"Untuk yang terakhir kalinya aku bertanya, apakah kau siap menjalani sisa hidupmu denganku?" Arya menyelipkan rambut cokelat yang terurai di samping wajah Mentari ke belakang telinga gadis itu."Kita sudah sejauh ini, Arya. Aku tidak akan pernah mau kembali ke si penguasa gila itu," tandas Mentari. Tatapan secokelat kopinya mengunci tatapan gelap Arya.Kecupan lembut mendarat di pipi Mentari. Dengan perasaan bangga, Arya memeluk erat Mentari. Gadis berusia 23 tahun itu telah memberinya kekuatan lebih untuk melakukan hal paling gila dalam hidupnya yang tidak hanya sekadar menunjukkan cinta, tapi juga nyali yang cukup besar. Atmosfer kamar penginapan murahan yang pengap dan sedikit berbau apek tak mengurangi keromantisan pasangan muda yang sedang di mabuk cinta itu. Perjalanan asmara mereka yang panjang dan tidak mudah membuat mereka saling menguatkan satu dengan yang lainnya.Arya mengenakan tas ranselnya yang berisi dua setel pakaian dan beberapa barang pribadinya, begitupun dengan Me
Mentari tidak bisa menghentikan aliran air matanya. Ia berharap ada seseorang yang melihat perlakuan orang-orang suruhan ayahnya itu dan menyelamatkan Arya yang sudah tidak berdaya dari sungai dangkal. Serbuan rasa bersalah menyelimuti jiwanya. Secara tidak langsung ia sudah membahayakan nyawa Arya. Membiarkan Arya mencintainya, sama saja dengan menodongkan senjata api ke dahi pria itu. Siap meletus kapan saja.Setelah tiga jam menempuh perjalanan dan bergelut dengan rasa sakit yang menggerogoti seluruh jiwa dan raganya, Mentari tiba di kediaman Lucian Sagara, ayah Mentari. Mentari sudah tidak sanggup untuk berdiri. Tubuh dan jiwanya terlalu lelah untuk menghadapi dunia dan Mentari jatuh pingsan saat akan keluar dari mobil."Arya!" Mentari membuka matanya. Jantungnya berdegup kencang mengingat bayangan wajah sang kekasih. Perlahan, air bening mengucur dari kedua ujung matanya. Mentari bangkit lalu duduk sambil memeluk lututnya di atas ranjang. Ia sudah kembali ke rumah sang penguasa.
"Sudahlah, Rakhan. Ayah punya alasan untuk menikahkanmu dengan putrinya Lucian Sagara." Mawar menyudahi pernyataan keberatan Rakhan dengan segera menyeret kakak kesayangannya keluar dari kamar. Handoko Mahawira, ayah mereka, telah menunggu kehadiran mereka di ruang keluarga. Pria tua berambut putih dan bertubuh tambun yang mengenakan jas abu-abu itu tampak bahagia. Matanya berbinar melihat putra sulungnya akan segera mewujudkan harapannya. Mengendarai dua mobil berbeda, mereka pergi menuju kediaman Lucian Sagara. Handoko dan Lucian menginginkan ikatan antara Rakhan dan Mentari segera diresmikan dengan tidak menyertakan pertunangan ke dalam rencana ikatan tersebut. Pernikahan adalah ikatan yang lebih kuat. Paling kuat. Dengan uang dan kuasa mereka, pernikahan Rakhan dan Mentari bisa dilakukan secara mendadak. Kedua keluarga berkuasa itu mampu memengaruhi setiap aspek kehidupan yang terkait dengan mereka. Lucian menyambut hangat kedatangan sahabat lamanya, Handoko. Ia membawa rombonga
