Entah kenapa Mentari menangkap kata-kata paling klise yang membuatnya ragu meskipun dadanya mengembang senang. “Kau sudah memutuskan dan aku menerima keputusanmu. Kau tidak perlu khawatir aku akan menyingkirkan bayi ini. Aku masih waras. Kalau Papa pernah memohon kepadamu untuk tidak meninggalkanku, jangan pedulikan. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”Rakhan merasa jijik pada diri sendiri. Apa yang pernah dikatakannya pada Mentari, kini membuat wanita itu menganggapnya berpikiran dangkal seperti yang baru saja Mentari katakan. Namun, Rakhan ingin meyakinkan Mentari kalau ia bersungguh-sungguh. “Aku yang mencetuskan perceraian dan sekarang aku ingin meralatnya. Ada sesuatu di antara kita dan hal itu akan mengikat kita selama-lamanya.”Mentari berbalik lalu memandang Rakhan dengan pandangan skeptis. “Aku tidak akan melahirkan bayi ini di dalam pernikahan di mana tidak ada rasa apa-apa di antara kita selain rasa tanggung jawab. Kau hanya merasa bayi ini sebagai ahli warismu. Tidak lebi
Mentari menarik selimut sampai ke batas dada untuk menutupi tubuhnya yang masih terekspos, lalu berguling memunggungi Rakhan. Ia tidak bisa memungkiri dirinya sendiri apabila percintaannya dengan Rakhan tadi menciptakan efek euforia. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Kini, Mentari kembali terjebak dalam rasa patah hati dan kecewa. Ia tetap merasa telah dibohongi dan Rakhan tidak serius dengan ucapannya. Melihat reaksi Mentari yang murung, jiwa menyelidik Rakhan terdorong untuk mengetahui. Rakhan tidak biasa mengalah dan membujuk berlebihan. Apa yang mengganjal di hatinya, ia akan mengatakannya tanpa mengrurangi atau melebihi. Ia mendekap Mentari dari belakang dan mendaratkan kecupannya di pipi wanita itu. “Ada apa? Apa kau masih marah padaku?” Rakhan bertanya dengan suara pelan di telinga Mentari.“Kau sangat serius ingin bercerai denganku sebelum ini.” Air mata Mentari meleleh dari sudut matanya. Isak tangisnya membuat Rakhan gusar. Semampunya, Rakhan berusaha untuk menenangk
Rakhan menatap tajam Barry. Sorot matanya berkilat kelam dan penuh dendam. “Apa yang kau lakukan pada Lucian Sagara?”“Apakah tidak ada salam untukku?” sindir Barry. Sedetik kemudian ia menjatuhkan pandangannya pada Mentari. “Apa kabarmu, Tari?”“B-baik.” Mentari menyahuti dengan gugup. Ketegangan berembus mengisi seisi ruangan. Masing-masing dari keempatnya mempunyai alasan untuk meluapkan kemarahan, terlebih lagi Rakhan. Mentari melihat ada yang berbeda dari suaminya selama beberapa hari terakhir. Rakhan lebih sensitif dan terkesan menggebu-gebu terhadap berita ayahnya. Ia berharap Rakhan melakukannya dengan tulus.“Orang sepertimu tidak pantas kuberi penghormatan.” Rakhan mencetuskan perangnya.Barry menarik punggungnya dari sandaran kursi, lalu duduk dengan tegak sementara tangannya terlipat di depan dada. “Ayah mertuamu pantas mendapatkannya. Kau laki-laki yang cerdas. Selain mengetahui seluk beluk dunia bisnis, kau pun paham betul tentang hukum. Seharusnya kau tahu konsekuensi
Di sisi lain, Mentari merasa apa yang sedang dibicarakan Rakhan dan Barry ada hubungan dengan dirinya. Jika mereka menyebut-nyebut soal preman, mereka pasti sedang membicarakan ayahnya. Dan siapa pun yang disebut anak si preman,kemungkinan besar adalah dirinya. “Rakhan, ada apa ini?” Mentari menuntut penjelasan pada Rakhan, lalu pandangannya berganti arah ke Barry. “Siapa yang kalian bicarakan, Om? Apakah aku?”“Sudahlah, Tari. Sebaiknya kita pergi dari sini,” tutur Rakhan. Ia kemudian menatap Arya dengan tatapan yang dingin dan keras. “Cabut tuntutanmu pada Lucian Sagara sebelum semua yang kau lakukan berbalik menghancurkanmu. Kau percaya pada orang yang salah.”Rakhan membawa Mentari keluar dari ruang kerja Barry. Meskipun belum puas meluapkan rasa kesalnya kepada Barry dan Arya, setidaknya ia telah memberikan peringatan keras kepada mereka. Rakhan tidak berharap lebih banyak dari mereka lantaran ia tahu baik Barry maupun Arya, kedua orang tersebut mendendam pada Lucian.Sementar
