Fara mencoba menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.“Dilepas aja deh, Mas,” pintanya. “Aku malas kalau ada yang nyamain.”Fara merebut ponselnya dari tangan Shakir. Bibirnya mengerucut dan tangannya berusaha melepas gantungan ponsel. Dia juga kesal dengan Shakir yang bersikap kekanak-kanakan.Namun, sebelum Fara sempat melepas gantungan ponselnya, Shakir menahan tangannya. Pria itu mengambil ponsel tersebut dari tangan istrinya dan menaruh sembarangan di atas kasur. Lalu, dia menggenggam tangan istrinya.“Maaf, aku gak bermaksud bikin kamu kesal,” ujar Shakir penuh penyesalan. Dia menatap mata istrinya.“Iya, Mas,” balas Fara singkat.Shakir merengkuh Fara dengan erat. Beberapa detik kemudian, dia mempersilakan Fara untuk tidur. Fara memejamkan matanya sambil menikmati belaian Shakir pada kepalanya.Keesokan harinya, Shakir bangun lebih dulu dari Fara. Dia melihat Fara yang masih terlelap karena bangun beberapa k
Shakir menghela napas. “Aku sudah sering membicarakan ini dengan orang-orang di kantor sejak setahun lalu. Apa waktu berpikirku kurang, Pa?”“Sebenarnya itu berisiko, tapi bisa saya atur. Saya rasa juga sudah saatnya Shakir memimpin perusahaan secara keseluruhan,” ujar Ryan pada akhirnya.“Mama setuju. Lagipula Mama gak ngerti buat apa Papa beli saham atas nama Mama,” ujar Sarah sedikit menyalahkan Ryan. Ryan hanya terkekeh. Dia memang tidak pernah membicarakan soal bisnis pada istrinya.“Bagaimana menurutmu, Sayang?” tanya Shakir pada Fara. Ini adalah kebiasaan Shakir lainnya yang tidak disukai oleh Sarah, yaitu melibatkan Fara dalam hal pekerjaan.Omar menatap Fara sambil menaikkan salah satu alisnya. Wanita yang pagi ini memakai dress berwarna peach itu terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya.“Kalau Mas sudah yakin, aku pasti dukung. Ini kesempatan bagus untuk kamu,” jawab Fara sambil menggenggam tangan Shakir.Shakir tersenyum lebar. Kehadiran Fara adalah salah satu
Berita itu menyebar ke mana-mana. Seluruh pemegang saham PT Afnan Projects cemas akan kerugian yang ada di depan mata. Beberapa masyarakat yang peduli dengan pergerakan saham perusahaan nasional juga menyoroti masalah ini.Fara memegang pundak Shakir saat pria itu terduduk dengan lemah di sisi ranjang. Dia memeluknya dari belakang untuk menghibur suaminya. Pria itu tersenyum sambil mengelus punggung tangan istrinya.“Maaf,” ucapnya lirih.“Buat apa, Mas?”“Kegagalan ini,” jawab Shakir mencoba tersenyum.“Mas,” panggil Fara menarik dirinya dan mengundang Shakir supaya duduk menghadap dirinya. Shakir mengikuti arahan istrinya. “Apa pun yang terjadi, aku akan ada di sisi kamu. Nemenin kamu berproses karena selama ini kamu juga begitu ke aku.”Senyum Shakir mengembang di wajahnya. “You’re the best, Sayang.”“Malam ini pulang jam berapa?”“Harusnya seperti biasa, tapi kalau ternyata aku harus beresin masalah ini dulu, aku akan kabarin kamu.”Fara mengangguk saat Shakir membelai kepalanya.