Mentari menatap bangunan megah berdesain modern yang berdiri kokoh di atas hamparan hijau yang luas. Dinding rumah yang di dominasi warna cokelat muda dan atap berwana cokelat tua yang berkilat karena tertimpa sinar matahari membuat Mentari bergidik ngeri. Rumah besar dan mewah itu seolah ingin memenjarakan dirinya. Embusan angin yang menerpa wajahnya seakan berbisik, "Hidupmu akan berakhir di sini."Jantung Mentari berdenyut kencang seiring rasa sakit yang meremas hatinya. Langkahnya terpaku di halaman rumah yang berupa taman bunga. Ia bahkan tidak merasakan tarikan kasar Rakhan di tangannya. Untuk sesaat, Mentari mati rasa."Auw!" jerit Mentari saat kakinya tersandung undakan marmer yang menjadi pembatas antara halaman dan beranda."Kau ini bodoh atau kenapa? Berjalan saja tidak becus." Rakhan mengomel dengan nada pedas.Mentari menatap tajam Rakhan. Pria itu adalah sumber semua kesengsaraannya. Gara-gara pria itu, ayahnya membunuh pria yang sangat dicintainya. Namun, Rakhan tak sed
"Mentari, keinginan ayahku hanya satu, keturunan dari Rakhan. Bekerja samalah dengan Rakhan agar kau bisa segera bebas dari belenggu pernikahan ini," saran Mawar. Bagaimana aku bisa bekerja sama dengan pria yang menjadi penyebab semua deritaku? Aku tidak akan kehilangan Arya jika perjanjian pernikahan sialan ini tidak dibuat, batin Mentari. Pernikahan sepatutnya memberi kebahagiaan. Namun, Mentari sama sekali tidak merasakan hal itu. Menikah dengan seorang Mahawira sama saja dengan bunuh diri. Semua terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Saran Mawar agar Mentari bekerja sama dengan Rakhan menjadi bahan pertimbangan Mentari. Ia beruntung Rakhan tidur di kamar terpisah. Semalaman Mentari memutar otak dan berusaha mencari cara agar segera terbebas dari pernikahan yang tidak diinginkannya. Jika seorang anak bisa membebaskannya dari semua belenggu, ia akan bekerja sama dengan Rakhan. Cukup satu anak dan selesai. Mentari mengembus napas dan tersenyum kecut tidak percaya
"Valeria, maafkan aku," ucap Handoko dengan suara pelan dan syahdu seakan mendiang istrinya sedang mendengarkan. Kedua tangan pria baya berkemeja hitam itu saling menggenggam di depan dada dan kepalanya menunduk beberapa saat. Rakhan mendesah kesal. Air muka dari wajahnya yang mencerminkan maskulinitas sejati berubah muram dan geram. Ia kemudian menatap bengis pada Mentari. Tatapannya yang menuduh Mentari sebagai penyebab kekacauan hidupnya tertangkap oleh lirikan wanita itu. Mentari menunduk menahan rasa jengkel. Tangannya menggenggam erat garpu dan pisau roti. Bukan Rakhan yang seharusnya marah-marah, tetapi Mentari-lah yang seharusnya menghajar pria itu. Rakhan adalah sumber dari segala rasa sakit dan derita yang ia rasakan sekarang, pikir Mentari. "Aku juga tidak suka pesta, Pak Handoko. Bisakah—" Mentari mengungkapkan kekesalan dan ganjalan di hatinya. "Tidak bisa," potong Handoko tegas. "Kalian berdua memang pasangan yang aneh. Aku tidak mau mendengar keluhan dan penolakan ap
"Arya!" Mentari meneriakkan nama pria selalu mengisi hatinya. Matanya otomatis terbuka seiring dengan detak jantung yang terpacu semakin cepat. Tanpa ia sadari air mata menetes dari sudut mata dan membasahi bantal. Ia menatap lampu gantung kristal di langit-langit yang memancarkan cahaya kekuningan selama beberapa saat sebelum ia bangkit untuk duduk.Mentari menekuk lutut lalu menangkup wajah dengan kedua tangan sambil terisak-isak. Lintasan memori yang terselip dalam tidurnya membangkitkan derita terdalam yang menghancurkan diri. Ia tidak pernah menduga akan kehilangan Arya secepat itu. Arya adalah satu-satunya orang yang tidak bersalah dalam kekacauan hidupnya saat ini. Cara ayahnya menyingkirkan Arya, itu yang dikutuk Mentari. Sangat kejam."Kau sudah bangun?" Suara berat yang mulai akrab di telinga Mentari membuat saraf-saraf di tubuhnya menegang.Sial! Mentari mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Saat ia menoleh ke kanan dan pandangannya sejajar dengan pundak, ia mendapati
