Elise terjaga dari tidurnya. Suara petir yang keras di luar sana seketika membuatnya tersadar. Cahaya kilat yang menembus masuk dari balik korden membuat ruangan gelap itu terang selama beberapa detik. Ia ketiduran setelah bertengkar dengan Theo.
Hujan turun deras di luar sana. Dengan bersusah payah Elise menegakkan tubuh. Saat melihat ke sebelah, ia tak menemukan sosok Theo di ranjang. Sementara jam analog di atas nakas sudah menunjukkan hampir pukul dua pagi. "Ke mana dia?" Elise bertanya pada dirinya sendiri. Ternyata pria itu belum pulang sejak pertengkaran mereka sore tadi. Elise menyibakkan selimut ke tepi dan turun dari ranjang. Ia berjalan ke arah jendela besar di kamarnya dan berdiri di tepi jendela sambil menatap keluar. Malam itu terasa cukup mencekam. Petir menyambar sangat keras di tengah derasnya hujan. Dalam hati, Elise merasa bersyukur karena malam ini tidak ada pasien yang dirawat inap di kliniknya. Pasien terakhirnya yang dirawat inap, seekor anjing Chow Chow tua berbadan gembul, sudah dibawa pulang oleh pemiliknya sore tadi. Suara derit halus pintu kamar yang terbuka seketika membuyarkan perhatian Elise. Ia menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria bertubuh tinggi tegap masuk ke dalam kamar. Pria itu melepas jas yang dikenakannya dan menggantungnya di tiang gantungan di sudut kamar. Pria itu berdiri sejenak menatap ke arah Elise. Ia terlihat sedang melepaskan kancing di ujung lengan kemejanya. Dan tak lama setelah itu, ia berjalan ke arah Elise. "Kau sudah pulang?" tanya Elise dengan seulas senyum, meskipun ia tak yakin apakah suaminya bisa melihat senyumannya di tengah kegelapan. Theo berhenti tepat di hadapannya tanpa memberi jawaban apa pun. Elise mendongak dan kini ia bisa melihat wajah suaminya lebih jelas. Elise menelan ludah ketika sepasang mata berwarna coklat gelap di hadapannya itu menatapnya. Sayang sekali. Padahal Theo memiliki sepasang mata yang indah menurutnya. Namun sorot mata dingin dan gelap yang selalu ditujukannya pada Elise membuat wanita itu takut dan gugup. Tatapan matanya seolah menyiratkan kebencian yang begitu besar pada Elise. Elise tersentak kaget ketika Theo tiba-tiba menariknya. Theo menempelkan wajahnya di sebelah telinga Elise dan berbisik, "Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu sore tadi." Tanpa pikir panjang Theo langsung melucuti gaun tidur yang dikenakan Elise dan mendorongnya ke atas tempat tidur. Jemari panjangnya dengan cepat bergerak melepas satu per satu kancing kemejanya. Tanpa ada perlawanan, Elise membiarkan Theo berada di atas tubuhnya, melumat bibirnya dan memberikan sentuhan panas yang membuatnya mengerang. "Kau ingat apa peraturan utama di pernikahan ini?" bisik Theo yang terus bergerak di atas tubuh Elise dengan nafas memburu. Gerakannya semakin cepat, hingga membuat Elise terengah-engah. "Ak... aku... harus melayanimu..." "Bagus, kau masih mengingatnya." gumam Theo disertai sekali dorongan keras. "Lantas mengapa kau melanggarnya?" "M-ma.. maafkan aku. A-aku tidak bermaksud melanggarnya!" Elise tak tahu sampai sejauh apa tubuh kecilnya bisa menahan semua ini. Tapi yang jelas, ia akan tetap bertahan. Karena ini satu-satunya yang bisa membuatnya lebih dekat dengan suaminya, Theodore Blake. *** Theo