Rakhan mengecup pipi Mentari, lalu berkata pelan di telinganya, “Sampai bertemu sore nanti.”“Hubungi aku kalau kau ada meeting dadakan, ya,” ucap Mentari sambil menurunkan Arga dari gendongannya.“Tentu saja.” Sekali lagi Rakhan mengecup pipi Mentari. “Aku pergi. I love you.”“Aku juga. Hati-hati di jalan.”Usai makan siang bersama Mentari, Rakhan kembali ke kantornya. Siang itu, Jakarta tampak begitu terik, tetapi Rakhan hampir tidak merasakannya. Pikirannya kembali dijejali berbagai urusan pekerjaan, terutama proyek yang melibatkan Annika. Namun, tak dapat dipungkiri, sosok Evander pun kerap muncul di benaknya sejak pertemuan mereka. Ia masih meragukan pria itu meskipun kredibilitasnya sebagai pengacara profesional tidak diragukan lagi. Tanpa ia sadari, mobil yang dikemudikan sopirnya sudah hampir setengah perjalanan. Mereka baru saja berhenti di perempatan ketika tiba-tiba dua orang pria berhelm yag mengendarai sepeda motor sport mendekat ke jendela mobilnya. Rakhan yang tengah a
Setelah kejadian siang tadi, Rakhan merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Namun, sebagian dari dirinya tetap merasa gelisah. Setibanya di rumah, ia mendapati Mentari yang sedang duduk di ruang tamu sedang menidurkan Arga di pangkuannya. Kehangatan yang terpancar dari pandangan Mentari selalu menjadi penghiburan bagi Rakhan, meskipun malam itu ia tahu bahwa berita yang akan disampaikannya bukanlah sesuatu yang ringan.Rakhan melepas jasnya dan berjalan mendekati Mentari. Ia mengecup bibir Mentari, lalu dahi Arga. Semampunya Rakhan mencoba tersenyum seakan-akan tidak ada yang terjadi. Namun, Mentari tahu ekspresi Rakhan tidak seperti biasa. Wanita itu bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal dari cara Rakhan menatapnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Mentari penuh kuriositas sambil menepuk-nepuk paha Arga yang mulai tertidur pulas. Tatapannya penuh dengan kekhawatiran meski ia berusaha terlihat tenang.Rakhan mengambil napas dalam-dalam, lalu duduk di sebelahnya. “Ada sesuatu
"Untuk yang terakhir kalinya aku bertanya, apakah kau siap menjalani sisa hidupmu denganku?" Arya menyelipkan rambut cokelat yang terurai di samping wajah Mentari ke belakang telinga gadis itu."Kita sudah sejauh ini, Arya. Aku tidak akan pernah mau kembali ke si penguasa gila itu," tandas Mentari. Tatapan secokelat kopinya mengunci tatapan gelap Arya.Kecupan lembut mendarat di pipi Mentari. Dengan perasaan bangga, Arya memeluk erat Mentari. Gadis berusia 23 tahun itu telah memberinya kekuatan lebih untuk melakukan hal paling gila dalam hidupnya yang tidak hanya sekadar menunjukkan cinta, tapi juga nyali yang cukup besar. Atmosfer kamar penginapan murahan yang pengap dan sedikit berbau apek tak mengurangi keromantisan pasangan muda yang sedang di mabuk cinta itu. Perjalanan asmara mereka yang panjang dan tidak mudah membuat mereka saling menguatkan satu dengan yang lainnya.Arya mengenakan tas ranselnya yang berisi dua setel pakaian dan beberapa barang pribadinya, begitupun dengan Me
Mentari tidak bisa menghentikan aliran air matanya. Ia berharap ada seseorang yang melihat perlakuan orang-orang suruhan ayahnya itu dan menyelamatkan Arya yang sudah tidak berdaya dari sungai dangkal. Serbuan rasa bersalah menyelimuti jiwanya. Secara tidak langsung ia sudah membahayakan nyawa Arya. Membiarkan Arya mencintainya, sama saja dengan menodongkan senjata api ke dahi pria itu. Siap meletus kapan saja.Setelah tiga jam menempuh perjalanan dan bergelut dengan rasa sakit yang menggerogoti seluruh jiwa dan raganya, Mentari tiba di kediaman Lucian Sagara, ayah Mentari. Mentari sudah tidak sanggup untuk berdiri. Tubuh dan jiwanya terlalu lelah untuk menghadapi dunia dan Mentari jatuh pingsan saat akan keluar dari mobil."Arya!" Mentari membuka matanya. Jantungnya berdegup kencang mengingat bayangan wajah sang kekasih. Perlahan, air bening mengucur dari kedua ujung matanya. Mentari bangkit lalu duduk sambil memeluk lututnya di atas ranjang. Ia sudah kembali ke rumah sang penguasa.
