Selamat akhir pekan! Semoga cerita ini menghibur akhir pekan kalian semua ◡̈ Saran, masukan dan dukungan dari para pembaca sangat berarti untuk Author. Jangan sungkan untuk tinggalkan pesan di kolom komentar ya! Terima kasih ♡
"Kau baik-baik saja?"Suara Theo yang menembus masuk ke dalam kepalanya membuat pikirannya sekita buyar. Elise tersadar dan buru-buru menggelengkan kepala. "Y-ya, aku baik-baik saja." jawabnya berbohong dengan seulas senyum canggung.Sebenarnya Elise ingin segera ke klinik, tujuannya untuk menghindari bertemu dengan Theo pagi itu. Tapi Theo memergokinya dan mengajaknya untuk sarapan bersama.Foto-foto yang diterimanya itu masih terbayang-bayang di benaknya. Bukankah sangat sakit rasanya melihat suamimu merangkul seorang wanita ke dalam sebuah hotel? Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tapi wajah Theo terlihat sangat jelas di foto-foto tersebut. Namun sayangnya wajah wanita yang bersama dengan suaminya itu tidak terlihat.Theo menatap Elise dengan tatapan curiga. "Katakan saja jika ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku." gumamnya.Elise mengalihkan tatapannya ke arah roti di atas piringnya, lalu memaksa diri untuk mengulas senyum. Tersenyumlah senetral mungkin!,
Ini bukan pertama kalinya Jonathan Nilsson menginjakkan kakinya di tempat dengan cahaya remang dan alunan musik kencang yang menarik sebagian orang untuk menari ria tanpa beban. Asap rokok, juga aroma alkohol bukan sesuatu yang asing baginya.Nathan berjalan menuju meja bartender dan tanpa butuh waktu lama, ia berhasil menemukan sosok yang dicarinya. Wanita berambut pirang panjang terurai dengan pakaiannya yang terbuka terlihat sedang mengobrol dengan bartender. Ia terlihat seperti sedang menggoda pria muda itu."Oh, kau sudah datang." sapa wanita itu ringan ketika Nathan langsung mengambil posisi duduk di sampingnya."Beri aku Tequila." ujar Nathan pada si bartender.Wanita yang duduk di sampingnya itu tersengir mendengar apa yang baru saja diucapkan Nathan. "Kupikir semua dokter tidak akan minum minuman beralkohol." ledeknya.Nathan tersenyum simpul. "Kau lupa? Aku ini dokter hewan," balasnya tak peduli. "Aku bukan dokter jantung, seperti Theodore Blake."Wanita itu menatapnya tajam
Jonathan Nilsson menganggap dirinya benar-benar sudah dibawah pengaruh alkohol. Malam itu ia habiskan di kamar hotel yang ditempati oleh Kelly Dempsey, wanita yang tiba-tiba mendatanginya beberapa minggu lalu untuk mengajaknya bekerja sama.Ya, bekerja sama untuk menghancurkan rumah tangga Elise dan Theo.Setelah pintu di belakangnya tertutup rapat, Nathan langsung mendorong tubuh Kelly hingga menabrak tembok. Tanpa mengatakan apa pun, ia langsung mendaratkan bibirnya ke leher wanita itu.Kelly tak menolak. Helaan nafas, juga desahan ringan yang meluncur dari mulutnya seolah menyiratkan bahwa ia sudah siap dengan permainan yang akan diberikan Nathan untuknya.Gerakan bibir Nathan semakin liar karena desahan Kelly di telinganya. Tanpa ragu ia melucuti pakaian kurang bahan yang dikenakan wanita itu. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kelly. Sambil menikmati cumbuan Nathan, tangannya ikut bergerak cepat melepas pakaian yang dikenakan Nathan.Tanpa sedikit pun melepas sentuhan satu sama la
Kepalanya seolah dihantam oleh rasa sakit yang luar biasa ketika Jonathan Nilsson membuka matanya. Ia memegangi kepalanya seraya menyeret tubuhnya dan berhasil duduk di atas kasur. Butuh waktu selama beberapa detik untuk tubuhnya terasa membaik, meskipun kepalanya masih sedikit berat karena pengaruh alkohol yang diminumnya kemarin malam.Nathan menunduk menatap tubuhnya yang saat itu tidak mengenakan apa-apa. Hanya sebuah selimut tebal yang menutupi bagian bawah tubuhnya."Tidur nyenyak?"Suara seorang wanita yang tiba-tiba memecah keheningan membuat Nathan menoleh ke arah asal suara. Ya, jelas. Suara itu berasal tak jauh darinya. Siapa lagi jika bukan Kelly Dempsey yang semalaman tidur di sampingnya. Wanita itu tampaknya masih tak berbusana. Kelly menatap Nathan dengan seulas senyum semeringah. Sama sepertinya, tubuh Kelly hanya tertutup oleh selimut."Malam yang luar biasa, bukan?" goda wanita itu lagi seraya merapat ke arah Nathan.Nathan mendengus mengabaikan ucapan Kelly barusan,
Hari itu Theo pulang lebih awal dari biasanya karena hari itu bertepatan dengan hari ulang tahun kakeknya, Dalton Blake, yang ke-82 tahun.Elise sedang mengobrak-abrik lemari pakaiannya ketika Theo membuka pintu kamar. Wanita itu hanya menoleh sekilas ke arahnya saat mendengar suara pintu, lalu kembali melihat ke dalam isi lemari pakaiannya tanpa mengatakan apa pun.Sudah beberapa hari terakhir Elise terlihat agak diam, tidak seperti biasanya. Sebelumnya ia akan bertanya tentang keseharian Theo di rumah sakit saat melihatnya pulang. Meskipun Theo selalu memberikan jawaban singkat dengan sikap yang terkesan dingin. Namun sudah dua hari terakhir, Elise bersikap seolah mengabaikannya. Apa istrinya ini sudah mulai lelah dengannya? Theo bertanya-tanya dalam hati.Theo berhenti dan kemudian berdiri di samping lemari, berharap agar mendapatkan perhatian Elise. Benar saja, istrinya itu menoleh dan menatapnya heran."Ada apa?" tanya Elise dengan nada terkesan datar."Kau sedang memilih baju?"
