Ada stok permen mint yang selalu dibawa Fara dalam tasnya untuk menghilangkan bau nikotin pada mulutnya. Dia mengambil satu dan memakannya saat mobil mulai masuk ke dalam gerbang rumah. Walaupun hari ini dia tidak merokok, dia tetap merasa khawatir bau itu akan tercium saat Shakir mendekatinya.
Wanita berkaki jenjang itu langsung masuk kamar dan membersihkan dirinya dengan mandi. Asistennya sudah menyiapkan bathub dengan air susu setelah dia memintanya saat masih di perjalanan beberapa menit yang lalu. Dia merendam dirinya di dalam bathub sambil mencium aroma mawar dari lilin di sebelahnya. Matanya terpejam, menikmati aroma susu yang bercampur dengan mawar dan kehangatan air yang merendam tubuhnya. Tendangan kecil dari bayi di dalam perut mengukir senyum di bibirnya. Dia menyayangi bayi ini, sekalipun ayah kandungnya tidak akan pernah mempedulikannya. "Sayang," panggil seseorang membuat Fara terbangun. Rupanya dia tertidur. Entah sudah berapa lama. "Hai, Mas Shakir," sapanya sambil mencoba membuka matanya lebih lebar. Shakir menggenggam telapak tangannya. "Jari kamu sudah keriput. Sudah berapa lama kamu ketiduran? Ayo, aku bantu mengeringkan badan." Fara menuruti perkataan Shakir. Shakir mengeringkan tubuhnya dengan handuk bersih dan mengecup singkat perut buncitnya. Dia lalu berjongkok dan mengeringkan bagian kaki Fara. Sejak usia kandungannya menginjak lima bulan, Fara sudah kesulitan menjangkau kakinya. Shakir sering membantunya menggunting kuku kaki, mengeringkan bagian kaki setelah mandi, memakaikan kaos kaki dan sepatu. "Terima kasih, Mas," ucap Fara saat Shakir memakaikan bathrobe padanya. "Anything for my queen," sahut Shakir mesra. Fara meraih gaun selutut warna putih yang sudah disiapkan asisten dan segera memakainya. Shakir membantu menyisir rambut panjangnya. Padahal pria itu baru saja pulang dari kantor dan belum sempat membersihkan dirinya sendiri. "Mas Shakir, aku akan melahirkan dengan dokter Ardi minggu depan tanggal 6 April. Kata Mama, minggu depan kamu sibuk persiapan proyek baru?" Fara mulai membuka obrolan setelah dia berpakaian lengkap. "Tanggal 6 April?" "Iya, hanya itu jadwal dokter Ardi yang masih kosong dan cocok dengan usia kandunganku. Ada apa?" tanyanya basa-basi. "Aku ada jadwal pertemuan dengan Omar Harris, rekan bisnis dari Jerman yang akan membantu aku di proyek baru. Dia orang Indonesia, tapi besar di sana. Apa kamu nggak bisa ganti dokter lain, Sayang? Aku pengen nemenin istri aku melahirkan anak kita." Fara menelan ludah. Hatinya bergetar ketika Shakir menyebut anaknya dengan anak kita. Seandainya Shakir tahu bahwa dia bukan ayah kandung dari anak ini, Shakir pasti akan marah besar padanya. "Aku cuma nyaman sama dokter Ardi, Mas." Mata Shakir berkaca-kaca. Ekspresi yang seharusnya tidak dimiliki oleh pria yang sehari-hari bekerja menggunakan setelan jas lengkap. "Bagaimana kalau kamu butuh aku? Mama bilang, melahirkan itu sakit. Makanya Mama gak mau hamil lagi setelah aku lahir." "Aku... bisa sendiri, Mas. Perusahaan butuh kamu, kamu nggak boleh cancel pertemuan itu buat aku. Aku akan merasa bersalah kalau proyek itu gagal. Papa akan kecewa dan Mama juga akan berpikir aku maksa kamu buat nemenin aku." Fara memaksakan senyumnya. "Aku juga merasa bersalah kalau kamu melahirkan sendirian, Sayang. Itu momen berharga buat aku. Momen pertama aku akan lihat wajah anak kita, menggendongnya." Shakir mulai meneteskan air mata. Fara hampir saja berdecak melihatnya. Pria itu sangat sensitif dan mudah menangis. "Jangan menangis, aku akan sedih. Setidaknya kita bisa bertemu setelah kamu selesai rapat hari itu, kan? Aku akan pastikan kamu laki-laki pertama yang akan menggendongnya. Bukan Papa," ujar Fara menghibur suaminya dengan nada jahil. Shakir terkekeh. "Janji?" Dia mengacungkan jari kelingkingnya. Fara menautkan jari kelingkingnya. "Janji, Mas." *** Fara baru sempat merapikan hospital bagnya satu hari sebelum jadwal operasi. Dia dibantu oleh beberapa asisten rumah tangga karena tidak bisa bergerak dengan lincah. