Cellina tersengir sambil menggelengkan kepala melihat Theo yang baru saja menghabiskan segelas minuman beralkohol dalam satu kali teguk.
Malam itu Theo tiba-tiba menghubunginya dan mengajaknya untuk bertemu di salah satu bar yang tak jauh dari tempat Cellina menginap. Awalnya Cellina ingin menolak, karena malam itu ia sama sekali tak berencana untuk minum-minum. Mengingat ia baru saja melalui perjalanan panjang, hingga belasan jam. Tapi mendengar nada bicara Theo di telepon membuatnya agak was-was. Jadi ia menerima ajakan Theo dan ternyata benar saja. Theo memang sedang tidak baik-baik saja.
"Dokter Blake, apa kau tidak takut jika salah seorang pasien melihatmu minum-minum di sini?" Lalu ia ikut meneguk minumannya.
"Aku tak peduli," sahut Theo acuh tak acuh.
"Oh," Cellina kemudian berdecak. "Kalau aku pasienmu, aku tak akan berani mempercayakan jantungku lagi padamu."
Theo tak menggubris. Hari ini pikirannya benar-benar kacau. Sore tadi ia sudah membuat Elise Bowman menangis. Lalu malam ini, ia membuat wanita itu kembali menangis. Dan tragisnya, Elise ingin berpisah darinya.
Mengingat kembali apa yang sudah dilakukannya hari itu, juga ucapan Elise malam ini, membuat Theo semakin frustrasi. Ia menuang minuman ke dalam gelasnya dan meneguknya hingga habis.
Cellina yang melihat hal itu langsung menepuk pundak Theo, berusaha menyadarkannya. "Hei," Nada bicaranya terdengar serius. "Kurasa kau sudah minum terlalu banyak. Sebaiknya kau berhenti sekarang."
Theo menoleh menatap Cellina, lalu mendengus. "Berisik. Sudah lama aku tidak minum-minum seperti ini. Biarkan aku minum sepuasku."
"Theo, apa kau lupa dengan perjuanganmu untuk sampai di titik ini? Kau bisa merusak reputasimu dan jika kakek tahu hal ini, dia tidak akan menyerahkan rumah sakitnya padamu!"
"Itulah alasannya kenapa aku mengajakmu kemari." ujar Theo tersengir. "Kau akan melindungiku, kan?"
Cellina melemparkan tatapan sinis, lalu memutar bola mata dan meneguk minumannya. "Cih," Ia kemudian melipat tangan di depan dada. "Kusarankan sebaiknya kau segera memperbaiki hubunganmu dengan Elise kalau kau memang tak ingin berpisah darinya."
Mendengar kalimat terakhir Cellina membuat Theo tertunduk. Ia menatap kosong gelas di tangannya. Sisa cairan beralkoholnya tampak berkilau terkena pantulan cahaya lampu bar.
Kilauan itu membuatnya teringat pada cahaya mata Elise yang begitu indah di hari pernikahan mereka. Sepasang mata bulat berwarna coklat itu membuat Theo terpukau. Ia merasa seperti tersihir selama beberapa detik hari itu. Jika diingat kembali, sepertinya itu pertama kalinya Theo mulai jatuh cinta pada Elise. Tapi selama tiga tahun pernikahan mereka, Theo tidak pernah mau mengakui perasaannya.
"Aku tak tahu harus bagaimana," gumamnya dengan suara lirih. "Mungkin berpisah memang jalan yang terbaik. Dia terlihat sangat menderita dengan pernikahan ini."
"Itu semua karena ulahmu sendiri!" sahut Cellina tak sabar. "Yang perlu kaulakukan hanya mengakui perasaanmu yang sesungguhnya."
Theo menggeleng. "Tidak, aku tidak mungkin melakukan hal konyol semacam itu." tukasnya. "Lagipula, bagaimana kalau ternyata dia tidak mencintaiku dan justru memanfaatkan perasaanku untuk mendapatkan apa yang diinginkannya?"
"Oh, ya Tuhan!" Cellina mengerang dan menatapnya tak percaya. "Apa kau sungguh berpikir Elise wanita semacam itu?"
