Tiba-tiba, semua kata menguap dari benak Arya. Bibirnya terbuka sejenak, namun ia hanya bisa memalingkan wajah, mengumpulkan keberanian sebelum kembali menatap Mentari. Keinginan untuk menyalahkan wanita itu begitu kuat, namun cinta yang dalam untuk Mentari berhasil menepis segala amarah yang meluap-luap dalam hatinya.
“Maafkan aku...” Mentari mengucapkan kata-kata itu dengan suara lirih, penuh penyesalan. Beban kepedihan terasa semakin berat, membuatnya harus berjuang keras agar tidak roboh di hadapan Arya.
Mata Arya yang gelap kini berkabut, mencerminkan perasaan yang terselubung dalam hati. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh, merembes keluar dari sudut matanya. Dalam hatinya, ia tahu, cinta pada putri Lucian Sagara adalah sesuatu yang berisiko besar. Namun, keputusan telah diambil, dan nasi sudah menjadi bubur. Arya berani mencintai Mentari, mak
“Rakhan, lepaskan tanganmu!” Mentari mengerang kesakitan. “Rakhan, tanganku sakit.”“Hatiku jauh lebih sakit!” tandas Rakhan, “kau sudah mengobrak-abrik harga diriku. Mau apa kau menemui Arya?”“Mau apa?!” Mentari menyergah dengan nada tinggi, sama marahnya dengan Rakhan. “Kau tanya mau apa aku bertemu Arya?! Rakhan, kau ini tolol atau pura-pura tolol? Kau tahu selama ini aku mencari Arya dan kau pun ikut membantuku. Sudah jelas kalau aku sangat mengharapkannya untuk kembali. Aku hanya ingin menebus semua rasa bersalahku kepadanya. Aku yang menyebabkab Arya—““Menebus rasa bersalahmu dengan menemuinya. Sekadar menemuinya atau kau masih mengharapkan ada yang lain selain bertemu?” Ketidakrelaan sekaligus curiga mendasari semua uc
“Menyiksa dirimu sendiri seperti itu tidak akan membuat kondisi tubuhmu lebih baik.” Kata-kata bernada ketus sekali lagi keluar dari mulut Rakhan sesaat kemudian. Padahal, Rakhan ingin sekali mengatakan sesuatu yang manis untuk mengimplementasikan suara hatinya. Sangat disayangkan, reaksi Mentari yang dingin tidak mendukung niatnya.“Kau tidak perlu menasihatiku. Aku tahu apa yang terbaik untuk diriku,” tepis Mentari dengan sinis.Rakhan menatapnya dan Mentari melihat rahang pria itu mengetat sebelum ia berkata, “Kau hanya tahu bagaimana caranya untuk lolos dari pernikahan ini dan itu yang terbaik menurutmu.”Lagi dan lagi Rakhan melontarkan tuduhan tidak berdasar karena menurut Mentari, Rakhanlah yang sedang mencari cara untuk segera lolos dari jerat tali pernikahan. Mentar
“Apakah Tari tidak penting untuk Papa sampai Papa harus selalu menanyakan Rakhan?”“Tari.” Lucian mengembus napas. Pandangannya menelaah kesedihan di wajah Mentari selama beberapa saat. “Kau putri Papa satu-satunya. Kau yang terpenting, tapi kini kau sudah bersuami. Suamimu juga menjadi bagian dari yang terpenting itu sekarang.”“Dia tidak penting. Sangat tidak penting,” tepis Mentari dengan mata berkaca-kaca.“Apa kau baik-baik saja?” Lucian mulai menyelidik.Mentari menarik punggungnya dari sandaran sofa. Ia lalu memandang Lucian. “Apa Tari terlihat baik-baik saja, Pa?”“Ada apa?”“Rakhan dan aku akan bercerai, Pa.”Lucian meng
“Mentari, ada apa?” Sekarang giliran Barry yang bertanya untuk kedua kalinya dari seberang tempat duduk Mentari dan Arya.“Aku akan bercerai dengan Rakhan,” Mentari menutup mulut dengan tangan. Gerakan pundaknya naik turun dengan cepat diguncang rasa sakit hati yang sangat hebat. “Bukankah itu bagus? Kau bisa lepas dari segala yang berhubungan dengan Lucian.” Barry mencetuskan opininya yang tidak ia sadari telah membentuk pertanyaan di benak Mentari. “Akhirnya dia menyerah,” celetuk Arya. Mentari tertegun. Ia masih belum mengerti apa yang dikatakan Arya dan Barry, tapi kedua pria itu mengatakan sesuatu yang merangsang kuriositasnya. “Menyerah? Menyerah bagaimana? A-aku tidak mengerti.” Mentari mengungkap keingintahuannya dengan nada sedikit gugup. Arya menatap dalam ke mata Mentari, berusaha menembus pemikiran wanita itu dengan untaian perasaan yang bergejolak di hatinya. “Kau pikir mungkin aku pria idiot jika ingin menggantikan posisi Rakhan setelah kalian bercerai. Namun, aku m