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Shakir biasanya sudah sampai di kantor. Suaminya menjadi lebih sibuk karena besok adalah jadwal pertemuan penting. Pertemuan yang akan menentukan langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh Fara dan komplotannya. "Aduh!" pekik Fara sambil memegangi perutnya. "Ibu kenapa?" tanya seorang asisten yang mendengarnya. "Sakit!" Fara meringis. "Saya panggil Bu Sarah ya, Bu?" tanya asisten itu dengan cemas. "Jangan! Panggil sopir saja untuk siapkan mobil. Sepertinya saya akan melahirkan sekarang." Fara memerintah sambil terus memegangi perut besarnya. Asisten itu berlari tergopoh-gopoh keluar kamar. Fara terus-terusan meringis menahan sakit sambil dipegangi oleh asisten lainnya. "Bu, atur napas, Bu. Hospital bagnya sudah siap, nanti saya bawakan ke mobil," ujar asisten yang lain, tak bisa menyembunyikan kepanikannya. Beberapa menit kemudian, asisten yang tadi keluar memanggil sopir datang lagi. Dia meminta Fara untuk keluar karena sopir sebentar lagi akan tiba di depan rumah. Dua orang asisten segera membantunya berjalan dan seorang lagi membawakan hospital bag. "Ibu yakin gak mau minta tolong sama Bu Sarah?" tanya asisten itu lagi setelah Fara berhasil duduk di jok belakang mobil. Dia menggeleng. "Hari ini jadwal Bu Sarah dan Pak Ryan reuni. Mereka lagi siap-siap, jangan diganggu. Saya bisa sendiri." Pintu mobil tertutup rapat setelahnya dan sopir segera menginjak pedal gas membelah jalanan ibu kota. Sepanjang perjalanan dia terus mengernyit, mendesis, teriak kesakitan, dan sesak napas. Sopir yang membawanya semakin menginjak dalam-dalam pedal gas. Suara klakson pun terdengar nyaring saling bersahutan tak mau mengalah. Keringat mulai bercucuran di dahi Fara. Perasaannya tidak menentu antara menahan sakit dan khawatir hal ini akan menimbulkan masalah. Dia seharusnya baru melahirkan besok sesuai jadwal sesarnya. Kontraksi yang datang terus menerus itu membuat dia berpikir bahwa ajalnya sudah dekat. Malaikat maut sudah bersiap di dekatnya, tengah menontonnya dan menunggu waktu yang tepat untuk mengambil nyawanya. Entah siapa dulu yang akan datang menghampiri Fara. Malaikat maut atau malaikat kecil yang sedang mengirimkan sinyal bahwa dia akan lahir ke dunia lebih cepat. Dia pasrah. Mobil berhenti tepat di depan ruang IGD Rumah Sakit Dharmawangsa. Beberapa perawat membantu sang sopir untuk membawanya keluar. Fara meneteskan air mata. Sejak kecil dia sudah dititipkan ke panti asuhan dan tidak pernah tahu siapa orang tuanya. Dia seorang diri melawan dunia yang kejam ini. Di saat seperti ini pun dia masih harus sendirian. Berjuang melawan sakit. Rasanya jika dia salah langkah sejengkal saja, dia bisa jatuh ke jurang kematian. "Fara! Sayang!" Panggilan dari suara yang sangat Fara kenal. Pria itu berlari menyusul para perawat yang mendorong ranjangnya. "Fara, ini aku. Aku di sini," ujar Shakir dengan suara gemetar sambil menggenggam tangannya dan menyamakan langkahnya dengan para perawat. Fara mengambil kesempatan itu untuk meremas tangan Shakir dengan kuat. Melampiaskan rasa sakitnya di sana. Sekaligus rasa marahnya karena melihat Shakir justru berada di sini. Dia ingin bicara pada Shakir. Namun, rasa sakit dari kontraksi terus menghantamnya. "Sakit, Mas," hanya itu yang keluar dari bibir mungilnya. "Adek... pelan-pelan ya, Mama kesakitan," ujar Shakir sambil mengelus perutnya. "Pelan-pelan aja, kita tahu adek mau datang. Semangat adek, semangat Mama." Air mata menetes lagi dari kedua mata Fara melihat cara Shakir merespons keluhannya. Dia mulai terisak. Perasaan bersalah mulai menyerbu hatinya."Kami cek pembukaan ya, Bu," ujar dokter Ardi yang segera datang setelah dihubungi IGD.Fara masih melampiaskan rasa sakitnya pada genggaman