Attar tidur dengan tenang setelah perut kecilnya penuh. Fara menimang Attar dalam gendongannya sambil bersenandung pelan. Sementara Shakir terus menatap pintu di hadapannya.
Hasil tes DNA akan keluar pagi ini. Shakir menyempatkan diri untuk melihat hasilnya di laboratorium RS. Niko, Sarah, Ryan, dan Sella juga ada di sini. Selain Niko yang bekerja di perusahaan Shakir, Sella juga memiliki hubungan yang spesial dengan Sarah. Pelanggan salon Sella adalah sosialita kelas atas. Tujuan mereka pergi ke salon bukan hanya untuk mempercantik diri, tapi juga membangun hubungan dengan wanita kaya lainnya. Sella banyak mendapatkan info-info bermanfaat dari para wanita kaya yang hobi bergosip saat melakukan perawatan. Dari sanalah dia tahu bagaimana cara mendekati keluarga Shakir. Jika ingin merebut harta keluarga ini, Niko berpendapat bahwa mereka harus menyerang dari dalam. Beberapa menit kemudian, pintu itu terbuka. Seorang petugas lab yang memegang amplop berdiri di sana. Shakir otomatis berdiri dan mendekat. "Keluarga Attar Sulaiman Afnan?" tanya petugas lab laki-laki itu. "Iya, saya," jawab Shakir bersemangat. "Ini hasil tes DNA-nya. Mari masuk, Pak, dokter yang akan membacakan hasilnya." Shakir mengangguk. Dia sempat menoleh kepada Fara sambil tersenyum sebelum akhirnya menghilang ke balik pintu. Sarah menegakkan punggungnya, dia tegang sekaligus percaya diri dengan intuisinya. Walaupun usia Shakir sudah menginjak 27 tahun, dia masih ingat bagaimana wajah anaknya ketika baru lahir dan Attar tidak mirip dengan anaknya. Ryan terlihat lebih santai dan fokus pada layar ponselnya. Walaupun sudah menyerahkan urusan perusahan ke Shakir, dia masih sering menonton berita ekonomi dan bisnis. Menurutnya, hanya dengan cara inilah dia bisa berkomunikasi dengan Shakir. Niko berdiri tegap di dekat Ryan. Dia lebih terlihat seperti bodyguard daripada seorang asisten direktur utama. Bahunya lebar, lengannya kuat, dan perutnya rata. Jika tidak ada kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya dan rambutnya lebih tertata, pria itu pasti akan memakan banyak korban wanita. Sementara Sella tidak bisa mengontrol kecemasannya. Dia mondar-mandir di depan pintu lab. Dia sudah melaporkan hal ini kepada Omar. Namun, tetap saja dia cemas. Dia sudah menganggap Fara sebagai adiknya dan dia tidak ingin Fara jatuh saat ini. Fara pun tidak bisa berhenti mengerutkan dahinya. Semalam dia hanya sempat tidur selama dua jam. Attar rewel karena sering haus. Area matanya menghitam dan bahkan dia sudah tidak keramas empat hari. Fara tidak ingin memberikan Attar kepada pengasuhnya selama dia masih mampu. Dia juga merasa tidak pantas mendapatkan fasilitas pengasuh dari suami yang akan dia khianati. Pintu terbuka lagi dan Shakir muncul. Wajahnya berseri-seri dan senyumnya terus mengembang. Tanpa sadar, senyum itu menular pada Fara. "Bagaimana hasilnya?" tanya Ryan sambil menyimpan ponsel ke dalam sakunya. "Apa kata dokter?" Kali ini pertanyaan dari Sarah. Sella sudah berhasil menghentikan langkahnya. Namun, kini dia terpaku di tempatnya. "Attar anak aku dan Fara, Ma, Pa. DNA kami cocok," jawab Shakir dengan bangga. Setelah itu dia mengalihkan fokusnya pada Fara dan Attar. Pria itu memeluk istrinya dengan hati-hati supaya Attar tidak terbangun. "Maaf ya," bisik Shakir pada Fara. Fara menaikkan kedua alisnya. Kata-kata itu harusnya dia yang ucapkan. "Maafin Mama juga." Fara mulai berkaca-kaca tanpa dia kehendaki. Bukan keraguan Sarah yang ia tangisi. Dia memang pantas diragukan. Namun, kebaikan dan ketulusan Shakir ini yang membuatnya sedih. Dia tidak pantas menerima permintaan maaf dari pria penuh kasih sayang ini. Sella merasa sangat lega. Dia melirik Niko yang tengah tersenyum bangga. Pria itu mengedipkan salah satu mata kepadanya. Sella hanya menggeleng