terlelap tanpa busana di sampingnya setelah apa yang terjadi di antara mereka malam itu, di tengah derasnya hujan yang mengguyur. Ia sedikit mendengkur. Elise menatap punggung kekar di hadapannya itu seraya menghela nafas pelan. Tanpa terasa ia sudah sampai di titik ini sejak hari pernikahannya dengan Theodore Blake. Sudah tiga tahun ia menikah dengan pria itu. Namun sayangnya, pernikahan mereka bukan didasari oleh cinta. Melainkan demi memenuhi kepentingan masing-masing. Elise butuh dana besar untuk membayar seluruh hutang yang ditinggalkan oleh mendiang ibunya. Ia sampai dipecat dari klinik hewan tempatnya bekerja karena para lintah darat itu sering mengacau di sana. Sedangkan Theo yang hidup bergelimang harta, ia butuh seorang wanita untuk menghapus rumor tentang dirinya yang mengatakan bahwa ia adalah seorang penyuka sesama jenis. Selain itu, jika ia tidak memberikan pembuktian dengan menikahi seorang wanita, kakeknya tidak akan menyerahkan Rumah Sakit St. Louis padanya. Mereka bertemu di salah satu gang kumuh di pusat kota. Kala itu, Elise dikepung oleh tiga orang lintah darat yang ingin menangkapnya. Mereka ingin menjualnya ke pria hidung belang kaya raya, sebagai bayaran atas hutang-hutang mendiang ibunya. Namun Elise bernasib mujur malam itu. Theo yang baru saja keluar dari sebuah bar yang letaknya tak jauh dari sana, berlalu dan melihat kejadian itu. Tanpa pikir panjang, ia langsung menghajar ketiga pria itu seorang diri dan membuat mereka lari terbirit-birit. "Hm..." Suara gumam Theo yang seketika membalikkan badannya ke arah Elise membuat ingatan masa lalunya buyar. Elise langsung mematung dan menelan ludah saat sepasang mata gelap itu menatapnya. Hanya beberapa detik, sebelum akhirnya sepasang mata indah itu kembali terpejam. Elise memejamkan mata. Tatapan mata Theo terbayang-bayang dalam benaknya. Dingin, tanpa perasaan apa pun. Ia tak ingin mengasihani dirinya. Tapi ia tak bisa memungkiri bahwa ia merasa sedih dengan pernikahan ini. Hatinya sakit setiap kali mengingat bahwa Theo tidak mencintainya. Tidak sepertinya dirinya yang diam-diam telah jatuh hati pada pria itu. Pesona yang dimiliki Theo, juga sikapnya yang tegas membuat hati Elise luluh. Namun sayangnya, pria itu hanya mencarinya demi memuaskan nafsunya. "Andai kau juga mencintaiku..." batin Elise sebelum dirinya terlelap.Pagi-pagi sekali Elise menyibukkan diri di dapur, sudah dengan penampilan dan pakaian yang rapi. Ia membuat sandwich sebagai menu sarapan Theo dan segelas susu.Apa yang terjadi malam tadi masih membuat perutnya berbunga-bunga, sampai-sampai ia bangun lebih awal. Meskipun ini bukan pertama kalinya, tapi ini yang membuat Elise setidaknya merasa dicintai oleh suaminya. Agak miris. Walaupun ia tak tahu pasti apakah Theo melakukannya atas dasar cinta atau nafsu belaka.Tapi Elise tidak ingin memikirkannya. Perlakuan Theo padanya selama ini sudah cukup membuat hatinya sakit. Ia tidak ingin menambah rasa sakitnya lagi dengan mencari tahu kebenarannya."Selamat pagi," sapa Elise lembut ketika melihat Theo keluar dari kamar.Elise suka melihat penampilan suaminya pagi itu. Theo mengenakan kaos putih dan celana panjang yang terlihat pas di tubuhnya, dengan rambut gelapnya yang sedikit berantakan. Pria itu terlihat menarik, meskipun sorot matanya yang dingin masih membuat bulu kuduk Elise berged
