Mentari menatap bangunan megah berdesain modern yang berdiri kokoh di atas hamparan hijau yang luas. Dinding rumah yang di dominasi warna cokelat muda dan atap berwana cokelat tua yang berkilat karena tertimpa sinar matahari membuat Mentari bergidik ngeri. Rumah besar dan mewah itu seolah ingin memenjarakan dirinya. Embusan angin yang menerpa wajahnya seakan berbisik, "Hidupmu akan berakhir di sini."
Jantung Mentari berdenyut kencang seiring rasa sakit yang meremas hatinya. Langkahnya terpaku di halaman rumah yang berupa taman bunga. Ia bahkan tidak merasakan tarikan kasar Rakhan di tangannya. Untuk sesaat, Mentari mati rasa.
"Auw!" jerit Mentari saat kakinya tersandung undakan marmer yang menjadi pembatas antara halaman dan beranda.
"Kau ini bodoh atau kenapa? Berjalan saja tidak becus." Rakhan mengomel dengan nada pedas.
Mentari menatap tajam Rakhan. Pria itu adalah sumber semua kesengsaraannya. Gara-gara pria itu, ayahnya membunuh pria yang sangat dicintainya. Namun, Rakhan tak sedikit pun menganggap tatapan Mentari sebagai ancaman. Ia mengeraskan rahang lalu menarik tangan Mentari untuk masuk lebih jauh ke dalam rumah keluarga Mahawira.
Semerbak harum bunga menyapa indera penciuman Mentari ketika langkahnya tiba di ruangan yang cukup luas dengan dinding bertekstur batu alam berwarna jingga. Beberapa ornamen khas suku Dayak menghias dinding tersebut. Vas-vas kristal berisi bunga hidup yang cantik dan menarik di setiap sudutnya melengkapi kesempurnaan desain interior ruangan tersebut. Mentari terbius keindahan ruangan itu sesaat, sebelum ia menyadari kembali posisinya dalam keluarga Mahawira.
Mentari merasakan aliran darahnya berhenti di sekitar pergelangan tangan lantaran cekalan Rakhan yang terlalu kuat. Kekaguman Mentari akan pesona ruangan itu tiba-tiba menguap. Rakhan menyeretnya menaiki anak tangga dan mengabaikan pandangan prihatin beberapa asisten rumah tangganya yang sedang berada di ruangan tersebut.
Rakhan membuka pintu sebuah kamar. Kamar bernuansa retro yang serba putih dan cokelat menjadi saksi jeritan Mentari saat Rakhan melempar gadis itu ke atas tempat tidur.
"Auw!" Napas Mentari terengah menahan jeritan yang meronta ingin memberontak dari mulutnya. "Kurang ajar kau, Rakhan! Kau pikir aku barang belian yang bisa kau lempar seenakmu."
Rakhan menarik sebelah ujung bibirnya tersenyum mencemooh. Tatapan angkuhnya memperingati Mentari untuk tidak menghujatnya lagi. "Kau memang bukan barang belian. Kau hanya mesin pembuat bayi."
Mentari mengerutkan dahi dan membalas tatapan Rakhan dengan tatapan mengancam. Gadis itu tahu, ia tidak akan mengalami momen menyenangkan dalam pernikahannya bersama pria yang paling tidak punya hati seperti Rakhan.
"Jangan bermimpi aku mau mengandung anakmu!" sergah Mentari sambil beringsut.
"Aku tidak perlu bermimpi karena kau tidak punya pilihan untuk menolak."
Rakhan menarik kaki Mentari hingga gadis itu terlentang dan terseret ke tepi ranjang. Dalam sekejap kaki pria itu berada di antara kaki Mentari. Rakhan membuka ikat pinggangnya, kemudian menurunkan resleting celana katun hitamnya.
"Jangan macam-macam kau, Rakhan! Kau mau apa?!" Mentari menepis tangan Rakhan yang berusaha membuka pakaian dalamnya.
"Lebih cepat kau melahirkan bayiku, lebih cepat pula kita terbebas dari pernikahan konyol ini," tandas Rakhan membuat Mentari melotot.