dan menahan diri untuk berdecak. *** Hari ini adalah hari pertama Fara bergabung lagi dengan Niko, Sella, dan Omar setelah melahirkan. Dengan setengah hati, dia menitipkan Attar kepada salah satu asistennya di rumah. Sarah tidak akan mau repot-repot dititipkan Attar sekalipun hasil tes DNA menunjukkan bahwa Attar cucunya. Dia membuka kotak tembakau gulung dan mengambil satu batang, lalu menyalakannya. Menyesapnya dalam-dalam seolah sudah memendam rindu begitu lama. Sudah dua minggu dia tidak bisa seperti ini karena Attar tidak pernah bisa lepas darinya. Tadi saja, Attar merengek dan menangis saat dia pergi. Bayi itu seperti tahu kalau ibunya akan berbuat hal yang tidak terpuji. "Gara-gara lo rencana kita berantakan, Ra!" seru Niko sambil berkacak pinggang di depannya. Wajahnya memerah. "Gue kan gak tahu kalo Attar bakal kasih sinyal H-1 sebelum jadwal operasi dan dia baru lahir keesokan harinya!" Fara tidak mau kalah. "Harusnya lo bisa bujuk Shakir itu buat ketemu gue. Dia itu cuma dengerin lo. Mungkin waktu itu lo bersikap manja ke dia, makanya dia gak bisa ninggalin lo," tambah Omar. "Nah benar kata Omar. Lo gak bisa begini, Ra. Kita udah siapin hari itu bertahun-tahun dan gagal cuma karena lo melahirkan di waktu yang gak tepat." Niko menguatkan pendapat Omar. Ada rasa nyeri yang menjalar ke dalam hatinya mendapati kedua pria ini memojokkannya. Dia berusaha menahan air matanya yang hampir tumpah. Semenjak melahirkan, dia jadi lebih sensitif dan dia benci itu. "Yang nyuruh gue hamil siapa?" tanyanya sambil mengacungkan nikotin yang masih menyala ke depan wajah Niko. Air matanya mulai menetes. "Merendahkan diri gue sendiri di depan cowok kayak Omar buat pura-pura hamil anak Shakir. Lo pikir siapa yang maksa gue buat melakukan hal tercela kayak gitu? Lo!" seru Fara. Sella mendekat dan melerai mereka. Dia tidak mau Fara dengan gegabah menyundut barang itu pada Niko. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya jika itu terjadi. "Kali ini lo keterlaluan, Nik. Kapan bayi akan lahir itu memang gak akan bisa dikontrol siapa pun, termasuk ibunya," ujar Sella membela Fara. Niko mengembuskan napas kasar. Dia masih ingin memarahi Fara. Namun, dia juga sadar apa yang dikatakan Sella adalah fakta. Fara buru-buru mengusap air matanya. Lalu, dia menyesap tembakau gulungnya lagi dalam-dalam. "Kenapa lo bilang itu merendahkan diri lo, Fara? Itu hadiah dari gue buat lo karena udah bantu gue semasa kuliah," ujar Omar dengan santai dan percaya diri. Fara mengernyit mendengar hal itu. Tanpa berpikir panjang, dia melemparkan sisa nikotinnya pada Omar. Dengan gesit, pria itu dapat menghindar. Omar tertawa saat melihat Sella panik mengambil nikotin Fara yang terjatuh. Dia segera membuang barang itu ke tempat sampah terdekat. "Udah! Udah! Gue di sini bukan buat jadi pengasuh kalian. Ayo, sekarang mulai bahas apa rencana kita selanjutnya?" tanya Sella kesal. Saat Niko akhirnya bangkit dan berjalan ke tengah ruangan, Fara duduk kembali di kursinya sambil terus menatap tajam Omar yang tengah menyandarkan dagu di tangannya. Sella mengelus punggung tangan Fara dan menenangkannya. Omar benar-benar tidak punya hati. Dia bahkan tidak bertanya tentang Attar. Sekalipun mereka melakukannya untuk rencana mereka, bukankah manusia yang masih punya hati akan tergerak untuk menanyakan keadaan anaknya jika ada di posisi Omar? Fara tidak ingat sejak kapan Omar berubah menjadi sosok yang bengis ini.Attar menangis dengan kencang. Sementara Fara terduduk dengan lesu. Fara sudah lupa berapa hari dia tidak keramas, bahkan hari ini dia baru sempat mandi satu kali.Ada suara gaduh dari luar pintu. Tak lama kemudian, pintu kamar dibuka dengan kasar. Sarah muncul bersama Shakir. Wajah wanita itu merah."Ma, sudah, Ma," pinta Shakir yang masih bertahan