Pagi-pagi sekali Elise menyibukkan diri di dapur, sudah dengan penampilan dan pakaian yang rapi. Ia membuat sandwich sebagai menu sarapan Theo dan segelas susu.
Apa yang terjadi malam tadi masih membuat perutnya berbunga-bunga, sampai-sampai ia bangun lebih awal. Meskipun ini bukan pertama kalinya, tapi ini yang membuat Elise setidaknya merasa dicintai oleh suaminya. Agak miris. Walaupun ia tak tahu pasti apakah Theo melakukannya atas dasar cinta atau nafsu belaka.
Tapi Elise tidak ingin memikirkannya. Perlakuan Theo padanya selama ini sudah cukup membuat hatinya sakit. Ia tidak ingin menambah rasa sakitnya lagi dengan mencari tahu kebenarannya.
"Selamat pagi," sapa Elise lembut ketika melihat Theo keluar dari kamar.
Elise suka melihat penampilan suaminya pagi itu. Theo mengenakan kaos putih dan celana panjang yang terlihat pas di tubuhnya, dengan rambut gelapnya yang sedikit berantakan. Pria itu terlihat menarik, meskipun sorot matanya yang dingin masih membuat bulu kuduk Elise bergedik.
Theo tidak menjawab, seperti biasanya. Ia langsung duduk dan meletakkan ponselnya di atas meja makan. Ia menikmati sarapannya tanpa berkomentar.
Elise menarik bangku dan duduk di sebelah Theo, ketika pria itu berkata, "Aku tidak akan makan malam di rumah hari ini." ujarnya datar.
Alis Elise terangkat. "Kenapa?"
Theo langsung menoleh kearahnya dan membalas tatapannya dengan tajam. "Bukan urusanmu."
Seketika Elise tertunduk dan tidak berkata apa-apa lagi. Sebenarnya ia merasa tidak adil. Setiap hal yang ingin dilakukannya, Elise harus melaporkannya pada Theo. Tapi pria itu sendiri? Ia akan memberikan jawaban yang sama setiap kali Elise bertanya. Elise benar-benar merasa tidak dianggap oleh suaminya.
Ponsel Theo di atas meja makan berdering. Pria itu langsung menjawab telepon. Elise merasa penasaran ketika melihat raut wajah Theo yang berubah melunak saat berbicara di telepon. Siapa yang menelepon? Kenapa sikap Theo langsung berubah begini?
"Ya, ya, aku tidak lupa. Tenang saja. Aku akan menjemputmu di bandara sore nanti." ujar Theo dengan nada ringan. Caranya berbicara sangat jauh berbeda dengan cara bicaranya selama ini pada Elise. "Jangan lupa kirimkan padaku detail penerbanganmu." tambahnya lagi sambil meneguk susu hangatnya. "Oke, semoga penerbanganmu lancar. Sampai nanti."
Elise yang melihat perubahan sikap Theo yang amat drastis itu tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. "Siapa yang menelepon?" tanyanya hati-hati.
Theo kembali melemparkan tatapan sinis ke arahnya. "Kau tidak perlu tahu."
"Tapi aku ini istrimu. Aku berhak tahu!"
Entah apa yang membuat Elise begitu berani pagi itu. Ini pertama kalinya ia bersikap selancang itu pada Theo. Selama ini ia hanya akan tertunduk dan menurut. Tapi tidak untuk kali ini.
Theo setengah tergelak setengah mendengus. "Apa katamu? Kau berhak tahu?" ulangnya dengan nada meremehkan. "Apa kau lupa dasar dari pernikahan ini?"
Elise seketika terdiam. Ya, pernikahan ini tidak didasari oleh cinta. Tapi kepentingan masing-masing. Elise jelas tidak lupa akan hal itu.
"Kalau bukan karena aku yang menolongmu malam itu, kau mungkin sudah ditangkap dan dijual pada pria hidung belang." ujar Theo santai.
Ucapannya barusan cukup menyakitkan hati Elise. Tapi wanita itu tidak diam saja. Kali ini ia membalas, "Dan kau juga tidak bisa melupakan jasaku. Kalau aku tidak menerima tawaranmu, mungkin kau akan dicap sebagai seorang Gay oleh orang-orang sampai sekarang."
