Cerita ini fiktif belaka. Mohon tidak mempraktikan adegan ini di kehidupan nyata.
“Kamu sudah bangun?” tanya Rasenda.Lelaki itu terlihat lesu. Lingkar hitam di bawah kelopak matanya yang sayu menunjukkan bahwa dia terjaga semalaman.“Kenapa Kakak bisa ada di kamarku?” tanyaku pada saat itu.Setelah bibirku bertanya demikian, wajah Rasenda yang muram jadi makin suram. Hal itu membuatku bertanya-tanya apa ada hal buruk yang baru saja menimpanya?“Apa yang kamu rasakan? Apa masih sakit? Bagaimana perutmu?” tanya lelaki itu seraya mengucap pipiku sebelah kiri.Padahal sebelum ini kan aku bertanya kenapa dia ada di kamarku. Kenapa ia malah balik tanya? Mana pertanyaannya yang berderet pula.Apa yang dilakukan oleh Rasenda membuatku gugup karena jarak di antara kami juga sangat dekat. Jantungku pun berdegup kencang dibuatnya.“Kepalaku agak nyeri di dekat pangkal hidung, tapi di dalam,” ucapku. “Telingaku juga terasa berdengung
Aku bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa, sang Penguasa alam raya. Meskipun masa laluku tak cerah seperti milik orang lain, namun aku memiliki orang-orang yang menyayangiku dengan tulus.Kembali ke masa kini, riasan wajahku sudah selesai. Sekarang tiba saatnya bagiku untuk memakai gaun. Mereka menunjukkan beberapa gaun yang semuanya cantik sampai aku bingung mau pilih yang mana.“Pakai yang merah,” ujar Rasenda.Menurutku gaun tersebut bisa dikatakan terlalu ‘berani’. Warnanya merah darah dan juga modelnya menyesuaikan dengan lekuk tubuh. Jika aku pakai ini, apa yang akan dikatakan oleh orang?“Kenapa aku harus pakai yang itu?” tanyaku pada suami.Lelaki yang sedari tadi duduk di sofa, kini berjalan mendekatiku, lalu ia berbisik di telinga, “Karena aku suka.”***“Ini hadiah untuk kamu sayang,” ucap suamiku.“Terima kasih, sayang.” Aku menerima kotak berisi hadiah yang dia berikan.“Buka. Aku ingin kamu memakainya sekarang,” imbuh lelaki ini.Aku membuka kotak tersebut yang ternyata be
“Terima kasih, sayang,” tutur Rasenda.Suamiku menerima potongan kue pertama dan langsung meletakkannya di meja. Setelah itu, tangan kanan Rasenda menyusup ke pinggangku, kemudian merayap ke atas hingga tengkuk.Dia bergerak satu langkah ke depan sehingga jarak di antara kami berdua menghilang. Tangan kirinya meraba dari leher hingga ke pipi. Kemudian, lelaki ini mencium bibirku dengan intens.“Selamat ulang tahun, sayang. Terima kasih sudah lahir di dunia ini,” ucap lelaki tersebut yang sudah menikah denganku.Usai berkata demikian, Rasenda kembali menciumku. Selama bibir kami saling berpagutan, tangan suami secara bergantian menggeramaki kulit punggungku yang terekspos sepenuhnya.Sekarang aku tahu alasan mengapa Rasenda menyukai gaun merah ini. Gaun yang sedang aku kenakan merupakan open back dress yang memperlihatkan seluruh punggung tanpa terkecuali. Hal itu membuatnya bebas bereksplorasi tanpa batas.