"Jadi, kau belum memutuskan untuk menetap di sini?" tanya Elise pada Nathan yang saat itu duduk berhadapan dengannya.Jonathan Nilsson mengangguk sambil membenarkan posisi kacamatanya. "Aku masih memikirkannya."Elise mengangguk pelan sambil menyesap kopinya.Pria yang kerap disapanya Nathan itu bersedia untuk langsung bekerja. Nathan yang juga merupakan seorang dokter hewan sangat terampil dan ahli dalam menangani pasien yang datang hari itu. Kalau diingat-ingat kembali saat mereka masih kuliah, Nathan memang jauh lebih pandai daripada Elise. Tapi saat ini, pria itu justru tidak keberatan untuk menjadi asistennya."Jadi..." Nathan memecah keheningan. "Kau sudah menikah?" tanyanya sambil melirik cincin di jari manis Elise.Tanpa sadar Elise mengikuti arah pandangan Nathan, ke arah cincin berlian yang tersemat di jarinya. Bagi Elise, cincin pernikahannya adalah benda paling indah yang pernah diberikan Theo untuknya. Berliannya tampak bersinar gemerlapan saat terpantul cahaya lampu ruang
Theo menyeret Elise ke kamar dan menutup pintu dengan sekali bantingan keras. Elise hampir terhuyung ketika Theo melepaskannya dengan kasar seperti sebuah benda tak berguna."Dia tamuku. Kau tak punya hak untuk mengusirnya!" desis Theo tajam.Elise melipat tangan di depan dada, berusaha meredam emosinya yang sebenarnya juga meledak-ledak. Ia tak menyangka suaminya akan membawa wanita lain ke rumah mereka. Dan mirisnya, wanita itu adalah cinta pertama Theo.Elise menolak berjabat tangan dengan wanita bernama Cellina Rose itu. Ia juga meminta Nathan untuk pulang dengan alasan jam tutup klinik. Jujur saja, ia malu karena Nathan harus melihat kondisi rumah tangganya yang menyedihkan. Elise tak pernah ingin membiarkan orang lain tahu seperti apa hubungannya selama ini dengan Theodore Blake."Tapi aku istrimu!" balas Elise kemudian. Ia tidak bisa menahan suara yang sejak tadi ditahannya.Theo langsung menarik lengan Elise. Cengkeraman Theo berhasil membuatnya meringis kesakitan. "Apa kau lu
"Aku mencoba menghubungi ponselmu berkali-kali, tapi tak ada jawaban." sahut Nathan yang saat ini duduk di samping Elise.Mereka berpindah ke sebuah kursi kayu yang ada di taman. Suasana taman begitu sunyi malam itu, sampai-sampai mereka bisa mendengarkan nafasnya masing-masing."Aku mengkhawatirkanmu. Jadi kuputuskan untuk datang ke rumahmu." jelas Nathan lagi. Lalu ia tergelak kecil. "Tapi petugas keamanan di rumah bilang padaku bahwa kau baru saja pergi. Sendirian."Elise menoleh dan menatap Nathan dengan mata disipitkan. "Lalu bagaimana bisa kau tahu aku berada di sini?"Nathan tersenyum bangga. "Aku punya firasat bahwa kau tidak akan pergi jauh dari sekitar rumahmu. Kebetulan aku melihat taman ini saat perjalanan pulang tadi. Jadi kupikir sebaiknya aku mencarimu di sini."Elise mendengus sambil tergelak. "Kau tidak berubah. Masih saja pintar seperti dulu."Nathan tak menyahut. Ia justru tersenyum lega melihat Elise yang semula bermuram durja, akhirnya tersenyum kembali. Setelah be
