“Kamu lagi cari apa?” tanyaku pada suami saat dia sedang mengobrak-abrik perpustakaan pribadi.
“DVD,” sahut lelaki itu di dalam ruang rahasia.
Baru kali ini aku melihat ruangan tersebut, padahal sudah tujuh tahun diriku keluar masuk apartemen Rasenda dengan bebas. Mengapa aku tidak menyadari hal ini sebelumnya?
Berbicara tentang ruangan rahasia, aku pun teringat pada surat pernyataan yang kubuat saat mabuk dahulu. Mungkin saja surat tersebut ada di ruangan itu.
“Aku boleh masuk tidak?” tanyaku dari depan pintu perpustakaan.
“Masuk saja sayang,” sahut lelaki itu.
Kaki ini melangkah melewati buku yang tertata rapi di dalam rak. Buku-buku ini disusun berurutan sesuai abjad dari A sampai Z.
“Apa kamu mempekerjakan pustakawan?” tanyaku.
Wajar saja aku bertanya demikian. Buku di sini sangat banyak dan beraneka ragam. Tidak mungkin Rasenda yang menyusunnya. Dia kan sibuk di k
“Safe flight, Ma,” ucap suamiku seraya memeluk erat ibunya.“Aameen darling. Kamu jaga diri baik-baik ya,” pesan wanita itu pada Rasenda.Meskipun kesehatan ibu mertua sudah membaik dalam beberapa bulan terakhir, beliau tetap harus kontrol beberapa waktu sekali. Oleh karena itu, sejak pagi buta kami berada di Bandara Soekarno-Hatta mengantar kepergian wanita itu ke Singapura.“Hati-hati di jalan, Ma.” Kali ini giliranku memeluk ibu mertua. Kami berpelukan erat seolah akan berpisah untuk waktu yang lama.“Tentu sayang.” Wanita ini melepas pelukan kami, lalu beliau menggenggam tanganku dan berpesan, “Mama titip anak nakal ini sama kamu ya. Kalau dia bandel, jewer saja telinganya sampai merah.”“Iya Ma, tidak usah khawatir,” jawabku.Lidahku memang berkata demikian. Namun, dalam batin aku berteriak ‘kalau anak ibu dijewer, dia malah suka. Telinganya
“Tolong pejam mata dulu, Kak,” pinta make up artist yang merias wajahku. Aku memakai jasa mereka agar malam ini tampil cantik maksimal.“Laki-laki yang lagi duduk di sofa siapa sih, Kak?” tanya wanita ini sambil mengaplikasikan eye shadow.Saat ini aku tidak dapat melihat apa pun. Namun, menurut perkiraanku, lelaki yang dimaksud oleh penata rias ini pasti Rasenda.“Dia suami saya,” jawabku.Roda kehidupan manusia memang tidak ada yang tahu akan ke mana arahnya. Siapa yang menyangka kalau hari ini aku menjadi istri Rasenda. Padahal dahulu aku hanya pegawai magang Pelisia.Aku masih ingat pada saat itu, kehidupan magang yang tak berjalan mulus seperti yang aku harapkan. Tidak banyak yang tahu bahwa aku mengalami perundungan di awal karier.“Selamat kepada Alba dan pegawai magang yang diterima menjadi karyawan Pelita Lestari Indonesia. Untuk saat ini status kalian memang masih kontrak, namun jika kinerja kalian bagus, perusahaan pasti akan memberi apresiasi,” tutur Rasenda pada kami.Pad