menggunakan nada yang lemah lembut. Padahal guratan kemarahan ada di wajahnya saat Sarah tidak mau mendengarnya.Sarah menatap Fara dengan tajam. Matanya bergerak-gerak antara Fara dan Attar. Sementara itu, Shakir segera menggendong Attar dan menenangkan bayinya."Kamu tuh udah gak ikut makan malam bareng. Anak nangis, kamu gak ngapa-ngapain! Suami kamu baru pulang kerja udah harus ngurus bayi. Terus kerjaan kamu apa?" Sarah mencaci maki Fara."Ma, stop, please? Fara butuh istirahat." Shakir membela Fara. Attar mulai tenang dalam dekapannya.Fara mengerutkan dahinya pada Sarah. Tangannya mengepal. "Maaf, Ma."Namun, hanya itu yang keluar d
Alunan musik klasik terdengar di penjuru ruangan. Pramusaji bergerak ke sana ke mari di antara kerumunan orang-orang berjas dan bergaun mewah. Aroma parfum mahal juga bertebaran di mana-mana."Pak Alman Ashraf dari Risjad Hotel," bisik Niko pada telinga Shakir ketika ada seorang pria mendekatinya sambil tersenyum, bersiap menyapa."Penjualan Afnan Watch untuk tamu VVIP di hotelnya meningkat pesat enam bulan belakangan ini," lanjut Niko. Shakir mengangguk, lalu balas tersenyum pada pria itu."Pak Alman Ashraf," sapa Shakir sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Raut wajahnya tegas dan tatapannya hangat."Pak Shakir. Lama gak ketemu. Saya pikir Pak Shakir akan lupa dengan saya," balas pria itu sambil menjabat tangan Shakir.Shakir tersenyum. Sebenarnya dia tidak bisa mengingat semua wajah koleganya satu per satu."Hotel Bapak sangat berjasa untuk Afnan Watch beberapa bulan ini, saya gak mungkin lupa. Bagaimana kabarnya, Pak? Anak dan Istri sehat?"Walaupun Shakir tidak hafal semua
Setelah acara makan selesai, mereka kembali keluar dan bergabung dengan yang lainnya. Shakir yang ditemani Niko menghampiri beberapa rekan kerjanya, sementara Fara menunggunya bersama Attar di dekat meja minuman.Seorang pria berdeham di sebelah Fara sambil memegang segelas wine. Itu Omar. Dia sengaja mengambil kesempatan berbicara dengan Fara saat Shakir sedang jauh dari wanita itu.Fara berjalan menjauh. Dia cukup kesal dengan sikap Omar. Namun, dia tidak mungkin berbicara kasar saat bersama Attar. Bayi ini tidak boleh mendengar hal-hal yang buruk.Omar menarik tangan Fara untuk menahannya saat dia mencapai pintu keluar yang lebih sepi. Fara seketika memelototi pria itu sambil menarik kembali tangannya."Jangan pergi kalau lo gak mau jadi pusat perhatian di sini. Shakir gak akan lihat gue ngobrol sama lo. Niko lagi bikin dia sibuk.""Kita gak ada kebutuhan buat ngobrol!" Dadanya berdebar-debar antara marah pada Omar dan takut Shakir melihat mereka.Omar terkekeh. Lalu, dia melirik w
Setelah acara makan malam bersama Sarah dan Ryan yang berlangsung tanpa saling bicara, Fara memutuskan untuk masuk kembali ke dalam kamarnya. Shakir seharusnya sudah pulang 30 menit lalu, tapi sampai saat ini batang hidung pria itu belum juga muncul.Dia memeriksa Attar yang masih tertidur pulas di ranjangnya. Mainan bayi itu berserakan di sekitar ranjang dan Fara membiarkan hal itu.Attar akan menangis jika tidak ada mainan yang bisa dijangkau oleh mata atau tangannya. Dia mulai tertarik pada benda-benda yang berwarna mencolok.Fara berjalan ke lemari pakaian dan mengganti dressnya dengan piyama berwarna merah marun. Kemudian dia duduk di depan meja rias dan mulai menggunakan rangkaian perawatan wajahnya. Tentu saja dia memakai rangkaian perawatan wajah yang bahannya aman dan tidak memiliki wangi menyengat.Posisi hidung dan mulut Attar sering berdekatan dengan wajahnya. Dia tidak ingin Attar mencium wewangian yang menyengat dari wajahnya. Itu bisa berbahaya bagi paru-paru anaknya.S