"Aku tidak akan pernah mau tidur denganmu apalagi melahirkan anakmu. Lepaskan aku!" jerit Mentari mengiringi rontaannya.
Iris cokelat Rakhan menggelap sekelam malam tanpa bintang. Darah mulai naik ke kepala dan mengaliri wajahnya hingga bersemu merah. Seumur hidupnya tidak pernah ada seorang pun gadis yang berani menolaknya. Penolakan Mentari menjatuhkan harga diri Rakhan menjadi kepingan-kepingan rapuh yang membuat Rakhan tertegun. Apa harus dengan cara memaksa Mentari seperti itu? pikir Rakhan.
Rakhan hanya ingin mengakhiri kekonyolan yang diciptakan ayahnya lebih cepat. Ia bahkan tidak memikirkan perasaannya sendiri dan juga gadis yang baru saja resmi menjadi istrinya. Pria itu menginginkan kebebasannya lagi. Secepatnya. Rakhan menaikan resleting celananya. Sorot mata tajam yang berada di bawah alis tebalnya menembus tatapan Mentari.
"Jika kau tidak bisa diajak kerja sama, kau akan membusuk di sini selamanya. Ingat itu!" Kalimat bernada ancaman yang keluar dari mulut Rakhan mengakhiri pertemuannya dengan Mentari siang itu.
Bruuuk!
Suara bantingan daun pintu membuat Mentari tersentak. Ia menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan untuk mengurangi tensi ketegangan yang baru saja melilitnya. Ia merebahkan tubuhnya, berpasrah diri di atas kasur empuk berlapis seprai sutra putih hingga kesepian mulai menyapanya beberapa saat kemudian. Rasa panas mulai menyengat mata dan menciptakan sensasi kabut bening. Rasa sesak di hati mendesak untuk meluap. Akhirnya, air bening mengalir dari kedua ujung mata cokelatnya. Mentari terisak-isak. Sejak kecil ia terbiasa menahan tangis dan hanya memendam sendirian semua kesedihan. Bahkan, ketika ibunya meninggal, ia hanya berdiam diri dan menangis dalam hati. Ayahnya selalu mengajarkan agar ia tidak tumbuh menjadi gadis cengeng. Namun, luka yang ia rasakan kali ini sudah menembus sisi hati terdalam dan merobek-robek seluruh pertahanannya.
"Aku merindukanmu, Arya," ucapnya lirih.
Berjam-jam ia menangisi takdir yang sedang tidak berpihak padanya. Terserbit keinginan untuk pergi menjauh dan menghilang, tapi untuk apa? pikirnya. Setega dan sejahat apa pun, Lucian adalah ayahnya. Satu-satunya keluarga yang ia miliki. Keluarga Mahawira punya sejuta cara untuk membuat ayahnya berada di tiang gantung.
Derit suara pintu yang dibuka mempercepat denyut jantung Mentari. Ketegangan merayap ke pungung dan seluruh tubuhnya. Gadis itu bangkit untuk duduk dan melihat apakah suami angkuh nya kembali lagi. Ia bernapas lega ketika mendapati bukan sang suami yang memasuki kamarnya.
Senyuman manis yang terkembang di wajah Mawar menguapkan ketegangan yang Mentari rasakan. Ia buru-buru menyapu air mata dengan punggung tangannya.
"Hai, Mentari. Apa kau menangis?" Mawar mengamati wajah Mentari dari tempatnya berdiri.
"Aku hanya merindukan Papa," kilah Mentari.
Mawar masih memandangi Mentari. Sikap Mentari dan air matanya yang terus menetes memicu asumsi lain.
"Rakhan memang tidak bisa ditolak, apalagi untuk urusan yang berkaitan dengan kepentingan keluarga Mahawira. Kau harus menerima pernikahanmu dengannya, Mentari. Suka atau tidak, kau sudah menjadi istri Rakhan." Ucapan Mawar terasa seperti tekanan baru bagi Mentari. Mentari bergeming seraya menelan semua ucapan adik iparnya setenang mungkin.
