"Aku mencoba menghubungi ponselmu berkali-kali, tapi tak ada jawaban." sahut Nathan yang saat ini duduk di samping Elise.
Mereka berpindah ke sebuah kursi kayu yang ada di taman. Suasana taman begitu sunyi malam itu, sampai-sampai mereka bisa mendengarkan nafasnya masing-masing.
"Aku mengkhawatirkanmu. Jadi kuputuskan untuk datang ke rumahmu." jelas Nathan lagi. Lalu ia tergelak kecil. "Tapi petugas keamanan di rumah bilang padaku bahwa kau baru saja pergi. Sendirian."
Elise menoleh dan menatap Nathan dengan mata disipitkan. "Lalu bagaimana bisa kau tahu aku berada di sini?"
Nathan tersenyum bangga. "Aku punya firasat bahwa kau tidak akan pergi jauh dari sekitar rumahmu. Kebetulan aku melihat taman ini saat perjalanan pulang tadi. Jadi kupikir sebaiknya aku mencarimu di sini."
Elise mendengus sambil tergelak. "Kau tidak berubah. Masih saja pintar seperti dulu."
Nathan tak menyahut. Ia justru tersenyum lega melihat Elise yang semula bermuram durja, akhirnya tersenyum kembali. Setelah beberapa saat, ia bertanya dengan hati-hati pada wanita itu. "Kau baik-baik saja?"
Pertanyaan Nathan barusan membuat senyuman di wajah Elise sirna. Ia menelan ludah, lalu berkata dengan pasrah, "Kurasa tidak ada gunanya kalau kukatakan bahwa aku baik-baik saja. Kau sudah melihat semuanya, kan? Aku tidak bisa berbohong lagi."
Suasana kembali hening. Elise dapat mendengar helaan nafas panjang Nathan yang saat itu sedang menengadahkan kepala, menatap langit malam yang kelam.
"Elise," Nathan memanggilnya dengan suara pelan. "Aku sungguh menyesal."
Alis Elise tertekuk menatap pria itu. "Aku tidak mengerti."
"Seharusnya," Nathan menoleh dan menatapnya dengan seulas senyuman pahit. "Seharusnya aku dulu tidak pergi begitu saja. Seharusnya aku tetap berada di sini, bersamamu."
Akhirnya Elise paham dengan maksud ucapan Nathan. Ia tergelak hambar dan berkata, "Apa yang kaubicarakan? Kau tidak perlu mengasihaniku seperti ini. Ini semua tidak ada hubungannya denganmu, kau tidak melakukan kesalahan apa pun, dulu maupun sekarang."
"Aku tidak sedang mengasihanimu, Elise." ucap Nathan bersungguh-sungguh. Ia menatap Elise lekat. Namun wanita itu justru memalingkan wajah darinya.
"Kalau aku masih di sini, kau tidak akan bersama pria itu." gumamnya lagi. "Kau tidak akan menikah dengannya, bukan begitu?"
"Kata siapa?" gurau Elise sambil tergelak, dipaksakan. Ia berusaha untuk terlihat tetap santai agar suasana di antara mereka tidak semakin tegang. Tapi sepertinya ia salah langkah.
"Elise,"
Tiba-tiba Nathan mendaratkan tangannya di atas tangan Elise dan menggenggamnya, membuat Elise terkesiap. Sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Nathan sudah membuka mulut lebih dulu.
"Tolong beri aku kesempatan, hanya kali ini. Aku berjanji akan memperlakukanmu dengan baik." ucapnya tulus. "Jauh lebih baik daripada yang dilakukan pria itu padamu."
Tanpa pikir panjang, Elise langsung menarik tangannya. "Nathan, apa yang kaubicarakan?" Nada bicaranya berubah, juga raut wajahnya. Kali ini ia bersikap serius.
Nathan berusaha meraih kembali tangannya. Tapi Elise buru-buru bangkit dari duduknya dan merapatkan mantelnya. "Maaf, aku harus pulang sekarang. Sampai jumpa."
Tanpa menunggu jawaban dari pria itu, Elise langsung membalikkan badan dan berjalan pergi dengan langkah lebar. Nathan hanya bisa terduduk menatap sosok bayangan Elise yang perlahan menghilang dari pandangannya, masih dengan rasa penyesalan yang berkecamuk dalam dirinya.
***
Mobil sedan mewah milik Theo sudah berdiri di pekarangan rumah ketika Elise tiba. Ia menghela nafas berat, lalu melanjutkan langkah menuju ke dalam bangunan mewah yang sudah tiga tahun ditempatinya. Tempat yang disebutnya sebagai 'rumah', setelah ia sempat kehilangan tempat tinggal karena harus menanggung beban hutang yang ditinggalkan oleh mendiang ibunya.
