"Kau mencintai pria lain?" dingin Raymond, menguatkan cengkeramannya pada lengan Carmen. "Jawab!"
Carmen menggelengkan kepala gugup, kepalanya mendongak untuk menatap Raymond yang jauh lebih tinggi darinya. Carmen ketakutan! Pria ini sangat kasar. "A-aku habis berbicara dengan Teresia, dia bu-bukan seorang pria. Dia perempuan tulen," jawab Carmen buru-buru, nadanya tergesa-gesa dan gugup. Raymond melepaskan cengkeramannya pada lengan Teresia. Dia meraih handphone-nya yang berada di atas nakas untuk memeriksa. "Aku minta maaf mengunakan handphonemu," ucap Carmen sembari mengusap lengannya yang dicengkeram kuat oleh Raymond. Sejujurnya dia kesal pada pria ini, akan tetapi Carmen takut untuk mengekspresikan rasa kesalnya. Raymond menoleh tajam pada Carmen, meletakkan handphone kembali ke atas nakas. "Aku minta maaf mengunakan handphone Mas Kaizer," ulang Carmen, gugup bercampur takut karena tatapan Raymond yang begitu tajam. Dia yakin sekali Raymond pasti marah karena handphonenya dipegang oleh Carmen. Bagaimanapun handphone itu privasi seseorang. Namun anehnya, ekspresi marah Raymond langsung hilang. Pria ini bahkan tersenyum lembut padanya. Aneh! "Humm." Raymond berdehem singkat, mengulurkan tangan untuk mengusap rambut pada pucuk kepala Carmen. Carmen memperhatikan perubahan ekspresi pria ini, raut mukanya tampak konyol–campuran takut dan bingung sebab merasa aneh pada Raymond. Tadi, pria ini marah tetapi sekarang tersenyum lembut padanya. Raymond sepertinya psychophat! "Maafkan aku," ucap Raymond, semakin membuat Carmen merasa aneh. Kenapa pria ini mendadak meminta maaf padanya? Carmen menunjuk diri sendiri, kemudian menoleh ke sana kemari. Aneh saja rasanya. Raymond meminta maaf tanpa ada sebab. "Humm." Raymond menganggukkan kepala. Dia kemudian menarik Carmen dalam pelukannya, mengusap pucuk kepala Carmen lalu mendaratkan kecupan di sana. "Aku salah menilaimu. Maaf …." "O-okey." Carmen mangut-mangut. "Istriku perempuan baik, seharusnya aku tidak meragukannnya," lanjut Raymond. Lagi-lagi Carmen hanya menganggukkan kepala, tak tahu harus merespon apa karena dia tak paham apa yang Raymond bicarakan. Raymond tiba-tiba mengangkup pipinya, menundukkan kepala sehingga membuat Carmen reflek memejamkan mata. Dia takut dicium oleh Raymond. Raymond menyunggingkan smirk tipis, lucu melihat Carmen memejamkan mata. Cup' Raymond menempelkan bibirnya di atas bibir Carmen. Setelah itu menghujani wajah perempuan tersebut dengan kecupan ringan darinya. "Sekarang, kau satu-satunya keluargaku dan aku tak akan melepasmu," ucap Raymond, menarik Carmen kembali dalam dekapannya. Carmen hanya diam dalam pelukan Raymond. Dia tidak mengerti kenapa Raymond menyebut dia satu-satunya keluarga pria ini. Raymond masih punya ayah. Dia masih punya keluarga! Yang benar, Carmen lah seharusnya yang mengatakan hal tersebut pada Raymond. Karena … hanya Raymond, suaminya, satu-satunya keluarga dan harapan Carmen. *** Carmen bangun dan tak menemukan Raymond berada di sebelahnya. Sebenarnya Carmen tak peduli, malah senang karena dengan begini dia tak harus menghadapi Raymond di pagi ini. "Ahgk." Carmen meringis pelan, merasa sakit ada bagian bawah tubuhnya. Tadi malam, Raymond kembali menyentuhnya. "Dia pasti hyper!" gumam Carmen pelan, kesal pada Raymond. Raymond pria