Cellina tersengir sambil menggelengkan kepala melihat Theo yang baru saja menghabiskan segelas minuman beralkohol dalam satu kali teguk.Malam itu Theo tiba-tiba menghubunginya dan mengajaknya untuk bertemu di salah satu bar yang tak jauh dari tempat Cellina menginap. Awalnya Cellina ingin menolak, karena malam itu ia sama sekali tak berencana untuk minum-minum. Mengingat ia baru saja melalui perjalanan panjang, hingga belasan jam. Tapi mendengar nada bicara Theo di telepon membuatnya agak was-was. Jadi ia menerima ajakan Theo dan ternyata benar saja. Theo memang sedang tidak baik-baik saja."Dokter Blake, apa kau tidak takut jika salah seorang pasien melihatmu minum-minum di sini?" Lalu ia ikut meneguk minumannya."Aku tak peduli," sahut Theo acuh tak acuh."Oh," Cellina kemudian berdecak. "Kalau aku pasienmu, aku tak akan berani mempercayakan jantungku lagi padamu."Theo tak menggubris. Hari ini pikirannya benar-benar kacau. Sore tadi ia sudah membuat Elise Bowman menangis. Lalu mala
Jam analog di atas nakas sudah menunjukkan pukul 08:15 ketika Theo membuka kedua matanya. Seketika kepalanya diserang rasa sakit yang masih dapat ditahannya. Perlahan ia menegakkan tubuh dan berusaha mengingat-ngingat.Setelah beberapa saat Theo berhasil mengingat sebagian kejadian yang terjadi semalam. Ia bertengkar hebat dengan Elise, lalu mengajak Cellina untuk minum-minum hingga dirinya mabuk, lalu wanita itu mengantarnya pulang ke rumah dan Elise kemudian mengambil kendali atas dirinya. Dan setelah itu... Theo tak ingat apa yang terjadi setelah itu.Ia kemudian menatap dirinya yang sudah berada dalam balutan selimut, juga pakaiannya yang sudah berganti. Tentu saja ini ulah Elise, batinnya seraya mengulum senyum.Wanita itu juga sudah menyiapkan secangkir teh hangat di atas nakas. Theo meneguknya pelan-pelan sebelum beranjak dari kasur. Perlahan rasa sakit sakit di kepalanya mereda.Theo keluar dari kamar dan melihat ke sekeliling. Sepi, hanya terlihat dua orang pelayan yang sedang
Theo melirik jam tangannya, lalu mendengus. Kemudian ia menjatuhkan diri ke sandaran kursi.Sudah dua puluh menit berlalu. Jika mengikuti jadwalnya, seharusnya ada pasien yang melakukan pengecekan rutin pagi itu. Tapi hingga saat ini si pasien belum menampakkan batang hidungnya.Theo mengetuk-ngetuk pena yang ada di tangannya ke dagu. Tatapannya kosong ke arah layar komputer. Ucapan Elise kemarin masih mengiang-ngiang di telinganya.Sebaiknya kita sudahi saja pernikahan ini.Bagaimana bisa Elise mengucapkan kalimat itu dengan entengnya?Tidak, tidak. Ini semua salahnya. Ia seharusnya memperlakukan istrinya dengan baik. Sikapnya sudah terlalu buruk. Tak heran jika akhirnya Elise ingin bercerai darinya."Sial, aku harus bagaimana?" gumam Theo pada diri sendiri.Tentu saja ia tidak ingin berpisah dari Elise. Namun di sisi lain, rasanya tidak mungkin jika ia tiba-tiba berubah baik padanya. Bagaimana kalau Elise malah menertawakannya dan menjadikan hal ini sebagai senjatanya untuk mendapatk
