Attar Sulaiman Afnan adalah nama yang dipilih Fara untuk anaknya. Dia terpaksa menggunakan nama keluarga Shakir di belakang nama anaknya karena didesak oleh Ryan. Mertua laki-lakinya itu ingin nama belakangnya dijadikan nama keluarga keturunannya.
Sejak Attar selesai dibersihkan hingga Fara sudah masuk ke kamar inap untuk pemulihan, Shakir tidak bisa berhenti tersenyum. Matanya berbinar-binar memandangi wajah Attar. Sesekali dia juga berdebat dengan ayahnya yang sama-sama ingin menggendong Attar. Namun, kehangatan di kamar itu tidak bisa membuat hati Sarah mencair. Wanita itu menggeleng setiap kali mendengar Ryan dan Shakir adu mulut. Dia duduk di sisi kiri Fara sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Shakir, Papa, biarkan Attar istirahat. Kalo kalian rebutin terus, dia gak bisa istirahat, lho," ujar Sarah. Shakir dan Ryan saling menatap. Kemudian, Ryan segera menuruti ucapan istrinya. Dia menaruh Attar di boks bayi yang ada di sisi kanan ranjang Fara. "Papa itu datang ke sini buat negur Shakir. Perusahaan kita bisa bangkrut kalo kamu gak bisa atur prioritas kamu, Shakir!" "Ma, jangan di sini," pinta Ryan sambil menatap Attar yang masih tertidur pulas. "Terus mau di mana, Pa? Papa ini selalu alasan cari waktu yang tepat buat ngobrol sama Shakir, tapi sampai sekarang belum ada hasil!" "Ayo kita ngobrol di luar, Ma. Biar Fara dan Attar istirahat," pinta Shakir dengan lembut menawarkan tangannya untuk digandeng oleh sang ibu. "Justru Fara harus dengar. Ini semua gara-gara dia, kamu jadi gagal ketemu dengan Pak Omar Harris. Kesempatan langka yang gak akan kamu dapetin untuk kedua kali," bantah arah dengan mata yang semakin melebar. "Salah Fara apa, Ma? Dia hanya melahirkan. Mama kan tahu hari melahirkan itu memang gak bisa diprediksi. Lagipula sudah kejadian, lebih baik fokus untuk cari solusinya." Ryan menenangkan istrinya. Fara menunduk sambil berpura-pura bersedih. Sebenarnya, dia sangat ingin membalas semua perkataan Sarah yang menyalahkannya. Namun, dia tidak bisa melakukan itu. Jadi, dia menahan keinginannya untuk membalas dendam sambil meremas ujung selimutnya dengan kuat. Shakir menghela napas melihat istrinya tertunduk. Dia sudah berusaha menjelaskan berkali-kali pada ibunya supaya tidak menyakiti wanita yang dia cintai. Namun, Sarah tidak pernah mendengarkan permintaannya. "Dengar, Shakir," panggil Ryan dengan suara dalam. Suara yang hanya dia gunakan ketika sedang berbicara dengan serius. "Sejujurnya Papa memang kecewa kamu melepaskan Pak Omar. Tapi Papa juga bangga lihat kamu bertanggungjawab pada keselamatan istri dan anak kamu. Sekarang kita fokus cari solusinya. Bicarakan dengan manajemen langkah apa yang sebaiknya kalian ambil supaya kerugian perusahaan nggak membengkak." "Siap, Pa. Terima kasih karena Papa masih percaya sama aku." Ryan tersenyum sambil menepuk bahu anak semata wayangnya. Shakir mendekati istrinya dan mengelus punggungnya. "Nggak apa-apa, Sayang," ucapnya sambil mengatur rambut istrinya ke belakang telinga. Pada saat itu, pintu kamar Fara dibuka oleh seseorang dari luar. Semua mata menatap ke arah itu sampai sosok yang mengetuknya muncul di hadapan mereka. "Selamat siang," sapa wanita itu sambil sedikit membungkuk kepada Ryan dan Sarah. "Rupanya sedang ada kumpul keluarga di sini." "Hai, Tante Sella. Tolong ajak Mama pergi. Mama butuh refreshing di salon," pinta Shakir. Itu Sella yang Fara kenal. Dia menggunakan blouse cokelat dan rok span putih. Rambutnya disanggul rapi ke belakang. Penampilan yang bertolak belakang dari pribadi Sella yang sesungguhnya. "Rencana saya memang begitu, Mas Shakir. Selain itu, saya juga perlu menyampaikan sukacita pada Mbak Fara." Sella beralih menatap Fara yang sedang setengah