Share

3. Bernapas

"Kami cek pembukaan ya, Bu," ujar dokter Ardi yang segera datang setelah dihubungi IGD.

Fara masih melampiaskan rasa sakitnya pada genggaman tangan Shakir.

"Pak, istrinya dipandu untuk atur napas ya biar tenaganya gak habis karena kesakitan," pinta seorang perawat yang tengah mempersiapkan peralatan pemeriksaan.

Shakir mengangguk. Dia menatap Fara yang tengah memejamkan matanya menahan sakit. Ini genggaman terkuat Fara yang dia rasakan selama mengenal wanita ini.

"Sayang," panggilnya sambil mengelap keringat di dahi Fara dengan tangannya yang lain. "Kita napas seperti yang diajarkan Coach Tita, yuk?"

Fara masih terpejam menahan sakit, tapi dia mengangguk. Di sela-sela kesibukannya sebagai Direktur Utama, Shakir selalu rutin menemani Fara yoga kehamilan sejak trimester kedua. Pria itu menyimak dengan baik pelajaran yang diberikan Coach Tita karena dia ingin menjadi suami berguna saat istrinya melahirkan.

Walaupun pada akhirnya Fara memutuskan ingin melahirkan secara sesar, Shakir tidak pernah absen menemani pelajaran yoga hamil. Hari ini keyakinannya terbukti karena sang anak ternyata ingin lahir secara normal. Istrinya pun tetap bisa ditangani oleh dokter favoritnya.

"Tarik napas panjang," ujar Shakir mulai memberi aba-aba. Fara menatap mata Shakir dan mengikuti arahannya.

"Buang," ujar Shakir lagi. Dia juga ikut mempraktikkannya untuk memotivasi Fara.

Dia terus melakukan hal itu sampai akhirnya dokter Ardi mengambil alih peran Shakir.

"Bu, sekarang ikuti arahan saya ya. Tarik napas panjang," ujar sang dokter. Setelah Fara mengikuti arahannya, dokter Ardi segera memeriksa mulut rahimnya.

"Ya bagus, buang perlahan," ujarnya memberi arahan lagi.

Beberapa detik kemudian, Fara mulai bisa bernapas lega. Dia sudah bisa mengatur napasnya dengan normal dan tidak sepanik sebelumnya.

"Masuk pembukaan dua, Bu. Memang sudah terasa sakit karena Bu Fara sempat bilang sama saya kalau Ibu termasuk orang yang toleransi sakitnya minim. Jadi wajar saja jika kontraksi datang, Ibu akan merasa kesakitan," ucap dokter Ardi menjelaskan kondisi Fara.

"Berarti bayinya belum bisa lahir sekarang, Dok?" tanya Shakir mewakili Fara yang sibuk mengatur napas sambil menahan sakit.

"Kita harus tunggu sampai pembukaan sepuluh, Pak. Untuk anak pertama, jarak antara pembukaan dua sampai sepuluh bisa berlangsung cukup lama. Ada yang hitungan jam, bahkan hari. Biasanya kalau kondisi Ibu stabil dan pembukaan masih awal seperti ini, saya akan suruh pulang dan kembali setelah dirasa kontraksi semakin intens. Namun, karena Bu Fara kondisinya kurang stabil, saya sarankan kita tunggu pembukaan di sini saja. Saya permisi ya, Pak."

Shakir mengangguk. Setelah dokter Ardi pergi, dia kembali memfokuskan perhatiannya kepada Fara. Dia mengecup dahi Fara dan meneteskan air mata.

"Sayang, masih sakit?"

"Masih, tapi lebih baik. Makasih ya."

"Aku yang makasih sama kamu, udah mau berjuang untuk anak kita. Maaf udah bikin kamu sakit. Kita punya anak satu aja ya? Aku gak mau lihat kamu sakit kayak gini."

Fara tersenyum dan mengangguk. Walaupun hatinya tengah mencibir perkataan Shakir. Dia tidak berniat memiliki anak dengan Shakir.

"Aku udah tenang. Kamu kalau mau balik kantor lagi, gak apa-apa. Kamu sibuk, Mas. Besok hari besar kamu."

"Aku udah batalin semua jadwal hari ini, Sayang. Beberapa tugas sudah aku delegasikan ke Niko. Jadi, walaupun hari ini aku gak di kantor, pertemuan besok akan tetap berjalan lancar."

Fara tersenyum ragu. Dia tidak yakin pada situasi seperti ini, apakah dia boleh merasa senang atau tidak.

Semoga setelah dia pergi, Shakir mendapatkan wanita yang tulus juga. Fara mengusap air mata yang hampir menetes karena membayangkan Shakir menggandeng wanita lain. Dia seharusnya tidak begini, pernikahan ini hanya untuk sementara.

***

Keesokan paginya, sekitar pukul enam, dokter Ardi kembali lagi. Fara masuk pembukaan tujuh. Perawat mulai mempersiapkan peralatan untuk melahirkan.

