"Aku berjanji akan selalu ada di sampingmu."
Begitu janji Fara pada Shakir saat pernikahan mereka. Pria itu selalu tersenyum saat menatapnya. Matanya selalu berbinar setiap kali tatapan mereka bertemu. "Aku tak akan melepaskan kamu, Shakir." Ucapan yang selalu Fara ulang-ulang setiap kali mereka berbicara. Fara meyakini ucapan yang ini akan dia tepati. Dia tidak boleh pergi sebelum mendapatkan sesuatu, bukan? Sudah hampir satu tahun mereka bersama dan tinggal bersama kedua orangtua Shakir. Rumah mewah yang mempekerjakan banyak asisten rumah tangga ini menetapkan peraturan untuk setiap anggota keluarganya yaitu wajib makan malam bersama. Walaupun Shakir belum sampai di rumah dan mertuanya tidak menyukainya, Fara tetap harus hadir di meja makan. "Kandungan kamu sudah berapa bulan, Fara?" tanya mertua laki-lakinya, Ryan. Kini dia sedang ada di meja makan bersama kedua mertuanya tanpa kehadiran Shakir. "Masuk sembilan bulan, Pa. Beberapa minggu lagi aku akan melahirkan." "Shakir akan sibuk bulan ini. Kamu sebaiknya tidak merepotkan Shakir." Sarah, mama mertuanya buka suara. "Oh ya betul. Minggu depan itu Shakir harus mulai proyek besar yang sudah deal dengan pemerintah. Apa kamu gak ada teman untuk mengantar kamu?" Ryan menimpali. Sebenarnya, Fara bisa merasakan kasih sayang dari perhatian Ryan. Pria tua itu tidak pernah bermaksud untuk bersikap kasar. Dia hanya terlalu polos untuk menyadari bahwa istrinya tengah menghakimi menantunya. "Aku melahirkan sendiri saja, gak apa-apa, Pa," ujarnya lemah sambil menunduk dan mengelus perutnya. Dia bisa merasakan sedikit pergerakan janinnya. "Bagus deh," ucap Sarah dengan ketus. Fara sedikit tersenyum. Walaupun dia tidak pernah mencintai Shakir, perlakuan Sarah selalu membuatnya tak berkutik. Niko bilang, dia harus bersabar supaya misi mereka bisa berjalan lancar. Niko tengah berusaha membawa masuk investor utama untuk perusahaan Shakir. Niko berjanji pada Fara bahwa dia bisa pergi dari rumah ini bersama anaknya sebelum sang anak berusia satu tahun. "Kamu mandiri sekali, Fara. Ayo silakan dimakan yang banyak. Kamu harus sehat buat anak kamu," puji Ryan dengan ramah. "Seandainya saja kamu itu bukan anak yatim piatu dan bukan anak yang dibesarkan di panti asuhan, kamu pasti akan punya teman atau keluarga yang mau menemani kamu melahirkan," keluh Sarah sambil berpura-pura sibuk memilih lauk. Fara tidak ingin mengingat masa kecilnya di panti asuhan. Namun, Sarah akan dengan senang hati membahas hal ini supaya Fara bisa selalu ingat dari mana dia berasal. "Mama," panggil Shakir yang baru saja bergabung ke meja makan. "Jangan bicara seperti itu sama Fara. Dia istri aku, orang yang aku cinta." Fara menatap Shakir. Pria berhidung mancung itu melempar senyum kepadanya. "Makan, Shakir. Senyum gak akan bikin kamu kenyang," ucap Sarah. "Sebentar, Ma. Aku masih rindu dengan istriku." Shakir terus tersenyum kepada Fara. Wanita itu membalasnya dengan kikuk. Jika saja Fara menikah dengan Shakir karena cinta, dia akan sering meleleh karena Shakir adalah suami idaman yang bisa membela istri di depan ibunya. "Makan, Sayang," bujuk Fara. "Kalau gak makan sekarang, kamu bisa sakit perut keesokan paginya." "Kalau sakit perut, aku jadi bisa minum teh hangat buatan kamu, kan?" "Ya ampun, Direkturku yang manja ini," ujar Fara sambil meremas kedua pipi suaminya dengan gemas. Sarah berdeham tidak suka. Fara langsung menurunkan tangannya dari pipi Shakir. "Aku harus memanfaatkan waktu sebelum waktumu dibagi dua antara aku dan dia," sahut Shakir sambil mengelus perut Fara. Tak mempedulikan tatapan sinis ibunya. Ryan tiba-tiba tertawa di sela suapan makannya. Sarah mengernyit. "Kamu itu persis banget sama Papa waktu kamu masih di perut Mama. Ketakutan Papa terbukti, setelah