tiduran di tempat tidurnya. "Selamat atas kelahirannya, Mbak Fara. Saya akan kirim hadiahnya ke alamat rumah ya." "Terima kasih, Tante Sella." Sella memberikan senyuman terlebarnya. Lalu, dia beralih pada Sarah. "Kita bisa berangkat sekarang, Bu Sarah?" "Sudah, ayo." Ryan dengan sigap menggandeng istrinya yang sejak tadi sepertinya sudah siap untuk pergi sewaktu-waktu. Sella mengambil peran untuk memimpin pasangan suami istri konglomerat ini berjalan. "Oh ya, Shakir. Sebelum itu..." ucap Sarah menghentikan langkahnya tepat di depan Shakir dan membelakangi Fara. "Sejujurnya, Attar gak mirip sama kamu. Mama akan daftarkan kalian untuk tes DNA dan Mama gak nerima bantahan apa pun." Pernyataan itu tentu saja membuat semua orang yang ada di ruangan ini terkejut. Termasuk Ryan, orang yang sebenarnya paling santai. "Tes DNA?" tanya Ryan memastikan. Namun, daripada Ryan, hati Fara dan Sella yang sebenarnya terasa jauh lebih terkejut. Tanpa perlu melakukan tes DNA, mereka sudah tahu hasilnya seperti apa. Attar memang bukan anak kandung Shakir. "Attar mirip aku, Ma," ujar Shakir setengah merengek. "Masa Mama gak bisa lihat? Dia juga mirip Fara. Wajahnya campuran antara aku dan Fara." "Ah, kalo kata orang, anak akan mirip dengan wajah orangtua yang lebih menyayanginya," ujar Sella berusaha mengubah pemikiran Sarah. "Wah, Tante Sella, aku sayang sama Attar, kok," sahut Shakir tidak terima. Hal itu membuat Fara tersenyum. Pria itu selalu berpikir positif tentang dirinya. Namun, di sisi lain dia juga semakin merasa bersalah pada Shakir. "Ya, menurut Papa, Shakir benar. Tapi gak ada salahnya nurutin permintaan Mama. Kamu hak rugi apa pun," ujar Ryan pada Shakir. "Iya, kan, Ra?" tanyanya beralih kepada Fara. Fara menelan ludah sambil mengangkat kedua alisnya. Sedetik kemudian, dia sadar kalau dia harus menjawab. Dia mengangguk pasrah sambil sedikit tersenyum. "Iya, Pa." "Nah, beres, kan? Ayo, Ma, kamu ke salon aja. Kayaknya kamu kepanasan di sini." Sella tersenyum lebar. Dia benar-benar ingin segera menyeret Sarah pergi dari sini sebelum wanita itu mendapatkan ide lain yang bisa membongkar identitas Fara. "Mari," ajaknya mempersilakan. Sella mengantar Sarah dan Ryan sampai ke mobilnya. Setelah mobil pasangan itu menjauh, Sella mencari ponselnya dan segera menghubungi seseorang. "Ya?" sahut seorang pria di seberang telepon. "Ada sedikit masalah," "Masalah kita itu banyak, Sel. Gara-gara Fara semuanya jadi hancur berantakan. Ada apa lagi sekarang?" "Bu Sarah akan melakukan DNA untuk Attar." "Attar? Siapa? Apa hubungannya sama rencana kita?" Sella berdecak sebal. "Anak lo! Anak lo namanya Attar. Parah ya lo! Walaupun lo dan Fara melakukannya dengan terpaksa untuk rencana kita, bukan berarti lo bisa lupa sama darah daging sendiri!" "Oh oke. Lo gak bisa cegah itu?" "Gak bisa, Bu Sarah didukung Pak Ryan. Jadi lo hubungin deh kenalan lo dan selametin rencana kita. Jangan lupa, kabarin Niko juga." Sella menyelesaikan panggilan teleponnya setelah Omar mengiakan permintaannya. Dengan perasaan yang dongkol, dia berjalan ke mobilnya untuk menyusul Sarah dan Ryan yang sedang menuju salonnya. Walaupun hatinya masih belum tenang, setidaknya dia tahu jika Omar dan Niko akan bergerak untuk menyelamatkan mereka.Attar tidur dengan tenang setelah perut kecilnya penuh. Fara menimang Attar dalam gendongannya sambil bersenandung pelan. Sementara Shakir terus menatap pintu di hadapannya.Hasil tes DNA akan keluar pagi ini. Shakir menyempatkan diri untuk melihat hasilnya di laboratorium RS. Niko, Sarah, Ryan, dan Sella juga ada di sini.Selain Niko yang bekerja di perusahaan Shakir, Sella juga memiliki hubungan yang spesial dengan Sarah. Pelanggan salon Sella adalah sosialita kelas atas. Tujuan mereka pergi ke salon bukan hanya untuk mempercantik diri, tapi juga membangun hubungan dengan wanita kaya lainnya.Sella banyak mendapatkan info-info bermanfaat dari para wanita kaya yang hobi bergosip saat melakukan perawatan. Dari sanalah dia tahu bagaimana cara mendekati keluarga Shakir. Jika ingin merebut harta keluarga ini, Niko berpendapat bahwa mereka harus menyerang dari dalam.Beberapa menit kemudian, pintu itu terbuka. Seorang petugas lab yang memegang amplop berdiri di sana. Shakir otomatis berdi