"Sudahlah, Rakhan. Ayah punya alasan untuk menikahkanmu dengan putrinya Lucian Sagara." Mawar menyudahi pernyataan keberatan Rakhan dengan segera menyeret kakak kesayangannya keluar dari kamar. Handoko Mahawira, ayah mereka, telah menunggu kehadiran mereka di ruang keluarga. Pria tua berambut putih dan bertubuh tambun yang mengenakan jas abu-abu itu tampak bahagia. Matanya berbinar melihat putra sulungnya akan segera mewujudkan harapannya. Mengendarai dua mobil berbeda, mereka pergi menuju kediaman Lucian Sagara. Handoko dan Lucian menginginkan ikatan antara Rakhan dan Mentari segera diresmikan dengan tidak menyertakan pertunangan ke dalam rencana ikatan tersebut. Pernikahan adalah ikatan yang lebih kuat. Paling kuat. Dengan uang dan kuasa mereka, pernikahan Rakhan dan Mentari bisa dilakukan secara mendadak. Kedua keluarga berkuasa itu mampu memengaruhi setiap aspek kehidupan yang terkait dengan mereka. Lucian menyambut hangat kedatangan sahabat lamanya, Handoko. Ia membawa rombonga
Mentari menatap bangunan megah berdesain modern yang berdiri kokoh di atas hamparan hijau yang luas. Dinding rumah yang di dominasi warna cokelat muda dan atap berwana cokelat tua yang berkilat karena tertimpa sinar matahari membuat Mentari bergidik ngeri. Rumah besar dan mewah itu seolah ingin memenjarakan dirinya. Embusan angin yang menerpa wajahnya seakan berbisik, "Hidupmu akan berakhir di sini."Jantung Mentari berdenyut kencang seiring rasa sakit yang meremas hatinya. Langkahnya terpaku di halaman rumah yang berupa taman bunga. Ia bahkan tidak merasakan tarikan kasar Rakhan di tangannya. Untuk sesaat, Mentari mati rasa."Auw!" jerit Mentari saat kakinya tersandung undakan marmer yang menjadi pembatas antara halaman dan beranda."Kau ini bodoh atau kenapa? Berjalan saja tidak becus." Rakhan mengomel dengan nada pedas.Mentari menatap tajam Rakhan. Pria itu adalah sumber semua kesengsaraannya. Gara-gara pria itu, ayahnya membunuh pria yang sangat dicintainya. Namun, Rakhan tak sed
"Mentari, keinginan ayahku hanya satu, keturunan dari Rakhan. Bekerja samalah dengan Rakhan agar kau bisa segera bebas dari belenggu pernikahan ini," saran Mawar. Bagaimana aku bisa bekerja sama dengan pria yang menjadi penyebab semua deritaku? Aku tidak akan kehilangan Arya jika perjanjian pernikahan sialan ini tidak dibuat, batin Mentari. Pernikahan sepatutnya memberi kebahagiaan. Namun, Mentari sama sekali tidak merasakan hal itu. Menikah dengan seorang Mahawira sama saja dengan bunuh diri. Semua terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Saran Mawar agar Mentari bekerja sama dengan Rakhan menjadi bahan pertimbangan Mentari. Ia beruntung Rakhan tidur di kamar terpisah. Semalaman Mentari memutar otak dan berusaha mencari cara agar segera terbebas dari pernikahan yang tidak diinginkannya. Jika seorang anak bisa membebaskannya dari semua belenggu, ia akan bekerja sama dengan Rakhan. Cukup satu anak dan selesai. Mentari mengembus napas dan tersenyum kecut tidak percaya
"Valeria, maafkan aku," ucap Handoko dengan suara pelan dan syahdu seakan mendiang istrinya sedang mendengarkan. Kedua tangan pria baya berkemeja hitam itu saling menggenggam di depan dada dan kepalanya menunduk beberapa saat. Rakhan mendesah kesal. Air muka dari wajahnya yang mencerminkan maskulinitas sejati berubah muram dan geram. Ia kemudian menatap bengis pada Mentari. Tatapannya yang menuduh Mentari sebagai penyebab kekacauan hidupnya tertangkap oleh lirikan wanita itu. Mentari menunduk menahan rasa jengkel. Tangannya menggenggam erat garpu dan pisau roti. Bukan Rakhan yang seharusnya marah-marah, tetapi Mentari-lah yang seharusnya menghajar pria itu. Rakhan adalah sumber dari segala rasa sakit dan derita yang ia rasakan sekarang, pikir Mentari. "Aku juga tidak suka pesta, Pak Handoko. Bisakah—" Mentari mengungkapkan kekesalan dan ganjalan di hatinya. "Tidak bisa," potong Handoko tegas. "Kalian berdua memang pasangan yang aneh. Aku tidak mau mendengar keluhan dan penolakan ap