Sekarang, Elise tidak punya siapa-siapa yang bisa disebutnya sebagai 'keluarga', selain Theodore Blake. Ibunya bunuh diri dan meninggalkan setumpuk hutang yang harus ditanggungnya. Sementara kakak laki-lakinya, orang itu pergi entah ke mana meninggalkan Elise yang tunggang langgang menanggung beban yang tak seharusnya menjadi tanggungjawabnya.
Jika bukan karena Theodore Blake, mungkin Elise sudah dijual ke pria hidung belang untuk melunasi hutang mendiang ibunya. Ia juga tidak akan punya kehidupan yang baik, seperti sekarang. Ia juga tidak akan punya kesempatan untuk menjalani profesi yang sudah diimpikannya sejak kecil. Bahkan untuk memiliki klinik hewan sendiri.
Ya, secara materi hidupnya memang berubah drastis. Tapi secara batin, Elise tersiksa. Kehidupan pernikahan yang tak didasari oleh cinta ini membuatnya tersiksa. Hatinya sungguh terluka.
Dengan langkah berat Elise membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Sepi, ia tidak melihat siapa pun di sana. Buru-buru ia segera berjalan menuju kamar tamu. Namun langkahnya tercegat ketika sosok Theodore Blake muncul dari samping. Jantungnya nyaris meloncat keluar.
"Gelagatmu seperti seorang pencuri yang mengendap-endap." sergah Theo dengan tatapan dingin. "Dari mana saja kau?"
Elise mundur selangkah. Jujur saja, ia masih merasa marah dengan apa yang telah dilakukan Theo padanya. Tapi rasa cintanya terhadap pria itu terlalu besar, sampai-sampai ia tak punya kekuatan untuk membalas. "Aku hanya pergi mencari udara segar sebentar." gumamnya lirih.
Theo langsung menarik lengan Elise dan menyeretnya ke kamar. Sikapnya kali ini sangat brutal.
"Lepaskan aku!" Elise menjerit kesakitan. Perlu diakuinya bahwa tubuh kecilnya tak punya kemampuan cukup untuk melawan tenaga Theo yang cukup besar.
Theo akhirnya melepas cengkeramannya setelah mereka berada di kamar. Raut wajahnya memperlihatkan kemarahan yang besar. "Beraninya kau pergi dari rumah tanpa sepengetahuanku!"
Elise menatap Theo tak percaya. "Bagaimana aku harus memberitahumu sedangkan kau pergi dengan cinta pertamamu?"
Sekali lagi Theo menariknya mendekat ke arahnya. Amarahnya semakin menjadi-jadi. "Kau bisa menelepon atau meninggalkan pesan!"
Jarak antara wajah mereka sangat dekat. Elise bahkan bisa mendengarkan nafas Theo yang menderu seperti binatang buas. Perasaannya bercampur aduk sekarang. Elise mencintai pria itu. Tapi bukan pernikahan seperti ini yang diinginkannya. Ini semua membuatnya tersiksa.
Andai saja pria itu juga mencintainya... Andai saja Theo memperlakukannya dengan baik...
"Tolong hentikan." pinta Elise kesakitan. "Aku benar-benar minta maaf. Aku..."
Tanpa pikir panjang, Theo langsung mendekatkan wajah Elise dan menempelkan bibirnya di bibir Elise. Ia melumatnya dengan paksa, seolah membalas amarahnya pada Elise.
Namun apa yang dilakukan Elise justru diluar dugaan. Dengan air mata yang bercucuran, Elise menolaknya menjauh dan mendaratkan sekali tamparan keras di wajahnya.
PLAKK!
Bayangan Cellina Rose, cinta pertama Theo yang sudah menginjakkan kaki di rumah mereka sore tadi sudah cukup membuat hatinya hancur. Dan sekarang, apa yang dilakukan Theo justru seperti mencoreng harga dirinya. Ia bukan boneka pelampiasan nafsu. Ia ingin dicintai, sepenuhnya, oleh suaminya. Bukan diperlakukan seperti ini.
"Cukup," ujar Elise dengan suara bergetar. Kedua matanya basah berlinang air mata. "Sebaiknya kita sudahi saja pernikahan ini."