tangan Shakir."Pak, istrinya dipandu untuk atur napas ya biar tenaganya gak habis karena kesakitan," pinta seorang perawat yang tengah mempersiapkan peralatan pemeriksaan.Shakir mengangguk. Dia menatap Fara yang tengah memejamkan matanya menahan sakit. Ini genggaman terkuat Fara yang dia rasakan selama mengenal wanita ini."Sayang," panggilnya sambil mengelap keringat di dahi Fara dengan tangannya yang lain. "Kita napas seperti yang diajarkan Coach Tita, yuk?"Fara masih terpejam menahan sakit, tapi dia mengangguk. Di sela-sela kesibukannya sebagai Direktur Utama, Shakir selalu rutin menemani Fara yoga kehamilan sejak trimester kedua. Pria itu menyimak dengan baik pelajaran yang diberikan Coach Tita karena dia ingin menjadi suami berguna saat istrinya melahirkan.Walaupun pada akhirnya Fara memutuskan ingin melahirkan secara sesar, Shakir tidak
Attar Sulaiman Afnan adalah nama yang dipilih Fara untuk anaknya. Dia terpaksa menggunakan nama keluarga Shakir di belakang nama anaknya karena didesak oleh Ryan. Mertua laki-lakinya itu ingin nama belakangnya dijadikan nama keluarga keturunannya.Sejak Attar selesai dibersihkan hingga Fara sudah masuk ke kamar inap untuk pemulihan, Shakir tidak bisa berhenti tersenyum. Matanya berbinar-binar memandangi wajah Attar. Sesekali dia juga berdebat dengan ayahnya yang sama-sama ingin menggendong Attar.Namun, kehangatan di kamar itu tidak bisa membuat hati Sarah mencair. Wanita itu menggeleng setiap kali mendengar Ryan dan Shakir adu mulut. Dia duduk di sisi kiri Fara sambil melipat kedua tangannya di depan dada."Shakir, Papa, biarkan Attar istirahat. Kalo kalian rebutin terus, dia gak bisa istirahat, lho," ujar Sarah.Shakir dan Ryan saling menatap. Kemudian, Ryan segera menuruti ucapan istrinya. Dia menaruh Attar di boks bayi yang ada di sisi kanan ranjang Fara."Papa itu datang ke sini
Attar tidur dengan tenang setelah perut kecilnya penuh. Fara menimang Attar dalam gendongannya sambil bersenandung pelan. Sementara Shakir terus menatap pintu di hadapannya.Hasil tes DNA akan keluar pagi ini. Shakir menyempatkan diri untuk melihat hasilnya di laboratorium RS. Niko, Sarah, Ryan, dan Sella juga ada di sini.Selain Niko yang bekerja di perusahaan Shakir, Sella juga memiliki hubungan yang spesial dengan Sarah. Pelanggan salon Sella adalah sosialita kelas atas. Tujuan mereka pergi ke salon bukan hanya untuk mempercantik diri, tapi juga membangun hubungan dengan wanita kaya lainnya.Sella banyak mendapatkan info-info bermanfaat dari para wanita kaya yang hobi bergosip saat melakukan perawatan. Dari sanalah dia tahu bagaimana cara mendekati keluarga Shakir. Jika ingin merebut harta keluarga ini, Niko berpendapat bahwa mereka harus menyerang dari dalam.Beberapa menit kemudian, pintu itu terbuka. Seorang petugas lab yang memegang amplop berdiri di sana. Shakir otomatis berdi
Attar menangis dengan kencang. Sementara Fara terduduk dengan lesu. Fara sudah lupa berapa hari dia tidak keramas, bahkan hari ini dia baru sempat mandi satu kali.Ada suara gaduh dari luar pintu. Tak lama kemudian, pintu kamar dibuka dengan kasar. Sarah muncul bersama Shakir. Wajah wanita itu merah."Ma, sudah, Ma," pinta Shakir yang masih bertahan menggunakan nada yang lemah lembut. Padahal guratan kemarahan ada di wajahnya saat Sarah tidak mau mendengarnya.Sarah menatap Fara dengan tajam. Matanya bergerak-gerak antara Fara dan Attar. Sementara itu, Shakir segera menggendong Attar dan menenangkan bayinya."Kamu tuh udah gak ikut makan malam bareng. Anak nangis, kamu gak ngapa-ngapain! Suami kamu baru pulang kerja udah harus ngurus bayi. Terus kerjaan kamu apa?" Sarah mencaci maki Fara."Ma, stop, please? Fara butuh istirahat." Shakir membela Fara. Attar mulai tenang dalam dekapannya.Fara mengerutkan dahinya pada Sarah. Tangannya mengepal. "Maaf, Ma."Namun, hanya itu yang keluar d