yang panas dan sangat menggoda. Tetapi sisi buruknya, dia-- ck, Carmen tidak bisa jika harus melayani nafsu pria itu sepanjang waktu. Carmen menoleh ke arah tubuhnya, menatap sebuah piyama kebesaran yang membungkus tubuhnya. Ini piyama milik Raymond. "Ouh, iya. Hari ini aku kan ingin bertemu dengan Teresia. Aku harus cepat-cepat bergegas," monolognya, kembali bersemangat karena mengingat kalau hari ini Teresia--sahabatnya, akan bertemu dengannya. Setelah mandi dan berganti pakaian, Carmen keluar dari kamar. Dia berjalan menuju lantai bawah, terlihat riang karena hari ini dia akan menemui sahabatnya. Sebetulnya Carmen cukup deg deg kan, takut Raymond tidak mengizinkannya untuk ke luar rumah. "Raymond sayang, percayalah padaku. Aku tidak tidur dengannya. Aku menjaga diriku untukmu." Mendengar suara itu, Carmen menghentikan langkah. Dia mendekat ke sumber suara tersebut–pada sebuah ruangan yang cukup luas dan nyaman. Carmen mengintip dari balik tembok, ingin melihat siapa yang berbicara. Mata Carmen melebar dan jantung berdegup kencang. Raymond sedang bersama seorang perempuan, dan perempuan itu memeluk mesra lengan Raymond. "Aku tidak percaya, Selin," jawab Raymond, mengulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala perempuan itu. Namun, tangannya berhenti di udara saat menangkap bayangan seseorang dari balik tembok. Raymond menarik tangannya dan tak jadi mengusap pucuk kepala Selin. "Ji-jika kamu tak percaya, kita bisa melakukannya. Aku akan menyerahkan tubuhku padamu. Bagaimana?" Selin meyakinkan Raymond. "Bagaimana jika kau bunuh suamimu untukku, Selin? Dengan begitu, aku akan mempercayaimu," ucap Raymond, tersenyum manis pada Selin. Dia mendorong agar Selin menjauh darinya lalu berdiri sembari berjalan menuju pembatas ruang. "Apa?!" Selin terkejut mendengar ucapan Raymond. "Ta-tapi dia ayah kandungmu, Raymond. Dan bagaimana mungkin kamu berniat membunuh ayah kandungmu sendiri?" Raymond menghentikan langkahnya–Carmen memanfaatkan untuk segera kabur dari sana. Gila! Apa yang dia dengar sangat gila! "Bukan aku, tetapi kau lah yang akan membunuhnya," jawab Raymond, menoleh sejenak pada Selin, "pulanglah. Aku ada urusan," lanjutnya, kembali melangkahkan kaki untuk melihat siapa di balik tembok. Namun, sayangnya orang tersebut sudah tak ada. Akan tetapi, Raymond tahu siapa penguping itu. Dengan wajah dingin dan tatapan tajam, dia segera beranjak dari sana, mencari-cari kemana penguping kecil itu bersembunyi. *** "Ya ampun!" Carmen menepuk-nepuk pipi, masih tak menyangka dengan apa yang dia dengar tadi. Saat ini dia sudah keluar dari rumah tersebut, berniat menemui temannya. Dia membawa handphone Raymond karena pria itu memberikan handphone ini pada Carmen. Mengenai handphone milik Carmen, Raymond mengaku telah menghancurkannya. Awalnya Carmen sedih karena handphone itu pemberian papanya. Akan tetapi karena Raymond menggantinya dengan handphonenya sendiri–jauh lebih bagus dan keluarga baru juga, Carmen menahan kekesalannya. "Dia ingin membunuh Papanya sendiri. Di-dia benar-benar Mas Kaizer yang menikahiku atau orang lain yah? Dia sangat berbeda dengan Mas Kaizer yang kukenal." Carmen terus bermonolog sendiri, berjalan ke arah sebuah cafe yang akan menjadi tempat ia dan Teresia bertemu, "walau aku hanya mengenalnya lewat