"A-aku tidak mengenalmu! Lep-lepaskan aku …." Carmen menjerit pada seorang pria yang saat ini berada di atas tubuhnya. Pria tersebut berniat melepas pakaian yang membungkus tubuh Carmen.
"Ti-tidak!" Carmen menggelengkan kepala, suaranya bergetar hebat dan air mata jatuh deras. Dia ketakutan, punggung sudah panas dingin dan tubuh terasa membeku. Pria ini berhasil melepas bajunya–di mana kini Carmen hanya mengenakan bra hitam. Perut mulusnya diraba oleh pria tersebut–menatap Carmen penuh letupan gairah, sembari menyunggingkan smirk yang mengerikan. Tangan pria dewasa tersebut naik ke atas undukan indah Carmen, membuat Carmen semakin takut dan terus menangis. "Ja-jangan … hiks … jangan …." Carmen memohon sembari menyingkirkan tangan pria itu dari atas undukan indahnya. Dia berhasil menjauhkan tangan pria itu akan tetapi tindakan pria tersebut semakin jauh. Pria itu menelusup pada ceruk leher Carmen, lalu mencium kulit leher Carmen secara rakus. Carmen benar-benar geli, jijik dan kotor dengan apa yang pria ini lakukan pada lehernya. Carmen memberontak dan terus mendorong pundak pria ini akan tetapi dia tak berhasil. Tenaga pria ini jauh lebih kuat dibandingkan Carmen. Sekarang pria ini mengikat tangan Carmen di atas kepala dengan sebuah dasi pria itu sendiri, hal tersebut membuat tangisan Carmen semakin kencang. Dia sangat takut! Tetapi semakin dia takut, pria ini sepertinya semakin bersemangat. "Hiks … apa salahku padamu?!" jerit Carmen, menangis sembari menatap memohon pada pria ini. Dia perempuan yang tak ingin dikasihani akan tetapi hari ini, Carmen berharap pria dewasa ini mengasihaninya. Sebetulnya pria ini sangatlah tampan, bahkan awal bertemu dengannya, Carmen menganga serta terpaku karena dibuat terpesona. Namun, apa yang pria ini lakukan padanya bukanlah perbuatan pria sejati! Dia brengsek dan bejad! "A-aku tidak mengenalmu. To-tolong bebaskan aku … hiks …. A-aku perempuan bersuami!" mohon dan pekik Carmen, menendang-nendang supaya pria itu kesulitan melepas celana jeans yang Carmen kenakan. "Cih." Tiba-tiba saja pria itu berdecis geli, seakan-akan tangisan Carmen adalah lelucon baginya, "akhirnya kau ingat padaku, meski kau tak mengenaliku, Wifey!" Suara bariton mengalun berat, terkesan seksi namun mengerikan secara bersamaan. Isakan Carmen memelan, menatap bingung bercampur takut pada sosok pria tampan tersebut. Tanpa dia sadari dia lengah dan pria itu berhasil melepas celana jeans-nya. Saat pria itu meraba paha mulusnya, barulah Carmen tersadar–dia tersentak dan kembali menangis. "Tidak kusangka istri kecilku menjual diri. Seharusnya, dulu, sebelum meninggalkanmu, aku memerawanimu. Cih," ucap pria itu lagi, kembali berdecis remeh sembari menatap penuh kabut gairah pada Carmen. Tubuh Carmen sangat menggiurkan dan menggoda. Feromon perempuan ini tercium jelas dan itu semakin membangkitkan hasratnya untuk segera menikmati perempuan ini. "Sudah berapa banyak pria yang menyentuhmu, Heh?!" remehnya kembali, membuat Carmen semakin terisak tangis. Carmen diliputi ketakutan dan dia tidak bisa mencerna apapun. Satu yang ada di pikiran Carmen, kenapa takdirnya se lucu ini?! Sebelum ini, dia bersusah payah kabur dari kejaran