“Lancang sekali kau?” Darah yang menanjak cepat ke kepala Barry memunculkan semburat merah di wajah pria itu. Tidak hanya wajahnya, bola matanya yang melebar pun tampak bersemu merah. Rahangnya yang terlihat kaku menjelaskan emosi yang sedang meledak-ledak.“Jangan mengusikku dan keluargaku kalau Anda tidak mau diusik. Paham?” Rakhan menegaskan dengan nada arogan. Tatapannya pun sama besar dengan nada bicaranya.Mentari butuh memahami apa yang dibicarakan para pria di kamar itu. Seluruh ucapan mereka saling berkaitan, tapi tidak satu pun bisa dimengerti Mentari kecuali kebohongan Rakhan akan pertemuannya dengan Arya.“Ada apa ini? Kenapa kalian semua membicarakan aku?” Mentari berpaling dari Barry, lalu ke Arya, dan kembali lagi ke Arya. Wajahnya yang hanya selevel dengan dada Rakhan membuatnya sedikit mendongak. “Rakhan, ada apa ini?”Tatapan tajam Rakhan terlempar pada Barry seakan sedang berkata, “Aku bisa saja mengatakan semuanya pada Mentari, tapi tidak sekarang.”“Rakhan, aku ti
Entah kenapa Mentari menangkap kata-kata paling klise yang membuatnya ragu meskipun dadanya mengembang senang. “Kau sudah memutuskan dan aku menerima keputusanmu. Kau tidak perlu khawatir aku akan menyingkirkan bayi ini. Aku masih waras. Kalau Papa pernah memohon kepadamu untuk tidak meninggalkanku, jangan pedulikan. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”Rakhan merasa jijik pada diri sendiri. Apa yang pernah dikatakannya pada Mentari, kini membuat wanita itu menganggapnya berpikiran dangkal seperti yang baru saja Mentari katakan. Namun, Rakhan ingin meyakinkan Mentari kalau ia bersungguh-sungguh. “Aku yang mencetuskan perceraian dan sekarang aku ingin meralatnya. Ada sesuatu di antara kita dan hal itu akan mengikat kita selama-lamanya.”Mentari berbalik lalu memandang Rakhan dengan pandangan skeptis. “Aku tidak akan melahirkan bayi ini di dalam pernikahan di mana tidak ada rasa apa-apa di antara kita selain rasa tanggung jawab. Kau hanya merasa bayi ini sebagai ahli warismu. Tidak lebi
Mentari menarik selimut sampai ke batas dada untuk menutupi tubuhnya yang masih terekspos, lalu berguling memunggungi Rakhan. Ia tidak bisa memungkiri dirinya sendiri apabila percintaannya dengan Rakhan tadi menciptakan efek euforia. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Kini, Mentari kembali terjebak dalam rasa patah hati dan kecewa. Ia tetap merasa telah dibohongi dan Rakhan tidak serius dengan ucapannya. Melihat reaksi Mentari yang murung, jiwa menyelidik Rakhan terdorong untuk mengetahui. Rakhan tidak biasa mengalah dan membujuk berlebihan. Apa yang mengganjal di hatinya, ia akan mengatakannya tanpa mengrurangi atau melebihi. Ia mendekap Mentari dari belakang dan mendaratkan kecupannya di pipi wanita itu. “Ada apa? Apa kau masih marah padaku?” Rakhan bertanya dengan suara pelan di telinga Mentari.“Kau sangat serius ingin bercerai denganku sebelum ini.” Air mata Mentari meleleh dari sudut matanya. Isak tangisnya membuat Rakhan gusar. Semampunya, Rakhan berusaha untuk menenangk
Rakhan menatap tajam Barry. Sorot matanya berkilat kelam dan penuh dendam. “Apa yang kau lakukan pada Lucian Sagara?”“Apakah tidak ada salam untukku?” sindir Barry. Sedetik kemudian ia menjatuhkan pandangannya pada Mentari. “Apa kabarmu, Tari?”“B-baik.” Mentari menyahuti dengan gugup. Ketegangan berembus mengisi seisi ruangan. Masing-masing dari keempatnya mempunyai alasan untuk meluapkan kemarahan, terlebih lagi Rakhan. Mentari melihat ada yang berbeda dari suaminya selama beberapa hari terakhir. Rakhan lebih sensitif dan terkesan menggebu-gebu terhadap berita ayahnya. Ia berharap Rakhan melakukannya dengan tulus.“Orang sepertimu tidak pantas kuberi penghormatan.” Rakhan mencetuskan perangnya.Barry menarik punggungnya dari sandaran kursi, lalu duduk dengan tegak sementara tangannya terlipat di depan dada. “Ayah mertuamu pantas mendapatkannya. Kau laki-laki yang cerdas. Selain mengetahui seluk beluk dunia bisnis, kau pun paham betul tentang hukum. Seharusnya kau tahu konsekuensi