pesan, tetapi Mas Kaizer terlihat baik. Dia suami yang perhatian dan … selalu mengirim ku pesan sebelum tidur. Ck, sangat berbeda dengan Raymond." "Carmen." Mendengar namanya dipanggil, Carmen langsung mendongak. Matanya melebar penuh kegembiraan, melihat ke arah sosok perempuan yang melambaikan tangan padanya. Dia adalah Teresia, sahabat Carmen. "Teresia," seru Carmen, berlari kecil ke arah Teresia. Keduanya berpelukan dan melompat kecil karena akhirnya bertemu kembali setelah sekian lama tak berjumpa. Tanpa Carmen ketahui, sejak tadi seseorang terus mengikutinya dan memperhatikannya dari kejauhan. "Tuan, apa saya perintahkan bodyguard untuk menjemput Nyonya Ura ke sana?" tanya Diego, menoleh ke arah belakang, di mana Raymond duduk di kursi penumpang. Yah, mereka dalam mobil. Terus mengikuti kemana Carmen melangkah. "Tidak perlu. Perempuan itu tidak berbahaya," jawab Raymond tenang, tanpa melepas pandangannya dari Carmen. *** Carmen pulang ke rumah Raymond, setelah hari sudah malam. Dia kebablasan dan lupa waktu karena terlalu senang bertemu dengan Teresia. Setelah mendapatkan pekerjaan di sebuah hotel–tempat Teresia bekerja, sahabatnya tersebut mengajaknya berkeliling kota. Carmen sangat gembira sehingga dia lupa kalau hari sudah malam dan dia tinggal di rumah suaminya. Carmen mengendap-endap, takut Raymond melihatnya lalu memarahinya. Sempat terbesit di otak Carmen untuk kabur, saking takutnya dia kembali ke rumah ini karena terlambat pulang. Namun, Raymond tiba-tiba menghubunginya, bertanya padanya apakah Carmen ingin pulang sendiri atau dijemput oleh Raymond. "Tidak ada dia di sini," gumam Carmen pelan, mengendap-endap di tembok sembari mengintip ke arah ruang keluarga yang luas. Dia melakukan itu untuk memastikan apakah Raymond ada di sana atau tidak. "Hah, syukurlah," gumamnya lagi. "Kau sedang apa di sini, Ura?" Tiba-tiba saja suara dingin mengalun dari belakang tubuhnya, membuat Carmen tersentak kaget dan melompat kecil–efek terkejut. "Aaa …." Carmen menjerit pelan. Setelah melihat siapa yang mengejutkannya, Carmen langsung mengelus dada sembari nyengir kaku. "Kenapa harus mengintip dahulu? Langsung masuk saja, Ura," ucap Raymond kembali, tersenyum tipis pada Carmen. 'Dia tidak marah?' batin Carmen, bingung bercampur gugup. Carmen lagi-lagi menunjukan cengiran pada Raymond lalu segera beranjak dari sana. Namun, dia masih tidak aman! Dia berjalan gelisah dan dengan mata sedikit membulat karena panik. Raymond mengikutinya, berjalan tepat di belakang Carmen. Setelah dalam kamar, Raymond ikut masuk dan langsung menutup pintu. Tiba-tiba dia menarik Carmen ke arah ranjang, mendorong perempuan itu sehingga terjatuh dan berakhir berbaring di atas kasur. Raymond mengambil posisi di atas tubuh Carmen, menyunggingkan smirk tipis sembari memainkan rambut halus dan panjang istrinya. Carmen yang gugup dan takut, memilih memalingkan wajah–tak ingin menatap wajah Raymond.Carmen yang gugup dan takut, memilih memalingkan wajah–tak ingin menatap wajah Raymond. "Coba ceritakan, apa yang kau dengar dari balik tembok saat tadi pagi, Wifey," ucap Raymond dengan nada berat dan rendah. Suaranya serak dan seksi, tetapi bagi Carmen itu sangat horor. Buktinya dia merinding mendengarnya! Mata Carmen melebar, jantungnya berpacu kencang dan tubuhnya panas dingin. Raymond tahu dia menguping?! Habislah dia! "A-aku tidak dengar apa-apa. Aku hanya melihatmu bersama seorang perempuan," ucap Carmen gugup. "Kalau kamu suka padanya, kenapa tidak menikahinya?" lanjut Carmen. "Dia ibu tiriku," jawab Raymond santai, mengigit pelan daun telinga Carmen lalu meniupnya secara sensual. Carmen memejamkan mata, bukan karena menikmati apa yang pria ini lakukan padanya. Tetapi lebih tepatnya karena merinding dan tak nyaman. 