Share

2. Sendiri

Ada stok permen mint yang selalu dibawa Fara dalam tasnya untuk menghilangkan bau nikotin pada mulutnya. Dia mengambil satu dan memakannya saat mobil mulai masuk ke dalam gerbang rumah. Walaupun hari ini dia tidak merokok, dia tetap merasa khawatir bau itu akan tercium saat Shakir mendekatinya.

Wanita berkaki jenjang itu langsung masuk kamar dan membersihkan dirinya dengan mandi. Asistennya sudah menyiapkan bathub dengan air susu setelah dia memintanya saat masih di perjalanan beberapa menit yang lalu. Dia merendam dirinya di dalam bathub sambil mencium aroma mawar dari lilin di sebelahnya.

Matanya terpejam, menikmati aroma susu yang bercampur dengan mawar dan kehangatan air yang merendam tubuhnya. Tendangan kecil dari bayi di dalam perut mengukir senyum di bibirnya. Dia menyayangi bayi ini, sekalipun ayah kandungnya tidak akan pernah mempedulikannya.

"Sayang," panggil seseorang membuat Fara terbangun. Rupanya dia tertidur. Entah sudah berapa lama.

"Hai, Mas Shakir," sapanya sambil mencoba membuka matanya lebih lebar.

Shakir menggenggam telapak tangannya. "Jari kamu sudah keriput. Sudah berapa lama kamu ketiduran? Ayo, aku bantu mengeringkan badan."

Fara menuruti perkataan Shakir. Shakir mengeringkan tubuhnya dengan handuk bersih dan mengecup singkat perut buncitnya. Dia lalu berjongkok dan mengeringkan bagian kaki Fara.

Sejak usia kandungannya menginjak lima bulan, Fara sudah kesulitan menjangkau kakinya. Shakir sering membantunya menggunting kuku kaki, mengeringkan bagian kaki setelah mandi, memakaikan kaos kaki dan sepatu.

"Terima kasih, Mas," ucap Fara saat Shakir memakaikan bathrobe padanya.

"Anything for my queen," sahut Shakir mesra.

Fara meraih gaun selutut warna putih yang sudah disiapkan asisten dan segera memakainya. Shakir membantu menyisir rambut panjangnya. Padahal pria itu baru saja pulang dari kantor dan belum sempat membersihkan dirinya sendiri.

"Mas Shakir, aku akan melahirkan dengan dokter Ardi minggu depan tanggal 6 April. Kata Mama, minggu depan kamu sibuk persiapan proyek baru?" Fara mulai membuka obrolan setelah dia berpakaian lengkap.

"Tanggal 6 April?"

"Iya, hanya itu jadwal dokter Ardi yang masih kosong dan cocok dengan usia kandunganku. Ada apa?" tanyanya basa-basi.

"Aku ada jadwal pertemuan dengan Omar Harris, rekan bisnis dari Jerman yang akan membantu aku di proyek baru. Dia orang Indonesia, tapi besar di sana. Apa kamu nggak bisa ganti dokter lain, Sayang? Aku pengen nemenin istri aku melahirkan anak kita."

Fara menelan ludah. Hatinya bergetar ketika Shakir menyebut anaknya dengan anak kita. Seandainya Shakir tahu bahwa dia bukan ayah kandung dari anak ini, Shakir pasti akan marah besar padanya.

"Aku cuma nyaman sama dokter Ardi, Mas."

Mata Shakir berkaca-kaca. Ekspresi yang seharusnya tidak dimiliki oleh pria yang sehari-hari bekerja menggunakan setelan jas lengkap.

"Bagaimana kalau kamu butuh aku? Mama bilang, melahirkan itu sakit. Makanya Mama gak mau hamil lagi setelah aku lahir."

"Aku... bisa sendiri, Mas. Perusahaan butuh kamu, kamu nggak boleh cancel pertemuan itu buat aku. Aku akan merasa bersalah kalau proyek itu gagal. Papa akan kecewa dan Mama juga akan berpikir aku maksa kamu buat nemenin aku."

Fara memaksakan senyumnya.

"Aku juga merasa bersalah kalau kamu melahirkan sendirian, Sayang. Itu momen berharga buat aku. Momen pertama aku akan lihat wajah anak kita, menggendongnya."

Shakir mulai meneteskan air mata. Fara hampir saja berdecak melihatnya. Pria itu sangat sensitif dan mudah menangis.

"Jangan menangis, aku akan sedih. Setidaknya kita bisa bertemu setelah kamu selesai rapat hari itu, kan? Aku akan pastikan kamu laki-laki pertama yang akan menggendongnya. Bukan Papa," ujar Fara menghibur suaminya dengan nada jahil.

Shakir terkekeh. "Janji?"