“Apa maksudnya ini?” tanya Rasenda ketika kami berdua tiba di lantai tujuh belas Pelisia Quarter Keeps.“Kalian mau demo?” lanjutnya.Pada hari pertama kerja di awal pekan setelah perayaan ulang tahunku, para karyawan Pecitra berkumpul di lantai tujuh belas. Mereka berasal dari berbagai departemen yang ada di lantai lima belas.“Bukan Pak,” sanggah Ibu Angelic. “Kami ke sini mau mengucapkan selamat atas pernikahan Bapak dengan Ibu Alba.”Berdasarkan pengalamanku bekerja di bawah Rasenda, lelaki ini tak suka jika karyawan meninggalkan meja mereka, kecuali untuk keperluan pekerjaan.Tangan kananku membentuk sudut siku-siku di depan dada, sementara tangan kiri berpijak di atasnya seraya memijat pangkal hidung. Melihat para karyawan lantai lima belas ada di sini sekarang, kemungkinan Rasenda akan menceramahi mereka.“Terima kasih atas perhatian semua orang. Setelah jam kerja selesai, jangan p
“Sayang, tunggu dulu! Kita belum sampai di rumah,” ucapku pada suami setelah kami pulang dari acara makan malam bersama dengan para karyawan.Lelaki ini menyerangku sejak kami keluar dari lift. Dia tak mau berhenti, bahkan hanya untuk satu detik.“Sayang! Kamu dengerin aku ngomong apa enggak sih?” protesku.“Dengar kok, ini kan kita mau masuk rumah, jadi tidak apa-apa,” jawabnya.Dia memperlambat gerakannya karena memasukkan sandi di pintu. Setelah kami berhasil masuk ke dalam, Rasenda segera menyambar bibir ini dan menekanku ke tembok.Pergerakan Rasenda tak dapat aku halau. Selain karena gelap, gerakan lelaki ini juga sangat lincah sehingga aku tak punya pilihan lain selain menikmati setiap cumbuannya.Suami mengangkat kedua tanganku ke atas kepala dan bibirnya menjelajahi leher hingga area depan. Pada saat itu, aku melihat sekelebat bayangan di atas sofa.“Sayang berhenti dulu!” ucapku.“Tidak mau! Dari tadi kamu selalu minta berhenti. Jangan harap aku akan melakukannya,” sanggah s
“Kenapa disebut sebagai Jantung Medusa?” tanyaku pada suami.Dengan entengnya Rasenda menjawab pertanyaan bodohku, “Karena bentuk batu delima yang digunakan terlihat seperti jantung.”Aku pun mengamati detail perhiasan yang diberikan oleh ibu mertua. Permata yang ada pada perhiasan tersebut memiliki ukuran 88 karat, sangat pas digunakan untuk memukul kesombongan tetangga yang julid.Ternyata yang dikatakan oleh suamiku tidak salah. Benda berharga yang diberikan oleh ibu mertua memang terlihat seperti jantung, namun tidak terlihat alami.“Aish. Apa kamu kira kalau aku ini masih anak kecil? Batu permata yang dijadikan perhiasan kan dipahat terlebih dahulu. Mana mungkin batu asli dari alam sudah memiliki bentuk seperti itu,” ujarku padanya.Rasenda menutup kotak perhiasan yang berisi batu merah delima hadiah dari ibu mertua. Kemudian, dia menyimpan perhiasan tersebut ke dalam brankas. Setelah itu, dia mengangkat tub
Perkataan Rosiana terngiang-ngiang di kepala hingga seharian. Pernikahanku memang dadakan, namun semuanya berjalan lancar tanpa hambatan seolah sudah dipersiapkan dengan matang.“Sayang, aku mau ngomong,” ucapku pada suami saat dia sedang membaca buku di perpustakaan pribadi.“Mau ngomong apa sih sayang?” tanya lelaki itu.Dia menutup buku yang sedang dibaca dan menyediakan pangkuannya untukku. Karena sudah dipersilakan duduk di sana, aku pun mendaratkan tubuhku dengan senang hati.“Waktu kita nikah, persiapannya berapa lama sih?” tanyaku.Lelaki ini menghela napas, lalu balik bertanya padaku, “Kenapa tiba-tiba kamu tanya itu?”“Memang tidak boleh?”Aku sempat mencari informasi tentang tata cara mengajukan pernikahan di Singapura. Dikatakan apabila kita hendak melakukan pernikahan di sana, ada beberapa persyaratan.Salah satu syarat yang harus dipenuhi jika ingin menik
“Eh! Lihat deh,” seru Aulia padaku. Dia menunjukkan layar ponselnya, lalu berkata, “Ini si Ayu yang dulu ada di Departemen Public Relations, kan?”Aku menonton video di media sosial yang ditunjukkan oleh wanita ini. Tidak salah lagi, perempuan yang ada di sana adalah Ayu Larasati. Orang yang sudah membuatku terlihat sebagai wanita murahan dan juga simpanan sang CEO Pecitra. Padahal lelaki itu adalah suamiku sendiri.“Enggak nyangka ya si Ayu sudah berhenti jadi pekerja korporasi dan sekarang dia beralih menjadi influenser produk kecantikan,” sambung Aulia.“Kerjaannya sekarang membuat reviu produk, terus unggah ke media sosial,” pungkas wanita yang sedang menunggu dokumen bersamaku di depan printer.Terserah dia mau jadi apa, aku tak peduli sama sekali. Jangan tanya alasannya kenapa, tentu saja karena luka yang dia toreh padaku belum kering, bahkan masih basah dan menganga.“Maduku, berkasku sudah siap. Aku duluan ya,” ucapku pada Aulia, meninggalkan wanita ini sendiri.***“Masuk,” u