"Sakit, Mas!" keluhnya dengan nada tinggi sambil menarik lengan kemeja Shakir. Pria itu sama sekali tidak meninggalkan istrinya sejak kemarin.

"Iya, Sayang, sabar. Sebentar lagi ya. Ayo, kamu kuat," jawab Shakir sambil mengelus punggung dan pinggang Fara dengan lembut.

Sejak beberapa jam yang lalu, Fara meminta Shakir melakukan hal itu. Terkadang dia juga membentak Shakir untuk kesalahan yang tidak pria itu mengerti. Fara berubah menjadi lebih pemarah ketika mengalami kontraksi.

Namun, pria itu tidak ingin banyak protes. Fara tengah berada di ambang hidup dan mati. Wajar saja jika dia tidak bersikap seperti biasanya.

Ponselnya berdenting, ada panggilan telepon masuk. Sebenarnya dia tidak ingin mengangkat telepon itu. Namun, ketika membaca nama Niko di layar ponselnya, dia merasa perlu mengangkatnya. Dia sedikit menjauhi Fara setelah berpamitan.

"Halo, Niko."

"Shakir," sapa Niko di seberang telepon. Dia memang meminta Niko memanggilnya tanpa embel-embel apa pun.

"Iya. Ada apa?"

"Saya sudah di rumah kamu. Bu Sarah bilang, kamu sedang ada di rumah sakit. Rumah sakit mana? Biar saya jemput. Kita harus siap-siap ketemu Pak Omar."

"Gak perlu. Fara lagi nunggu pembukaan lengkap, saya gak mungkin ninggalin dia."

"Sadar, Shak. Ini Omar Harris yang udah kita incar sejak tahun lalu. Kita gak bisa lepasin gitu aja!"

"Jadwalkan ulang, Nik. Saya benar-benar gak bisa ninggalin Fara sendirian."

"Bu Sarah bilang dia bakal nemenin Fara lahiran. Beliau lagi siap-siap."

"Sekalipun semua kenalan saya mau datang ke sini, saya akan tetep nemenin Fara melahirkan, Niko. Jadwalkan ulang atau tidak sama sekali!"

Shakir menyudahi panggilan dari Niko dan menonaktifkan ponselnya. Bertepatan dengan seorang perawat yang bergerak untuk segera memanggil dokter Ardi karena Fara masuk pembukaan delapan. Dia mendekati Fara dan memegang tangan wanita itu.

Fara sudah tidak bisa bicara selain meringis kesakitan, mengatur napas, dan mengikuti arahan sang perawat. Shakir mengelus puncak kepala Fara sambil meniup dahinya untuk mengusir peluh yang mulai membasahi kening istrinya.

"Aku gak kuat lagi, Mas!"

"Kuat, Sayang. Kuat. Aku di sini, nggak ke mana-mana. Cakar aku, Jambak aku, remas tangan aku biar kamu gak terlalu kesakitan."

Dokter Ardi muncul beberapa menit kemudian sambil tergopoh-gopoh. Dia segera mengecek lagi mulut rahim Fara.

"Oke, sudah lengkap. Ibu Fara, ikuti arahan saya untuk atur napas ya. Rileks, tenang, sebentar lagi kita ketemu si kecil."

"Ya, Dok." Shakir menjawab mewakili Fara.

"Tarik napas... Ngejan, Bu."

Fara mengikuti arahan dokter Ardi. Dia mengejan sekuat tenaga tanpa bersuara.

"Benar begitu. Pintar. Ayo lagi!"

Fara semakin semangat mengikuti arahan dokter. Dia merasakan bayinya mulai turun ke jalan lahir.

"Kepalanya sudah kelihatan, ayo semangat, Bu!"

Air mata menetes dari kedua mata Shakir. Sementara Fara masih fokus berjuang untuk mengatur napas dan mengejan.

Beberapa menit kemudian, dokter Ardi menarik keluar tubuh bayi dari jalan lahir dan memamerkannya kepada Fara dan Shakir. Saat itulah si jabang bayi menangis dengan sangat kencang. Tangisan yang disambut oleh senyum dan tangis haru Fara serta gelak tawa dari para perawat.

"Selamat Ibu Fara, Bapak Shakir, bayinya laki-laki."

Shakir tak henti-hentinya mengecup wajah Fara sambil mengucap syukur dan terima kasih kepada wanita itu. Dia lalu mengikuti perawat yang tengah membersihkan bayinya.

Fara hanya mampu tersenyum sambil memandangi punggung suaminya. Dokter Ardi berhasil mengeluarkan plasenta si bayi dan menjahit luka robek pada bagian bawah tubuhnya, dibantu oleh seorang perawat lainnya.

Dia terlalu lelah untuk memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi setelah ini. Setelah Shakir membatalkan pertemuannya dengan Omar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status