Kerugian PT Afnan Projects karena pembatalan kerja sama dengan Omar Harris mencapai 500 miliar lebih. Angka itu hanya sebagian dari total kekayaan Keluarga Afnan, tapi bukan berarti bisa dibiarkan begitu saja.Shakir menunduk dalam-dalam ketika Ryan dan Sarah menyidangnya di ruang keluarga. Sudah 15 menit sejak mereka berkumpul bersama di sana, tapi tak ada satu pun yang berniat membuka obrolan.Ryan hanya mondar-mandir keliling ruangan. Sarah duduk sambil memperhatikan Ryan dan Shakir secara bergantian. Fara duduk di sebelah Shakir, ikut menunduk bersama suaminya. Namun, tangannya menggenggam tangan suaminya. Sesekali dia mengelus lengan Shakir sebagai penghiburan.“Kita harus menjual berapa banyak produk supaya bisa mendapat untung bersih sebesar itu, Shakir? Gak sedikit!” seru Ryan pada akhirnya. Dia berdiri di hadapan Shakir dan Fara.Shakir mengangkat dagunya dan menatap ayahnya. “Aku tau, Pa. Makanya aku minta maaf.”“Ini memang perusahaan yang Papa dirikan, Shak. Namun, sudah a
Akhir pekan tidak menjamin jalanan ibu kota menuju bandara Soekarno Hatta akan sepi dan mendukung perjalanan Fara yang sedikit terburu-buru. Dia bolak-balik melihat jam di ponselnya dan jalan raya.Fara berhasil tiba di sana tepat pada pukul empat sore. Setelah membayar sopir taksi, dia segera keluar dari mobil dan berjalan lebih cepat dari biasanya.Matanya menyapu ke seluruh area bandara. Sementara Attar dalam gendongannya terus mengerucutkan bibir dan mengerutkan dahinya.“Fara!” panggil seseorang. Fara menoleh ke arah suara.Dia merasa lega sekaligus senang ketika melihat Sella. Wanita itu berdiri di sebelah koper berwarna hitam. Fara segera menghampirinya.“Jalanan macet parah!” keluhnya pada Sella sambil menerima uluran koper dari tangan wanita itu.“Shakir gak ngikutin lo, kan? Lo udah nonton aktifin hp, kan?” tanya Sella bertubi-tubi.“Aman, tenang aja.”“Oke. Yaudah buruan check in, Ra. Take care ya di sana sama Attar. I’ll miss you!” Sella memeluk Fara beberapa detik dan men
Shakir keluar dari kamarnya dengan wajah yang sangat tidak bercahaya. Rambutnya kusut, bibirnya kering, dan dia masih mengenakan pakaian kemarin malam.Hanya dengan melihat penampilan anaknya, Sarah sudah bisa menyimpulkan jika anak kesayangannya itu belum mandi.Sorot mata Shakir lemah dan tatapannya kosong. Semenjak kepergian Fara, dunianya berhenti. Dia tidak bisa melanjutkan hidup tanpa istri dan anaknya.Hari-hari yang dilalui oleh Ryan dan Sarah tak ada bedanya dengan Shakir. Mata Sarah terlihat merah dan kantong matanya membengkak.Begitu pula dengan Ryan yang lebih sering terlihat diam. Hanya saja, mereka masih menyempatkan diri untuk membersihkan diri.Berita yang menyoroti permasalahan di keluarga dan perusahaan mereka benar-benar menguras tenaga. Para pencari berita sedang menunggu di depan rumah mereka. Shakir yang seharusnya menjadi ujung tombak Afnan Projects justru sedang kehilangan dirinya sendiri.Beberapa menu sarapan sudah terhidang di depan mereka. Namun, belum ada
Sejak pagi apartemen Fara dipenuhi oleh suara tangisan Attar yang menggelegar. Sesekali suaranya nyaring. Sesekali hanya terdengar isakannya saja.Bayi itu hanya mau minum sedikit susu dan waktu tidurnya berkurang. Setiap kali Fara mencoba menidurkannya, Attar justru menangis lebih keras. Tidak heran jika Attar semakin rewel.Fara bersyukur memilih apartemen yang kedap suara sehingga tangisan Attar tidak akan mengganggu tetangga di sebelahnya. Peraturan di apartemen ini cukup ketat. Dia bisa saja diusir jika terlalu sering membuat kegaduhan.“Sayang, Mama cek ya popoknya,” ujar Fara mencoba mengajak Attar bicara. Wajah Attar mengerut, dia terisak, matanya memerah, tapi sudah tidak ada air mata yang keluar dari sana.Ini sudah kelima kalinya Fara memeriksa popok Attar. Padahal jam baru menunjukkan pukul satu siang.“Popoknya masih bersih. Attar haus ya?” tanya Fara. Dia membawa anaknya ke dalam gendongannya dan mulai menurunkan bagian atas pakaiannya supaya Attar bisa minum ASI. Namun,
Frankfurt punya suhu musim dingin yang cukup ekstrem bagi orang yang besar di daerah tropis seperti Fara dan Attar. Jika tidak ada keperluan mendesak, dia akan lebih memilih untuk tinggal di apartemen dan menyalakan penghangat ruangan di sana.Namun, popok Attar habis karena anak itu sempat diare selama dua hari. Alhasil persediaan popoknya untuk sebulan sudah habis lebih cepat dan pesanan popok dari toko daring baru akan sampai besok.Fara sudah memakai empat lapis pakaian saat keluar rumah. Tak lupa, dia juga memakai topi, syal, kaus tangan, dan kaus kaki. Dengan pakaian itu, orang hanya bisa melihat mata dan beberapa rambut Fara yang keluar dari jaket musim dinginnya.Dia juga tidak bisa meninggalkan Attar sendirian di apartemen. Jadi dia juga membawa Attar. Bayi itu memakai baju berlapis empat dan digendong menggunakan hipseat.Kemudian, Fara memasukkan Attar ke dalam jaket musim dinginnya. Orang lain tidak akan mengira jika di dalam jaket itu ada bayi yang tengah memainkan baju i