Rahang Theo seketika mengeras. Sorot matanya yang gelap membuat sekujur tubuh Elise membatu. Rasa takut mulai merambat dalam dirinya, meskipun apa yang baru saja dikatakannya itu tidak salah.
"Jangan sombong, Elise Bowman. Aku bisa mengajak perempuan lain untuk bekerja sama denganku waktu itu kalau kau menolak." desis Theo seraya berdiri dan meninggalkan meja makan. Sepertinya suasana hatinya berubah memburuk setelah mendengar ucapan Elise.
Sebelum Elise sempat minta maaf, terdengar suara pintu dari arah kamar yang dibanting cukup keras. Pria itu benar-benar marah. Elise hanya bisa mendesah keras dan menyeka air mata yang nyaris menyucur di sudut matanya. Lagi-lagi pria itu berhasil membuatnya menangis.
***
"Ini kopimu, dok."
Seorang gadis muda berpakaian rapi masuk ke dalam ruangannya dan menyodorkan segelas kopi panas pada Elise yang saat itu sedang duduk melamun di meja kerjanya.
Gadis yang kerap disapa Amy itu adalah salah satu karyawan di klinik yang bertugas sebagai kasir dan juga mengurus keperluan administrasi pasien. Elise bersyukur karena Amy tidak ikut-ikutan berhenti dari pekerjaannya. Jika tidak, Elise tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi padanya dan klinik.
"Terima kasih." sahut Elise dengan seulas senyum. Kemudian Amy pun meninggalkan ruangan.
Perasaannya menjadi sedikit lebih baik setelah menyesap kopi panas buatan Amy. Pertengkarannya dengan Theo pagi tadi membuat pikirannya agak terganggu.
Apa sebaiknya aku minta maaf padanya?
Dua detik kemudian, Elise menggelengkan kepala. Tidak, tidak. Untuk apa aku minta maaf? Selama ini dia juga tidak pernah merasa bersalah karena sudah menyakiti perasaanku. Persetan!
Elise mendengus sebal dan beralih ke layar laptopnya. Lebih baik ia bekerja dengan baik tanpa memikirkan pria jahat itu.
Sepuluh menit baru saja berlalu dengan tenang ketika tiba-tiba Amy mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangannya.
"Dok, ada seseorang yang datang mengantarkan lamaran. Apa anda ingin langsung bertemu dengannya?"
Elise langsung melompat dari bangkunya. "Tentu, suruh dia masuk menemuiku." serunya berseri-seri.
Amy mengangguk dan segera memanggil si pelamar untuk langsung menemui Elise. Kurang dari semenit, pintu kembali terbuka dan sosok seorang pria bertubuh tinggi berpenampilan rapi muncul di ambang pintu.
Senyum penuh semangat di wajah Elise seketika sirna. Kedua matanya melebar dan nafasnya terhenti selama beberapa detik. Ia nyaris kehilangan suaranya. "N-Nathan?" ucapnya terbata-bata.
Jonathan Nilsson, sahabat sekaligus teman masa kecil Elise yang selama ini menghilang entah ke mana tiba-tiba muncul di hadapannya. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan tatapan kaget, seperti yang dilakukan Elise.
Raut wajah Jonathan Nilsson yang semula tampak kaget itu langsung melunak. Seulas senyum hangat terukir di wajah tampan pria itu. "Elise, sudah lama kita tidak bertemu."