anak buah seorang pria yang membelinya pada ibu tirinya. Berhasil bersembunyi dari pria itu, tetapi dia malah berakhir menjadi santapan pria iblis ini. Yah, sebelum kejadian ini. Carmen Gaura Wijaya (berusia 23 tahun) baru saja pulang dari hotel–tempat ia bekerja sebagai koki. Tepat di depan rumahnya, Carmen melihat sebuah mobil mewah terpakir. Awalnya, Carmen mengira itu mobil suaminya yang telah meninggalkannya sejak lima tahun lalu. Mungkin suaminya telah kembali dan berniat menjemputnya–sesuai perkataan suaminya dulu. Namun, ketika masuk ke rumah, Carmen mendapati ibu tirinya berbicara dengan seorang pengusaha di kota mereka. Jelas itu bukan suaminya karena suaminya bukan dari kota ini. Carmen mendengar percakapan antara ibu tirinya dan pria itu. Di mana pria tersebut berniat membeli Carmen untuk diperistri. Ibu tirinya yang mata duitan setuju dan mereka melakukan transaksi jual beli. Carmen tak mau dinikahi oleh pria itu, dia sudah bersuami meskipun suaminya tak pernah pulang. Dia juga bukan barang yang diperjual belikan. Carmen memutuskan kabur. Dia lewat belakang untuk menuju kamar, dia mengemasi pakaian dalam koper lalu segera kabur dari rumah itu. Sebetulnya berat bagi Carmen meninggalkan rumah tersebut, karena rumah itu adalah rumah peninggalan ayahnya. Namun, dia tidak mau dijual! Carmen berhasil keluar dari rumah, akan tetapi kedapatan oleh Clarissa–kakak tirinya yang baru saja pulang party. Mereka bertemu di depan gerbang rumah. Clarissa--kakak tirinya langsung berlari masuk ke rumah untuk memberitahu ibunya. Pada akhirnya, Carmen menjadi buruan para anak buah pria yang membelinya. Carmen ke hotel tempatnya bekerja, satu-satunya tempat yang terlintas di kepalanya untuk dijadikan tempat persembunyian. Dia memesan kamar secara tergesa-gesa. Setelah itu, segera ke kamar tersebut untuk bersembunyi. Ketika mencari kamar, Carmen tak terlalu memperhatikan angka yang tertera pada kunci. Dia panik dan gugup! Saat dia di lift tadi, dia melihat anak buah Gerry sudah di hotel ini. Nomor kamarnya adalah 101 tetapi dia memasuki kamar dengan nomor 102. Tanpa curiga pada pintu yang tak dikunci, Carmen masuk begitu saja ke dalam. Dia ketakutan sehingga dia terburu-buru bersembunyi. Carmen cukup lega ketika sudah di dalam kamar, akan tetapi kelegaannya hilang saat membalik tubuh–mendapati seorang pria yang sangat tampan sedang duduk di pinggir ranjang. Carmen terdiam dan membeku, terus menatap pria tersebut dengan sorot kagum. Pria itu mendekatinya dan Carmen sama sekali tak menyadarinya karena larut dalam keterpesonaan. Dia baru sadar saat pria itu berbisik padanya. "Kejutan," bisik pria itu dengan nada berat dan sangat seksi, membuat Carmen kaget sekaligus meremang, "tak kusangka, gadis kecilku tumbuh menjadi wanita jalang," ucap pria itu lagi, ada nada marah yang kentara jelas terdengar. Carmen tentu tak paham apa yang pria itu bicarakan. Carmen tak mengenalnya sama sekali. Sebelum dia memahami situasi, pria itu menyeretnya ke atas ranjang dan beginilah Carmen pada akhirnya–akan menjadi makanan pria bejad ini. Carmen sudah menjelaskan kalau dia tak mengenal pria ini dan juga mengatakan jika dia bukan perempuan sewaan, namun pria ini sama sekali tak memperdulikan ucapan Carmen. Pria ini sangat keji! Sekarang bisakah Carmen memperjuangkan mahkotanya?! Bisakah dia selamat dari pria jahat ini?! 