Alunan musik klasik terdengar di penjuru ruangan. Pramusaji bergerak ke sana ke mari di antara kerumunan orang-orang berjas dan bergaun mewah. Aroma parfum mahal juga bertebaran di mana-mana."Pak Alman Ashraf dari Risjad Hotel," bisik Niko pada telinga Shakir ketika ada seorang pria mendekatinya sambil tersenyum, bersiap menyapa."Penjualan Afnan Watch untuk tamu VVIP di hotelnya meningkat pesat enam bulan belakangan ini," lanjut Niko. Shakir mengangguk, lalu balas tersenyum pada pria itu."Pak Alman Ashraf," sapa Shakir sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Raut wajahnya tegas dan tatapannya hangat."Pak Shakir. Lama gak ketemu. Saya pikir Pak Shakir akan lupa dengan saya," balas pria itu sambil menjabat tangan Shakir.Shakir tersenyum. Sebenarnya dia tidak bisa mengingat semua wajah koleganya satu per satu."Hotel Bapak sangat berjasa untuk Afnan Watch beberapa bulan ini, saya gak mungkin lupa. Bagaimana kabarnya, Pak? Anak dan Istri sehat?"Walaupun Shakir tidak hafal semua
Setelah acara makan selesai, mereka kembali keluar dan bergabung dengan yang lainnya. Shakir yang ditemani Niko menghampiri beberapa rekan kerjanya, sementara Fara menunggunya bersama Attar di dekat meja minuman.Seorang pria berdeham di sebelah Fara sambil memegang segelas wine. Itu Omar. Dia sengaja mengambil kesempatan berbicara dengan Fara saat Shakir sedang jauh dari wanita itu.Fara berjalan menjauh. Dia cukup kesal dengan sikap Omar. Namun, dia tidak mungkin berbicara kasar saat bersama Attar. Bayi ini tidak boleh mendengar hal-hal yang buruk.Omar menarik tangan Fara untuk menahannya saat dia mencapai pintu keluar yang lebih sepi. Fara seketika memelototi pria itu sambil menarik kembali tangannya."Jangan pergi kalau lo gak mau jadi pusat perhatian di sini. Shakir gak akan lihat gue ngobrol sama lo. Niko lagi bikin dia sibuk.""Kita gak ada kebutuhan buat ngobrol!" Dadanya berdebar-debar antara marah pada Omar dan takut Shakir melihat mereka.Omar terkekeh. Lalu, dia melirik w
Setelah acara makan malam bersama Sarah dan Ryan yang berlangsung tanpa saling bicara, Fara memutuskan untuk masuk kembali ke dalam kamarnya. Shakir seharusnya sudah pulang 30 menit lalu, tapi sampai saat ini batang hidung pria itu belum juga muncul.Dia memeriksa Attar yang masih tertidur pulas di ranjangnya. Mainan bayi itu berserakan di sekitar ranjang dan Fara membiarkan hal itu.Attar akan menangis jika tidak ada mainan yang bisa dijangkau oleh mata atau tangannya. Dia mulai tertarik pada benda-benda yang berwarna mencolok.Fara berjalan ke lemari pakaian dan mengganti dressnya dengan piyama berwarna merah marun. Kemudian dia duduk di depan meja rias dan mulai menggunakan rangkaian perawatan wajahnya. Tentu saja dia memakai rangkaian perawatan wajah yang bahannya aman dan tidak memiliki wangi menyengat.Posisi hidung dan mulut Attar sering berdekatan dengan wajahnya. Dia tidak ingin Attar mencium wewangian yang menyengat dari wajahnya. Itu bisa berbahaya bagi paru-paru anaknya.S
Fara mencoba menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.“Dilepas aja deh, Mas,” pintanya. “Aku malas kalau ada yang nyamain.”Fara merebut ponselnya dari tangan Shakir. Bibirnya mengerucut dan tangannya berusaha melepas gantungan ponsel. Dia juga kesal dengan Shakir yang bersikap kekanak-kanakan.Namun, sebelum Fara sempat melepas gantungan ponselnya, Shakir menahan tangannya. Pria itu mengambil ponsel tersebut dari tangan istrinya dan menaruh sembarangan di atas kasur. Lalu, dia menggenggam tangan istrinya.“Maaf, aku gak bermaksud bikin kamu kesal,” ujar Shakir penuh penyesalan. Dia menatap mata istrinya.“Iya, Mas,” balas Fara singkat.Shakir merengkuh Fara dengan erat. Beberapa detik kemudian, dia mempersilakan Fara untuk tidur. Fara memejamkan matanya sambil menikmati belaian Shakir pada kepalanya.Keesokan harinya, Shakir bangun lebih dulu dari Fara. Dia melihat Fara yang masih terlelap karena bangun beberapa k