"Kami tahu semua cerita tentangmu termasuk kekasihmu, Arya Ardhana." Mawar berjalan mendekat dan dengan sikap hangatnya, ia duduk di tepi ranjang. Ia meletakkan tangan di pundak Mentari seolah tahu kesedihan Mentari. "Memang berat harus menuruti keinganan orang lain. Apalagi, kekasihmu ...."
Tangis Mentari meledak dan membuat Mawar menghentikan ucapannya. Pundak Mentari bergerak naik turun diiringi denyut menyakitkan. Ia seharusnya tidak menangis di hadapan anggota keluarga Mahawira. Namun, luka kehilangan itu terus mengoyak batinnya.
"Mentari, keinginan ayahku hanya satu, keturunan dari Rakhan. Bekerja samalah dengan Rakhan agar kau bisa segera bebas dari belenggu pernikahan ini," saran Mawar. Bagaimana aku bisa bekerja sama dengan pria yang menjadi penyebab semua deritaku? Aku tidak akan kehilangan Arya jika perjanjian pernikahan sialan ini tidak dibuat, batin Mentari. Pernikahan sepatutnya memberi kebahagiaan. Namun, Mentari sama sekali tidak merasakan hal itu. Menikah dengan seorang Mahawira sama saja dengan bunuh diri. Semua terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Saran Mawar agar Mentari bekerja sama dengan Rakhan menjadi bahan pertimbangan Mentari. Ia beruntung Rakhan tidur di kamar terpisah. Semalaman Mentari memutar otak dan berusaha mencari cara agar segera terbebas dari pernikahan yang tidak diinginkannya. Jika seorang anak bisa membebaskannya dari semua belenggu, ia akan bekerja sama dengan Rakhan. Cukup satu anak dan selesai. Mentari mengembus napas dan tersenyum kecut tidak percaya
"Valeria, maafkan aku," ucap Handoko dengan suara pelan dan syahdu seakan mendiang istrinya sedang mendengarkan. Kedua tangan pria baya berkemeja hitam itu saling menggenggam di depan dada dan kepalanya menunduk beberapa saat. Rakhan mendesah kesal. Air muka dari wajahnya yang mencerminkan maskulinitas sejati berubah muram dan geram. Ia kemudian menatap bengis pada Mentari. Tatapannya yang menuduh Mentari sebagai penyebab kekacauan hidupnya tertangkap oleh lirikan wanita itu. Mentari menunduk menahan rasa jengkel. Tangannya menggenggam erat garpu dan pisau roti. Bukan Rakhan yang seharusnya marah-marah, tetapi Mentari-lah yang seharusnya menghajar pria itu. Rakhan adalah sumber dari segala rasa sakit dan derita yang ia rasakan sekarang, pikir Mentari. "Aku juga tidak suka pesta, Pak Handoko. Bisakah—" Mentari mengungkapkan kekesalan dan ganjalan di hatinya. "Tidak bisa," potong Handoko tegas. "Kalian berdua memang pasangan yang aneh. Aku tidak mau mendengar keluhan dan penolakan ap
"Arya!" Mentari meneriakkan nama pria selalu mengisi hatinya. Matanya otomatis terbuka seiring dengan detak jantung yang terpacu semakin cepat. Tanpa ia sadari air mata menetes dari sudut mata dan membasahi bantal. Ia menatap lampu gantung kristal di langit-langit yang memancarkan cahaya kekuningan selama beberapa saat sebelum ia bangkit untuk duduk.Mentari menekuk lutut lalu menangkup wajah dengan kedua tangan sambil terisak-isak. Lintasan memori yang terselip dalam tidurnya membangkitkan derita terdalam yang menghancurkan diri. Ia tidak pernah menduga akan kehilangan Arya secepat itu. Arya adalah satu-satunya orang yang tidak bersalah dalam kekacauan hidupnya saat ini. Cara ayahnya menyingkirkan Arya, itu yang dikutuk Mentari. Sangat kejam."Kau sudah bangun?" Suara berat yang mulai akrab di telinga Mentari membuat saraf-saraf di tubuhnya menegang.Sial! Mentari mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Saat ia menoleh ke kanan dan pandangannya sejajar dengan pundak, ia mendapati