'Wajahnya tampan tetapi perilakunya iblis!' "Katakan!" dingin pria itu, mencengkeram kuat pipi Carmen. Carmen hanya bisa menggelengkan kepala sembari menangis. "Kau perempuan nakal! Aku cukup menyesal tidak menyentuhmu saat itu!" geram pria itu, menghempas kasar pipi Carmen. Setelah itu dia mencium bibir perempuan itu dengan sangat kasar, tak peduli Carmen menolaknya. Dia dipenuhi oleh amarah yang bercampur dengan ketidak rela-an. Yah, dia tak rela tubuh perempuan ini telah disentuh oleh pria lain. Dia sudah banyak mendengar keburukan Carmen dari asisten pribadinya. Tetapi dia tidak menyangka Carmen akan menjadi wanita sewaan! "Ahgkkk … sa-sakiit!" rintih Carmen ketika pria itu dengan jahat meremas kasar undukan indahnya. Pria itu menanggalkan semua pakaian yang tersisa di tubuh Carmen, kemudian tanpa peduli pada isakan dan permohonan Carmen, dia melakukan penyatuan. "Argkkkkk …." Carmen menjerit, tak bisa menahan rasa sakit di bagian intinya. Matanya terpejam dan gigi saling menekan kuat. Dia mencoba menahan sakit dan tak menjerit, tetapi rasanya terkoyak dibawah sana membuat Carmen tak bisa menahan jeritannya. Ini seperti mimpi buruk! "Aa~arkg … mmfff …." Carmen merintih kesakitan, tubuhnya bergetar dan air matanya jatuh deras. Harta berharga, miliknya-- te-telah dirampas oleh seorang pria yang tak ia kenali. Dia menjaga diri dengan baik, dia bahkan tidak pernah berkencan dengan mantan pacarnya karena takut mengotori dirinya sendiri. Lalu kenapa hal seperti ini malah terjadi padanya?! Carmen terus menangis, sakit yang dia rasakan sangat tak tertahankan. Bukan cuma bagian intinya, tetapi juga hati dan harga dirinya. Di sisi lain, pria yang menodainya-- pria itu terlihat membelalak. Dia terkejut! Carmen masih perawan! Namun, karena terlanjur diselimuti oleh gairah yang membara, dia sama sekali tak peduli. Entah Carmen perawan atau tidak, malam ini Carmen harus memuaskan hasratnya! "Kau penuh kejutan, Wifey," bisik pria itu, menjilat air mata Carmen secara sensual lalu menyunggingkan evil smirk ketika Carmen menatapnya penuh ketakutan.Raymond Kaizer Abraham (33 tahun) pergi ke kota istrinya yang ia tinggalkan lima tahun lalu, bukan untuk menjemputnya melainkan untuk menceraikannya. Lima tahun yang lalu, atas permintaan kakeknya, Raymond menikahi gadis remaja bernama Carmen Gaura Wijaya. Di mana saat itu gadis tersebut masih berusia tujuh belas tahun (satu bulan sebelum memasuki usia 18 tahun). Sebetulnya gadis yang harus dia nikahi bernama Clarissa Wijaya. Akan tetapi entah kenapa saat saat mendekati hari pernikahan, gadis yang ia nikahi bertukar nama menjadi Carmen. Sebelumnya, Raymond memang tak pernah bertemu dengan Clarissa atau Carmen. Dia lumpuh dan dia enggan keluar rumah. Saat menikahi Carmen, sejujurnya Raymond berniat membatalkannya karena merasa ditipu. Hell! Bagaimana bisa dia menikah dengan anak kecil yang masih ingusan?! Dia tidak terima! Namun, dia mengurungkan niat karena terpaku melihat Carmen yang terus saja menunduk dan menangis. Satu yang terlintas di pikiran Raymond, Carmen masih polos da