Fara mencoba menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.“Dilepas aja deh, Mas,” pintanya. “Aku malas kalau ada yang nyamain.”Fara merebut ponselnya dari tangan Shakir. Bibirnya mengerucut dan tangannya berusaha melepas gantungan ponsel. Dia juga kesal dengan Shakir yang bersikap kekanak-kanakan.Namun, sebelum Fara sempat melepas gantungan ponselnya, Shakir menahan tangannya. Pria itu mengambil ponsel tersebut dari tangan istrinya dan menaruh sembarangan di atas kasur. Lalu, dia menggenggam tangan istrinya.“Maaf, aku gak bermaksud bikin kamu kesal,” ujar Shakir penuh penyesalan. Dia menatap mata istrinya.“Iya, Mas,” balas Fara singkat.Shakir merengkuh Fara dengan erat. Beberapa detik kemudian, dia mempersilakan Fara untuk tidur. Fara memejamkan matanya sambil menikmati belaian Shakir pada kepalanya.Keesokan harinya, Shakir bangun lebih dulu dari Fara. Dia melihat Fara yang masih terlelap karena bangun beberapa k
Shakir menghela napas. “Aku sudah sering membicarakan ini dengan orang-orang di kantor sejak setahun lalu. Apa waktu berpikirku kurang, Pa?”“Sebenarnya itu berisiko, tapi bisa saya atur. Saya rasa juga sudah saatnya Shakir memimpin perusahaan secara keseluruhan,” ujar Ryan pada akhirnya.“Mama setuju. Lagipula Mama gak ngerti buat apa Papa beli saham atas nama Mama,” ujar Sarah sedikit menyalahkan Ryan. Ryan hanya terkekeh. Dia memang tidak pernah membicarakan soal bisnis pada istrinya.“Bagaimana menurutmu, Sayang?” tanya Shakir pada Fara. Ini adalah kebiasaan Shakir lainnya yang tidak disukai oleh Sarah, yaitu melibatkan Fara dalam hal pekerjaan.Omar menatap Fara sambil menaikkan salah satu alisnya. Wanita yang pagi ini memakai dress berwarna peach itu terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya.“Kalau Mas sudah yakin, aku pasti dukung. Ini kesempatan bagus untuk kamu,” jawab Fara sambil menggenggam tangan Shakir.Shakir tersenyum lebar. Kehadiran Fara adalah salah satu
Berita itu menyebar ke mana-mana. Seluruh pemegang saham PT Afnan Projects cemas akan kerugian yang ada di depan mata. Beberapa masyarakat yang peduli dengan pergerakan saham perusahaan nasional juga menyoroti masalah ini.Fara memegang pundak Shakir saat pria itu terduduk dengan lemah di sisi ranjang. Dia memeluknya dari belakang untuk menghibur suaminya. Pria itu tersenyum sambil mengelus punggung tangan istrinya.“Maaf,” ucapnya lirih.“Buat apa, Mas?”“Kegagalan ini,” jawab Shakir mencoba tersenyum.“Mas,” panggil Fara menarik dirinya dan mengundang Shakir supaya duduk menghadap dirinya. Shakir mengikuti arahan istrinya. “Apa pun yang terjadi, aku akan ada di sisi kamu. Nemenin kamu berproses karena selama ini kamu juga begitu ke aku.”Senyum Shakir mengembang di wajahnya. “You’re the best, Sayang.”“Malam ini pulang jam berapa?”“Harusnya seperti biasa, tapi kalau ternyata aku harus beresin masalah ini dulu, aku akan kabarin kamu.”Fara mengangguk saat Shakir membelai kepalanya.
Kerugian PT Afnan Projects karena pembatalan kerja sama dengan Omar Harris mencapai 500 miliar lebih. Angka itu hanya sebagian dari total kekayaan Keluarga Afnan, tapi bukan berarti bisa dibiarkan begitu saja.Shakir menunduk dalam-dalam ketika Ryan dan Sarah menyidangnya di ruang keluarga. Sudah 15 menit sejak mereka berkumpul bersama di sana, tapi tak ada satu pun yang berniat membuka obrolan.Ryan hanya mondar-mandir keliling ruangan. Sarah duduk sambil memperhatikan Ryan dan Shakir secara bergantian. Fara duduk di sebelah Shakir, ikut menunduk bersama suaminya. Namun, tangannya menggenggam tangan suaminya. Sesekali dia mengelus lengan Shakir sebagai penghiburan.“Kita harus menjual berapa banyak produk supaya bisa mendapat untung bersih sebesar itu, Shakir? Gak sedikit!” seru Ryan pada akhirnya. Dia berdiri di hadapan Shakir dan Fara.Shakir mengangkat dagunya dan menatap ayahnya. “Aku tau, Pa. Makanya aku minta maaf.”“Ini memang perusahaan yang Papa dirikan, Shak. Namun, sudah a