Satu kebohongan akan menciptakan kebohongan lain yang lebih besar dan rumit. Mentari sadar apa yang ia katakan pada Edo dan Mike perlahan, tapi pasti bisa menjadi bumerang yang berbalik menghajarnya. Namun, Mentari tidak bisa memaparkan kenyataan pada semua orang bahwa ayahnyalah yang menjadi dalang kehancuran hidupnya. Ia butuh waktu untuk melakukannya. Saat ini tak seorang pun mendukungnya. Ia seperti yatim piatu yang sedang berjuang sendirian menghadapi kerasnya hidup.Dari ujung koridor, Mentari hanya bisa memandangi pintu kelasnya. Gertakan Edo dan kawan-kawan telah menciutkan nyalinya untuk melewati pintu berwarna cokelat itu."Kenapa lo nggak masuk?" Suara bening dan lembut yang familier di telinga Mentari secara otomatis memacu jantung wanita itu untuk berdegup lebih kencang.Mentari tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau ke mana ia harus menolehkan wajahnya. Ia sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan pemilik suara itu selanjutnya. Semua teman-temannya sudah menghakimi,
Setelah kejadian siang tadi, Rakhan merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Namun, sebagian dari dirinya tetap merasa gelisah. Setibanya di rumah, ia mendapati Mentari yang sedang duduk di ruang tamu sedang menidurkan Arga di pangkuannya. Kehangatan yang terpancar dari pandangan Mentari selalu menjadi penghiburan bagi Rakhan, meskipun malam itu ia tahu bahwa berita yang akan disampaikannya bukanlah sesuatu yang ringan.Rakhan melepas jasnya dan berjalan mendekati Mentari. Ia mengecup bibir Mentari, lalu dahi Arga. Semampunya Rakhan mencoba tersenyum seakan-akan tidak ada yang terjadi. Namun, Mentari tahu ekspresi Rakhan tidak seperti biasa. Wanita itu bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal dari cara Rakhan menatapnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Mentari penuh kuriositas sambil menepuk-nepuk paha Arga yang mulai tertidur pulas. Tatapannya penuh dengan kekhawatiran meski ia berusaha terlihat tenang.Rakhan mengambil napas dalam-dalam, lalu duduk di sebelahnya. “Ada sesuatu
Rakhan mengecup pipi Mentari, lalu berkata pelan di telinganya, “Sampai bertemu sore nanti.”“Hubungi aku kalau kau ada meeting dadakan, ya,” ucap Mentari sambil menurunkan Arga dari gendongannya.“Tentu saja.” Sekali lagi Rakhan mengecup pipi Mentari. “Aku pergi. I love you.”“Aku juga. Hati-hati di jalan.”Usai makan siang bersama Mentari, Rakhan kembali ke kantornya. Siang itu, Jakarta tampak begitu terik, tetapi Rakhan hampir tidak merasakannya. Pikirannya kembali dijejali berbagai urusan pekerjaan, terutama proyek yang melibatkan Annika. Namun, tak dapat dipungkiri, sosok Evander pun kerap muncul di benaknya sejak pertemuan mereka. Ia masih meragukan pria itu meskipun kredibilitasnya sebagai pengacara profesional tidak diragukan lagi. Tanpa ia sadari, mobil yang dikemudikan sopirnya sudah hampir setengah perjalanan. Mereka baru saja berhenti di perempatan ketika tiba-tiba dua orang pria berhelm yag mengendarai sepeda motor sport mendekat ke jendela mobilnya. Rakhan yang tengah a