"Bagaimana bisa kau lupa pada suamimu sendiri, Ura?" dingin Raymond, melayangkan tatapan tajam dan membunuh pada perempuan yang duduk di pangkuannya. Carmen menoleh padanya, mendongak untuk menatapnya. 'Ura? Siapa Ura? Bapak ini pasti salah orang,' batin Carmen. Dia sempat mengira pria ini mungkin suaminya, karena beberapa kali pria ini memangilnya istri. Carmen memang tak mengenal suaminya karena dia tidak pernah bertemu dengan suaminya sebelum menikah. Lagipula, dia saja tak menyangka jika dia lah yang akan menikah dengan Kaizer–suaminya, karena sebelumnya Kaizer dijodohkan dengan kakaknya. Namun, saat tiga hari sebelum menikah, Clarissa melakukan sesuatu yang membuat Carmen berakhir menggantikannya menikah dengan tuan muda dari keluarga Abraham. Carmen hanyalah pengantin pengganti yang tak pernah direncanakan.Saat menikah, kondisi mata Carmen saat itu minus 4. Dia tak mengenakan kaca mata ataupun soflen, ditambah dia terus menangis saat itu, sehingga dia tidak bisa melihat jel
"Raymond Kaizer Abraham. Your husband." Deg deg deg Carmen reflek menegakkan tubuh, berdiri kaku dan sedikit mendongak untuk dapat menatap wajah tampan Raymond. Ekspresi Carmen terkejut, matanya membulat sempurna dan bibir sedikit terbuka. Raymond Kaizer Abraham. Dia suami Carmen? Pria yang menodainya-- adalah suaminya sendiri?! Melihat Carmen hanya bengong, Raymond meraih tangan istrinya. Setelah berjabat tangan dengan Carmen, Raymond menarik tangan perempuan itu sehingga Carmen berakhir menabrak dada bidangnya. Carmen mendongak sepenuhnya pada Raymond, dia mengabaikan rasa sakit di kening akibat keningnya menabrak dada bidang nan kokoh milik pria ini. "Sekarang kau mengenalku, Ura?" Raymond berucap rendah, nadanya berat dan serak. Terkesan seksi akan tetapi membuat Carmen gugup sekujur tubuh. Carmen tak mengatakan apa-apa, hanya bengong karena tak tahu harus bersikap bagaimana. Pria yang menodainya adalah suaminya sendiri. Bagaimana bisa sosok yang ia kagumi ternyata
'Layani aku kapanpun aku menginginkanmu.' Ucapan Raymond tersebut terus menggema di kepala Carmen. Namun, saat itu, dia menjawab 'aku lapar dan aku mau makan.' Sialan! Padahal waktu itu Carmen ingin membantah ucapan Raymond, akan tetapi karena dia terlalu lapar dan kepalanya hanya dipenuhi oleh makanan, Carmen sulit berkonsentrasi. "Jadi aku akan tinggal di rumah ini? Aku akan menjadi istri Mas Kaizer selamanya?" gumam Carmen. Dia habis berkeliling mansion mewah Kaizer, setelah sebelumnya dia makan dengan begitu banyak. "Yah, untuk saat ini, lebih baik aku tinggal dengannya. Lumayan, aku dapat tempat tinggal dan makanan gratis. Tapi aku harus mencari pekerjaan dan mengumpulkan uang untuk membalas perbuatan Tiara dan Clarissa. Juga pada Nicolas dan … seluruh keluarga Wijaya yang meremehkanku," ucap Carmen, bermonolog sendiri, penuh keyakinan dan semangat yang menggebu-gebu. Meskipun peretemuannya dengan suaminya sangat buruk dan mengerikan. Akan tetapi Carmen menganggapnya sebagai