kamu lahir seluruh perhatian Mama tercurah ke kamu. Lihat saja sekarang, dari tadi mata Mama terus melihat ke arah kamu padahal anaknya sudah menikah dan sudah ada yang mengurusi," keluhnya dengan santai. "Papa bicara apa? Udah, makan aja!" seru Sarah kesal yang justru membuat gelak tawa Ryan semakin besar. Shakir mulai menyuap makanannya. Fara menuang es jeruk ke dalam gelas Shakir sambil terus tersenyum. Sesekali dia membantu menyingkirkan nasi yang menempel pada sudut bibir Shakir. *** Berbeda dengan orang kebanyakan, Fara selalu menunggu hari Senin tiba. Hanya di hari itu, dia akan sendirian di rumah. Shakir bekerja dan kedua mertuanya pergi bermain golf. Pada hari itu juga, dia akan pergi keluar rumah menggunakan taksi menuju rumah Niko. Dia tidak mungkin menggunakan sopir pribadi yang sudah disediakan oleh Shakir. Sopir itu akan melapor ke mana di pergi. Padahal tidak ada orang yang boleh mengetahui hubungannya dengan Niko. Niko tinggal di sebuah apartemen mewah lantai 21. Saat pintu masuknya terbuka, Fara menemukan wajah Niko, Sella, dan Omar. Dia bergabung bersama mereka sambil mulai menyalakan sebatang rokok. "Jangan merokok di sini, Ra!" maki Niko hampir berhasil merebut benda yang sudah mulai berasap itu di bibir Fara. Wanita berbadan dua itu tampak tidak cocok merokok, tetapi dia cukup lihai bermain dengan kepulan asap dan meniupkannya ke wajah Niko. Pria itu terbatuk. "Lo diem aja, Nik! Lo gak tau rasanya mulut gue jadi asem karena nggak bisa ngerokok di rumah itu!" Fara balas memaki Niko yang akhirnya memilih menjauh. Walaupun Niko adalah pemimpin dari kelompok ini, dia memang tidak merokok dan selalu terganggu pada asap rokok. Satu-satunya sisi negatif dari pria itu adalah kelicikannya. Fara belum pernah menemukan orang selicik Niko yang begitu niat mengatur rencana selama lima tahun untuk merebut perusahaan milik orang lain. Lebih tepatnya, Shakir. "Kandungan lo gak berpengaruh? Kita butuh anak itu lahir," ucap Sella yang duduk di sebelahnya. "Aman. Dia kuat." Lalu, Fara menatap Omar lekat-lekat. Sejak tadi pria itu tidak bersuara dan sibuk mencoret-coret koran di hadapannya. "Lo udah tau kan kalo Shakir gak boleh nemenin lo lahiran? Kita bikin jadwal sesar lo dan jadwal dia meeting dengan Omar bentrok." Niko menjelaskan. "Udah. Lagian gue juga gak mau Shakir nemenin gue. Tapi gue belum bahas ini lagi sama dia," jawabnya sambil mengelus perutnya dan melirik Omar. Niko mengikuti arah pandang Fara. "Lo harus bisa yakinin Shakir untuk melahirkan sendiri tanpa dia. Hari itu Shakir dan gue harus ketemu, Sella akan mengajak Bu Sarah ke salonnya, dan Bu Sarah pasti ngajak Pak Ryan." Omar bersuara. Omar menatap manik mata cokelat Fara dengan datar. Dia sadar sejak tadi wanita itu menatapnya. "Masalah Shakir bisa gue atur." Niko menimpali. Di PT Afnan Projects, dia adalah sekretaris sekaligus asisten pribadi Shakir. Tangan kanannya yang tidak setia. "Shakir tetap butuh motivasi dari istrinya. Meyakinkan dia untuk fokus ke proyek." Omar tak mau kalah. Dia melirik Fara lagi. Fara menyesap dalam batang nikotin yang tinggal setengah itu. Omar benar-benar membuatnya tidak mood. "Gue tahu harus ngelakuin apa. Lo fokus aja bikin Shakir setuju sama proyek lo biar gue bisa cepat-cepat pergi dari rumah itu."Ada stok permen mint yang selalu dibawa Fara dalam tasnya untuk menghilangkan bau nikotin pada mulutnya. Dia mengambil satu dan memakannya saat mobil mulai masuk ke dalam gerbang rumah. Walaupun hari ini dia tidak merokok, dia tetap merasa khawatir bau itu akan tercium saat Shakir mendekatinya.Wanita berkaki jenjang itu langsung masuk kamar dan membersihkan dirinya dengan mandi. Asistennya sudah menyiapkan bathub dengan air susu setelah dia memintanya saat masih di perjalanan beberapa menit yang lalu. Dia merendam dirinya di dalam bathub sambil mencium aroma mawar dari lilin di sebelahnya.Matanya terpejam, menikmati aroma susu yang bercampur dengan mawar dan kehangatan air yang merendam tubuhnya. Tendangan kecil dari bayi di dalam perut mengukir senyum di bibirnya. Dia menyayangi bayi ini, sekalipun ayah kandungnya tidak akan pernah mempedulikannya."Sayang," panggil seseorang membuat Fara terbangun. Rupanya dia tertidur. Entah sudah berapa lama."Hai, Mas Shakir," sapanya sambil me