“Kamu sudah bangun?” tanya Rasenda.Lelaki itu terlihat lesu. Lingkar hitam di bawah kelopak matanya yang sayu menunjukkan bahwa dia terjaga semalaman.“Kenapa Kakak bisa ada di kamarku?” tanyaku pada saat itu.Setelah bibirku bertanya demikian, wajah Rasenda yang muram jadi makin suram. Hal itu membuatku bertanya-tanya apa ada hal buruk yang baru saja menimpanya?“Apa yang kamu rasakan? Apa masih sakit? Bagaimana perutmu?” tanya lelaki itu seraya mengucap pipiku sebelah kiri.Padahal sebelum ini kan aku bertanya kenapa dia ada di kamarku. Kenapa ia malah balik tanya? Mana pertanyaannya yang berderet pula.Apa yang dilakukan oleh Rasenda membuatku gugup karena jarak di antara kami juga sangat dekat. Jantungku pun berdegup kencang dibuatnya.“Kepalaku agak nyeri di dekat pangkal hidung, tapi di dalam,” ucapku. “Telingaku juga terasa berdengung
Aku bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa, sang Penguasa alam raya. Meskipun masa laluku tak cerah seperti milik orang lain, namun aku memiliki orang-orang yang menyayangiku dengan tulus.Kembali ke masa kini, riasan wajahku sudah selesai. Sekarang tiba saatnya bagiku untuk memakai gaun. Mereka menunjukkan beberapa gaun yang semuanya cantik sampai aku bingung mau pilih yang mana.“Pakai yang merah,” ujar Rasenda.Menurutku gaun tersebut bisa dikatakan terlalu ‘berani’. Warnanya merah darah dan juga modelnya menyesuaikan dengan lekuk tubuh. Jika aku pakai ini, apa yang akan dikatakan oleh orang?“Kenapa aku harus pakai yang itu?” tanyaku pada suami.Lelaki yang sedari tadi duduk di sofa, kini berjalan mendekatiku, lalu ia berbisik di telinga, “Karena aku suka.”***“Ini hadiah untuk kamu sayang,” ucap suamiku.“Terima kasih, sayang.” Aku menerima kotak berisi hadiah yang dia berikan.“Buka. Aku ingin kamu memakainya sekarang,” imbuh lelaki ini.Aku membuka kotak tersebut yang ternyata be
“Terima kasih, sayang,” tutur Rasenda.Suamiku menerima potongan kue pertama dan langsung meletakkannya di meja. Setelah itu, tangan kanan Rasenda menyusup ke pinggangku, kemudian merayap ke atas hingga tengkuk.Dia bergerak satu langkah ke depan sehingga jarak di antara kami berdua menghilang. Tangan kirinya meraba dari leher hingga ke pipi. Kemudian, lelaki ini mencium bibirku dengan intens.“Selamat ulang tahun, sayang. Terima kasih sudah lahir di dunia ini,” ucap lelaki tersebut yang sudah menikah denganku.Usai berkata demikian, Rasenda kembali menciumku. Selama bibir kami saling berpagutan, tangan suami secara bergantian menggeramaki kulit punggungku yang terekspos sepenuhnya.Sekarang aku tahu alasan mengapa Rasenda menyukai gaun merah ini. Gaun yang sedang aku kenakan merupakan open back dress yang memperlihatkan seluruh punggung tanpa terkecuali. Hal itu membuatnya bebas bereksplorasi tanpa batas.
“Apa maksudnya ini?” tanya Rasenda ketika kami berdua tiba di lantai tujuh belas Pelisia Quarter Keeps.“Kalian mau demo?” lanjutnya.Pada hari pertama kerja di awal pekan setelah perayaan ulang tahunku, para karyawan Pecitra berkumpul di lantai tujuh belas. Mereka berasal dari berbagai departemen yang ada di lantai lima belas.“Bukan Pak,” sanggah Ibu Angelic. “Kami ke sini mau mengucapkan selamat atas pernikahan Bapak dengan Ibu Alba.”Berdasarkan pengalamanku bekerja di bawah Rasenda, lelaki ini tak suka jika karyawan meninggalkan meja mereka, kecuali untuk keperluan pekerjaan.Tangan kananku membentuk sudut siku-siku di depan dada, sementara tangan kiri berpijak di atasnya seraya memijat pangkal hidung. Melihat para karyawan lantai lima belas ada di sini sekarang, kemungkinan Rasenda akan menceramahi mereka.“Terima kasih atas perhatian semua orang. Setelah jam kerja selesai, jangan p