"Kau mencintai pria lain?" dingin Raymond, menguatkan cengkeramannya pada lengan Carmen. "Jawab!" Carmen menggelengkan kepala gugup, kepalanya mendongak untuk menatap Raymond yang jauh lebih tinggi darinya. Carmen ketakutan! Pria ini sangat kasar. "A-aku habis berbicara dengan Teresia, dia bu-bukan seorang pria. Dia perempuan tulen," jawab Carmen buru-buru, nadanya tergesa-gesa dan gugup. Raymond melepaskan cengkeramannya pada lengan Teresia. Dia meraih handphone-nya yang berada di atas nakas untuk memeriksa. "Aku minta maaf mengunakan handphonemu," ucap Carmen sembari mengusap lengannya yang dicengkeram kuat oleh Raymond. Sejujurnya dia kesal pada pria ini, akan tetapi Carmen takut untuk mengekspresikan rasa kesalnya. Raymond menoleh tajam pada Carmen, meletakkan handphone kembali ke atas nakas. "Aku minta maaf mengunakan handphone Mas Kaizer," ulang Carmen, gugup bercampur takut karena tatapan Raymond yang begitu tajam. Dia yakin sekali Raymond pasti marah karena han
Carmen yang gugup dan takut, memilih memalingkan wajah–tak ingin menatap wajah Raymond. "Coba ceritakan, apa yang kau dengar dari balik tembok saat tadi pagi, Wifey," ucap Raymond dengan nada berat dan rendah. Suaranya serak dan seksi, tetapi bagi Carmen itu sangat horor. Buktinya dia merinding mendengarnya! Mata Carmen melebar, jantungnya berpacu kencang dan tubuhnya panas dingin. Raymond tahu dia menguping?! Habislah dia! "A-aku tidak dengar apa-apa. Aku hanya melihatmu bersama seorang perempuan," ucap Carmen gugup. "Kalau kamu suka padanya, kenapa tidak menikahinya?" lanjut Carmen. "Dia ibu tiriku," jawab Raymond santai, mengigit pelan daun telinga Carmen lalu meniupnya secara sensual. Carmen memejamkan mata, bukan karena menikmati apa yang pria ini lakukan padanya. Tetapi lebih tepatnya karena merinding dan tak nyaman. 'Fix, dia memang gila. Dia berselingkuh dengan ibu tirinya sendiri dan bahkan menyuruh ibu tirinya mengbunuh ayah kandungnya. Tuhan! Sudah benar
"Apa?" Carmen memekik kaget, tak menduga kalau suaminya adalah mantan chef hebat. "Pelankan suaramu, Carmen," bisik Teresia, meringis karena Carmen tiba-tiba memekik dan sekarang semua orang menoleh pada Carmen. Carmen menutup mulut sendiri, cukup kikuk karena semua orang saat ini sedang memperhatikannya. Carmen semakin gelisah karena dia telah dilihat oleh Raymond. Namun, entah kenapa, pria itu melayangkan tatapan marah dan dingin padanya. Apa kesalahan yang Carmen lakukan? Tidak ada bukan?! "Ambilkan seragam kokiku," titah Raymond pada Diego, nadanya dingin dan datar–terus menatap ke arah sosok perempuan yang terlihat menunduk dalam, berdiri di belakang seorang pria. Cara perempuan itu bersembunyi di balik tubuh pria tersebut, seperti sedang mencari perlindungan. Apakah Raymond menakutkan baginya? Raymond terus menatap, menunggu Carmen mendongak dan melihat ke arahnya. Akan tetapi, perempuan memilih terus menunduk, sepertinya tak ingin dikenali oleh Raymond. Setelah
