Cellina Rose sesekali melirik ponselnya, berharap jika Mia atau Elise akan segera membalas pesannya. Ia datang terlambat ke acara ulang tahun kakeknya karena harus menemui seorang klien sore ini. Dan saat tiba di mansion, ia sama sekali tidak melihat Mia, maupun Elise. Ia sudah mencoba menghubungi keduanya. Namun tak satu pun dari mereka yang menjawab."Kau menunggu seseorang?" tanya lelaki yang saat itu bersamanya.Cellina tersenyum kecil. "Ya, aku sedang mencari sepupuku. Dia belum membalas pesanku," sahutnya. "Maaf kalau ini membuatmu terganggu, Liam."Liam Milner, putra salah seorang rekan bisnis ayah Cellina yang cukup akrab dengannya. Kedua orang itu saling menyukai. Namun mereka belum meresmikan hubungan mereka."Oh," Liam tersenyum. "Tidak masalah. Aku sama sekali tidak merasa terganggu." Lelaki itu kemudian mengangkat gelas champagne-nya ke arah Cellina, mengajaknya untuk bersulang. Kemudian terdengar suara dentingan gelas yang beradu pelan.Cellina dan Liam mengobrol ringan,
"Sial! Kenapa aku harus bertemu dengannya di sini?" gerutu Cellina dengan wajah memberengut.Setelah pertemuannya dengan Kelly Dempsey, ia dan Liam akhirnya memutuskan untuk keluar mencari udara segar. Mereka berjalan-jalan di taman dan berakhir duduk di sebuah bangku kayu. Taman itu dulunya adalah tempat di mana ia dan kedua sepupunya, Theo dan Mia, bermain bersama-sama. Malam itu, suasana taman di belakang mansion sepi, berbeda dengan suasana di dalam mansion yang begitu meriah. Rasanya mereka tak salah memilih tempat itu untuk mencari ketenangan sejenak.Liam yang duduk di sampingnya menepuk-nepuk punggung tangannya dengan lembut. "Jadi kalian memang bukan teman baik?" tanyanya polos."Jelas tidak!" sahut Cellina cepat. Ia benar-benar tak sudi disebut sebagai teman baik Kelly Dempsey.Liam terkekeh pelan. Sikap Cellina barusan sangat lucu baginya. Ia belum pernah melihat sisi Cellina yang seperti ini.Cellina yang melihat Liam tertawa, seketika memberengut. "Kenapa kau malah tertaw
BRAKKK!Theodore Blake memukul meja makan yang terbuat dari kayu berkualitas terbaik itu dengan keras. Elise hanya bisa tertunduk melihat suaminya murka."Bukankah sudah kubilang untuk segera mencari seorang asisten di klinik?" Theo membentaknya dengan suara tinggi. "Kenapa kau tidak pernah mendengarkanku?!""Aku sudah memasang iklan lowongan pekerjaan di depan gerbang. Tapi belum ada seorang pun yang cocok dengan upahnya." jelas Elise dengan suara bergetar.Theo kemudian mendatanginya, lalu menarik lengannya. Elise mengerang kesakitan karena cengkeraman Theo yang begitu kuat."Theo, kumohon. Lepaskan aku. Sakit..." pinta Elise memohon.Theo menurut, ia melepaskan lengan Elise. Namun tak hanya sampai di situ. Ia kemudian menarik kasar wajah Elise sehingga jarak wajah mereka sangat dekat. Sampai-sampai Elise dapat mendengar nafas Theo yang menderu seperti seekor binatang buas."Elise Bowman, selagi kau masih ingin tinggal di rumah ini dan menjalankan klinikmu, kau harus melayaniku." gu
Elise terjaga dari tidurnya. Suara petir yang keras di luar sana seketika membuatnya tersadar. Cahaya kilat yang menembus masuk dari balik korden membuat ruangan gelap itu terang selama beberapa detik. Ia ketiduran setelah bertengkar dengan Theo. Hujan turun deras di luar sana. Dengan bersusah payah Elise menegakkan tubuh. Saat melihat ke sebelah, ia tak menemukan sosok Theo di ranjang. Sementara jam analog di atas nakas sudah menunjukkan hampir pukul dua pagi. "Ke mana dia?" Elise bertanya pada dirinya sendiri. Ternyata pria itu belum pulang sejak pertengkaran mereka sore tadi. Elise menyibakkan selimut ke tepi dan turun dari ranjang. Ia berjalan ke arah jendela besar di kamarnya dan berdiri di tepi jendela sambil menatap keluar. Malam itu terasa cukup mencekam. Petir menyambar sangat keras di tengah derasnya hujan. Dalam hati, Elise merasa bersyukur karena malam ini tidak ada pasien yang dirawat inap di kliniknya. Pasien terakhirnya yang dirawat inap, seekor anjing Chow Chow tua