'Fix, dia memang gila. Dia berselingkuh dengan ibu tirinya sendiri dan bahkan menyuruh ibu tirinya mengbunuh ayah kandungnya. Tuhan! Sudah benar
"Apa?" Carmen memekik kaget, tak menduga kalau suaminya adalah mantan chef hebat. "Pelankan suaramu, Carmen," bisik Teresia, meringis karena Carmen tiba-tiba memekik dan sekarang semua orang menoleh pada Carmen. Carmen menutup mulut sendiri, cukup kikuk karena semua orang saat ini sedang memperhatikannya. Carmen semakin gelisah karena dia telah dilihat oleh Raymond. Namun, entah kenapa, pria itu melayangkan tatapan marah dan dingin padanya. Apa kesalahan yang Carmen lakukan? Tidak ada bukan?! "Ambilkan seragam kokiku," titah Raymond pada Diego, nadanya dingin dan datar–terus menatap ke arah sosok perempuan yang terlihat menunduk dalam, berdiri di belakang seorang pria. Cara perempuan itu bersembunyi di balik tubuh pria tersebut, seperti sedang mencari perlindungan. Apakah Raymond menakutkan baginya? Raymond terus menatap, menunggu Carmen mendongak dan melihat ke arahnya. Akan tetapi, perempuan memilih terus menunduk, sepertinya tak ingin dikenali oleh Raymond. Setelah
"Bagiamana dengan ini, Mas?" tanya Carmen, keceplosan memanggil 'mas pada Raymond. Untung suaranya pelan. Raymond menoleh pada istrinya, lalu menatap udang yang telah Carmen bersihkan. "Sudah rapi tetapi kau memakan waktu cukup lama hanya untuk membersihkan satu udang, Sweetheart," jawab Raymond dengan nada bersahabat dan hangat. Carmen dibuat menganga karena perubahan nada bicara Raymond. Dia terkejut! Sebelumnya Raymond terkesan dingin dan ketus, tetapi mendadak sangat lembut. Suaranya yang berat dan hangat, menyapa kalbu dengan mesra. Carmen dibuat terkesima. Carmen lagi-lagi merasa kalau Raymond ini aneh. Emosi pria ini mudah berubah-ubah. Sayang sekali, Carmen belum bisa memastikan apa yang membuat emosi Raymond berubah-ubah. Namun, jauh dalam lubuk hatinya, Carmen merasa senang. Dia seperti merasakan kehadiran 'Mas Kaizer-nya yang sopan dan manusiawi. Yah, walaupun masa itu dia berinteraksi dengan suaminya hanya lewat pesan, akan tetapi Carmen sangat mengagumi 'Mas Kaize
"A-aku tidak mengenalmu! Lep-lepaskan aku …." Carmen menjerit pada seorang pria yang saat ini berada di atas tubuhnya. Pria tersebut berniat melepas pakaian yang membungkus tubuh Carmen. "Ti-tidak!" Carmen menggelengkan kepala, suaranya bergetar hebat dan air mata jatuh deras. Dia ketakutan, punggung sudah panas dingin dan tubuh terasa membeku. Pria ini berhasil melepas bajunya–di mana kini Carmen hanya mengenakan bra hitam. Perut mulusnya diraba oleh pria tersebut–menatap Carmen penuh letupan gairah, sembari menyunggingkan smirk yang mengerikan. Tangan pria dewasa tersebut naik ke atas undukan indah Carmen, membuat Carmen semakin takut dan terus menangis. "Ja-jangan … hiks … jangan …." Carmen memohon sembari menyingkirkan tangan pria itu dari atas undukan indahnya. Dia berhasil menjauhkan tangan pria itu akan tetapi tindakan pria tersebut semakin jauh. Pria itu menelusup pada ceruk leher Carmen, lalu mencium kulit leher Carmen secara rakus. Carmen benar-benar geli, jijik dan kot