“Sayang, tunggu dulu! Kita belum sampai di rumah,” ucapku pada suami setelah kami pulang dari acara makan malam bersama dengan para karyawan.Lelaki ini menyerangku sejak kami keluar dari lift. Dia tak mau berhenti, bahkan hanya untuk satu detik.“Sayang! Kamu dengerin aku ngomong apa enggak sih?” protesku.“Dengar kok, ini kan kita mau masuk rumah, jadi tidak apa-apa,” jawabnya.Dia memperlambat gerakannya karena memasukkan sandi di pintu. Setelah kami berhasil masuk ke dalam, Rasenda segera menyambar bibir ini dan menekanku ke tembok.Pergerakan Rasenda tak dapat aku halau. Selain karena gelap, gerakan lelaki ini juga sangat lincah sehingga aku tak punya pilihan lain selain menikmati setiap cumbuannya.Suami mengangkat kedua tanganku ke atas kepala dan bibirnya menjelajahi leher hingga area depan. Pada saat itu, aku melihat sekelebat bayangan di atas sofa.“Sayang berhenti dulu!” ucapku.“Tidak mau! Dari tadi kamu selalu minta berhenti. Jangan harap aku akan melakukannya,” sanggah s
“Kenapa disebut sebagai Jantung Medusa?” tanyaku pada suami.Dengan entengnya Rasenda menjawab pertanyaan bodohku, “Karena bentuk batu delima yang digunakan terlihat seperti jantung.”Aku pun mengamati detail perhiasan yang diberikan oleh ibu mertua. Permata yang ada pada perhiasan tersebut memiliki ukuran 88 karat, sangat pas digunakan untuk memukul kesombongan tetangga yang julid.Ternyata yang dikatakan oleh suamiku tidak salah. Benda berharga yang diberikan oleh ibu mertua memang terlihat seperti jantung, namun tidak terlihat alami.“Aish. Apa kamu kira kalau aku ini masih anak kecil? Batu permata yang dijadikan perhiasan kan dipahat terlebih dahulu. Mana mungkin batu asli dari alam sudah memiliki bentuk seperti itu,” ujarku padanya.Rasenda menutup kotak perhiasan yang berisi batu merah delima hadiah dari ibu mertua. Kemudian, dia menyimpan perhiasan tersebut ke dalam brankas. Setelah itu, dia mengangkat tub
Terima kasih aku ucapkan pada:Editorku, Kak Dian dan Kak Lucy. Berkat kalian berdua, ‘Jebakan Cinta sang CEO’ dapat tayang di Goodnovel;Para pembaca. Kalian memotivasiku untuk menyelesaikan cerita. ‘Jebakan Cinta sang CEO’ atau memiliki judul lain ‘Suami Magnetis’ merupakan naskah pertamaku di platform ini. Aku harap kalian menyukainya;Terkhusus untuk Jin, lelaki paling tampan di dunia dan sejagat raya pada abad ini. Oppa, thank you for giving me inspiration in writing this manuscript. If Oppa hadn’t held fan meeting a few months ago as well as became the torch bearer for The Paris 2024 Olympics, ‘Jebakan Cinta sang CEO’ would have had a different storyline. Oppa, i have a dream that one day my scripts will be adapted into drama and you become the one who play the main role. I hope my dreams come true.Saat ini aku sedang mengerjakan naskah lain berjudul Hidden Tea. Semoga cerita tersebut dapat tayang di platform ini juga. Sekian.