Satu kebohongan akan menciptakan kebohongan lain yang lebih besar dan rumit. Mentari sadar apa yang ia katakan pada Edo dan Mike perlahan, tapi pasti bisa menjadi bumerang yang berbalik menghajarnya. Namun, Mentari tidak bisa memaparkan kenyataan pada semua orang bahwa ayahnyalah yang menjadi dalang kehancuran hidupnya. Ia butuh waktu untuk melakukannya. Saat ini tak seorang pun mendukungnya. Ia seperti yatim piatu yang sedang berjuang sendirian menghadapi kerasnya hidup.Dari ujung koridor, Mentari hanya bisa memandangi pintu kelasnya. Gertakan Edo dan kawan-kawan telah menciutkan nyalinya untuk melewati pintu berwarna cokelat itu."Kenapa lo nggak masuk?" Suara bening dan lembut yang familier di telinga Mentari secara otomatis memacu jantung wanita itu untuk berdegup lebih kencang.Mentari tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau ke mana ia harus menolehkan wajahnya. Ia sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan pemilik suara itu selanjutnya. Semua teman-temannya sudah menghakimi,
Tanggapan Mentari memicu reaksi marah Rakhan. Rahang pria itu mengeras dan kilat tajam mata gelapnya menghujam dada Mentari dengan kemurkaan. "Kau mengendarai salah satu mobilku tanpa izin, pergi ke tempat yang menjadi markas musuh besar ayahmu, dan memancing kegaduhan dengan pingsan di dalam mobil. Apa yang akan dipublikasikan para pencari berita jika mereka mengetahui semua itu? Apa aku harus mengklarifikasi berita dengan mengakuimu sebagai istriku atau sebagai anak raja preman yang mencuri mobilku? Kurasa aku tidak akan pernah memilih opsi pertama. Kau tahu itu." "Menjadi istrimu adalah sebuah kutukan dan aku tidak perlu pengakuan." Mentari merespons dengan geram. "Jangan merepotkanku jika kau ingin mati di sana." Mentari menyibakkan selimut lalu beringsut ke tepi tempat tidur. Ia tidak peduli dengan penampilannya yang sedikit terbuka—mengenakan baju tidur tipis, pendek, dan bertali pundak kecil. Semua kalimat yang diucapkan Rakhan membuat telinganya panas dan meletupkan marah.
Ketidaksabaran Rakhan membuat ciumannya terasa sedikit kasar dan membuat Mentari mengerang kesakitan. Namun, Rakhan justru menekan tubuhnya ke tubuh Mentari, ke arah hasrat memuncak yang minta diredakan. Dan perlahan, dominasinya berhasil membuat Mentari menyerah. Tanpa melepaskan ciumannya di bibir Mentari, Rakhan melucuti pakaiannya dan membebaskan bukti gairahnya untuk menyentuh, memompa, dan memenuhi tubuh Mentari.Tidak ada yang lebih menakutkan Mentari saat ini, melainkan rengkuhan sang predator yang tengah memangsanya. Dorongan yang begitu kuat memaksa Mentari meneteskan air mata dan memekik menahan sakit. Seluruh perasaannya luluh lantak. Mentari merasakan dirinya pecah dan hancur menjadi jutaan kepingRasa sakit di sekujur tubuhnya diam-diam menyelusup ke dalam hati, menciptakan jelaga sekaligus kehampaan. Mentari menarik apa saja yang dapat ia gapai untuk menutupi tubuh telanjangnya. Gaun tidur yang masih tergeletak di tepi ranjang menjadi pilihan alternatif di saat i