Mentari terus menangis saat perawat kembali memasang selang infus di tangannya. Si perawat yang terlihat sudah berumur itu sampai harus turut serta menenangkan pasien VVIP tersebut. Dan setelah perawat tersebut meninggalkan kamar Mentari, Rakhan mencoba untuk mendekati Mentari. Namun, Mentari yang terlanjur kecewa akhirnya membuang muka.Rakhan kembali ke samping ranjang Mentari. Ia membungkuk, mengulurkan tangan membelai puncak kepala Mentari, lalu mengecup keningnya. “Aku mencintaimu, Tari. Jangan katakan kalau aku tidak peduli kepadamu. Itu tidak benar.”“Sudahlah, Rakhan. Jangan pura-pura lagi. Kenyataannya, kau hanya pura-pura peduli kepadaku dan Papa agar orang lain bisa menilaimu lebih. Kau hanya sedang melakukan pencitraan. Aku akui kau berhasil melakukan itu.”Handoko yang seda
“Kamu bisa bersabar sampai besok, ‘kan?” tanya Rakhan nyaris berbisik di telinga Mentari.Embusan napas Rakhan yang menyapa cuping telinga Mentari membuat tengkuk wanita itu meremang. Tanpa sadar, Mentari menyelipkan tangan ke tengkuk dan mengusap-usapnya seolah dengan melakukan itu bisa menormalkan tubuhnya yang sedikit menegang.“Kenapa?” bisik Rakhan yang kemudian mengecup cuping telinga Mentari dan hal itu spontan membuat sang istri bergerak menjauh.“Jangan dekat-dekat.” Kali ini Mentari mengusap daun telinga dengan tangannya yang lain. “Aku jadi merinding.”Gelak tawa Rakhan memenuhi ruangan. Ia menarik kembali Mentari ke dalam pelukannya. “Kau pikir aku hantu?”
Saat semua orang beranjak menuju ruang makan, Rakhan menahan langkah Mentari, meminta wanita itu untuk tetap tinggal sejenak. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya, sesuatu yang selama ini ditahannya karena ego yang tertanam begitu dalam sejak lama. Namun kini, di tengah keheningan yang mengisi ruang di antara mereka, Rakhan merasa sudah waktunya untuk membuka belenggu itu, mengalirkan perasaannya yang selama ini tertahan.Rakhan menggenggam tangan Mentari, kali ini dengan kelembutan yang belum pernah ditunjukkannya sebelumnya. Ia menatap wajah istrinya dengan seksama, mencari ketenangan yang perlahan mulai terlihat di sana. Senyum lembut Mentari tak dapat disembunyikan, meski ada sejumput kekhawatiran yang masih bersembunyi di sudut matanya.“Mulai malam ini, aku akan menemanimu tidur,” ujar Rakhan dengan hati-hati, suaranya nyaris seperti b
Kadang, untuk menjalani hidup sesuai keinginan diperlukan perjuangan besar dan kerja sama dari pasangan. Meskipun satu per satu masalah yang mendera Rakhan dan Mentari bisa dilewati, tetapi masih ada karang terjal yang mencoba menghalau laju bahtera rumah tangga mereka. Bersantai dari setiap pemikiran sulit tentang kenyataan dan rumitnya sebuah hubungan, malam itu Rakhan berusaha untuk merealisasikan salah satu bagian penting kerja samanya dengan Mentari, mempererat ikatan perasaannya dengan sang istri.“Kau tahu, Sayang. Ternyata kau sangat berani kemarin. Aku bangga kepadamu.” Rakhan melingkarkan tangannya ke pinggang Mentari dari belakang, lalu mengecup lembut pipi wanita itu. Ia kemudian sedikit menempelkan pipinya ke samping pipi Mentari dan melihat wajah polos istrinya melalui cermin rias yang menggantung di dinding di hadapan mereka.Ai