Raymond Kaizer Abraham (33 tahun) pergi ke kota istrinya yang ia tinggalkan lima tahun lalu, bukan untuk menjemputnya melainkan untuk menceraikannya. Lima tahun yang lalu, atas permintaan kakeknya, Raymond menikahi gadis remaja bernama Carmen Gaura Wijaya. Di mana saat itu gadis tersebut masih berusia tujuh belas tahun (satu bulan sebelum memasuki usia 18 tahun). Sebetulnya gadis yang harus dia nikahi bernama Clarissa Wijaya. Akan tetapi entah kenapa saat saat mendekati hari pernikahan, gadis yang ia nikahi bertukar nama menjadi Carmen. Sebelumnya, Raymond memang tak pernah bertemu dengan Clarissa atau Carmen. Dia lumpuh dan dia enggan keluar rumah. Saat menikahi Carmen, sejujurnya Raymond berniat membatalkannya karena merasa ditipu. Hell! Bagaimana bisa dia menikah dengan anak kecil yang masih ingusan?! Dia tidak terima! Namun, dia mengurungkan niat karena terpaku melihat Carmen yang terus saja menunduk dan menangis. Satu yang terlintas di pikiran Raymond, Carmen masih polos da
"Bagaimana bisa kau lupa pada suamimu sendiri, Ura?" dingin Raymond, melayangkan tatapan tajam dan membunuh pada perempuan yang duduk di pangkuannya. Carmen menoleh padanya, mendongak untuk menatapnya. 'Ura? Siapa Ura? Bapak ini pasti salah orang,' batin Carmen. Dia sempat mengira pria ini mungkin suaminya, karena beberapa kali pria ini memangilnya istri. Carmen memang tak mengenal suaminya karena dia tidak pernah bertemu dengan suaminya sebelum menikah. Lagipula, dia saja tak menyangka jika dia lah yang akan menikah dengan Kaizer–suaminya, karena sebelumnya Kaizer dijodohkan dengan kakaknya. Namun, saat tiga hari sebelum menikah, Clarissa melakukan sesuatu yang membuat Carmen berakhir menggantikannya menikah dengan tuan muda dari keluarga Abraham. Carmen hanyalah pengantin pengganti yang tak pernah direncanakan.Saat menikah, kondisi mata Carmen saat itu minus 4. Dia tak mengenakan kaca mata ataupun soflen, ditambah dia terus menangis saat itu, sehingga dia tidak bisa melihat jel
"Raymond Kaizer Abraham. Your husband." Deg deg deg Carmen reflek menegakkan tubuh, berdiri kaku dan sedikit mendongak untuk dapat menatap wajah tampan Raymond. Ekspresi Carmen terkejut, matanya membulat sempurna dan bibir sedikit terbuka. Raymond Kaizer Abraham. Dia suami Carmen? Pria yang menodainya-- adalah suaminya sendiri?! Melihat Carmen hanya bengong, Raymond meraih tangan istrinya. Setelah berjabat tangan dengan Carmen, Raymond menarik tangan perempuan itu sehingga Carmen berakhir menabrak dada bidangnya. Carmen mendongak sepenuhnya pada Raymond, dia mengabaikan rasa sakit di kening akibat keningnya menabrak dada bidang nan kokoh milik pria ini. "Sekarang kau mengenalku, Ura?" Raymond berucap rendah, nadanya berat dan serak. Terkesan seksi akan tetapi membuat Carmen gugup sekujur tubuh. Carmen tak mengatakan apa-apa, hanya bengong karena tak tahu harus bersikap bagaimana. Pria yang menodainya adalah suaminya sendiri. Bagaimana bisa sosok yang ia kagumi ternyata