"Sebaiknya kamu pulang ke rumah suamimu sekarang, Tari." Lucian terang-terangan mengusir Mentari. Ia kemudian kembali ke kursinya.Mentari mendesah kesal. Ia mengambil satu langkah lebih dekat ke meja Lucian. "Pa, katakan Arya ada di mana? Papa apa-in Arya?"Alih-alih menjawab, Lucian justru berteriak memanggil Anton. "Anton!"Tidak berapa lama Anton muncul di ruang kerja Lucian. Pria berpostur tinggi dan berbadan kekar yang menjadi kepercayaan Lucian sejak belasan tahun silam itu menunduk penuh hormat kepada sang pemimpin. "Apa yang bisa saya kerjakan, Tuan?""Bawa Mentari pulang ke rumah suaminya," perintah Lucian.Mentari membelalak. Darahnya mendidih seketika mendengar titah Lucian pada Anton. Lucian benar-benar tidak peduli kepadanya, pikir Mentari."Pa!" protes Mentari, "Papa nggak bisa mengusir Tari begitu saja. Katakan pada Tari, Arya di mana?"Sekali lagi Lucian tidak memedulikan pertanyaan putrinya. Ia kembali memberi perintah pada Anton hanya dengan anggukan. Anton memahami
"Nanti gue tanyain sama Edo. Lo tenang aja ya dan tunggu kabar dari gue." Sri mengerti betul apa yang dirasakan Mentari. Ia tulus ingin membantu Mentari."Gue kan nggak pegang HP. Nanti gue aja yang datang ke sini.""Oke deh. Ngomong-ngomong, elo mau apa ke rumah orangtuanya Arya?"Mentari menggeleng. "Gue enggak tahu. Mungkin gue mau minta maaf sama mereka karena gue anak mereka ...." Napas Mentari tiba-tiba tersekat di tenggorokan dan rasa panas kembali menyengat matanya dan menciptakan genangan baru di matanya."Hei, kok nangis lagi sih?" Sri membelai lembut punggung Mentari. "Elo nggak salah apa-apa, Tari. Arya mungkin sedang pergi melepas kekecewaannya karena elu nikah sama orang lain."Gue yang salah. Mentari tak sanggup membendung aliran air mata. Ia sudah berbohong kepada semua orang. Perasaan bersalah terus menghukumnya tanpa ampun."Kalau elo mau ke rumah orangtua Arya, nanti gue temenin elo," lanjut Sri berusaha menenangkan."Gue berutang banyak sama elo, Sri.""Elo ngomong
Setelah kejadian siang tadi, Rakhan merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Namun, sebagian dari dirinya tetap merasa gelisah. Setibanya di rumah, ia mendapati Mentari yang sedang duduk di ruang tamu sedang menidurkan Arga di pangkuannya. Kehangatan yang terpancar dari pandangan Mentari selalu menjadi penghiburan bagi Rakhan, meskipun malam itu ia tahu bahwa berita yang akan disampaikannya bukanlah sesuatu yang ringan.Rakhan melepas jasnya dan berjalan mendekati Mentari. Ia mengecup bibir Mentari, lalu dahi Arga. Semampunya Rakhan mencoba tersenyum seakan-akan tidak ada yang terjadi. Namun, Mentari tahu ekspresi Rakhan tidak seperti biasa. Wanita itu bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal dari cara Rakhan menatapnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Mentari penuh kuriositas sambil menepuk-nepuk paha Arga yang mulai tertidur pulas. Tatapannya penuh dengan kekhawatiran meski ia berusaha terlihat tenang.Rakhan mengambil napas dalam-dalam, lalu duduk di sebelahnya. “Ada sesuatu
Rakhan mengecup pipi Mentari, lalu berkata pelan di telinganya, “Sampai bertemu sore nanti.”“Hubungi aku kalau kau ada meeting dadakan, ya,” ucap Mentari sambil menurunkan Arga dari gendongannya.“Tentu saja.” Sekali lagi Rakhan mengecup pipi Mentari. “Aku pergi. I love you.”“Aku juga. Hati-hati di jalan.”Usai makan siang bersama Mentari, Rakhan kembali ke kantornya. Siang itu, Jakarta tampak begitu terik, tetapi Rakhan hampir tidak merasakannya. Pikirannya kembali dijejali berbagai urusan pekerjaan, terutama proyek yang melibatkan Annika. Namun, tak dapat dipungkiri, sosok Evander pun kerap muncul di benaknya sejak pertemuan mereka. Ia masih meragukan pria itu meskipun kredibilitasnya sebagai pengacara profesional tidak diragukan lagi. Tanpa ia sadari, mobil yang dikemudikan sopirnya sudah hampir setengah perjalanan. Mereka baru saja berhenti di perempatan ketika tiba-tiba dua orang pria berhelm yag mengendarai sepeda motor sport mendekat ke jendela mobilnya. Rakhan yang tengah a