Cellina tersengir sambil menggelengkan kepala melihat Theo yang baru saja menghabiskan segelas minuman beralkohol dalam satu kali teguk.Malam itu Theo tiba-tiba menghubunginya dan mengajaknya untuk bertemu di salah satu bar yang tak jauh dari tempat Cellina menginap. Awalnya Cellina ingin menolak, karena malam itu ia sama sekali tak berencana untuk minum-minum. Mengingat ia baru saja melalui perjalanan panjang, hingga belasan jam. Tapi mendengar nada bicara Theo di telepon membuatnya agak was-was. Jadi ia menerima ajakan Theo dan ternyata benar saja. Theo memang sedang tidak baik-baik saja."Dokter Blake, apa kau tidak takut jika salah seorang pasien melihatmu minum-minum di sini?" Lalu ia ikut meneguk minumannya."Aku tak peduli," sahut Theo acuh tak acuh."Oh," Cellina kemudian berdecak. "Kalau aku pasienmu, aku tak akan berani mempercayakan jantungku lagi padamu."Theo tak menggubris. Hari ini pikirannya benar-benar kacau. Sore tadi ia sudah membuat Elise Bowman menangis. Lalu mala
Jam analog di atas nakas sudah menunjukkan pukul 08:15 ketika Theo membuka kedua matanya. Seketika kepalanya diserang rasa sakit yang masih dapat ditahannya. Perlahan ia menegakkan tubuh dan berusaha mengingat-ngingat.Setelah beberapa saat Theo berhasil mengingat sebagian kejadian yang terjadi semalam. Ia bertengkar hebat dengan Elise, lalu mengajak Cellina untuk minum-minum hingga dirinya mabuk, lalu wanita itu mengantarnya pulang ke rumah dan Elise kemudian mengambil kendali atas dirinya. Dan setelah itu... Theo tak ingat apa yang terjadi setelah itu.Ia kemudian menatap dirinya yang sudah berada dalam balutan selimut, juga pakaiannya yang sudah berganti. Tentu saja ini ulah Elise, batinnya seraya mengulum senyum.Wanita itu juga sudah menyiapkan secangkir teh hangat di atas nakas. Theo meneguknya pelan-pelan sebelum beranjak dari kasur. Perlahan rasa sakit sakit di kepalanya mereda.Theo keluar dari kamar dan melihat ke sekeliling. Sepi, hanya terlihat dua orang pelayan yang sedang
Theo melirik jam tangannya, lalu mendengus. Kemudian ia menjatuhkan diri ke sandaran kursi.Sudah dua puluh menit berlalu. Jika mengikuti jadwalnya, seharusnya ada pasien yang melakukan pengecekan rutin pagi itu. Tapi hingga saat ini si pasien belum menampakkan batang hidungnya.Theo mengetuk-ngetuk pena yang ada di tangannya ke dagu. Tatapannya kosong ke arah layar komputer. Ucapan Elise kemarin masih mengiang-ngiang di telinganya.Sebaiknya kita sudahi saja pernikahan ini.Bagaimana bisa Elise mengucapkan kalimat itu dengan entengnya?Tidak, tidak. Ini semua salahnya. Ia seharusnya memperlakukan istrinya dengan baik. Sikapnya sudah terlalu buruk. Tak heran jika akhirnya Elise ingin bercerai darinya."Sial, aku harus bagaimana?" gumam Theo pada diri sendiri.Tentu saja ia tidak ingin berpisah dari Elise. Namun di sisi lain, rasanya tidak mungkin jika ia tiba-tiba berubah baik padanya. Bagaimana kalau Elise malah menertawakannya dan menjadikan hal ini sebagai senjatanya untuk mendapatk
Langit di luar sudah gelap. Jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul tujuh malam ketika Elise keluar dari kamar mandi.Hari ini klinik tutup lebih lambat. Seorang pria tersengal-sengal membawa anjing ras Poodle miliknya ke klinik dan meminta pertolongan. Anjing malang itu tersedak, sehingga kesulitan bernafas. Untung saja semuanya dapat ditangani dengan cepat dan kondisinya sudah membaik.Elise baru saja mendaratkan bokongnya di atas kasur sambil mengeringkan rambut dengan handuk ketika ponselnya di atas nakas berdenting, pertanda sebuah pesan masuk. Ia meraih benda itu untuk melihatnya.Aku akan pulang larut. Ada operasi besar malam ini.Seketika alisnya terangkat membaca pesan yang ternyata dikirim oleh Theo untuknya. Sejak mereka menikah, Theo tidak pernah mengirimkan pesan padanya, terlebih untuk memberikan kabar seperti yang dilakukannya malam ini.Sejak awal menikah, Theo sudah menegaskan batasan-batasan yang ada di antara mereka. Sebagai seorang dokter, Theo merasa wajar jika