"Bagiamana dengan ini, Mas?" tanya Carmen, keceplosan memanggil 'mas pada Raymond. Untung suaranya pelan. Raymond menoleh pada istrinya, lalu menatap udang yang telah Carmen bersihkan. "Sudah rapi tetapi kau memakan waktu cukup lama hanya untuk membersihkan satu udang, Sweetheart," jawab Raymond dengan nada bersahabat dan hangat. Carmen dibuat menganga karena perubahan nada bicara Raymond. Dia terkejut! Sebelumnya Raymond terkesan dingin dan ketus, tetapi mendadak sangat lembut. Suaranya yang berat dan hangat, menyapa kalbu dengan mesra. Carmen dibuat terkesima. Carmen lagi-lagi merasa kalau Raymond ini aneh. Emosi pria ini mudah berubah-ubah. Sayang sekali, Carmen belum bisa memastikan apa yang membuat emosi Raymond berubah-ubah. Namun, jauh dalam lubuk hatinya, Carmen merasa senang. Dia seperti merasakan kehadiran 'Mas Kaizer-nya yang sopan dan manusiawi. Yah, walaupun masa itu dia berinteraksi dengan suaminya hanya lewat pesan, akan tetapi Carmen sangat mengagumi 'Mas Kaize
"Aaah … aku malas banget untuk bangun," gumam Carmen, menyandar pada kepala ranjang sambil mengucek mata. Alarm sudah terdengar, waktunya dia bangun. Namun karena dia sangat kelelahan, Carmen malas bangun. Hanya saja, dia harus bekerja. "Aaaa ...-" Carmen menjerit tertahan, reflek membekap mulut supaya tak berkelanjutan untuk menjerit, dia kaget luar biasa ketika mendongak mendapati Raymond duduk bersila sambil bertopang dagu. Pria itu menghadap ke arahnya dan ada bantal di pangkuan pria itu–tempat ia meletakkan siku yang menopang dagu. "A-aku kaget," ucap Carmen pelan, menatap bingung pada suaminya. "Mas Kaizer kenapa?" "Teka-teki." "Ah, ya ampuuuuun!" keluh Carmen, seketika melototkan tubuh lalu berakhir berbaring ke samping. Nyawa saja belum terkumpul, tetapi suaminya sudah memberi beban pikiran pada Carmen. "Cepatlah, Ura. Waktuku tidak banyak!" tagih pria itu, "jika kau tidak memberiku teka-teki seperti kemarin, aku tidak akan berangkat kerja." 'Kupikir ujian pernikahan
Dia gugup! Sesampainya di dalam kamar, Selin segera membersihkan diri dan menganti pakaian. Setelah itu dia berjalan kikuk ke arah ranjang, di mana Lennon sedang duduk di sana, pria tua yang masih sangat tampan itu sudah mengganti pakaian. "Tuan, apa anda memikirkan sesuatu?" tanya Selin ketika melihat Lennon hanya diam dan termenung. Sebetulnya Selin cukup takut menunjukkan perhatian atau peduli pada pria ini. Pertama kali serta terakhir kali dia melakukannya, Lennon berakhir menyentuhnya. Saat itu-- pria tua bangka menyebalkan ini sepertinya terbawa suasana oleh perhatian Selin, sehingga entah kerasukan apa, pria itu berakhir menidurinya. Selin tak akan pernah melupakan hari itu, akan tetapi dia tak bisa menyalahkan Lennon. Sebab pria ini jelas-jelas meminta izin padanya dan Selin memperbolehkan. Yang ada dipikiran Selin saat itu-- ini kesempatannya membuktikan diri kalau dia masih bersih walau sebelumnya pernah menggoda Raymond. "Duduklah di sini, lebih dekat," ucap Lenno
Namun, tiba-tiba saja Talita berlari ke arah Raymond. Anak kecil itu memeluk kaki Raymond secara erat. "Tuan Lemon, Tata ingin di sini," cicit anak kecil itu, mendongak ke arah Raymond–memandang kakaknya dengan tatapan penuh permohonan. Matanya yang berkaca-kaca membuat hati tersentuh sehingga merasa simpati. "Jangan mengganggu putraku!" Lennon menarik kasar lengan Talita, membuat anak kecil itu tersentak–melepas paksa pelukannya pada kaki kakaknya. Tubuhnya yang kecil begitu mudah ditarik, terhuyung ke belakang dan hampir terjatuh kalau saja Lennon tak menahan tubuhnya. Mendengar nada bentakan itu, Talita menundukkan kepala. Bibirnya melengkung ke bawah dengan manik yang sudah diselimuti kristal bening. Talita ingin menangis tetapi dia tak berani. 'Tuan Lennon hanya menyayangi Raymond, tidak menerima siapapun sebagai anaknya. Bahkan Tuan Lennon lebih menyayangi Carmen dibandingkan Talita yang notabene-nya adalah putri kandungnya. Hanya karena Carmen istri dari putra kesayangan