Langit di luar sudah gelap. Jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul tujuh malam ketika Elise keluar dari kamar mandi.Hari ini klinik tutup lebih lambat. Seorang pria tersengal-sengal membawa anjing ras Poodle miliknya ke klinik dan meminta pertolongan. Anjing malang itu tersedak, sehingga kesulitan bernafas. Untung saja semuanya dapat ditangani dengan cepat dan kondisinya sudah membaik.Elise baru saja mendaratkan bokongnya di atas kasur sambil mengeringkan rambut dengan handuk ketika ponselnya di atas nakas berdenting, pertanda sebuah pesan masuk. Ia meraih benda itu untuk melihatnya.Aku akan pulang larut. Ada operasi besar malam ini.Seketika alisnya terangkat membaca pesan yang ternyata dikirim oleh Theo untuknya. Sejak mereka menikah, Theo tidak pernah mengirimkan pesan padanya, terlebih untuk memberikan kabar seperti yang dilakukannya malam ini.Sejak awal menikah, Theo sudah menegaskan batasan-batasan yang ada di antara mereka. Sebagai seorang dokter, Theo merasa wajar jika
"Sial! Kenapa aku harus bertemu dengannya di sini?" gerutu Cellina dengan wajah memberengut.Setelah pertemuannya dengan Kelly Dempsey, ia dan Liam akhirnya memutuskan untuk keluar mencari udara segar. Mereka berjalan-jalan di taman dan berakhir duduk di sebuah bangku kayu. Taman itu dulunya adalah tempat di mana ia dan kedua sepupunya, Theo dan Mia, bermain bersama-sama. Malam itu, suasana taman di belakang mansion sepi, berbeda dengan suasana di dalam mansion yang begitu meriah. Rasanya mereka tak salah memilih tempat itu untuk mencari ketenangan sejenak.Liam yang duduk di sampingnya menepuk-nepuk punggung tangannya dengan lembut. "Jadi kalian memang bukan teman baik?" tanyanya polos."Jelas tidak!" sahut Cellina cepat. Ia benar-benar tak sudi disebut sebagai teman baik Kelly Dempsey.Liam terkekeh pelan. Sikap Cellina barusan sangat lucu baginya. Ia belum pernah melihat sisi Cellina yang seperti ini.Cellina yang melihat Liam tertawa, seketika memberengut. "Kenapa kau malah tertaw
Cellina Rose sesekali melirik ponselnya, berharap jika Mia atau Elise akan segera membalas pesannya. Ia datang terlambat ke acara ulang tahun kakeknya karena harus menemui seorang klien sore ini. Dan saat tiba di mansion, ia sama sekali tidak melihat Mia, maupun Elise. Ia sudah mencoba menghubungi keduanya. Namun tak satu pun dari mereka yang menjawab."Kau menunggu seseorang?" tanya lelaki yang saat itu bersamanya.Cellina tersenyum kecil. "Ya, aku sedang mencari sepupuku. Dia belum membalas pesanku," sahutnya. "Maaf kalau ini membuatmu terganggu, Liam."Liam Milner, putra salah seorang rekan bisnis ayah Cellina yang cukup akrab dengannya. Kedua orang itu saling menyukai. Namun mereka belum meresmikan hubungan mereka."Oh," Liam tersenyum. "Tidak masalah. Aku sama sekali tidak merasa terganggu." Lelaki itu kemudian mengangkat gelas champagne-nya ke arah Cellina, mengajaknya untuk bersulang. Kemudian terdengar suara dentingan gelas yang beradu pelan.Cellina dan Liam mengobrol ringan,
Theo menghentikan gerakannya ketika ponsel dalam saku jasnya bergetar untuk kesekian kalinya. Suasana nyaman yang dirasakannya bersama Elise saat itu membuatnya lupa bahwa dirinya adalah seorang dokter, yang itu berarti ia harus selalu siap-sedia ketika ponselnya berdering di luar jam kerja.Ia mengajak Elise menepi. "Maaf, ada telepon dari rumah sakit." gumamnya pada Elise.Elise mengangguk, menunjukkan bahwa dirinya tak keberatan jika Theo menjawab teleponnya sekarang.Sementara Theo berbicara di telepon, Elise mengedarkan pandangan ke sekitar. Ia belum melihat Mia, juga Cellina, sejak tadi. Ia berharap bisa bertemu dengan kedua wanita itu malam ini, di tengah lautan manusia yang ada di sana.Namun pandangannya justru berhasil menemukan sosok ibu mertuanya, Jessica Blake. Jessica berada di lantai dua, terlihat sedang mengobrol dengan seorang perempuan muda yang tak menunjukkan seluruh wajahnya. Sejenak Elise tertegun. Perempuan berambut blonde bergelombang itu terasa tak asing bagin
