bahu santai. Kembali merapikan meja yang beralih jadi miliknya itu."Emang yang nyuruh siapa, Mik?" Kevin menimpali. Tatapannya menyelidik. Siapa tahu Miko bohong."Pak Lino. Tadi pagi gue ditelpon beliau, disur
Netranya tertuju pada pemuda yang sedang menikmati makanannya. Nampak lahap, padahal makanan warteg. Kalea memang tadi keluar, membelikan pakaian untuk Barra, sekalian makan. Dia tidak punya uang banyak. Untuk dirinya saja dia berhemat. Jadi dia membelikan seadanya. Bukan pakaian bermerek seperti yang biasa dipakai Barra. Yang penting nyaman dan bisa buat ganti. Mau dipakai syukur, enggak ya terserah. Ah, untung saja masih ada toko yang buka. Coba kalau enggak?Tapi lihatlah, pakaian itu pas di tubuh Barra. Kaos pendek putih oversize sesiku, menampakkan otot lengan yang kekar. Ternyata waktu berlalu. Barra yang dikenalnya dulu, jauh berbeda. Termasuk proporsi badannya. Pria ini, pasti banyak berolahraga. Otot liatnya tercetak bagus. Urat tangannya menyembul dengan jemari panjang lentiknya. Tangannya saja kalah lentik dengan milik Barra. Tangannya mungil, agak bantet dikit. Tanpa sengaja Kalea melebarkan jemarinya. Membandingkan dengan milik Barra. Pandangannya j
Karna kesalnya, Kalea tidak mempedulikan bagaimana Barra pulang. Dia bahkan mengabaikan Barra yang ternyata mengikuti di belakangnya. Salah sendiri, gak peka. Seharusnya kalau memang gak tahu jalan, kan bisa bangunin dia. Bukan malah diem-diem menyesatkan. Terus, harusnya dia juga inisiatif nelpon siapa kek. Emangnya supirnya tadi gak merasa kehilangan bossnya? Aneh banget. Jadi cowok kok gak ada inisiatif.Untung saja bajunya sudah kering. Tapi tetap saja dingin. Apalagi malam setelah hujan begini. Ditambah, capek setelah bekerja. Tapi demi bisa cepat pulang, dia terpaksa menahan semuanya. Masuk ke gang, Kalea sedikit melirik ke belakang. Masih ada derap langkah Barra. Berarti Barra mengikutinya? Kalea mengela napas. Baiklah. Dia coba lihat sampai depan kosan. Apa Barra masih akan mengikutinya? Daripada dia salah omong lagi, dan dikatai kepedean.Ternyata benar. Barra masih di belakangnya. Kalea mengela napas. Mengurungkan niat membuka pagar.Ga
Halte.Kalea memandang lekat akun rekening online-nya. Sejumlah nominal tertulis disana. Helaan napas berat terembus. Memejamkan mata, seraya menyandarkan kepala di dinding halte. "Gue benci lo! gara-gara lo mama gue terbuang! Gara-gara mama lo hidup gue hancur! Papa jadi miskin gara-gara milih mama sialan lo itu!"Kalimat Alfin terus terngiang-ngiang di kepalanya. Dia bisa merasakan betapa hancurnya Alfin. Korban keegoisan para orang tua. Sama seperti dirinya. Hanya saja, dirinya memilih menjauh dari sumber rasa sakit. Sedangkan Alfin, mungkin dia tidak ada pilihan. Sehingga dia merasa hanya dirinyalah yang menjadi korban disana. Jujur, dia ingin menyahut sama kerasnya dengan teriakan Alfin padanya. Bahwa bukan cuma Alfin yang terluka. Tapi dia juga! Bukan cuma Alfin yang kehilangan fasilitas hidup nyamannya. Tapi dia juga! Bukan cuma Alfin yang sengsara!Tapi ... Dia tak tega. Alfin jauh lebih muda darinya.Masih dalam posisi yang sama. Kal
"Kal, lo baik-baik aja?" Kevin yang sedari tadi melihat Kalea bolak balik komputer dan mesin print menatap prihatin. Apalagi, dilihatnya gadis itu suram. Tak seperti biasanya. Kalea hanya mengangguk. Sesekali mendekat ke komputer. Memeriksa jika ada tulisan yang salah. Ayolah, dia harus profesional, bukan? Jangan sampai karna mementingkan egonya, dia malah menganggu kinerja Barra. "Perlu gue bantu?" tawar Kevin."Gak usah, Vin. Bentar lagi juga beres, kok," sahut Kalea, dengan tanpa mengalihkan netranya dari layar komputer. Sesekali membenarkan kacamata bacanya yang melorot."Kalau gitu gue print-kan?""Gak usah, Vin. Thanks.""Gak papa, Kal. Sini." Kevin merebut flashdisk dari tangan Kalea. Dan gadis itu mengela napas pasrah. Baiklah, mungkin dia bisa istirahat sejenak sebelum kembali berhadapan dengan Barra. Netranya menatap Kevin yang tengah sibuk dengan printer. Menata kertas yang keluar, dan memberinya klip."Thanks, Vin," ucap Kalea
"Mbak Kalea!"Langkah Kalea terhenti. Terkejut mendapati siapa yang memanggilnya. Alfin."Ngapain kamu disini, Fin?"Alfin, adik tirinya itu bisa berada di halaman kantornya. "Mbak, aku mau ngomong." Alfin memegang tangannya. Tapi langsung Kalea tepis."Disini aja.""Gak, mbak. Banyak orang.""Gue keburu telat, Fin.""Tapi ini penting." Alfin kembali memegang tangannya sebelum dia sempat protes lagi. Dan menarik paksa ke parkiran yang lebih sepi."Lo apain mama?" Sorot Alfin berubah tajam. Bahkan tak ada panggilan sopan seperti tadi. "Lah, gue gak ngapa-ngapain," tukas Kalea, mengusap tangannya yang memerah. Cukup kuat Alfin menarik tangannya tadi."Halah! Jangan bohong. Lo marahin mama kan? Ngehina-hina mama?" Sinis Alfin. Kalea menatapnya aneh. Dia memang tidak dekat dengan Alfin. Bertemu juga cuma beberapa kali. Tapi, biasanya Alfin tidak sekasar itu bicara dengannya."Lo ngomong apa sih, Fi
Sejak dirinya lahir ke dunia, menjadi bagian dari sesaknya dunia, hingga usia remaja, Kalea rasa, dirinya adalah manusia yang beruntung. Punya orang tua yang harmonis dan melimpahinya dengan kasih sayang. Papanya yang penuh perhatian dan selalu menyempatkan waktu untuk keluarga. Dan mamanya yang selalu ada untuknya. Semuanya sempurna. Ditambah dengan tetangga sebelah yang juga sangat baik. Apalagi, putra pertama si tetangga yang gak cuma tampan, tapi juga baik hati. Yang selalu sedia menjadi sosok yang baik untuk dirinya yang semata wayang. Mungkin, satu-satunya pengganggu dimasa kecilnya hanyalah Elbarra, putra kedua si tetangga. Yang entah kenapa seperti punya dendam padanya. Kalau gak jahil, ya bikin dirinya nangis. Untung saja abangnya Barra malah sering belain dia dibanding si Elbarra nakal.Masa kecilnya benar-benar sempurna. Menjadi kesayangan keluarga, menjadi adik sekaligus anak perempuan di kelurga tetangga. Ah, indah sekali masa-masa itu.Entah apakah ad