Theo mengedikkan bahu. Salah satu alasannya untuk menikahi Elise dulu karena wanita itu butuh uang untuk membayar hutang-hutang mendiang ibunya pada lintah darat. Theo beranggapan bahwa setiap wanita rela melakukan apa saja untuk mendapatkan uang, termasuk menikahi orang yang tak dicintainya. Dan ternyata ia benar. Elise menerima tawarannya. Meskipun setelah menikah, Elise tidak pernah menunjukkan gelagat bahwa ia mengincar harta kekayaan Theo.
"Apa yang dilakukan wanita jalang itu sepertinya sudah berhasil membuat kehidupanmu sekarang kacau balau," gumam Cellina menyesal. "Seharusnya dulu aku tidak memperkenalkannya padamu. Kau pasti akan bahagia dengan Elise sekarang."
Theo tidak berkata apa-apa. Luka masa lalunya, sebelum ia bertemu dengan Elise Bowman, memang telah meninggalkan sebuah lubang besar di hatinya yang terdalam.
***
Elise menatap bayangan dirinya di dalam cermin, lalu berdecak. Penampilannya malam itu benar-benar menyedihkan. Kedua matanya masih terlihat bengkak, padahal ia sudah mengambil air es dan mengompres matanya.
"Kau sangat bodoh, Elise Bowman." gumamnya pada diri sendiri. "Lihat dirimu, memprihatinkan! Untuk apa kau membuang air matamu untuk pria sepertinya?"
Di tengah percakapannya dengan diri sendiri, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat alisnya tertekuk. "Theo?"
Elise menjawab panggilan itu dan menempelkan ponselnya di telinga. "Halo," sapanya pelan.
"Elise, tolong buka pintunya."
Suara seorang wanita yang didengarnya membuat sekujur tubuhnya membeku. Ponsel yang ada digenggamannya terjatuh ke atas lantai. Itu jelas suara wanita yang sore tadi datang ke rumahnya, Cellina Rose. Ternyata setelah pertengkaran mereka, Theo pergi menemui cinta pertamanya. Lagi.
Air matanya hampir saja jatuh. Tapi Elise buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. Ia berlari ke jendela dan melihat mobil Theo sudah berdiri di pekarangan.
Dengan segala keberanian, Elise keluar dari kamar tamu dan berjalan menuju pintu utama. Sekujur tubuhnya tegang. Ia menahan nafas sebelum akhirnya membuka pintu.
"Elise," ujar Cellina bersusah payah.
Elise berusaha menahan diri saat melihat pemandangan yang membuatnya merasa jijik, juga sakit hati itu. Cellina tengah memapah Theo yang sedang mabuk. Theo terlihat sempoyongan, ia bahkan tidak bisa berdiri tegak.
Tanpa menunggu respon dari Elise, Cellina buru-buru menjatuhkan tubuh Theo ke dalam pelukan Elise. Untung saja Elise bergerak cepat menangkapnya. Ia hampir saja ikut terhuyung karena berat tubuh Theo.
"Maaf sudah mengganggumu malam-malam begini, Elise." kata Cellina. "Theo mabuk berat dan..."
"Kenapa kau tidak membawanya ke tempatmu saja?"
Ucapan Elise barusan membuat Cellina tertegun selama beberapa detik. Elise sendiri tidak tahu mengapa pertanyaan seperti itu bisa meluncur begitu saja dari bibirnya. Rasa sakit hatinya sudah membuat hatinya mati rasa.
"Elise, kumohon dengarkan aku." pinta Cellina tulus. "Biar kujelaskan. Sebenarnya aku ini..."
"Berhenti,"
Tiba-tiba Theo berbicara, meskipun kelihatannya ia tidak dalam keadaan sepenuhnya sadar. "Sudah kubilang, kau tidak perlu menjelaskan apa pun padanya."
Sungguh. Elise begitu ingin melepaskan Theo dari pelukannya, saat itu juga. Membiarkan pria itu terkulai di atas lantai. Tapi ia tak tega. Andai saja ia bisa bersikap sedikit tega, mungkin hatinya tidak akan sehancur sekarang.