Suara gelas yang berdenting, disusul suara tawa dan senyuman yang sopan menjadi akhir dari obrolan Jessica Blake dengan salah seorang pebisnis yang dijumpainya di acara ulang tahun ayah mertuanya, Dalton Blake, malam itu.Meskipun usianya sudah menginjak 60 tahun, tapi Jessica tidak serta merta kehilangan jiwa modisnya. Ia mengenakan cocktail dress berwarna merah hati, memperlihatkan lekukan tubuhnya yang terawat. Aura berkelasnya terpancar jelas oleh rasa percaya dirinya yang masih kuat.Jessica berdiri di tepi koridor lantai dua, memperhatikan para tamu yang sedang berdansa sambil meneguk champagne-nya, ketika seorang pria berusia sebayanya dan seorang perempuan muda berpenampilan tak kalah modis datang menghampirinya."Selamat malam, Nyonya Blake." sapa pria itu sopan."Oh," Jessica terkesiap. "Edwin Dempsey?" Pria itu adalah teman sekolahnya, yang juga seorang pebisnis ternama dengan banyak bidang usaha. Lalu pandangan Jessica beralih ke perempuan muda yang berdiri tepat di sebela
Mansion milik keluarga Blake tampak begitu meriah malam itu. Jejeran mobil-mobil mewah terlihat hampir memenuhi pekarangannya yang luas. Puluhan pelayan berpakaian senada tampak mondar-mandir melayani ratusan tamu yang hadir. Dan mereka tak lain adalah kerabat sekaligus rekan bisnis keluarga Blake. Pesta malam itu bisa dikatakan seperti malam perkumpulan orang-orang kalangan atas.Theo membukakan pintu sekaligus menuntut Elise saat turun dari mobil. Meskipun hubungan mereka sebenarnya sedang tidak baik-baik saja, tapi Elise berusaha untuk tetap bersikap biasa saja di hadapan orang-orang, terutama keluarga Blake.Pandangan mata para tamu tertuju ke arah Elise ketika ia dan Theo berjalan berdampingan memasuki mansion. Beberapa diantaranya ada yang langsung berbisik, ada juga yang terpaku."Kau berhasil membuat mereka semua terpana dengan penampilanmu." bisik Theo yang mendekatkan wajahnya ke telinga Elise saat tahu bahwa istrinya tengah dilanda rasa gugup karena respon sekitar yang menu
Hari itu Theo pulang lebih awal dari biasanya karena hari itu bertepatan dengan hari ulang tahun kakeknya, Dalton Blake, yang ke-82 tahun.Elise sedang mengobrak-abrik lemari pakaiannya ketika Theo membuka pintu kamar. Wanita itu hanya menoleh sekilas ke arahnya saat mendengar suara pintu, lalu kembali melihat ke dalam isi lemari pakaiannya tanpa mengatakan apa pun.Sudah beberapa hari terakhir Elise terlihat agak diam, tidak seperti biasanya. Sebelumnya ia akan bertanya tentang keseharian Theo di rumah sakit saat melihatnya pulang. Meskipun Theo selalu memberikan jawaban singkat dengan sikap yang terkesan dingin. Namun sudah dua hari terakhir, Elise bersikap seolah mengabaikannya. Apa istrinya ini sudah mulai lelah dengannya? Theo bertanya-tanya dalam hati.Theo berhenti dan kemudian berdiri di samping lemari, berharap agar mendapatkan perhatian Elise. Benar saja, istrinya itu menoleh dan menatapnya heran."Ada apa?" tanya Elise dengan nada terkesan datar."Kau sedang memilih baju?"