"Jadi, kau belum memutuskan untuk menetap di sini?" tanya Elise pada Nathan yang saat itu duduk berhadapan dengannya.Jonathan Nilsson mengangguk sambil membenarkan posisi kacamatanya. "Aku masih memikirkannya."Elise mengangguk pelan sambil menyesap kopinya.Pria yang kerap disapanya Nathan itu bersedia untuk langsung bekerja. Nathan yang juga merupakan seorang dokter hewan sangat terampil dan ahli dalam menangani pasien yang datang hari itu. Kalau diingat-ingat kembali saat mereka masih kuliah, Nathan memang jauh lebih pandai daripada Elise. Tapi saat ini, pria itu justru tidak keberatan untuk menjadi asistennya."Jadi..." Nathan memecah keheningan. "Kau sudah menikah?" tanyanya sambil melirik cincin di jari manis Elise.Tanpa sadar Elise mengikuti arah pandangan Nathan, ke arah cincin berlian yang tersemat di jarinya. Bagi Elise, cincin pernikahannya adalah benda paling indah yang pernah diberikan Theo untuknya. Berliannya tampak bersinar gemerlapan saat terpantul cahaya lampu ruang
Theo menyeret Elise ke kamar dan menutup pintu dengan sekali bantingan keras. Elise hampir terhuyung ketika Theo melepaskannya dengan kasar seperti sebuah benda tak berguna."Dia tamuku. Kau tak punya hak untuk mengusirnya!" desis Theo tajam.Elise melipat tangan di depan dada, berusaha meredam emosinya yang sebenarnya juga meledak-ledak. Ia tak menyangka suaminya akan membawa wanita lain ke rumah mereka. Dan mirisnya, wanita itu adalah cinta pertama Theo.Elise menolak berjabat tangan dengan wanita bernama Cellina Rose itu. Ia juga meminta Nathan untuk pulang dengan alasan jam tutup klinik. Jujur saja, ia malu karena Nathan harus melihat kondisi rumah tangganya yang menyedihkan. Elise tak pernah ingin membiarkan orang lain tahu seperti apa hubungannya selama ini dengan Theodore Blake."Tapi aku istrimu!" balas Elise kemudian. Ia tidak bisa menahan suara yang sejak tadi ditahannya.Theo langsung menarik lengan Elise. Cengkeraman Theo berhasil membuatnya meringis kesakitan. "Apa kau lu
"Aku mencoba menghubungi ponselmu berkali-kali, tapi tak ada jawaban." sahut Nathan yang saat ini duduk di samping Elise.Mereka berpindah ke sebuah kursi kayu yang ada di taman. Suasana taman begitu sunyi malam itu, sampai-sampai mereka bisa mendengarkan nafasnya masing-masing."Aku mengkhawatirkanmu. Jadi kuputuskan untuk datang ke rumahmu." jelas Nathan lagi. Lalu ia tergelak kecil. "Tapi petugas keamanan di rumah bilang padaku bahwa kau baru saja pergi. Sendirian."Elise menoleh dan menatap Nathan dengan mata disipitkan. "Lalu bagaimana bisa kau tahu aku berada di sini?"Nathan tersenyum bangga. "Aku punya firasat bahwa kau tidak akan pergi jauh dari sekitar rumahmu. Kebetulan aku melihat taman ini saat perjalanan pulang tadi. Jadi kupikir sebaiknya aku mencarimu di sini."Elise mendengus sambil tergelak. "Kau tidak berubah. Masih saja pintar seperti dulu."Nathan tak menyahut. Ia justru tersenyum lega melihat Elise yang semula bermuram durja, akhirnya tersenyum kembali. Setelah be
Cellina tersengir sambil menggelengkan kepala melihat Theo yang baru saja menghabiskan segelas minuman beralkohol dalam satu kali teguk.Malam itu Theo tiba-tiba menghubunginya dan mengajaknya untuk bertemu di salah satu bar yang tak jauh dari tempat Cellina menginap. Awalnya Cellina ingin menolak, karena malam itu ia sama sekali tak berencana untuk minum-minum. Mengingat ia baru saja melalui perjalanan panjang, hingga belasan jam. Tapi mendengar nada bicara Theo di telepon membuatnya agak was-was. Jadi ia menerima ajakan Theo dan ternyata benar saja. Theo memang sedang tidak baik-baik saja."Dokter Blake, apa kau tidak takut jika salah seorang pasien melihatmu minum-minum di sini?" Lalu ia ikut meneguk minumannya."Aku tak peduli," sahut Theo acuh tak acuh."Oh," Cellina kemudian berdecak. "Kalau aku pasienmu, aku tak akan berani mempercayakan jantungku lagi padamu."Theo tak menggubris. Hari ini pikirannya benar-benar kacau. Sore tadi ia sudah membuat Elise Bowman menangis. Lalu mala