"Nona muda," pekik para pelayan di rumah itu, berlari berhambur pada Carmen--setelah suasana jauh lebih baik dari yang sebelumnya. Carmen tak tahu apa yang akan Raymond lakukan pada Clarissa, Tiara dan keluarganya yang lain. Dia hanya berharap suaminya tak terlalu kejam. Yah, Tiara, Clarissa telah dibawa oleh para bodyguard–disuruh oleh Raymond. Begitu juga dengan keluarga Wijaya lainnya. Sekarang Carmen lebih tenang, lega karena rumah ini akhirnya menjadi miliknya. Jika bukan karena rumah ini milik mamanya, Carmen tak akan bersikeras memilikinya! "Ibuuu …." Carmen memekik senang, berpelukan pada para maid. Tadi, saat Raymond di sini, Carmen sudah melihat mereka–pelayan di rumahnya. Akan tetapi, mereka terlihat mengintip dari balik tembok, sepertinya takut menghampiri Raymond. Lalu setelah Raymond pergi, mereka langsung berlari ke arah Carmen. "Kami sangat merindukan Nona," ucap kepala maid dengan nada bergetar, terharu karena akhrinya kembali bertemu dengan nonanya. "Aku juga me
"Mas Kaizer!" pekik Carmen, sudah gemetaran karena tak sanggup melihat kekerasan di depan matanya. "Cukup!"Raymond langsung menoleh ke arah istrinya, seketika berdecak karena kesenangannya diganggu oleh Carmen. "Kita sudah sepakat. Jangan menghentikanku, Ura!" peringat Raymond pada istrinya. "Mas Kaizer menyayangiku kan?" cicit Carmen, berkata pelan dan lirih sambil menatap sayu pada Raymond. Raymond berdehem. "Humm. Jadi kau mau apa?" ucap Raymond datar. Dia tak suka Carmen menghentikan kesenangannya akan tetapi dia tak berdaya oleh perkataan dan tatapan Carmen."Cukup usir mereka dari rumah ini, dan … memastikan mereka tidak akan bertemu denganku lagi. Itu saja, Mas," pinta Carmen, tersenyum tipis supaya Raymond luluh dan mendengarkan permintaannya. Carmen sangat ingin Tiara dan Clarissa dikirim ke desa terpencil yang dipenuhi orang-orang budi pekerti dan sederhana. Kehidupan Tiara dan Clarissa selalu bergelimang harta, dengan mengirim mereka ke desa tersebut, keduanya akan ters
"Kau juga harus angkat kaki, Bitch! Rumah ini milik istriku, bukan milikmu, Jalang rendahan!" Suara bariton yang terdengar dingin dan mengintimidasi, mengalun di ruangan tersebut. Clarissa dan orang-orang di sana langsung menoleh ke arah suara tersebut. Clarissa melebarkan mata, menatap terkejut ke arah Raymond dan Carmen. Kedua orang itu tiba-tiba sudah ada di rumah ini, tak hanya berdua akan tetapi membawa banyak bodyguard. "Kalian." Raymond yang tengah merangkul mesra pinggang istrinya, menoleh ke arah kepala bodyguard. Dia ingin menurunkan sebuah perintah penting dan menyenangkan, "usir orang-orang tidak berguna ini.""Baik, Tuan." Kepala bodyguard menganggukkan kepala dengan patuh. Di sisi lain, Clarissa dan Tiara terlihat panik. "Tu-tuan Raymond, to-tolong jangan mengusir kami dari rumah ini." Clarissa mendorong seorang bodyguard yang berniat menyeretnya keluar. Dia segera berlari ke arah Raymond, berhenti tepat di depan pria itu kemudian langsung berlutut, "a-aku dan Mamaku