"Kepalamu masih saja keras walaupun kau sedang mabuk, Theodore Blake!" ujar Cellina resah. "Baiklah," Cellina memijat pelipisnya sebelum melanjutkan ucapannya. "Elise, dengar. Aku ingin kau tahu dua hal. Pertama, semua yang terjadi hari ini tidak seperti yang kaukira. Kedua, Theo sangat..."
"Pergilah!" seru Theo sambil mengayunkan sebelah tangannya. Tapi saat itu ia benar-benar kehilangan tenaga. Ia sampai terhuyung saat mengayunkan tangan.
"Oke, sepertinya aku harus segera pergi. Selamat malam, Elise." ujar Cellina sebelum meninggalkan tempat itu.
Entah kenapa Elise merasa janggal melihat sikap Cellina barusan. Wanita itu tidak terlihat seperti memiliki niat buruk padanya. Elise menjadi penasaran dengan apa yang ingin dikatakan Cellina padanya.
Tapi tubuhnya tidak bisa menopang tubuh Theo lebih lama lagi. Pria itu terlalu berat. Dengan segela kekuatan yang tersisa, Elise berhasil memapahnya ke kamar. Ia segera menjatuhkan tubuh Theo ke atas kasur.
Ini pertama kalinya Elise melihat Theo mabuk seperti ini. Sejak mereka menikah, Elise tidak pernah melihat Theo minum minuman keras, apalagi hingga mabuk seperti sekarang. Mengingat profesinya sebagai seorang dokter, Theo termasuk orang yang cukup menjaga kesehatan. Tapi kenapa ia jadi seperti ini?
Tidak, ia tidak boleh lengah. Ia sudah memutuskan untuk berpisah dengan pria itu. Elise berusaha mengingatkan dirinya. Sebaiknya aku segera pergi, batinnya.
Elise baru saja membalikkan badan ketika tangan Theo tiba-tiba mencegatnya. Pria itu meraih pergelangan tangannya dan menahannya agar tidak pergi.
Elise menoleh ke arah tangannya, lalu ke arah Theo yang terbaring dengan tatapan heran. Pria itu terlihat masih memejamkan matanya. Ia mencoba menarik tangannya, tapi Theo menggenggamnya erat. Dalam sekali tarikan, tubuh Elise langsung jatuh tepat di atas tubuh Theo.
"A-apa yang kaulakukan?" seru Elise kaget.
Bau alkohol tercium jelas olehnya, membuat perutnya mulas. Sejak dulu Elise benci dengan aroma alkohol. Ia berusaha menarik diri, tapi Theo tidak membiarkannya pergi.
"Lepaskan aku," ujar Elise.
Sepasang mata di hadapannya itu terbuka. Elise bahkan tak sadar dirinya menahan nafas ketika sepasang mata itu menatapnya lekat. Pesona yang dimiliki Theo sungguh memabukkan.
"Elise..."
Dengan sekali gerakan cepat, Theo berhasil menjatuhkan wajah Elise di atas wajahnya. Kedua bibir mereka menempel. Elise merasakan kehangatan bibir Theo yang mengecup bibirnya. Dan setelah itu, Theo memalingkan wajah dan mendekap Elise dalam pelukannya. "Kumohon, sebentar saja." bisiknya.