Dia mengacungkan jari kelingkingnya. Fara menautkan jari kelingkingnya. "Janji, Mas."

***

Fara baru sempat merapikan hospital bagnya satu hari sebelum jadwal operasi. Dia dibantu oleh beberapa asisten rumah tangga karena tidak bisa bergerak dengan lincah.

Jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Shakir biasanya sudah sampai di kantor. Suaminya menjadi lebih sibuk karena besok adalah jadwal pertemuan penting. Pertemuan yang akan menentukan langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh Fara dan komplotannya.

"Aduh!" pekik Fara sambil memegangi perutnya.

"Ibu kenapa?" tanya seorang asisten yang mendengarnya.

"Sakit!" Fara meringis.

"Saya panggil Bu Sarah ya, Bu?" tanya asisten itu dengan cemas.

"Jangan! Panggil sopir saja untuk siapkan mobil. Sepertinya saya akan melahirkan sekarang." Fara memerintah sambil terus memegangi perut besarnya.

Asisten itu berlari tergopoh-gopoh keluar kamar. Fara terus-terusan meringis menahan sakit sambil dipegangi oleh asisten lainnya.

"Bu, atur napas, Bu. Hospital bagnya sudah siap, nanti saya bawakan ke mobil," ujar asisten yang lain, tak bisa menyembunyikan kepanikannya.

Beberapa menit kemudian, asisten yang tadi keluar memanggil sopir datang lagi. Dia meminta Fara untuk keluar karena sopir sebentar lagi akan tiba di depan rumah. Dua orang asisten segera membantunya berjalan dan seorang lagi membawakan hospital bag.

"Ibu yakin gak mau minta tolong sama Bu Sarah?" tanya asisten itu lagi setelah Fara berhasil duduk di jok belakang mobil. Dia menggeleng.

"Hari ini jadwal Bu Sarah dan Pak Ryan reuni. Mereka lagi siap-siap, jangan diganggu. Saya bisa sendiri."

Pintu mobil tertutup rapat setelahnya dan sopir segera menginjak pedal gas membelah jalanan ibu kota.

Sepanjang perjalanan dia terus mengernyit, mendesis, teriak kesakitan, dan sesak napas. Sopir yang membawanya semakin menginjak dalam-dalam pedal gas. Suara klakson pun terdengar nyaring saling bersahutan tak mau mengalah.

Keringat mulai bercucuran di dahi Fara. Perasaannya tidak menentu antara menahan sakit dan khawatir hal ini akan menimbulkan masalah. Dia seharusnya baru melahirkan besok sesuai jadwal sesarnya.

Kontraksi yang datang terus menerus itu membuat dia berpikir bahwa ajalnya sudah dekat. Malaikat maut sudah bersiap di dekatnya, tengah menontonnya dan menunggu waktu yang tepat untuk mengambil nyawanya.

Entah siapa dulu yang akan datang menghampiri Fara. Malaikat maut atau malaikat kecil yang sedang mengirimkan sinyal bahwa dia akan lahir ke dunia lebih cepat. Dia pasrah.

Mobil berhenti tepat di depan ruang IGD Rumah Sakit Dharmawangsa. Beberapa perawat membantu sang sopir untuk membawanya keluar.

Fara meneteskan air mata. Sejak kecil dia sudah dititipkan ke panti asuhan dan tidak pernah tahu siapa orang tuanya. Dia seorang diri melawan dunia yang kejam ini.

Di saat seperti ini pun dia masih harus sendirian. Berjuang melawan sakit. Rasanya jika dia salah langkah sejengkal saja, dia bisa jatuh ke jurang kematian.

"Fara! Sayang!" Panggilan dari suara yang sangat Fara kenal. Pria itu berlari menyusul para perawat yang mendorong ranjangnya.

"Fara, ini aku. Aku di sini," ujar Shakir dengan suara gemetar sambil menggenggam tangannya dan menyamakan langkahnya dengan para perawat.

Fara mengambil kesempatan itu untuk meremas tangan Shakir dengan kuat. Melampiaskan rasa sakitnya di sana. Sekaligus rasa marahnya karena melihat Shakir justru berada di sini.

Dia ingin bicara pada Shakir. Namun, rasa sakit dari kontraksi terus menghantamnya.

"Sakit, Mas," hanya itu yang keluar dari bibir mungilnya.

"Adek... pelan-pelan ya, Mama kesakitan," ujar Shakir sambil mengelus perutnya. "Pelan-pelan aja, kita tahu adek mau datang. Semangat adek, semangat Mama."

Air mata menetes lagi dari kedua mata Fara melihat cara Shakir merespons keluhannya. Dia mulai terisak. Perasaan bersalah mulai menyerbu hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status