Pagi-pagi sekali Elise menyibukkan diri di dapur, sudah dengan penampilan dan pakaian yang rapi. Ia membuat sandwich sebagai menu sarapan Theo dan segelas susu.Apa yang terjadi malam tadi masih membuat perutnya berbunga-bunga, sampai-sampai ia bangun lebih awal. Meskipun ini bukan pertama kalinya, tapi ini yang membuat Elise setidaknya merasa dicintai oleh suaminya. Agak miris. Walaupun ia tak tahu pasti apakah Theo melakukannya atas dasar cinta atau nafsu belaka.Tapi Elise tidak ingin memikirkannya. Perlakuan Theo padanya selama ini sudah cukup membuat hatinya sakit. Ia tidak ingin menambah rasa sakitnya lagi dengan mencari tahu kebenarannya."Selamat pagi," sapa Elise lembut ketika melihat Theo keluar dari kamar.Elise suka melihat penampilan suaminya pagi itu. Theo mengenakan kaos putih dan celana panjang yang terlihat pas di tubuhnya, dengan rambut gelapnya yang sedikit berantakan. Pria itu terlihat menarik, meskipun sorot matanya yang dingin masih membuat bulu kuduk Elise berged
"Jadi, kau belum memutuskan untuk menetap di sini?" tanya Elise pada Nathan yang saat itu duduk berhadapan dengannya.Jonathan Nilsson mengangguk sambil membenarkan posisi kacamatanya. "Aku masih memikirkannya."Elise mengangguk pelan sambil menyesap kopinya.Pria yang kerap disapanya Nathan itu bersedia untuk langsung bekerja. Nathan yang juga merupakan seorang dokter hewan sangat terampil dan ahli dalam menangani pasien yang datang hari itu. Kalau diingat-ingat kembali saat mereka masih kuliah, Nathan memang jauh lebih pandai daripada Elise. Tapi saat ini, pria itu justru tidak keberatan untuk menjadi asistennya."Jadi..." Nathan memecah keheningan. "Kau sudah menikah?" tanyanya sambil melirik cincin di jari manis Elise.Tanpa sadar Elise mengikuti arah pandangan Nathan, ke arah cincin berlian yang tersemat di jarinya. Bagi Elise, cincin pernikahannya adalah benda paling indah yang pernah diberikan Theo untuknya. Berliannya tampak bersinar gemerlapan saat terpantul cahaya lampu ruang
Theo menyeret Elise ke kamar dan menutup pintu dengan sekali bantingan keras. Elise hampir terhuyung ketika Theo melepaskannya dengan kasar seperti sebuah benda tak berguna."Dia tamuku. Kau tak punya hak untuk mengusirnya!" desis Theo tajam.Elise melipat tangan di depan dada, berusaha meredam emosinya yang sebenarnya juga meledak-ledak. Ia tak menyangka suaminya akan membawa wanita lain ke rumah mereka. Dan mirisnya, wanita itu adalah cinta pertama Theo.Elise menolak berjabat tangan dengan wanita bernama Cellina Rose itu. Ia juga meminta Nathan untuk pulang dengan alasan jam tutup klinik. Jujur saja, ia malu karena Nathan harus melihat kondisi rumah tangganya yang menyedihkan. Elise tak pernah ingin membiarkan orang lain tahu seperti apa hubungannya selama ini dengan Theodore Blake."Tapi aku istrimu!" balas Elise kemudian. Ia tidak bisa menahan suara yang sejak tadi ditahannya.Theo langsung menarik lengan Elise. Cengkeraman Theo berhasil membuatnya meringis kesakitan. "Apa kau lu
"Aku mencoba menghubungi ponselmu berkali-kali, tapi tak ada jawaban." sahut Nathan yang saat ini duduk di samping Elise.Mereka berpindah ke sebuah kursi kayu yang ada di taman. Suasana taman begitu sunyi malam itu, sampai-sampai mereka bisa mendengarkan nafasnya masing-masing."Aku mengkhawatirkanmu. Jadi kuputuskan untuk datang ke rumahmu." jelas Nathan lagi. Lalu ia tergelak kecil. "Tapi petugas keamanan di rumah bilang padaku bahwa kau baru saja pergi. Sendirian."Elise menoleh dan menatap Nathan dengan mata disipitkan. "Lalu bagaimana bisa kau tahu aku berada di sini?"Nathan tersenyum bangga. "Aku punya firasat bahwa kau tidak akan pergi jauh dari sekitar rumahmu. Kebetulan aku melihat taman ini saat perjalanan pulang tadi. Jadi kupikir sebaiknya aku mencarimu di sini."Elise mendengus sambil tergelak. "Kau tidak berubah. Masih saja pintar seperti dulu."Nathan tak menyahut. Ia justru tersenyum lega melihat Elise yang semula bermuram durja, akhirnya tersenyum kembali. Setelah be