“Cape? Mau makan apa? Saya traktir hari ini.”Andhira menatap Arsenio dengan mata yang berbinar, dan mengangguk, “Iya nihh, banyak banget pengunjungnya. Padahal bukan weekend.”Arsenio tersenyum, menoleh sekilas, “Itu café baru, Andhira. Jadi, wajar sih kalau pengunjungnya banyak. Ini udah kedua kalinya ya kamu bantu-bantu di café saya?”Andhira mengangguk, “Seru, Mas. Jadi, saya punya kegiatan lain di luar kampus, bahkan gak ada kaitannya sama kuliah.”“Cita-cita kamu apa sih kalau saya boleh tau?” tanya Arsenio, di sela-sela menyetirnya. Sedangkan Andhira hanya bergumam, menatap Arsenio yang sedang mengemudi.“Cita-cita saya? Banyak duit, punya keluarga yang utuh, dan saling ngertiin satu sama lain,” jawab Andhira tidak serius, diakhiri dengan tertawa. Hal itu membuat Arsenio bergumam, tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh Andhira.“Mau makan dimana? Di rumah saya aja gimana? Nanti saya masakin.”Andhira menoleh, menatap Arsenio yang sedang menatapnya. Keduanya terpaku selama beb
“Amandaa, besok tante Andhira bakalan dateng lagi, kok.”Amanda menggeleng, mengabaikan Arsenio yang mencoba membujuknya untuk mengijinkan Andhira pulang. Mbak Maya mengangkat kedua tangan ke udara saat Arsenio menatapnya, dirinya yang sudah merawat dari bayi saja tidak bisa membujuk.“Gak boleh. Lagian yaa, kalian berdua nyembunyiin apa dari aku?” tanya Amanda menatap Arsenio dan Andhira silih berganti, sedangkan baik Arsenio maupun Andhira hanya saling melempar pandang satu sama lain.Andhira menghela nafas, menyamakan tingginya dengan Amanda, merapihkan helai rambut Amanda yang menutupi sebagian wajah Amanda, “Ini udah malem, Mamih aku udah nelfonin dari tadi. Besok aku ke sini lagi kok.”Amanda menggeleng tegas, “Gak boleh. Tante harus jawab pertanyaan aku dulu. Apa yang Papih tawarin ke tante sampe gak mau bilang aku.”“Bukan apa-apa, tapi nanti bikin aku malu. Jangan yaa. Tanya yang lain aja, nanti aku jawab,” ucap Andhira dengan lembut, lalu tersenyum.“Oke aku ganti pertanyaa
“Dua hari kedepan, Mamih harus ke luar kota. Kamu mau ikut? Atau di sini?”Andhira menaikkan sebelah alisnya setelah mendengarkan pertanyaan dari Mamih, kalau memang hanya dirinya saja yang di sini, lebih baik dia tidak ada di sini.“Aku di sini aja. Di rumah Papih maksudnya. Lagian nih yaa, kalau aku di sini, gak ada Mamih, jadi buat apa aku di sini? Kan aku nemenin Mamih, kalau Mamih aja ke luar kota, aku nungguin rumah dong?”Mamiih mengangguk, tidak keberatan dengan keinginan yang Andhira ucapkan baru saja. Dia tersenyum, lalu berkata, “Oke. Mamih anter ke rumah Papih.”Andhira tersenyum manis, dan segera bangkit untuk pergi ke kamarnya, tidak perlu membawa pakaian, karena di rumah Papih sudah banyak pakaiannya. Dirinya hanya akan berganti pakian, dan membereskan alat elektronik seperti laptop.“Walaupun di rumah Papih sepi, tapi di sana masih bebas untuk bertemu dengan siapapun, termasuk mas Arsen,” ucap Andhira tanpa sadar, kemudian beberapa detik dirinya menggeleng, “Eh kokk
“Eh kok tau kalau saya di sini?”Andhira menatap Arsenio yang berdiri dihadapannya saat ini, sedangkan Arsenio tersenyum manis dan bergumam.“Papih kamu yang ngasih tau ke saya, Andhira,” jawab Arsenio, diangguki oleh Andhira.“Saya baru aja mau nelfon Reno buat minta tolong nganterin ke rumah mas Arsen, biar dia main sama Amanda,” ucap Andhira, diakhiri dengan terkekeh.Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kenapa harus Reno? Saya kan bilang ke kamu, kamu dilarang pergi tanpa pamit, dan tanpa ijin dari saya. Kamu tidak lupa sama perjanjian, kan?”Andhira menatap Arsenio dengan senyum gemas, “Di dalam surat perjanjian, saya boleh berinteraksi dengan Reno. Kalaupun saya minta ijin sama mas Arsenio, alasan apa yang membuat mas Arsenio gak mengijinkan?”“Saya papihnya Amanda, jadi yang berkaitan dengan Amanda, harus ijin dari saya. Lagian, saya juga bebas dong mengijinkan kamu atau tidak?”Andhira berdecak, lalu bersidekap dada, “Semakin lama, semakin menyebalkan ya, Mas. Rasanya mau aku