"Pagi yang cerah."Begitu batin Elise sambil menikmati teh dan kue kering di taman belakang rumah. Matahari bersinar hangat dengan segelintir angin yang berhembus. Bunga cosmos dan mawar yang ditanamnya sejak tinggal di sana tampak subur, membuat taman itu terasa benar-benar hidup dan berwarna.Elise sering menghabiskan waktunya di akhir pekan dengan mengurus tanaman di taman belakang rumah. Klinik tutup di hari Minggu, jadi ia punya waktu untuk bersantai dan melakukan hobinya."Anda berhasil menyulap taman yang semula gersang menjadi sebuah taman yang indah." puji Bibi Bernadeth yang juga berada di sana menemani Elise.Elise selalu mengajak Bibi Bernadeth untuk menemaninya mengobrol di taman. Wanita yang berusia sebaya ibunya itu sangat baik, juga sosok yang hangat. Elise merasa nyaman mengobrol dengannya. Ia merasa seperti sedang menikmati pagi yang indah bersama ibunya sendiri."Ini semua juga berkat bantuan Bibi dan Paman Sam." sahut Elise sambil tersenyum. Paman Sam adalah suami B
"Kupikir kau sudah melupakanku, Elise!" gerutu Dalton Blake yang duduk di kursi roda.Elise mengulum senyum. "Maafkan aku, kakek. Tentu saja aku tidak melupakan kakek. Akhir-akhir ini klinik cukup sibuk."Dalton kemudian terkekeh. Seperti sudah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu dengan cucu kesayangannya, Dalton bercerita panjang lebar dengan Elise di ruang keluarga. Sesekali ia juga meminta pendapat dari Theo yang duduk di samping Elise, tapi pria itu hanya memberikan jawaban pendek.Jessica, ibu Theo, tidak ikut mengobrol dengan mereka. Setelah makan siang, ia langsung pergi menemui para vendor untuk membicarakan acara ulang tahun Dalton yang ke-80 tahun lusa nanti. Sejak ayah Theo meninggal enam tahun lalu, Jessica-lah yang mengatur segala urusan di mansion. Namun, Dalton masih menduduki kursi tertinggi dalam pengambilan keputusan-keputusan penting di sana."Kakek," panggil Mia yang berhambur masuk ke ruang keluarga. Ia dan Cellina tidak ikut mengobrol sejak tadi karena bosan. "Ap
Theo segera turun dari mobil dan berlari menghampiri seorang wanita yang sedang berjongkok meringkuk di depan sebuah bar. Wanita itu langsung menengadahkah kepala ketika menyadari kehadiran Theo di hadapannya."Theo," ucapnya lirih dengan seulas senyum tipis. "Kupikir kau tidak akan datang.""Kau seharusnya menelepon taksi untuk membawamu ke rumah sakit terdekat." gumam Theo seraya membantu wanita itu berdiri.Ia melepas jaket denim yang dikenakannya dan menyampirkannya di tubuh Kelly untuk menutupi tubuhnya yang hanya dibalut pakaian bergaya terbuka. Rok pendek sejengkal dan atasan tak berlengan dengan bagian depan yang memperlihatkan separuh belahan dadanya. Pria lain yang melihat cara berpakaian Kelly malam itu mungkin akan tergiur untuk mencicipi tubuhnya, ditambah wajahnya yang juga tergolong cantik. Namun tidak untuk Theo. Ia sama sekali tidak merasakan hal demikian. Ia justru ingin segera mengantar wanita itu ke rumah sakit, lalu pulang ke rumah."Aku akan mengantarmu ke rumah s
Elise nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Apa ia tidak salah dengar? Theodore Blake baru saja meminta izin untuk menyentuh tubuhnya?Lampu kamar padam, sementara Elise masih mematung di tepi kasur. Ada aliran listrik yang menjalar di sekujur tubuhnya ketika Theo menyentuh kedua pundaknya. Sentuhan Theo di atas kulitnya membuat jantungnya berdegup semakin kencang.Theo mendekatkan wajahnya ke telinganya, lalu membisikkan sesuatu yang membuat otaknya berhenti bekerja selama beberapa detik. "Baiklah. Karena tak ada jawaban darimu, aku akan menganggap kau telah menyetujuinya."Gerakan kedua jempolnya yang begitu ringan berhasil melucuti gaun tidur satin yang dikenakan oleh Elise, menyisakan celana dalam tipis yang menutupi bokongnya. Theo menempelkan wajahnya ke rambut coklat bergelombang istrinya yang terurai indah dengan mata terpejam. Aroma mawar yang begitu khas itu membuat gairah yang dirasakannya semakin bergejolak dalam dirinya.Malam itu, Elise membiarkan suam