Share

Bab 6 - He

"Aku mencoba menghubungi ponselmu berkali-kali, tapi tak ada jawaban." sahut Nathan yang saat ini duduk di samping Elise.

Mereka berpindah ke sebuah kursi kayu yang ada di taman. Suasana taman begitu sunyi malam itu, sampai-sampai mereka bisa mendengarkan nafasnya masing-masing.

"Aku mengkhawatirkanmu. Jadi kuputuskan untuk datang ke rumahmu." jelas Nathan lagi. Lalu ia tergelak kecil. "Tapi petugas keamanan di rumah bilang padaku bahwa kau baru saja pergi. Sendirian."

Elise menoleh dan menatap Nathan dengan mata disipitkan. "Lalu bagaimana bisa kau tahu aku berada di sini?"

Nathan tersenyum bangga. "Aku punya firasat bahwa kau tidak akan pergi jauh dari sekitar rumahmu. Kebetulan aku melihat taman ini saat perjalanan pulang tadi. Jadi kupikir sebaiknya aku mencarimu di sini."

Elise mendengus sambil tergelak. "Kau tidak berubah. Masih saja pintar seperti dulu."

Nathan tak menyahut. Ia justru tersenyum lega melihat Elise yang semula bermuram durja, akhirnya tersenyum kembali. Setelah beberapa saat, ia bertanya dengan hati-hati pada wanita itu. "Kau baik-baik saja?"

Pertanyaan Nathan barusan membuat senyuman di wajah Elise sirna. Ia menelan ludah, lalu berkata dengan pasrah, "Kurasa tidak ada gunanya kalau kukatakan bahwa aku baik-baik saja. Kau sudah melihat semuanya, kan? Aku tidak bisa berbohong lagi."

Suasana kembali hening. Elise dapat mendengar helaan nafas panjang Nathan yang saat itu sedang menengadahkan kepala, menatap langit malam yang kelam.

"Elise," Nathan memanggilnya dengan suara pelan. "Aku sungguh menyesal."

Alis Elise tertekuk menatap pria itu. "Aku tidak mengerti."

"Seharusnya," Nathan menoleh dan menatapnya dengan seulas senyuman pahit. "Seharusnya aku dulu tidak pergi begitu saja. Seharusnya aku tetap berada di sini, bersamamu."

Akhirnya Elise paham dengan maksud ucapan Nathan. Ia tergelak hambar dan berkata, "Apa yang kaubicarakan? Kau tidak perlu mengasihaniku seperti ini. Ini semua tidak ada hubungannya denganmu, kau tidak melakukan kesalahan apa pun, dulu maupun sekarang."

"Aku tidak sedang mengasihanimu, Elise." ucap Nathan bersungguh-sungguh. Ia menatap Elise lekat. Namun wanita itu justru memalingkan wajah darinya.

"Kalau aku masih di sini, kau tidak akan bersama pria itu." gumamnya lagi. "Kau tidak akan menikah dengannya, bukan begitu?"

"Kata siapa?" gurau Elise sambil tergelak, dipaksakan. Ia berusaha untuk terlihat tetap santai agar suasana di antara mereka tidak semakin tegang. Tapi sepertinya ia salah langkah.

"Elise,"

Tiba-tiba Nathan mendaratkan tangannya di atas tangan Elise dan menggenggamnya, membuat Elise terkesiap. Sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Nathan sudah membuka mulut lebih dulu.

"Tolong beri aku kesempatan, hanya kali ini. Aku berjanji akan memperlakukanmu dengan baik." ucapnya tulus. "Jauh lebih baik daripada yang dilakukan pria itu padamu."

Tanpa pikir panjang, Elise langsung menarik tangannya. "Nathan, apa yang kaubicarakan?" Nada bicaranya berubah, juga raut wajahnya. Kali ini ia bersikap serius.

Nathan berusaha meraih kembali tangannya. Tapi Elise buru-buru bangkit dari duduknya dan merapatkan mantelnya. "Maaf, aku harus pulang sekarang. Sampai jumpa."

Tanpa menunggu jawaban dari pria itu, Elise langsung membalikkan badan dan berjalan pergi dengan langkah lebar. Nathan hanya bisa terduduk menatap sosok bayangan Elise yang perlahan menghilang dari pandangannya, masih dengan rasa penyesalan yang berkecamuk dalam dirinya.