Attar menangis dengan kencang. Sementara Fara terduduk dengan lesu. Fara sudah lupa berapa hari dia tidak keramas, bahkan hari ini dia baru sempat mandi satu kali.Ada suara gaduh dari luar pintu. Tak lama kemudian, pintu kamar dibuka dengan kasar. Sarah muncul bersama Shakir. Wajah wanita itu merah."Ma, sudah, Ma," pinta Shakir yang masih bertahan menggunakan nada yang lemah lembut. Padahal guratan kemarahan ada di wajahnya saat Sarah tidak mau mendengarnya.Sarah menatap Fara dengan tajam. Matanya bergerak-gerak antara Fara dan Attar. Sementara itu, Shakir segera menggendong Attar dan menenangkan bayinya."Kamu tuh udah gak ikut makan malam bareng. Anak nangis, kamu gak ngapa-ngapain! Suami kamu baru pulang kerja udah harus ngurus bayi. Terus kerjaan kamu apa?" Sarah mencaci maki Fara."Ma, stop, please? Fara butuh istirahat." Shakir membela Fara. Attar mulai tenang dalam dekapannya.Fara mengerutkan dahinya pada Sarah. Tangannya mengepal. "Maaf, Ma."Namun, hanya itu yang keluar d
Alunan musik klasik terdengar di penjuru ruangan. Pramusaji bergerak ke sana ke mari di antara kerumunan orang-orang berjas dan bergaun mewah. Aroma parfum mahal juga bertebaran di mana-mana."Pak Alman Ashraf dari Risjad Hotel," bisik Niko pada telinga Shakir ketika ada seorang pria mendekatinya sambil tersenyum, bersiap menyapa."Penjualan Afnan Watch untuk tamu VVIP di hotelnya meningkat pesat enam bulan belakangan ini," lanjut Niko. Shakir mengangguk, lalu balas tersenyum pada pria itu."Pak Alman Ashraf," sapa Shakir sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Raut wajahnya tegas dan tatapannya hangat."Pak Shakir. Lama gak ketemu. Saya pikir Pak Shakir akan lupa dengan saya," balas pria itu sambil menjabat tangan Shakir.Shakir tersenyum. Sebenarnya dia tidak bisa mengingat semua wajah koleganya satu per satu."Hotel Bapak sangat berjasa untuk Afnan Watch beberapa bulan ini, saya gak mungkin lupa. Bagaimana kabarnya, Pak? Anak dan Istri sehat?"Walaupun Shakir tidak hafal semua
Setelah acara makan selesai, mereka kembali keluar dan bergabung dengan yang lainnya. Shakir yang ditemani Niko menghampiri beberapa rekan kerjanya, sementara Fara menunggunya bersama Attar di dekat meja minuman.Seorang pria berdeham di sebelah Fara sambil memegang segelas wine. Itu Omar. Dia sengaja mengambil kesempatan berbicara dengan Fara saat Shakir sedang jauh dari wanita itu.Fara berjalan menjauh. Dia cukup kesal dengan sikap Omar. Namun, dia tidak mungkin berbicara kasar saat bersama Attar. Bayi ini tidak boleh mendengar hal-hal yang buruk.Omar menarik tangan Fara untuk menahannya saat dia mencapai pintu keluar yang lebih sepi. Fara seketika memelototi pria itu sambil menarik kembali tangannya."Jangan pergi kalau lo gak mau jadi pusat perhatian di sini. Shakir gak akan lihat gue ngobrol sama lo. Niko lagi bikin dia sibuk.""Kita gak ada kebutuhan buat ngobrol!" Dadanya berdebar-debar antara marah pada Omar dan takut Shakir melihat mereka.Omar terkekeh. Lalu, dia melirik w