"Bukan karena cinta ada masanya, tetapi mereka yang tak ingin kau merusak cinta baru dalam kehidupan mereka." Carmen menatap intens pada suaminya, terkesima sekaligus merasa perkataan suaminya ada benarnya. Benar sepertinya, ayahnya takut Carmen merusak kebahagiaan barunya sehingga dia mengurangi cintanya pada Carmen, bahkan tak tersisa sedikitpun. Raymond menangkup pipi istrinya kemudian mendaratkan ciuman singkat di atas bibir ranum Carmen. "Kau mau sesuatu, Sweetheart?" Carmen menggelengkan kepala, akan tetapi detik berikutnya dia menganggukkan kepala. "Aku ingin tidur tetapi aku mau Mas Kaizer mengusap kepalaku sampai aku tertidur." "Humm." "Tidak apa-apa kan, Mas?" tanya Carmen ragu-ragu, "atau … aku merepotkan?" "Tidak sama sekali. Aku suka menyentuh rambutmu, ini sama sekali tidak merepotkan," jawab Raymond, tersenyum lembut agar Carmen berhenti merasa tak enak. Semenjak istrinya hamil, Carmen menjadi lebih perasa, sensitif, dan mudah tersentuh. Oleh sebab itu Ca
"Bukan." "Jadi apa, Mas?" Carmen menatap ragu pada suaminya. "Cinta tak memiliki masa, Sweetheart. Contohnya, cinta ibumu padamu atau cintamu pada ibumu. Bukankah sampai detik ini kau masih mencintai ibu?" Carmen menganggukkan kepala, sampai kapanpun dia tetap akan mencintai mamanya–sosok malaikat yang mengajarkan banyak kebaikan padanya. Meskipun ibunya sudah beda dunia dengannya, akan tetapi cintanya pada sang ibu tak akan pernah pudar. Raymond benar! Cinta ibu pada anaknya sepanjang masa, dan bagi Carmen cintanya pada ibunya juga setiap saat. Hanya saja, kenapa ayahnya tidak? "Tapi, Ayahku … dia seperti melupakanku setelah dia memiliki kehidupan baru. Itu yang disebut cinta yang memiliki masa. Masa dia dengan ibuku, dia mencintaiku, dan masanya dia dengan istri barunya, dia mencintai putri dari istri barunya. Aku dilupakan begitu saja," jelas Carmen. "Aku jadi takut … semisal aku pulang lebih dulu dari Mas Kaizer, dan Mas Kaizer menikah lagi--" Carmen menjeda sejenak, m
"Mas, terimakasih yah, sudah membelaku di hadapan mereka-mereka tadi," ucap Carmen tiba-tiba, saat setelah mereka sampai di rumah–lebih tepatnya dalam kamarnya dan Raymond. Wanita cantik dengan mata bulat itu, menatap suaminya dengan teduh. Seulas senyuman lembut mengukir di bibirnya, memancarkan perasaan bahagia, senang, dan haru. Sepanjang perjalanan pulang, Carmen sudah ingin mengatakan ini pada suaminya–berterimakasih. Namun, rasanya momentnya tidak pas sehingga Carmen memilih menahan diri hingga akhirnya mereka pulang. "Kau tak perlu berterimakasih, Sweethert. Sudah kewajiban ku untuk melindungimu," ucap Raymond, tersenyum tipis pada istrinya. Carmen mendekati Raymond, tanpa disuruh ataupun diminta oleh pria itu, dia duduk di pangkuan Raymond. Hal tersebut membuat Raymond terkejut, karena biasanya harus dialah yang meminta barulah istrinya bersedia duduk di pangkuannya. Itupun-- kerap kali Carmen menolak serta protes. Namun, kali ini Carmen sendiri yang datang padanya. "Aku