Rakhan duduk di belakang meja kerjanya. Pandangannya menembus jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Sementara itu, pikirannya dipenuhi dengan informasi yang baru saja diterima. Drew datang ke kantornya pagi itu dengan sebuah rahasia yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang keluarga Annika.“Evander adalah saudara sepupu Annika,” kata Drew sambil meletakkan map di meja Rakhan. “Anak dari adik tiri ayahnya yang tidak pernah dipublikasikan. Keluarga mereka merahasiakan hubungan itu, karena ibu Evander dan kakak ayahnya Annika tidak pernah menikah.”Rakhan menggenggam tepi meja, mencerna kata-kata Drew dengan hati-hati. “Pantas aku tidak menemukan informasi apa pun tentang hubungan mereka di media sosial dan situs pencarian. ”“Benar,” sahut Drew. “Mereka punya ikatan keluarga yang cukup rumit. Itu sebabnya hubungan mereka disembunyikan. Oh, iya. Kau juga harus tahu bahwa Evander itu seorang duda. Mantan istrinya orang Jerman. Mereka bercerai tiga tahun
Rakhan pulang lebih larut dari biasanya. Pekerjaan di kantor membuatnya kelelahan, tetapi begitu membuka pintu, kehangatan yang familiar segera menyambutnya. Cahaya lampu yang terang dan cerah, aroma harum masakan yang masih tersisa di udara, dan yang paling menyenangkan, Mentari sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman manis yang selalu membuatnya merasa tenang.Mentari berjalan mendekat dan seperti kebiasaannya, ia memberikan ciuman lembut di pipi Rakhan. “Selamat datang, sayang,” bisik Mentari dengan lembut.Rakhan tersenyum, merasakan sejenak kehangatan itu. “Selalu menyenangkan pulang ke rumah,” jawabnya pelan sambil membelai lembut rambut Mentari. Seketika, rasa lelahnya menjadi berkurang.“Aku sudah memasak makanan favoritmu, sup asparagus kepiting.” Mentari mengumumkan menu makan malam yang telah disajikannya di atas meja makan.“Wah, makan besar nih!” Rakhan menanggapi dengan antusias. “Kalau begitu, aku mandi dulu. Nanti kita makan bareng.”“Jangan lama-lama, ya. Aku su
Sore itu, rumah Mentari dan Rakhan dipenuhi dengan kehangatan. Arga sedang bermain di tengah ruang keluarga, sementara Mentari dan Rakhan duduk di sofa sambil menikmati teh hangat. Angin sepoi-sepoi dari jendela yang terbuka membawa suasana tenang. Untuk beberapa saat, mereka bisa melupakan kesibukan dan drama di luar sana.Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika suara bel pintu berbunyi. Mentari menatap Rakhan dengan sedikit heran. Mereka tidak sedang menantikan tamu sore ini.“Siapa ya kira-kira?” tanya Mentari sambil berdiri dan menuju pintu.Rakhan mengangkat bahu dan melirik Arga yang masih sibuk bermain, lalu dia berdiri mengikuti istrinya. Ketika Mentari membuka pintu, mereka mendapati Annika berdiri di sana bersama seorang pria bertubuh tinggi yang tidak lain adalah Evander."Annika? Evander?" Mentari terkejut, tapi senyumnya tetap ramah. "Apa yang membawa kalian ke sini?"Annika tersenyum dan mengangkat sebuah bingkisan di tangannya. "Kami datang untuk mengucapkan terim