"Kami cek pembukaan ya, Bu," ujar dokter Ardi yang segera datang setelah dihubungi IGD.Fara masih melampiaskan rasa sakitnya pada genggaman tangan Shakir."Pak, istrinya dipandu untuk atur napas ya biar tenaganya gak habis karena kesakitan," pinta seorang perawat yang tengah mempersiapkan peralatan pemeriksaan.Shakir mengangguk. Dia menatap Fara yang tengah memejamkan matanya menahan sakit. Ini genggaman terkuat Fara yang dia rasakan selama mengenal wanita ini."Sayang," panggilnya sambil mengelap keringat di dahi Fara dengan tangannya yang lain. "Kita napas seperti yang diajarkan Coach Tita, yuk?"Fara masih terpejam menahan sakit, tapi dia mengangguk. Di sela-sela kesibukannya sebagai Direktur Utama, Shakir selalu rutin menemani Fara yoga kehamilan sejak trimester kedua. Pria itu menyimak dengan baik pelajaran yang diberikan Coach Tita karena dia ingin menjadi suami berguna saat istrinya melahirkan.Walaupun pada akhirnya Fara memutuskan ingin melahirkan secara sesar, Shakir tidak
Attar Sulaiman Afnan adalah nama yang dipilih Fara untuk anaknya. Dia terpaksa menggunakan nama keluarga Shakir di belakang nama anaknya karena didesak oleh Ryan. Mertua laki-lakinya itu ingin nama belakangnya dijadikan nama keluarga keturunannya.Sejak Attar selesai dibersihkan hingga Fara sudah masuk ke kamar inap untuk pemulihan, Shakir tidak bisa berhenti tersenyum. Matanya berbinar-binar memandangi wajah Attar. Sesekali dia juga berdebat dengan ayahnya yang sama-sama ingin menggendong Attar.Namun, kehangatan di kamar itu tidak bisa membuat hati Sarah mencair. Wanita itu menggeleng setiap kali mendengar Ryan dan Shakir adu mulut. Dia duduk di sisi kiri Fara sambil melipat kedua tangannya di depan dada."Shakir, Papa, biarkan Attar istirahat. Kalo kalian rebutin terus, dia gak bisa istirahat, lho," ujar Sarah.Shakir dan Ryan saling menatap. Kemudian, Ryan segera menuruti ucapan istrinya. Dia menaruh Attar di boks bayi yang ada di sisi kanan ranjang Fara."Papa itu datang ke sini
Attar tidur dengan tenang setelah perut kecilnya penuh. Fara menimang Attar dalam gendongannya sambil bersenandung pelan. Sementara Shakir terus menatap pintu di hadapannya.Hasil tes DNA akan keluar pagi ini. Shakir menyempatkan diri untuk melihat hasilnya di laboratorium RS. Niko, Sarah, Ryan, dan Sella juga ada di sini.Selain Niko yang bekerja di perusahaan Shakir, Sella juga memiliki hubungan yang spesial dengan Sarah. Pelanggan salon Sella adalah sosialita kelas atas. Tujuan mereka pergi ke salon bukan hanya untuk mempercantik diri, tapi juga membangun hubungan dengan wanita kaya lainnya.Sella banyak mendapatkan info-info bermanfaat dari para wanita kaya yang hobi bergosip saat melakukan perawatan. Dari sanalah dia tahu bagaimana cara mendekati keluarga Shakir. Jika ingin merebut harta keluarga ini, Niko berpendapat bahwa mereka harus menyerang dari dalam.Beberapa menit kemudian, pintu itu terbuka. Seorang petugas lab yang memegang amplop berdiri di sana. Shakir otomatis berdi