Jam analog di atas nakas sudah menunjukkan pukul 08:15 ketika Theo membuka kedua matanya. Seketika kepalanya diserang rasa sakit yang masih dapat ditahannya. Perlahan ia menegakkan tubuh dan berusaha mengingat-ngingat.Setelah beberapa saat Theo berhasil mengingat sebagian kejadian yang terjadi semalam. Ia bertengkar hebat dengan Elise, lalu mengajak Cellina untuk minum-minum hingga dirinya mabuk, lalu wanita itu mengantarnya pulang ke rumah dan Elise kemudian mengambil kendali atas dirinya. Dan setelah itu... Theo tak ingat apa yang terjadi setelah itu.Ia kemudian menatap dirinya yang sudah berada dalam balutan selimut, juga pakaiannya yang sudah berganti. Tentu saja ini ulah Elise, batinnya seraya mengulum senyum.Wanita itu juga sudah menyiapkan secangkir teh hangat di atas nakas. Theo meneguknya pelan-pelan sebelum beranjak dari kasur. Perlahan rasa sakit sakit di kepalanya mereda.Theo keluar dari kamar dan melihat ke sekeliling. Sepi, hanya terlihat dua orang pelayan yang sedang
Theo melirik jam tangannya, lalu mendengus. Kemudian ia menjatuhkan diri ke sandaran kursi.Sudah dua puluh menit berlalu. Jika mengikuti jadwalnya, seharusnya ada pasien yang melakukan pengecekan rutin pagi itu. Tapi hingga saat ini si pasien belum menampakkan batang hidungnya.Theo mengetuk-ngetuk pena yang ada di tangannya ke dagu. Tatapannya kosong ke arah layar komputer. Ucapan Elise kemarin masih mengiang-ngiang di telinganya.Sebaiknya kita sudahi saja pernikahan ini.Bagaimana bisa Elise mengucapkan kalimat itu dengan entengnya?Tidak, tidak. Ini semua salahnya. Ia seharusnya memperlakukan istrinya dengan baik. Sikapnya sudah terlalu buruk. Tak heran jika akhirnya Elise ingin bercerai darinya."Sial, aku harus bagaimana?" gumam Theo pada diri sendiri.Tentu saja ia tidak ingin berpisah dari Elise. Namun di sisi lain, rasanya tidak mungkin jika ia tiba-tiba berubah baik padanya. Bagaimana kalau Elise malah menertawakannya dan menjadikan hal ini sebagai senjatanya untuk mendapatk
Langit di luar sudah gelap. Jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul tujuh malam ketika Elise keluar dari kamar mandi.Hari ini klinik tutup lebih lambat. Seorang pria tersengal-sengal membawa anjing ras Poodle miliknya ke klinik dan meminta pertolongan. Anjing malang itu tersedak, sehingga kesulitan bernafas. Untung saja semuanya dapat ditangani dengan cepat dan kondisinya sudah membaik.Elise baru saja mendaratkan bokongnya di atas kasur sambil mengeringkan rambut dengan handuk ketika ponselnya di atas nakas berdenting, pertanda sebuah pesan masuk. Ia meraih benda itu untuk melihatnya.Aku akan pulang larut. Ada operasi besar malam ini.Seketika alisnya terangkat membaca pesan yang ternyata dikirim oleh Theo untuknya. Sejak mereka menikah, Theo tidak pernah mengirimkan pesan padanya, terlebih untuk memberikan kabar seperti yang dilakukannya malam ini.Sejak awal menikah, Theo sudah menegaskan batasan-batasan yang ada di antara mereka. Sebagai seorang dokter, Theo merasa wajar jika
"Pagi yang cerah."Begitu batin Elise sambil menikmati teh dan kue kering di taman belakang rumah. Matahari bersinar hangat dengan segelintir angin yang berhembus. Bunga cosmos dan mawar yang ditanamnya sejak tinggal di sana tampak subur, membuat taman itu terasa benar-benar hidup dan berwarna.Elise sering menghabiskan waktunya di akhir pekan dengan mengurus tanaman di taman belakang rumah. Klinik tutup di hari Minggu, jadi ia punya waktu untuk bersantai dan melakukan hobinya."Anda berhasil menyulap taman yang semula gersang menjadi sebuah taman yang indah." puji Bibi Bernadeth yang juga berada di sana menemani Elise.Elise selalu mengajak Bibi Bernadeth untuk menemaninya mengobrol di taman. Wanita yang berusia sebaya ibunya itu sangat baik, juga sosok yang hangat. Elise merasa nyaman mengobrol dengannya. Ia merasa seperti sedang menikmati pagi yang indah bersama ibunya sendiri."Ini semua juga berkat bantuan Bibi dan Paman Sam." sahut Elise sambil tersenyum. Paman Sam adalah suami B