Setelah acara makan malam bersama Sarah dan Ryan yang berlangsung tanpa saling bicara, Fara memutuskan untuk masuk kembali ke dalam kamarnya. Shakir seharusnya sudah pulang 30 menit lalu, tapi sampai saat ini batang hidung pria itu belum juga muncul.Dia memeriksa Attar yang masih tertidur pulas di ranjangnya. Mainan bayi itu berserakan di sekitar ranjang dan Fara membiarkan hal itu.Attar akan menangis jika tidak ada mainan yang bisa dijangkau oleh mata atau tangannya. Dia mulai tertarik pada benda-benda yang berwarna mencolok.Fara berjalan ke lemari pakaian dan mengganti dressnya dengan piyama berwarna merah marun. Kemudian dia duduk di depan meja rias dan mulai menggunakan rangkaian perawatan wajahnya. Tentu saja dia memakai rangkaian perawatan wajah yang bahannya aman dan tidak memiliki wangi menyengat.Posisi hidung dan mulut Attar sering berdekatan dengan wajahnya. Dia tidak ingin Attar mencium wewangian yang menyengat dari wajahnya. Itu bisa berbahaya bagi paru-paru anaknya.S
Fara mencoba menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.“Dilepas aja deh, Mas,” pintanya. “Aku malas kalau ada yang nyamain.”Fara merebut ponselnya dari tangan Shakir. Bibirnya mengerucut dan tangannya berusaha melepas gantungan ponsel. Dia juga kesal dengan Shakir yang bersikap kekanak-kanakan.Namun, sebelum Fara sempat melepas gantungan ponselnya, Shakir menahan tangannya. Pria itu mengambil ponsel tersebut dari tangan istrinya dan menaruh sembarangan di atas kasur. Lalu, dia menggenggam tangan istrinya.“Maaf, aku gak bermaksud bikin kamu kesal,” ujar Shakir penuh penyesalan. Dia menatap mata istrinya.“Iya, Mas,” balas Fara singkat.Shakir merengkuh Fara dengan erat. Beberapa detik kemudian, dia mempersilakan Fara untuk tidur. Fara memejamkan matanya sambil menikmati belaian Shakir pada kepalanya.Keesokan harinya, Shakir bangun lebih dulu dari Fara. Dia melihat Fara yang masih terlelap karena bangun beberapa k
Shakir menghela napas. “Aku sudah sering membicarakan ini dengan orang-orang di kantor sejak setahun lalu. Apa waktu berpikirku kurang, Pa?”“Sebenarnya itu berisiko, tapi bisa saya atur. Saya rasa juga sudah saatnya Shakir memimpin perusahaan secara keseluruhan,” ujar Ryan pada akhirnya.“Mama setuju. Lagipula Mama gak ngerti buat apa Papa beli saham atas nama Mama,” ujar Sarah sedikit menyalahkan Ryan. Ryan hanya terkekeh. Dia memang tidak pernah membicarakan soal bisnis pada istrinya.“Bagaimana menurutmu, Sayang?” tanya Shakir pada Fara. Ini adalah kebiasaan Shakir lainnya yang tidak disukai oleh Sarah, yaitu melibatkan Fara dalam hal pekerjaan.Omar menatap Fara sambil menaikkan salah satu alisnya. Wanita yang pagi ini memakai dress berwarna peach itu terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya.“Kalau Mas sudah yakin, aku pasti dukung. Ini kesempatan bagus untuk kamu,” jawab Fara sambil menggenggam tangan Shakir.Shakir tersenyum lebar. Kehadiran Fara adalah salah satu
Berita itu menyebar ke mana-mana. Seluruh pemegang saham PT Afnan Projects cemas akan kerugian yang ada di depan mata. Beberapa masyarakat yang peduli dengan pergerakan saham perusahaan nasional juga menyoroti masalah ini.Fara memegang pundak Shakir saat pria itu terduduk dengan lemah di sisi ranjang. Dia memeluknya dari belakang untuk menghibur suaminya. Pria itu tersenyum sambil mengelus punggung tangan istrinya.“Maaf,” ucapnya lirih.“Buat apa, Mas?”“Kegagalan ini,” jawab Shakir mencoba tersenyum.“Mas,” panggil Fara menarik dirinya dan mengundang Shakir supaya duduk menghadap dirinya. Shakir mengikuti arahan istrinya. “Apa pun yang terjadi, aku akan ada di sisi kamu. Nemenin kamu berproses karena selama ini kamu juga begitu ke aku.”Senyum Shakir mengembang di wajahnya. “You’re the best, Sayang.”“Malam ini pulang jam berapa?”“Harusnya seperti biasa, tapi kalau ternyata aku harus beresin masalah ini dulu, aku akan kabarin kamu.”Fara mengangguk saat Shakir membelai kepalanya.