Kepalanya seolah dihantam oleh rasa sakit yang luar biasa ketika Jonathan Nilsson membuka matanya. Ia memegangi kepalanya seraya menyeret tubuhnya dan berhasil duduk di atas kasur. Butuh waktu selama beberapa detik untuk tubuhnya terasa membaik, meskipun kepalanya masih sedikit berat karena pengaruh alkohol yang diminumnya kemarin malam.Nathan menunduk menatap tubuhnya yang saat itu tidak mengenakan apa-apa. Hanya sebuah selimut tebal yang menutupi bagian bawah tubuhnya."Tidur nyenyak?"Suara seorang wanita yang tiba-tiba memecah keheningan membuat Nathan menoleh ke arah asal suara. Ya, jelas. Suara itu berasal tak jauh darinya. Siapa lagi jika bukan Kelly Dempsey yang semalaman tidur di sampingnya. Wanita itu tampaknya masih tak berbusana. Kelly menatap Nathan dengan seulas senyum semeringah. Sama sepertinya, tubuh Kelly hanya tertutup oleh selimut."Malam yang luar biasa, bukan?" goda wanita itu lagi seraya merapat ke arah Nathan.Nathan mendengus mengabaikan ucapan Kelly barusan,
Jonathan Nilsson menganggap dirinya benar-benar sudah dibawah pengaruh alkohol. Malam itu ia habiskan di kamar hotel yang ditempati oleh Kelly Dempsey, wanita yang tiba-tiba mendatanginya beberapa minggu lalu untuk mengajaknya bekerja sama.Ya, bekerja sama untuk menghancurkan rumah tangga Elise dan Theo.Setelah pintu di belakangnya tertutup rapat, Nathan langsung mendorong tubuh Kelly hingga menabrak tembok. Tanpa mengatakan apa pun, ia langsung mendaratkan bibirnya ke leher wanita itu.Kelly tak menolak. Helaan nafas, juga desahan ringan yang meluncur dari mulutnya seolah menyiratkan bahwa ia sudah siap dengan permainan yang akan diberikan Nathan untuknya.Gerakan bibir Nathan semakin liar karena desahan Kelly di telinganya. Tanpa ragu ia melucuti pakaian kurang bahan yang dikenakan wanita itu. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kelly. Sambil menikmati cumbuan Nathan, tangannya ikut bergerak cepat melepas pakaian yang dikenakan Nathan.Tanpa sedikit pun melepas sentuhan satu sama la
Ini bukan pertama kalinya Jonathan Nilsson menginjakkan kakinya di tempat dengan cahaya remang dan alunan musik kencang yang menarik sebagian orang untuk menari ria tanpa beban. Asap rokok, juga aroma alkohol bukan sesuatu yang asing baginya.Nathan berjalan menuju meja bartender dan tanpa butuh waktu lama, ia berhasil menemukan sosok yang dicarinya. Wanita berambut pirang panjang terurai dengan pakaiannya yang terbuka terlihat sedang mengobrol dengan bartender. Ia terlihat seperti sedang menggoda pria muda itu."Oh, kau sudah datang." sapa wanita itu ringan ketika Nathan langsung mengambil posisi duduk di sampingnya."Beri aku Tequila." ujar Nathan pada si bartender.Wanita yang duduk di sampingnya itu tersengir mendengar apa yang baru saja diucapkan Nathan. "Kupikir semua dokter tidak akan minum minuman beralkohol." ledeknya.Nathan tersenyum simpul. "Kau lupa? Aku ini dokter hewan," balasnya tak peduli. "Aku bukan dokter jantung, seperti Theodore Blake."Wanita itu menatapnya tajam