'Layani aku kapanpun aku menginginkanmu.' Ucapan Raymond tersebut terus menggema di kepala Carmen. Namun, saat itu, dia menjawab 'aku lapar dan aku mau makan.' Sialan! Padahal waktu itu Carmen ingin membantah ucapan Raymond, akan tetapi karena dia terlalu lapar dan kepalanya hanya dipenuhi oleh makanan, Carmen sulit berkonsentrasi. "Jadi aku akan tinggal di rumah ini? Aku akan menjadi istri Mas Kaizer selamanya?" gumam Carmen. Dia habis berkeliling mansion mewah Kaizer, setelah sebelumnya dia makan dengan begitu banyak. "Yah, untuk saat ini, lebih baik aku tinggal dengannya. Lumayan, aku dapat tempat tinggal dan makanan gratis. Tapi aku harus mencari pekerjaan dan mengumpulkan uang untuk membalas perbuatan Tiara dan Clarissa. Juga pada Nicolas dan … seluruh keluarga Wijaya yang meremehkanku," ucap Carmen, bermonolog sendiri, penuh keyakinan dan semangat yang menggebu-gebu. Meskipun peretemuannya dengan suaminya sangat buruk dan mengerikan. Akan tetapi Carmen menganggapnya sebagai
"Bagiamana dengan ini, Mas?" tanya Carmen, keceplosan memanggil 'mas pada Raymond. Untung suaranya pelan. Raymond menoleh pada istrinya, lalu menatap udang yang telah Carmen bersihkan. "Sudah rapi tetapi kau memakan waktu cukup lama hanya untuk membersihkan satu udang, Sweetheart," jawab Raymond dengan nada bersahabat dan hangat. Carmen dibuat menganga karena perubahan nada bicara Raymond. Dia terkejut! Sebelumnya Raymond terkesan dingin dan ketus, tetapi mendadak sangat lembut. Suaranya yang berat dan hangat, menyapa kalbu dengan mesra. Carmen dibuat terkesima. Carmen lagi-lagi merasa kalau Raymond ini aneh. Emosi pria ini mudah berubah-ubah. Sayang sekali, Carmen belum bisa memastikan apa yang membuat emosi Raymond berubah-ubah. Namun, jauh dalam lubuk hatinya, Carmen merasa senang. Dia seperti merasakan kehadiran 'Mas Kaizer-nya yang sopan dan manusiawi. Yah, walaupun masa itu dia berinteraksi dengan suaminya hanya lewat pesan, akan tetapi Carmen sangat mengagumi 'Mas Kaize
"Apa?" Carmen memekik kaget, tak menduga kalau suaminya adalah mantan chef hebat. "Pelankan suaramu, Carmen," bisik Teresia, meringis karena Carmen tiba-tiba memekik dan sekarang semua orang menoleh pada Carmen. Carmen menutup mulut sendiri, cukup kikuk karena semua orang saat ini sedang memperhatikannya. Carmen semakin gelisah karena dia telah dilihat oleh Raymond. Namun, entah kenapa, pria itu melayangkan tatapan marah dan dingin padanya. Apa kesalahan yang Carmen lakukan? Tidak ada bukan?! "Ambilkan seragam kokiku," titah Raymond pada Diego, nadanya dingin dan datar–terus menatap ke arah sosok perempuan yang terlihat menunduk dalam, berdiri di belakang seorang pria. Cara perempuan itu bersembunyi di balik tubuh pria tersebut, seperti sedang mencari perlindungan. Apakah Raymond menakutkan baginya? Raymond terus menatap, menunggu Carmen mendongak dan melihat ke arahnya. Akan tetapi, perempuan memilih terus menunduk, sepertinya tak ingin dikenali oleh Raymond. Setelah