“Sayang, kamu enggak marah sama aku?” tanyaku.Saat ini diriku berada di bawah selimut yang sama dengan Rasenda. Setelah kami berdua melakukan penyatuan, rindu yang mengapur pun melebur. Suasana yang awalnya dingin, kini menjadi cair.Dengan lembut, Rasenda memeluk tubuhku yang masih polos dan apa adanya. “Marah kenapa?”“Karena aku jual Jantung Medusa, hadiah dari Mama,” jawabku dengan suara yang pelan, lalu menyembunyikan wajah di pelukan Rasenda.Pada saat diriku bilang ke Rosiana bahwa aku akan melepas Jantung Medusa, sebenarnya aku takut jika Rasenda membenciku. Meski pada saat itu lelaki ini membiarkan tindakanku, namun tetap saja ada perasaan tak enak.“Asalkan itu membuatmu senang, tidak ada masalah,” jawabnya.“Lagi pula, kamu tidak jual benda itu atas dasar keputusanmu sendiri. Aku masih punya andil di dalamnya. Ingat! Aku yang melepas perhiasan itu ke orang lain karena akulah yang menyimpannya. Jadi, jangan salahkan dirimu, oke,” imbuhnya.Betapa baiknya suamiku. Padahal ka
Empat hari kami berada di Korea mulai dari Kamis hingga Minggu. Kalau saja Aulia bukan budak korporasi, mungkin kami akan berada di sana hingga satu minggu ke depan.“Manu, tolong bawa ke dalam dan bagi dengan yang lain,” pintaku pada orang itu, wanita yang disuruh oleh Rasenda untuk mengawasi gerak-gerikku.Dia membawa masuk koper yang kuberikan dan membukanya. Betapa terkejut wanita itu setelah dia melihat isi dalam koper tersebut. Terdapat berbagai produk kecantikan, seperti masker wajah, lipstik dan pelembab. Tak ketinggalan juga teh yuja, ginseng serta berbagai makanan khas Korea.Selama berada di negeri K-pop, Aku dan Aulia memuaskan diri berkeliling ke berbagai tempat. Dari lokasi wisata hingga pusat perbelanjaan, kami kunjungi semua. Tak peduli mau beli atau tidak, yang penting kami bisa cuci mata.“Ya ampun banyak banget, Bu. Apa enggak rugi kena cukai?” respons Manu.Persetan dengan cukai atau apa pun itu, toh yang bayar suamiku. Dia sendiri juga sudah bilang agar aku memuas
“Hai sayang! Gimana kabar?” Rosiana mencium pipiku, kiri dan kanan.“Baik Kak. Kakak gimana?” jawabku.Wanita yang kini mengenakan kemeja putih ini menggenggam tanganku. “Luar biasa.”Kami bertemu di kafe yang terletak di daerah Megamendung. Tempat itu memiliki pemandangan indah yang menghadap ke Gunung Salak.Selain memanjakan mata, kafe tersebut juga memanjakan lidah, terutama bagi pengunjung yang mencintai makanan pedas. Mereka menyediakan berbagai menu yang dipadukan dengan sambal bakar seperti ikan gurame, ayam bakar pedas manis, steik bumbu kacang dan masih banyak lagi.“Langsung saja tidak usah basa-basi. Aku dengar kamu punya Jantung Medusa.” Baru saja bertemu, wanita ini sudah bertanya tentang perhiasan.“Dari mana Kakak mendengarnya?” tanyaku.“Dari kenalanku. Dia ingin membelinya,” ujar Rosiana.Memang yang namanya gosip cepat beredar. Mend
“Sayang kamu pasti bercanda, kan?”Aku menarik jas pria ini dengan tangan yang gemetar. Bagaimana mungkin dia berubah menjadi begitu kejam?Kertas yang dia berikan padaku merupakan surat pengunduran diri yang sudah diatur olehnya. Dia, bahkan tak meminta pendapatku lebih dahulu. Inikah hukuman darinya?“Selama ini aku tak bermaksud untuk menyembunyikan kebenaran ini. Aku hanya belum sempat mengatakannya…, tidak…, aku tak berani mengatakannya karena takut kalau kamu jadi makin sedih,” ucapku.“Saat itu, kamu baru saja kehilangan Mama. Jika aku memberi tahu kalau aku keguguran….”“Tetap saja aku berhak tahu!” bentaknya. “Bagaimanapun juga, dia juga anakku.”Seumur hidup, aku tak pernah melihat Rasenda marah sampai membentakku seperti malam ini. Biasanya, tak peduli seburuk apa suasana hatinya, dia tak akan berbicara dengan nada tinggi padaku.“Apa kar
Semenjak Ayu mengunggah video klarifikasi, kepercayaan publik yang sempat hilang pun kembali. Demikian juga dengan kepulangan Rasenda dari Singapura membuat atmosfer Pecitra menjadi lebih baik dari hari ke hari.Lelaki itu berhasil membujuk klien Pecitra yang ingin memutus kerja sama untuk mengurungkan niatnya. Dengan demikian, kerugian yang mengancam perusahaan dapat ditekan.Rasenda berjalan keluar dari ruangannya dan singgah di mejaku. “Sayang, buka akun sekuritas kamu deh,” ucap lelaki itu. Aku pun menurutinya.Betapa terkejut diriku saat melihat ekuitas yang aku miliki saat ini. Besarnya tak tanggung-tanggung hingga mencapai enam bagger. Modal awal yang aku taruh adalah delapan belas miliar enam ratus juta rupiah dan kini nilainya menjadi seratus sebelas miliar enam ratus juta rupiah.“Sayang! Ini beneran uang aku naik lima ratus persen?” tanyaku pada suami untuk memastikan diriku yang masih percaya bahwa ini mimpi.