Jam analog di atas nakas sudah menunjukkan pukul 08:15 ketika Theo membuka kedua matanya. Seketika kepalanya diserang rasa sakit yang masih dapat ditahannya. Perlahan ia menegakkan tubuh dan berusaha mengingat-ngingat.Setelah beberapa saat Theo berhasil mengingat sebagian kejadian yang terjadi semalam. Ia bertengkar hebat dengan Elise, lalu mengajak Cellina untuk minum-minum hingga dirinya mabuk, lalu wanita itu mengantarnya pulang ke rumah dan Elise kemudian mengambil kendali atas dirinya. Dan setelah itu... Theo tak ingat apa yang terjadi setelah itu.Ia kemudian menatap dirinya yang sudah berada dalam balutan selimut, juga pakaiannya yang sudah berganti. Tentu saja ini ulah Elise, batinnya seraya mengulum senyum.Wanita itu juga sudah menyiapkan secangkir teh hangat di atas nakas. Theo meneguknya pelan-pelan sebelum beranjak dari kasur. Perlahan rasa sakit sakit di kepalanya mereda.Theo keluar dari kamar dan melihat ke sekeliling. Sepi, hanya terlihat dua orang pelayan yang sedang
Theo melirik jam tangannya, lalu mendengus. Kemudian ia menjatuhkan diri ke sandaran kursi.Sudah dua puluh menit berlalu. Jika mengikuti jadwalnya, seharusnya ada pasien yang melakukan pengecekan rutin pagi itu. Tapi hingga saat ini si pasien belum menampakkan batang hidungnya.Theo mengetuk-ngetuk pena yang ada di tangannya ke dagu. Tatapannya kosong ke arah layar komputer. Ucapan Elise kemarin masih mengiang-ngiang di telinganya.Sebaiknya kita sudahi saja pernikahan ini.Bagaimana bisa Elise mengucapkan kalimat itu dengan entengnya?Tidak, tidak. Ini semua salahnya. Ia seharusnya memperlakukan istrinya dengan baik. Sikapnya sudah terlalu buruk. Tak heran jika akhirnya Elise ingin bercerai darinya."Sial, aku harus bagaimana?" gumam Theo pada diri sendiri.Tentu saja ia tidak ingin berpisah dari Elise. Namun di sisi lain, rasanya tidak mungkin jika ia tiba-tiba berubah baik padanya. Bagaimana kalau Elise malah menertawakannya dan menjadikan hal ini sebagai senjatanya untuk mendapatk
Langit di luar sudah gelap. Jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul tujuh malam ketika Elise keluar dari kamar mandi.Hari ini klinik tutup lebih lambat. Seorang pria tersengal-sengal membawa anjing ras Poodle miliknya ke klinik dan meminta pertolongan. Anjing malang itu tersedak, sehingga kesulitan bernafas. Untung saja semuanya dapat ditangani dengan cepat dan kondisinya sudah membaik.Elise baru saja mendaratkan bokongnya di atas kasur sambil mengeringkan rambut dengan handuk ketika ponselnya di atas nakas berdenting, pertanda sebuah pesan masuk. Ia meraih benda itu untuk melihatnya.Aku akan pulang larut. Ada operasi besar malam ini.Seketika alisnya terangkat membaca pesan yang ternyata dikirim oleh Theo untuknya. Sejak mereka menikah, Theo tidak pernah mengirimkan pesan padanya, terlebih untuk memberikan kabar seperti yang dilakukannya malam ini.Sejak awal menikah, Theo sudah menegaskan batasan-batasan yang ada di antara mereka. Sebagai seorang dokter, Theo merasa wajar jika
"Pagi yang cerah."Begitu batin Elise sambil menikmati teh dan kue kering di taman belakang rumah. Matahari bersinar hangat dengan segelintir angin yang berhembus. Bunga cosmos dan mawar yang ditanamnya sejak tinggal di sana tampak subur, membuat taman itu terasa benar-benar hidup dan berwarna.Elise sering menghabiskan waktunya di akhir pekan dengan mengurus tanaman di taman belakang rumah. Klinik tutup di hari Minggu, jadi ia punya waktu untuk bersantai dan melakukan hobinya."Anda berhasil menyulap taman yang semula gersang menjadi sebuah taman yang indah." puji Bibi Bernadeth yang juga berada di sana menemani Elise.Elise selalu mengajak Bibi Bernadeth untuk menemaninya mengobrol di taman. Wanita yang berusia sebaya ibunya itu sangat baik, juga sosok yang hangat. Elise merasa nyaman mengobrol dengannya. Ia merasa seperti sedang menikmati pagi yang indah bersama ibunya sendiri."Ini semua juga berkat bantuan Bibi dan Paman Sam." sahut Elise sambil tersenyum. Paman Sam adalah suami B