Carmen yang gugup dan takut, memilih memalingkan wajah–tak ingin menatap wajah Raymond. "Coba ceritakan, apa yang kau dengar dari balik tembok saat tadi pagi, Wifey," ucap Raymond dengan nada berat dan rendah. Suaranya serak dan seksi, tetapi bagi Carmen itu sangat horor. Buktinya dia merinding mendengarnya! Mata Carmen melebar, jantungnya berpacu kencang dan tubuhnya panas dingin. Raymond tahu dia menguping?! Habislah dia! "A-aku tidak dengar apa-apa. Aku hanya melihatmu bersama seorang perempuan," ucap Carmen gugup. "Kalau kamu suka padanya, kenapa tidak menikahinya?" lanjut Carmen. "Dia ibu tiriku," jawab Raymond santai, mengigit pelan daun telinga Carmen lalu meniupnya secara sensual. Carmen memejamkan mata, bukan karena menikmati apa yang pria ini lakukan padanya. Tetapi lebih tepatnya karena merinding dan tak nyaman. 'Fix, dia memang gila. Dia berselingkuh dengan ibu tirinya sendiri dan bahkan menyuruh ibu tirinya mengbunuh ayah kandungnya. Tuhan! Sudah benar
"Kau mencintai pria lain?" dingin Raymond, menguatkan cengkeramannya pada lengan Carmen. "Jawab!" Carmen menggelengkan kepala gugup, kepalanya mendongak untuk menatap Raymond yang jauh lebih tinggi darinya. Carmen ketakutan! Pria ini sangat kasar. "A-aku habis berbicara dengan Teresia, dia bu-bukan seorang pria. Dia perempuan tulen," jawab Carmen buru-buru, nadanya tergesa-gesa dan gugup. Raymond melepaskan cengkeramannya pada lengan Teresia. Dia meraih handphone-nya yang berada di atas nakas untuk memeriksa. "Aku minta maaf mengunakan handphonemu," ucap Carmen sembari mengusap lengannya yang dicengkeram kuat oleh Raymond. Sejujurnya dia kesal pada pria ini, akan tetapi Carmen takut untuk mengekspresikan rasa kesalnya. Raymond menoleh tajam pada Carmen, meletakkan handphone kembali ke atas nakas. "Aku minta maaf mengunakan handphone Mas Kaizer," ulang Carmen, gugup bercampur takut karena tatapan Raymond yang begitu tajam. Dia yakin sekali Raymond pasti marah karena han
'Layani aku kapanpun aku menginginkanmu.' Ucapan Raymond tersebut terus menggema di kepala Carmen. Namun, saat itu, dia menjawab 'aku lapar dan aku mau makan.' Sialan! Padahal waktu itu Carmen ingin membantah ucapan Raymond, akan tetapi karena dia terlalu lapar dan kepalanya hanya dipenuhi oleh makanan, Carmen sulit berkonsentrasi. "Jadi aku akan tinggal di rumah ini? Aku akan menjadi istri Mas Kaizer selamanya?" gumam Carmen. Dia habis berkeliling mansion mewah Kaizer, setelah sebelumnya dia makan dengan begitu banyak. "Yah, untuk saat ini, lebih baik aku tinggal dengannya. Lumayan, aku dapat tempat tinggal dan makanan gratis. Tapi aku harus mencari pekerjaan dan mengumpulkan uang untuk membalas perbuatan Tiara dan Clarissa. Juga pada Nicolas dan … seluruh keluarga Wijaya yang meremehkanku," ucap Carmen, bermonolog sendiri, penuh keyakinan dan semangat yang menggebu-gebu. Meskipun peretemuannya dengan suaminya sangat buruk dan mengerikan. Akan tetapi Carmen menganggapnya sebagai
"Raymond Kaizer Abraham. Your husband." Deg deg deg Carmen reflek menegakkan tubuh, berdiri kaku dan sedikit mendongak untuk dapat menatap wajah tampan Raymond. Ekspresi Carmen terkejut, matanya membulat sempurna dan bibir sedikit terbuka. Raymond Kaizer Abraham. Dia suami Carmen? Pria yang menodainya-- adalah suaminya sendiri?! Melihat Carmen hanya bengong, Raymond meraih tangan istrinya. Setelah berjabat tangan dengan Carmen, Raymond menarik tangan perempuan itu sehingga Carmen berakhir menabrak dada bidangnya. Carmen mendongak sepenuhnya pada Raymond, dia mengabaikan rasa sakit di kening akibat keningnya menabrak dada bidang nan kokoh milik pria ini. "Sekarang kau mengenalku, Ura?" Raymond berucap rendah, nadanya berat dan serak. Terkesan seksi akan tetapi membuat Carmen gugup sekujur tubuh. Carmen tak mengatakan apa-apa, hanya bengong karena tak tahu harus bersikap bagaimana. Pria yang menodainya adalah suaminya sendiri. Bagaimana bisa sosok yang ia kagumi ternyata