Setelah menyelesaikan sambungan telepon dengan suami, aku merasakan ada sesuatu yang mengalir di bawah sana. Awalnya hanya terasa lengket, namun makin lama terasa kian deras.“Bu, silakan dipakai.” Bu Angelic memberikan pembalut padaku. “Di dekat sini ada mol, kita bisa pakai toilet di sana,” sambungnya.Setelah wanita itu berkata demikian, aku pun refleks meraba celanaku dan melihat ke belakang sana. Betapa terkejutnya diriku mendapati rembesan darah yang masih segar.“Ini tidak mungkin,” gumamku.“Sudah Bu, tidak usah malu. Kita kan sama-sama perempuan. Wajar saja kalau bocor saat sedang deras-derasnya,” ujar Ibu Angelic.Selama ini, tak ada yang mengetahui kehamilanku, kecuali suami dan ibu mertua. Oleh karena itu, tak heran jika wanita ini mengira bahwa aku sedang menstruasi. Hal ini ada baiknya juga sebab pendarahanku tak menimbulkan kegaduhan.“Pak Kevin dan Bu Angelic balik duluan
“Surprise, moda faka!” ucapku dengan intonasi yang manis disertai senyuman lebar pada Ayu, wanita yang membuat kekacauan di tubuh Pecitra dalam beberapa minggu belakangan.Perempuan itu terburu-buru menutup kembali pintu masuk begitu dia tahu kalau yang berkunjung ke tempat tinggalnya adalah diriku dan dua pejabat tinggi Pecitra. Berani bertaruh, dia pasti tak menyangka kalau kami akan datang ke rumah yang dia rahasiakan dengan baik.“Tidak mempersilakan kami masuk?” Aku menahan daun pintu dengan sepatu.Ayu tetap bersikeras menutup pintu, namun Pak Kevin berhasil menariknya dan menerobos masuk. Perempuan itu pun berteriak minta tolong. Sayangnya, usaha tersebut tak membuahkan hasil karena kami lebih dahulu membungkam mulutnya.“Jangan kamu pikir bisa berbuat seenaknya setelah merusak nama baik Pecitra,” ucapku padanya dengan suara pelan, tepat di telinga perempuan itu.“Kalau kalian berani macam-m
“Bagaimana situasi di Jakarta?” tanya Rasenda padaku yang sedang berada dalam perjalanan menuju Petals Allure.“Semua aman terkendali meskipun ada kayu yang melintang. Kamu tenang saja karena aku sudah membereskannya,” kataku, merujuk pada Rapat Dewan Direksi yang baru saja digelar.Bila teringat tentang rapat tersebut, dadaku jadi bergemuruh. Kalau berbuat kekerasan tak melanggar hukum, mungkin aku sudah menarik rambut para direksi sampai kepala mereka botak.“Aku kesal banget tahu. Bisa-bisanya mereka mau gantiin kamu. Dibilangnya kamu mangkir dari tugas saat perusahaan sedang ada masalah. Padahal kan di sana kamu juga masih mengerjakan urusan kantor,” sambungku.“Lalu apa yang kamu lakukan?” tanya lelaki itu dari balik telepon.“Ya aku lawan. Untung saja kamu kasih aku surat kuasa untuk atur saham yang kamu punya. Aku bilang saja kalau aku memegang saham mayoritas bahkan sampai tujuh puluh persen, jadinya mereka enggak bisa berdebat lagi,” jawabku.Rasenda pun tertawa keras setelah