Rakhan menatap Aldy dengan tajam. "Ketika kau menyakiti seseorang, itu menjadi urusan semua orang. Apalagi kalau dia orang yang aku kenal."Annika terduduk di atas paving block. Kedua tangannya bertumpuk menutupi pipinya yang bengkak sambil menangis. Mentari dengan cepat berjongkok di samping Annika, memeriksa keadaan wanita itu. “Kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kekhawatiran.Annika menoleh pelan ke arah Mentari. Sambil terisak-isak, wanita itu berkata dengan suara bergetar dan jelas sekali ia sedang menyembunyikan rasa sakitnya. “A-aku nggak apa-apa.” Aldy melangkah mendekat, masih marah, tapi Rakhan berdiri tegak di depannya, seperti dinding pelindung yang tidak mungkin ditembus. "Pergilah sebelum situasi ini menjadi lebih buruk buatmu," kata Rakhan dingin dan dengan nada mengancam yang jelas.Aldy tampak ragu sejenak. Ekspresi wajahnya terlihat mengeras. “Dia tunanganku. Aku punya hak atas dia!”Rakhan tidak bergeming, hanya menatap Aldy dengan mata yang penuh amarah. "Kau ti
Mentari mengambil napas dalam-dalam, menenangkan degup jantungnya yang terasa berantakan. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia memutuskan bahwa menunggu tanpa kepastian hanya akan membuat pikirannya semakin semrawut. Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan melangkah menuju gerai kopi tempat Rakhan dan Annika duduk. Suara langkah kakinya terasa begitu berat, seakan-akan setiap langkah membawa sejuta pertanyaan yang menunggu jawaban.Ketika Mentari tiba di depan meja mereka, Rakhan yang awalnya fokus pada pembicaraannya dengan Annika, mendongak dan terkejut melihat kehadirannya. Dalam sekejap ekspresi serius di wajahnya berubah menjadi bingung. Namun, itu hanya sesaat sebelum akhirnya menyambut Mentari dengan senyum."Tari? Kamu di sini?" Rakhan bertanya, suaranya terdengar tenang tapi menyimpan keheranan.Annika yang duduk di hadapan Rakhan tersenyum manis menyambut istri sang mantan. "Hai, Mentari. Lama tak bertemu."Mentari memaksakan diri tersenyum, berusaha menjaga
"Arga sudah tidur?" Rakhan bertanya pelan, mengintip dari balik pintu kamar.Mentari mengangguk sambil menepuk-nepuk punggung putra mereka yang baru saja terlelap. "Iya, baru saja."Rakhan mendekat, duduk di tepi ranjang sambil mengamati wajah kecil Arga. "Dia sudah semakin besar. Cepat sekali waktu berlalu."Mentari tersenyum tipis. "Iya, rasanya baru kemarin aku menggendongnya untuk pertama kali."Keluarga kecil Mentari dan Rakhan telah menemukan ritme kebahagiaan mereka. Kehadiran Arga, putra mereka yang kini genap berusia satu tahun, melengkapi segala yang pernah diimpikan Mentari. Meski terkadang malam-malam panjang diisi tangisan bayi dan kelelahan, bagi Mentari, setiap detik bersama Arga dan Rakhan merupakan kebahagiaan tersendiri. Rakhan, meski jarang bisa menunjukkan sisi romantisnya, ia selalu membuat hari-hari Mentari penuh dengan kejutan kecil yang manis. Sebuah pelukan tiba-tiba, hadiah yang sederhana tapi bermakna, atau sekadar ikut begadang di sampingnya saat Arga sedan
Gemuruh emosi mendadak memenuhi dada dan membuatnya sesak napas. Berusaha tetap tenang, Mentari melontarkan tanya tanpa emosi berlebihan, “Kau masih berhubungan dengannya?”“Ada pekerjaan yang mengharuskan aku tetap terhubung dengannya.” Rakhan menjelaskan dengan hati-hati.Sementara itu, ponsel Rakhan terus berdering membuat telinga Mentari tidak nyaman. Mentari mengembus napas. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan kekesalannya hingga ia hanya diam.“Tari ....”Mentari mengembus napas. Mencoba untuk bersikap dewasa memang tidak mudah tapi perlu dicoba. “Angkat saja.”“Kau yakin?”“Iya.”