***

Mobil sedan mewah milik Theo sudah berdiri di pekarangan rumah ketika Elise tiba. Ia menghela nafas berat, lalu melanjutkan langkah menuju ke dalam bangunan mewah yang sudah tiga tahun ditempatinya. Tempat yang disebutnya sebagai 'rumah', setelah ia sempat kehilangan tempat tinggal karena harus menanggung beban hutang yang ditinggalkan oleh mendiang ibunya.

Sekarang, Elise tidak punya siapa-siapa yang bisa disebutnya sebagai 'keluarga', selain Theodore Blake. Ibunya bunuh diri dan meninggalkan setumpuk hutang yang harus ditanggungnya. Sementara kakak laki-lakinya, orang itu pergi entah ke mana meninggalkan Elise yang tunggang langgang menanggung beban yang tak seharusnya menjadi tanggungjawabnya.

Jika bukan karena Theodore Blake, mungkin Elise sudah dijual ke pria hidung belang untuk melunasi hutang mendiang ibunya. Ia juga tidak akan punya kehidupan yang baik, seperti sekarang. Ia juga tidak akan punya kesempatan untuk menjalani profesi yang sudah diimpikannya sejak kecil. Bahkan untuk memiliki klinik hewan sendiri.

Ya, secara materi hidupnya memang berubah drastis. Tapi secara batin, Elise tersiksa. Kehidupan pernikahan yang tak didasari oleh cinta ini membuatnya tersiksa. Hatinya sungguh terluka.

Dengan langkah berat Elise membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Sepi, ia tidak melihat siapa pun di sana. Buru-buru ia segera berjalan menuju kamar tamu. Namun langkahnya tercegat ketika sosok Theodore Blake muncul dari samping. Jantungnya nyaris meloncat keluar.

"Gelagatmu seperti seorang pencuri yang mengendap-endap." sergah Theo dengan tatapan dingin. "Dari mana saja kau?"

Elise mundur selangkah. Jujur saja, ia masih merasa marah dengan apa yang telah dilakukan Theo padanya. Tapi rasa cintanya terhadap pria itu terlalu besar, sampai-sampai ia tak punya kekuatan untuk membalas. "Aku hanya pergi mencari udara segar sebentar." gumamnya lirih.

Theo langsung menarik lengan Elise dan menyeretnya ke kamar. Sikapnya kali ini sangat brutal.

"Lepaskan aku!" Elise menjerit kesakitan. Perlu diakuinya bahwa tubuh kecilnya tak punya kemampuan cukup untuk melawan tenaga Theo yang cukup besar.

Theo akhirnya melepas cengkeramannya setelah mereka berada di kamar. Raut wajahnya memperlihatkan kemarahan yang besar. "Beraninya kau pergi dari rumah tanpa sepengetahuanku!"

Elise menatap Theo tak percaya. "Bagaimana aku harus memberitahumu sedangkan kau pergi dengan cinta pertamamu?"

Sekali lagi Theo menariknya mendekat ke arahnya. Amarahnya semakin menjadi-jadi. "Kau bisa menelepon atau meninggalkan pesan!"

Jarak antara wajah mereka sangat dekat. Elise bahkan bisa mendengarkan nafas Theo yang menderu seperti binatang buas. Perasaannya bercampur aduk sekarang. Elise mencintai pria itu. Tapi bukan pernikahan seperti ini yang diinginkannya. Ini semua membuatnya tersiksa.

Andai saja pria itu juga mencintainya... Andai saja Theo memperlakukannya dengan baik...

"Tolong hentikan." pinta Elise kesakitan. "Aku benar-benar minta maaf. Aku..."

Tanpa pikir panjang, Theo langsung mendekatkan wajah Elise dan menempelkan bibirnya di bibir Elise. Ia melumatnya dengan paksa, seolah membalas amarahnya pada Elise.

Namun apa yang dilakukan Elise justru diluar dugaan. Dengan air mata yang bercucuran, Elise menolaknya menjauh dan mendaratkan sekali tamparan keras di wajahnya.

PLAKK!

Bayangan Cellina Rose, cinta pertama Theo yang sudah menginjakkan kaki di rumah mereka sore tadi sudah cukup membuat hatinya hancur. Dan sekarang, apa yang dilakukan Theo justru seperti mencoreng harga dirinya. Ia bukan boneka pelampiasan nafsu. Ia ingin dicintai, sepenuhnya, oleh suaminya. Bukan diperlakukan seperti ini.

"Cukup," ujar Elise dengan suara bergetar. Kedua matanya basah berlinang air mata. "Sebaiknya kita sudahi saja pernikahan ini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status