Rakhan duduk di belakang meja kerjanya. Pandangannya menembus jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Sementara itu, pikirannya dipenuhi dengan informasi yang baru saja diterima. Drew datang ke kantornya pagi itu dengan sebuah rahasia yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang keluarga Annika.“Evander adalah saudara sepupu Annika,” kata Drew sambil meletakkan map di meja Rakhan. “Anak dari adik tiri ayahnya yang tidak pernah dipublikasikan. Keluarga mereka merahasiakan hubungan itu, karena ibu Evander dan kakak ayahnya Annika tidak pernah menikah.”Rakhan menggenggam tepi meja, mencerna kata-kata Drew dengan hati-hati. “Pantas aku tidak menemukan informasi apa pun tentang hubungan mereka di media sosial dan situs pencarian. ”“Benar,” sahut Drew. “Mereka punya ikatan keluarga yang cukup rumit. Itu sebabnya hubungan mereka disembunyikan. Oh, iya. Kau juga harus tahu bahwa Evander itu seorang duda. Mantan istrinya orang Jerman. Mereka bercerai tiga tahun
Rakhan pulang lebih larut dari biasanya. Pekerjaan di kantor membuatnya kelelahan, tetapi begitu membuka pintu, kehangatan yang familiar segera menyambutnya. Cahaya lampu yang terang dan cerah, aroma harum masakan yang masih tersisa di udara, dan yang paling menyenangkan, Mentari sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman manis yang selalu membuatnya merasa tenang.Mentari berjalan mendekat dan seperti kebiasaannya, ia memberikan ciuman lembut di pipi Rakhan. “Selamat datang, sayang,” bisik Mentari dengan lembut.Rakhan tersenyum, merasakan sejenak kehangatan itu. “Selalu menyenangkan pulang ke rumah,” jawabnya pelan sambil membelai lembut rambut Mentari. Seketika, rasa lelahnya menjadi berkurang.“Aku sudah memasak makanan favoritmu, sup asparagus kepiting.” Mentari mengumumkan menu makan malam yang telah disajikannya di atas meja makan.“Wah, makan besar nih!” Rakhan menanggapi dengan antusias. “Kalau begitu, aku mandi dulu. Nanti kita makan bareng.”“Jangan lama-lama, ya. Aku su
Sore itu, rumah Mentari dan Rakhan dipenuhi dengan kehangatan. Arga sedang bermain di tengah ruang keluarga, sementara Mentari dan Rakhan duduk di sofa sambil menikmati teh hangat. Angin sepoi-sepoi dari jendela yang terbuka membawa suasana tenang. Untuk beberapa saat, mereka bisa melupakan kesibukan dan drama di luar sana.Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika suara bel pintu berbunyi. Mentari menatap Rakhan dengan sedikit heran. Mereka tidak sedang menantikan tamu sore ini.“Siapa ya kira-kira?” tanya Mentari sambil berdiri dan menuju pintu.Rakhan mengangkat bahu dan melirik Arga yang masih sibuk bermain, lalu dia berdiri mengikuti istrinya. Ketika Mentari membuka pintu, mereka mendapati Annika berdiri di sana bersama seorang pria bertubuh tinggi yang tidak lain adalah Evander."Annika? Evander?" Mentari terkejut, tapi senyumnya tetap ramah. "Apa yang membawa kalian ke sini?"Annika tersenyum dan mengangkat sebuah bingkisan di tangannya. "Kami datang untuk mengucapkan terim