"Kupikir kau sudah melupakanku, Elise!" gerutu Dalton Blake yang duduk di kursi roda.Elise mengulum senyum. "Maafkan aku, kakek. Tentu saja aku tidak melupakan kakek. Akhir-akhir ini klinik cukup sibuk."Dalton kemudian terkekeh. Seperti sudah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu dengan cucu kesayangannya, Dalton bercerita panjang lebar dengan Elise di ruang keluarga. Sesekali ia juga meminta pendapat dari Theo yang duduk di samping Elise, tapi pria itu hanya memberikan jawaban pendek.Jessica, ibu Theo, tidak ikut mengobrol dengan mereka. Setelah makan siang, ia langsung pergi menemui para vendor untuk membicarakan acara ulang tahun Dalton yang ke-80 tahun lusa nanti. Sejak ayah Theo meninggal enam tahun lalu, Jessica-lah yang mengatur segala urusan di mansion. Namun, Dalton masih menduduki kursi tertinggi dalam pengambilan keputusan-keputusan penting di sana."Kakek," panggil Mia yang berhambur masuk ke ruang keluarga. Ia dan Cellina tidak ikut mengobrol sejak tadi karena bosan. "Ap
Theo segera turun dari mobil dan berlari menghampiri seorang wanita yang sedang berjongkok meringkuk di depan sebuah bar. Wanita itu langsung menengadahkah kepala ketika menyadari kehadiran Theo di hadapannya."Theo," ucapnya lirih dengan seulas senyum tipis. "Kupikir kau tidak akan datang.""Kau seharusnya menelepon taksi untuk membawamu ke rumah sakit terdekat." gumam Theo seraya membantu wanita itu berdiri.Ia melepas jaket denim yang dikenakannya dan menyampirkannya di tubuh Kelly untuk menutupi tubuhnya yang hanya dibalut pakaian bergaya terbuka. Rok pendek sejengkal dan atasan tak berlengan dengan bagian depan yang memperlihatkan separuh belahan dadanya. Pria lain yang melihat cara berpakaian Kelly malam itu mungkin akan tergiur untuk mencicipi tubuhnya, ditambah wajahnya yang juga tergolong cantik. Namun tidak untuk Theo. Ia sama sekali tidak merasakan hal demikian. Ia justru ingin segera mengantar wanita itu ke rumah sakit, lalu pulang ke rumah."Aku akan mengantarmu ke rumah s
Elise nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Apa ia tidak salah dengar? Theodore Blake baru saja meminta izin untuk menyentuh tubuhnya?Lampu kamar padam, sementara Elise masih mematung di tepi kasur. Ada aliran listrik yang menjalar di sekujur tubuhnya ketika Theo menyentuh kedua pundaknya. Sentuhan Theo di atas kulitnya membuat jantungnya berdegup semakin kencang.Theo mendekatkan wajahnya ke telinganya, lalu membisikkan sesuatu yang membuat otaknya berhenti bekerja selama beberapa detik. "Baiklah. Karena tak ada jawaban darimu, aku akan menganggap kau telah menyetujuinya."Gerakan kedua jempolnya yang begitu ringan berhasil melucuti gaun tidur satin yang dikenakan oleh Elise, menyisakan celana dalam tipis yang menutupi bokongnya. Theo menempelkan wajahnya ke rambut coklat bergelombang istrinya yang terurai indah dengan mata terpejam. Aroma mawar yang begitu khas itu membuat gairah yang dirasakannya semakin bergejolak dalam dirinya.Malam itu, Elise membiarkan suam
"Kau baik-baik saja?"Suara Theo yang menembus masuk ke dalam kepalanya membuat pikirannya sekita buyar. Elise tersadar dan buru-buru menggelengkan kepala. "Y-ya, aku baik-baik saja." jawabnya berbohong dengan seulas senyum canggung.Sebenarnya Elise ingin segera ke klinik, tujuannya untuk menghindari bertemu dengan Theo pagi itu. Tapi Theo memergokinya dan mengajaknya untuk sarapan bersama.Foto-foto yang diterimanya itu masih terbayang-bayang di benaknya. Bukankah sangat sakit rasanya melihat suamimu merangkul seorang wanita ke dalam sebuah hotel? Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tapi wajah Theo terlihat sangat jelas di foto-foto tersebut. Namun sayangnya wajah wanita yang bersama dengan suaminya itu tidak terlihat.Theo menatap Elise dengan tatapan curiga. "Katakan saja jika ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku." gumamnya.Elise mengalihkan tatapannya ke arah roti di atas piringnya, lalu memaksa diri untuk mengulas senyum. Tersenyumlah senetral mungkin!,