“ANDHIRA AWAS!”Reno menarik Andhira, membuatnya terjatuh karena dorongan dari Andhira. Kini, posisinya Andhira menindih Reno yang mengerjapkan kedua matanya, dan hanya menatap satu sama lain. Hingga akhirnya, sebuah tarikan membuat Andhira berdiri.“Kamu mau ngapain sama Reno?” tanya Arsenio saat Andhira menatapnya dengan wajah terkejut. Sedangkan Reno segera bangkit, tidak lupa membersihkan kemejanya yang terkena debu.“Andhira hampir mau ketabrak motor, Pak. Jadinya saya tarik, terus saya gak seimbang. Ini salah saya, jangan marahin Andhira,” jelas Reno dengan sopan, dirinya mengetahui, bahkan menyadari Dosen PAnya ini sedang cemburu.“Bukan salah Reno, Pak. Ini salah saya, karena gak hati-hati pas mau nyebrang tadi,” timpal Andhira, bertolak dengan pernyataann yang diberikan oleh Reno.Arsenio menatapp Reno dan Andhira silih berganti, dua pernyataan yang berbeda, membuatnya bingung harus percaya dengan siapa. Beberapa detik kemudian, atensinya hanya terfokus kepada Andhira.“Ka
“Bisa ikut saya? Ada yang mau saya kasih ke kamu.”Andhira yang baru keluar dari ruangan pun menoleh dengan wajah terkejut, kehadiran Arsenio membuatnya harus banyak-banyak bersabar dan sering ke dokter untuk mengecek jantungnya, sehat atau tidak.“Pak, bisa gak sih kalau nongol itu yang lembut? Jangan tiba-tiba hadir kaya gini dong, berasa ditagih hutang kalau bikin jantungan.”Arsenio bergumam, lalu menautkan jemarinya dengan Andhira. Dia menarik lembut Andhira untuk menjauh. Sedangkan Darwis yang melihatnya hanya menaikkan sebelah alis, dan mengendikkan kedua bahunya.“Mau kemana sih, Pak? Jangan bikin saya menyumpah serapah pak Arsen yaa, karena tiba-tiba nyulik saya,” tanya Andhira dengan menggebu-gebu.Arsenio hanya bergeming, dan membuka pintu mobil penumpang untuk Andhira. Andhira hanya bergeming menatap Arsenio yang memberikan kode kepada Andhira untuk segera masuk, tetapi ditolak oleh Andhira.“Masuk, Andhira. Kita tidak punya waktu banyak,” ujar Arsenio dengan penuh penekan
“Andhira, kalau saya bilang, saya sayang sama kamu, saya cinta sama kamu, apa kamu bakal nerima saya?”Andhira tersedak, lalu menyimpan gelas di meja cukup kencang. Dia menatap Arsenio dengan mendelik, terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Arsenio.“Mas Arsen nyiapin ini semua, buat saya berarti?” tanya Andhira dengan penuh penekanan, diangguki oleh Arsenio.Arsenio menegakkan tubuhnya, menatap serius Andhira, dan berdeham, “Saya serius, Maheswari Andhira Swastika.”Andhira menatap Arsenio yang memang menampilkan wajah serius, “Saya harus jawab gimana? Panjang kali lebar kali tinggi gak? Atau cukup satu kata aja?”“Lengkap,” jawab Arsenio, membuat Andhira terkekeh dan mengangguk mengerti.“Saya bingung sih sebenernya mau nanggepin kaya gimana, tapi saya jawab ya, semoga sesuai dengan apa yang mas Arsen inginkan. Ini beneran?”Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kamu nganggep ini bercanda?” tanyanya dengan dingin, membuat Andhira mengerjapkan kedua matanya, dan mengulum bibir.“Oke.
“Mas Arsen udah sarapan, kan?”Tanya Andhira kepada Arsenio yang hari ini menjemputnya sebagai kekasih. Arsenio menoleh, menatap Andhira yang sedang menatapnya.“Belum. Tadi bangun kesiangan. Amanda saja diantar sama mbak Maya,” jawab Arsenio, membuat Andhira bergumam.Andhira mengedarkan pandangannya, dan menemukan pedagang nasi kuning di pinggir jalan. Dia menepuk lengan Arsenio, “Depan sana berhenti dulu ya, Mas.”“Kamu mau?”Andhira menggeleng, “Bukan buat aku, tapi buat mas Arsenio.”Arsenio hanya menurut, dirinya menepikan kendaraan roda empatnya sedikit menjauh dari lapak penjual nasi kuning itu. Menahan tangan Andhira, lalu menatapnya, “Perlu saya temenin?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala.“Gak perlu. Saya bisa sendiri, Mas. Tunggu bentar yaa,” ucap Andhira, setelahnya keluar dari dalam mobil. Sedangkan Arsenio hanya memperhatikan dari spion kirinya.Andhira tersenyum kepada penjual nasi kuning, “Masih ada, Bu?” tanyanya, diangguki oleh ibu penjual nasi kuning. Andh