Attar menangis dengan kencang. Sementara Fara terduduk dengan lesu. Fara sudah lupa berapa hari dia tidak keramas, bahkan hari ini dia baru sempat mandi satu kali.Ada suara gaduh dari luar pintu. Tak lama kemudian, pintu kamar dibuka dengan kasar. Sarah muncul bersama Shakir. Wajah wanita itu merah."Ma, sudah, Ma," pinta Shakir yang masih bertahan menggunakan nada yang lemah lembut. Padahal guratan kemarahan ada di wajahnya saat Sarah tidak mau mendengarnya.Sarah menatap Fara dengan tajam. Matanya bergerak-gerak antara Fara dan Attar. Sementara itu, Shakir segera menggendong Attar dan menenangkan bayinya."Kamu tuh udah gak ikut makan malam bareng. Anak nangis, kamu gak ngapa-ngapain! Suami kamu baru pulang kerja udah harus ngurus bayi. Terus kerjaan kamu apa?" Sarah mencaci maki Fara."Ma, stop, please? Fara butuh istirahat." Shakir membela Fara. Attar mulai tenang dalam dekapannya.Fara mengerutkan dahinya pada Sarah. Tangannya mengepal. "Maaf, Ma."Namun, hanya itu yang keluar d
Alunan musik klasik terdengar di penjuru ruangan. Pramusaji bergerak ke sana ke mari di antara kerumunan orang-orang berjas dan bergaun mewah. Aroma parfum mahal juga bertebaran di mana-mana."Pak Alman Ashraf dari Risjad Hotel," bisik Niko pada telinga Shakir ketika ada seorang pria mendekatinya sambil tersenyum, bersiap menyapa."Penjualan Afnan Watch untuk tamu VVIP di hotelnya meningkat pesat enam bulan belakangan ini," lanjut Niko. Shakir mengangguk, lalu balas tersenyum pada pria itu."Pak Alman Ashraf," sapa Shakir sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Raut wajahnya tegas dan tatapannya hangat."Pak Shakir. Lama gak ketemu. Saya pikir Pak Shakir akan lupa dengan saya," balas pria itu sambil menjabat tangan Shakir.Shakir tersenyum. Sebenarnya dia tidak bisa mengingat semua wajah koleganya satu per satu."Hotel Bapak sangat berjasa untuk Afnan Watch beberapa bulan ini, saya gak mungkin lupa. Bagaimana kabarnya, Pak? Anak dan Istri sehat?"Walaupun Shakir tidak hafal semua
Setelah acara makan selesai, mereka kembali keluar dan bergabung dengan yang lainnya. Shakir yang ditemani Niko menghampiri beberapa rekan kerjanya, sementara Fara menunggunya bersama Attar di dekat meja minuman.Seorang pria berdeham di sebelah Fara sambil memegang segelas wine. Itu Omar. Dia sengaja mengambil kesempatan berbicara dengan Fara saat Shakir sedang jauh dari wanita itu.Fara berjalan menjauh. Dia cukup kesal dengan sikap Omar. Namun, dia tidak mungkin berbicara kasar saat bersama Attar. Bayi ini tidak boleh mendengar hal-hal yang buruk.Omar menarik tangan Fara untuk menahannya saat dia mencapai pintu keluar yang lebih sepi. Fara seketika memelototi pria itu sambil menarik kembali tangannya."Jangan pergi kalau lo gak mau jadi pusat perhatian di sini. Shakir gak akan lihat gue ngobrol sama lo. Niko lagi bikin dia sibuk.""Kita gak ada kebutuhan buat ngobrol!" Dadanya berdebar-debar antara marah pada Omar dan takut Shakir melihat mereka.Omar terkekeh. Lalu, dia melirik w
Setelah acara makan malam bersama Sarah dan Ryan yang berlangsung tanpa saling bicara, Fara memutuskan untuk masuk kembali ke dalam kamarnya. Shakir seharusnya sudah pulang 30 menit lalu, tapi sampai saat ini batang hidung pria itu belum juga muncul.Dia memeriksa Attar yang masih tertidur pulas di ranjangnya. Mainan bayi itu berserakan di sekitar ranjang dan Fara membiarkan hal itu.Attar akan menangis jika tidak ada mainan yang bisa dijangkau oleh mata atau tangannya. Dia mulai tertarik pada benda-benda yang berwarna mencolok.Fara berjalan ke lemari pakaian dan mengganti dressnya dengan piyama berwarna merah marun. Kemudian dia duduk di depan meja rias dan mulai menggunakan rangkaian perawatan wajahnya. Tentu saja dia memakai rangkaian perawatan wajah yang bahannya aman dan tidak memiliki wangi menyengat.Posisi hidung dan mulut Attar sering berdekatan dengan wajahnya. Dia tidak ingin Attar mencium wewangian yang menyengat dari wajahnya. Itu bisa berbahaya bagi paru-paru anaknya.S