Mansion milik keluarga Blake tampak begitu meriah malam itu. Jejeran mobil-mobil mewah terlihat hampir memenuhi pekarangannya yang luas. Puluhan pelayan berpakaian senada tampak mondar-mandir melayani ratusan tamu yang hadir. Dan mereka tak lain adalah kerabat sekaligus rekan bisnis keluarga Blake. Pesta malam itu bisa dikatakan seperti malam perkumpulan orang-orang kalangan atas.Theo membukakan pintu sekaligus menuntut Elise saat turun dari mobil. Meskipun hubungan mereka sebenarnya sedang tidak baik-baik saja, tapi Elise berusaha untuk tetap bersikap biasa saja di hadapan orang-orang, terutama keluarga Blake.Pandangan mata para tamu tertuju ke arah Elise ketika ia dan Theo berjalan berdampingan memasuki mansion. Beberapa diantaranya ada yang langsung berbisik, ada juga yang terpaku."Kau berhasil membuat mereka semua terpana dengan penampilanmu." bisik Theo yang mendekatkan wajahnya ke telinga Elise saat tahu bahwa istrinya tengah dilanda rasa gugup karena respon sekitar yang menu
Suara gelas yang berdenting, disusul suara tawa dan senyuman yang sopan menjadi akhir dari obrolan Jessica Blake dengan salah seorang pebisnis yang dijumpainya di acara ulang tahun ayah mertuanya, Dalton Blake, malam itu.Meskipun usianya sudah menginjak 60 tahun, tapi Jessica tidak serta merta kehilangan jiwa modisnya. Ia mengenakan cocktail dress berwarna merah hati, memperlihatkan lekukan tubuhnya yang terawat. Aura berkelasnya terpancar jelas oleh rasa percaya dirinya yang masih kuat.Jessica berdiri di tepi koridor lantai dua, memperhatikan para tamu yang sedang berdansa sambil meneguk champagne-nya, ketika seorang pria berusia sebayanya dan seorang perempuan muda berpenampilan tak kalah modis datang menghampirinya."Selamat malam, Nyonya Blake." sapa pria itu sopan."Oh," Jessica terkesiap. "Edwin Dempsey?" Pria itu adalah teman sekolahnya, yang juga seorang pebisnis ternama dengan banyak bidang usaha. Lalu pandangan Jessica beralih ke perempuan muda yang berdiri tepat di sebela
Theo menghentikan gerakannya ketika ponsel dalam saku jasnya bergetar untuk kesekian kalinya. Suasana nyaman yang dirasakannya bersama Elise saat itu membuatnya lupa bahwa dirinya adalah seorang dokter, yang itu berarti ia harus selalu siap-sedia ketika ponselnya berdering di luar jam kerja.Ia mengajak Elise menepi. "Maaf, ada telepon dari rumah sakit." gumamnya pada Elise.Elise mengangguk, menunjukkan bahwa dirinya tak keberatan jika Theo menjawab teleponnya sekarang.Sementara Theo berbicara di telepon, Elise mengedarkan pandangan ke sekitar. Ia belum melihat Mia, juga Cellina, sejak tadi. Ia berharap bisa bertemu dengan kedua wanita itu malam ini, di tengah lautan manusia yang ada di sana.Namun pandangannya justru berhasil menemukan sosok ibu mertuanya, Jessica Blake. Jessica berada di lantai dua, terlihat sedang mengobrol dengan seorang perempuan muda yang tak menunjukkan seluruh wajahnya. Sejenak Elise tertegun. Perempuan berambut blonde bergelombang itu terasa tak asing bagin