"Bagaimana bisa kau lupa pada suamimu sendiri, Ura?" dingin Raymond, melayangkan tatapan tajam dan membunuh pada perempuan yang duduk di pangkuannya. Carmen menoleh padanya, mendongak untuk menatapnya. 'Ura? Siapa Ura? Bapak ini pasti salah orang,' batin Carmen. Dia sempat mengira pria ini mungkin suaminya, karena beberapa kali pria ini memangilnya istri. Carmen memang tak mengenal suaminya karena dia tidak pernah bertemu dengan suaminya sebelum menikah. Lagipula, dia saja tak menyangka jika dia lah yang akan menikah dengan Kaizer–suaminya, karena sebelumnya Kaizer dijodohkan dengan kakaknya. Namun, saat tiga hari sebelum menikah, Clarissa melakukan sesuatu yang membuat Carmen berakhir menggantikannya menikah dengan tuan muda dari keluarga Abraham. Carmen hanyalah pengantin pengganti yang tak pernah direncanakan.Saat menikah, kondisi mata Carmen saat itu minus 4. Dia tak mengenakan kaca mata ataupun soflen, ditambah dia terus menangis saat itu, sehingga dia tidak bisa melihat jel
Raymond Kaizer Abraham (33 tahun) pergi ke kota istrinya yang ia tinggalkan lima tahun lalu, bukan untuk menjemputnya melainkan untuk menceraikannya. Lima tahun yang lalu, atas permintaan kakeknya, Raymond menikahi gadis remaja bernama Carmen Gaura Wijaya. Di mana saat itu gadis tersebut masih berusia tujuh belas tahun (satu bulan sebelum memasuki usia 18 tahun). Sebetulnya gadis yang harus dia nikahi bernama Clarissa Wijaya. Akan tetapi entah kenapa saat saat mendekati hari pernikahan, gadis yang ia nikahi bertukar nama menjadi Carmen. Sebelumnya, Raymond memang tak pernah bertemu dengan Clarissa atau Carmen. Dia lumpuh dan dia enggan keluar rumah. Saat menikahi Carmen, sejujurnya Raymond berniat membatalkannya karena merasa ditipu. Hell! Bagaimana bisa dia menikah dengan anak kecil yang masih ingusan?! Dia tidak terima! Namun, dia mengurungkan niat karena terpaku melihat Carmen yang terus saja menunduk dan menangis. Satu yang terlintas di pikiran Raymond, Carmen masih polos da
"A-aku tidak mengenalmu! Lep-lepaskan aku …." Carmen menjerit pada seorang pria yang saat ini berada di atas tubuhnya. Pria tersebut berniat melepas pakaian yang membungkus tubuh Carmen. "Ti-tidak!" Carmen menggelengkan kepala, suaranya bergetar hebat dan air mata jatuh deras. Dia ketakutan, punggung sudah panas dingin dan tubuh terasa membeku. Pria ini berhasil melepas bajunya–di mana kini Carmen hanya mengenakan bra hitam. Perut mulusnya diraba oleh pria tersebut–menatap Carmen penuh letupan gairah, sembari menyunggingkan smirk yang mengerikan. Tangan pria dewasa tersebut naik ke atas undukan indah Carmen, membuat Carmen semakin takut dan terus menangis. "Ja-jangan … hiks … jangan …." Carmen memohon sembari menyingkirkan tangan pria itu dari atas undukan indahnya. Dia berhasil menjauhkan tangan pria itu akan tetapi tindakan pria tersebut semakin jauh. Pria itu menelusup pada ceruk leher Carmen, lalu mencium kulit leher Carmen secara rakus. Carmen benar-benar geli, jijik dan kot