Rakhan menatap Aldy dengan tajam. "Ketika kau menyakiti seseorang, itu menjadi urusan semua orang. Apalagi kalau dia orang yang aku kenal."Annika terduduk di atas paving block. Kedua tangannya bertumpuk menutupi pipinya yang bengkak sambil menangis. Mentari dengan cepat berjongkok di samping Annika, memeriksa keadaan wanita itu. “Kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kekhawatiran.Annika menoleh pelan ke arah Mentari. Sambil terisak-isak, wanita itu berkata dengan suara bergetar dan jelas sekali ia sedang menyembunyikan rasa sakitnya. “A-aku nggak apa-apa.” Aldy melangkah mendekat, masih marah, tapi Rakhan berdiri tegak di depannya, seperti dinding pelindung yang tidak mungkin ditembus. "Pergilah sebelum situasi ini menjadi lebih buruk buatmu," kata Rakhan dingin dan dengan nada mengancam yang jelas.Aldy tampak ragu sejenak. Ekspresi wajahnya terlihat mengeras. “Dia tunanganku. Aku punya hak atas dia!”Rakhan tidak bergeming, hanya menatap Aldy dengan mata yang penuh amarah. "Kau ti
Mentari mengambil napas dalam-dalam, menenangkan degup jantungnya yang terasa berantakan. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia memutuskan bahwa menunggu tanpa kepastian hanya akan membuat pikirannya semakin semrawut. Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan melangkah menuju gerai kopi tempat Rakhan dan Annika duduk. Suara langkah kakinya terasa begitu berat, seakan-akan setiap langkah membawa sejuta pertanyaan yang menunggu jawaban.Ketika Mentari tiba di depan meja mereka, Rakhan yang awalnya fokus pada pembicaraannya dengan Annika, mendongak dan terkejut melihat kehadirannya. Dalam sekejap ekspresi serius di wajahnya berubah menjadi bingung. Namun, itu hanya sesaat sebelum akhirnya menyambut Mentari dengan senyum."Tari? Kamu di sini?" Rakhan bertanya, suaranya terdengar tenang tapi menyimpan keheranan.Annika yang duduk di hadapan Rakhan tersenyum manis menyambut istri sang mantan. "Hai, Mentari. Lama tak bertemu."Mentari memaksakan diri tersenyum, berusaha menjaga
"Arga sudah tidur?" Rakhan bertanya pelan, mengintip dari balik pintu kamar.Mentari mengangguk sambil menepuk-nepuk punggung putra mereka yang baru saja terlelap. "Iya, baru saja."Rakhan mendekat, duduk di tepi ranjang sambil mengamati wajah kecil Arga. "Dia sudah semakin besar. Cepat sekali waktu berlalu."Mentari tersenyum tipis. "Iya, rasanya baru kemarin aku menggendongnya untuk pertama kali."Keluarga kecil Mentari dan Rakhan telah menemukan ritme kebahagiaan mereka. Kehadiran Arga, putra mereka yang kini genap berusia satu tahun, melengkapi segala yang pernah diimpikan Mentari. Meski terkadang malam-malam panjang diisi tangisan bayi dan kelelahan, bagi Mentari, setiap detik bersama Arga dan Rakhan merupakan kebahagiaan tersendiri. Rakhan, meski jarang bisa menunjukkan sisi romantisnya, ia selalu membuat hari-hari Mentari penuh dengan kejutan kecil yang manis. Sebuah pelukan tiba-tiba, hadiah yang sederhana tapi bermakna, atau sekadar ikut begadang di sampingnya saat Arga sedan
Gemuruh emosi mendadak memenuhi dada dan membuatnya sesak napas. Berusaha tetap tenang, Mentari melontarkan tanya tanpa emosi berlebihan, “Kau masih berhubungan dengannya?”“Ada pekerjaan yang mengharuskan aku tetap terhubung dengannya.” Rakhan menjelaskan dengan hati-hati.Sementara itu, ponsel Rakhan terus berdering membuat telinga Mentari tidak nyaman. Mentari mengembus napas. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan kekesalannya hingga ia hanya diam.“Tari ....”Mentari mengembus napas. Mencoba untuk bersikap dewasa memang tidak mudah tapi perlu dicoba. “Angkat saja.”“Kau yakin?”“Iya.”